Senin, 17 Oktober 2011

Membaca Orang Seperti Membaca Puisi

Saat iseng-iseng mencari sebuah blog, ternyata aku membuka blog teman yang baru aku kenal (http://taurusragill.blogspot.com/). Dari isi blognya dia senang menulis. Aku pun menyediakan beberapa waktu untuk membolak-balik blog itu membaca beberapa tulisan yang terposting di dalamnya. Dari eksplorasiku yang singkat itu ada dua hal yang menarik perhatianku. Ialah postingan beberapa puisi dalam satu bulan JULI 2011. Puisinya bagus, sudah dapat dikatakan bukan pertama kali ia menulis puisi. Yang menarik kedua kali, puisi-puisi yang diposting dalam kurun waktu satu bulan itu berbicara tema yang sama. Saya tidak berani mengatakan kalau puisinya ditulis pada bulan Juli, karena tidak ada keterangan kapan puisi-puisi itu ditulis.

Menurut Sigmund Frued, dalam diri seseorang terdapat aktivitas sadar dan tak sadar (bawah sadar). Alam bawah sadar berasal dari memori kenangan dan keinginan seseorang. Menurut Freud alam bawah sadar mengendalikan sebagian perilaku manusia. Ia juga berpendapat bahwa alam bawah sadar dapat melebur dalam proses kreatif pengarang. Jadi ketika penyair menuliskan puisi, alam bawah sadarnya turut mewarnai apa yang dituliskannya. Dengan demikian kita tentu bisa mengerti apa yang dirasakan penyair, atau apa yang diinginkan penyair melalui karya-karyanya. Singkat kata kita bisa mengetahui kondisi jiwa penyair saat menuliskan karyanya. Yok!

Ada tujuh puisi yang diposting secara bersamaan (dalam waktu sehari) kita akan mengkajinya dari puisi yang terposting lebih awal, karena dari pembacaan saya memang sesuai dengan alur jika dibaca dari puisi yang awal ke akhir. Setiap orang tentu mendambakan sikap tegar pada setiap persoalan yang menghadang. Hal itu tercermin pada puisi Rapuh. “Apa itu Rapuh.../Tak kan tertanam dalam jiwaq../Tak kan tumbuh dalam angganq...”. pada bait pertama kita dapati bahwa jiwanya kuat sekali. Meskipun ia mengeluh dan menangis tapi “Aku mengeluh bkn krn Rapuh../Aku menangs bkn jg krn Pilu..”. Ada apa sih, dia kok menulis bait-bait seperti itu! Ooo ternyata ia kehilangan seseorang. Hal itu tampak pada bait terakhir yang berbunyi, “Tp, q KEHILANGAN, TUHAN../Ganti Dia Tuhan../Ganti Secepatnya..”. Hmmm jadi itu. Sesuatu yang bisa diganti. Kira-kira apa ya..... Ckckckck

Manusia memang harus berusaha. Berusaha untuk teguh dalam menghadapi kehilangan. Karena setiap perjumpaan pasti berakhir dengan perpisahan. Namun apa daya jiwa manusia, seteguh apa-pun ia suatu saat akan rapuh juga. Sebagaimana pada puisi berikutnya Renungan Hati (RH), “Malam yg begitu gelap seakan mengisyaratkan apa yg tengah trjd dgn sang Hati.../Tak ada secerch chy pun yg mampu menerobos dinding kalbu yg kian lama kiat pekat...”. keteguhannya kian menipis lantara rasa kehilangan yang mendalam. “Krn jiwa q terpaku dlm kenestapaan ini../.../Pernah q bertekat lari dan menerobosny dgn kekuatan jiwaq.../Tp berkali2 q coba q tertangkap dan terperangkap lg....”. Nah, akhirnya dia mengaku kalah dengan rasa yang terus mendera meskipun sudah berusaha menahannya.

Akhirnya dia mencaoba menata lagi angan dan harapan, sehingga terbitlah puisi Memadu Waktu dan Mimpi (MWM). Dalam ilmu menejemen, setiap tujuan harus direncanakan mengenai waktu yang diperlukan. Waktu selain menjadi kontrol atas apa yang kita impikan, juga bisa menjadi cambuk untuk memompa semangat menggapai mimpi-mimpi tersebut. “Kupadukan antara Waktu dan Mimpi yg kian lama kian cepat n kian samar...”. Namun pemaduan waktu dan mimpi apakah dimaksudkan seperti itu. Yok kita baca bait berikutnya yg berbunyi, “Bahkan 1/3 usiaq ini q msh terlalu bodoh krn msh berharap bnyk dr mimpi dan harapan...”. Ow, ternyata tidak. Dia memadukan waktu dan mimpi karena dia merasa bahwa mimpinya terlalu membubung tinggi, hingga tak mungkin untuk tercapai. Sehingga ia harus memadukan dengan kemampuannya juga. Dan itu adalah sikap yang sangat bijak.

Pemilihan diksi yang intens dalam beberapa puisi, menjadikan gagasan Sigmund Freud semakin bisa dibuktikan dalam puisi-puisinya. Seperti kata-kata pilu, sembilu, rapuh, pedih, perih, duri, pudar, semu, gelap, sunyi, sepi, dan lain-lain mencerminkan kondisi jiwa penyair yang memang dalam keadaan genting. Seperti pada puisi Pengakuan Malam (PM), “Rona merah yg terlhat kini dalm batin Melihat pengakuan malam itu ternyata hanya bayang semu dalam Kesendirian sang kegelapan....”. Kemudian pada puisi Catatan Terakhirku (CT), “Sakit..sakit hatiku.../Tercabik-cabik dalam kegundahan...”. Atau pada puisi Belenggu Kehidupan (BK), “Nafasku terhimpit antara ronga dan celah tulang rusuk q.../Pilu..../Sendu..../Terkoyak dalam angganku..”. Keseragaman ungkapan yang intens muncul dari jiwa dan pikiran penyair yang turut mewarnai puisinya.

Meskipun diksi-diksi yang tampak penuh dengan “rasa sakit”, namun si penyair berusaha melawannya dengan ungkapan-ungkapan yang tegar dan pantang menyerah. Hal itu dapat kita baca lewat bait, “Diamku bukan untuk membisu....” Pada BK, artinya dia selalu berusaha untuk mencari pemecahan masalah tersebut, dan tidak hanya diam membisa. Kemudian pada puisi Mimpi yang Tersimpan (MT), “Berusaha kutanamkan kejujuran itu dalam jiwaku,ragaku dan hatiku...agar aku bisa mencapai mimpi itu...”. Lalu pada puisi PM, “Terlihat Secercah cahaya menembus kegelapan malam...”, secercah cahaya menembus malam sebagai ungkapan adanya harapan di tengah gulita persoalannya. Dan pada bait puisi MWM, “Terbangunlah Hai kau wanita malang.,bangkitlah kau, jgn terlalu bodoh dgn belengu smua ini”. Bait-bait itu tentu mencerminkan bagaimana dia selalu berusaha untuk memecah gundah yang menimpanya.

Dari puisi-puisinya, penyair sedang dilanda kegentingan di tengah persoalannya. Penyair adalah seorang yang cukup tegar dalam menghadapi masalah. Hal itu dapat kita baca selain ungkapan kesakitan, juga dibarengi dengan usaha-usaha untuk menghilangkan sakit yang disebabkan kehilangan itu. Kehilangan sesuatu/seorang yang dicintai pasti sakit sekali rasanya. Saya ingat-ingat kayaknya pernah deh kehilangan sesuatu/seseorang yang bahkan belum sempat saya miliki. Rasanya, amboy, bagai digencet batu karang.

Hidup ini memang penuh dengan persoalan. Dimana pun, kapan pun tentu kita dihadapkan dengan masalah. Yang harus kita lakukan bukan lari masalah atau diam mengacuhkannya, karena suatu maslah jika dibiarkan maka akan membesar dan menjadi rumit (ibarat bhs Jawa; Kriwikan dadi grojokan) . Yang harus kita lakukan adalah menyelesaikan masalah tersebut. Ingat! setiap dalam kesulitan pasti ada kemudahan.

Untuk memferivikasi pembacaan saya (dengan asumsi gagasan Sigmund Freud) terhadap puisi-puisi tersebut guna mengetahui kebenarannya, satu jalan yang perlu ditempuh adalah menanyakan langsung pada si penyair:-D

Tidak ada komentar:

Posting Komentar