Jumat, 30 Desember 2011

Hantu

Semua warga desa diributkan dengan seringnya hantu yang muncul dengan tiba-tiba. Hal demikian tentu akan membahayakan para penderita lemah jantung. Selain itu, hantu juga sering mengusili warga. Mulai dari mencolek, membuat suara gaduh, atau mengganggu ternak sehingga kambing dan sapi gaduh di malam hari.

“Kesabaran kita seharusnya habis sejak dulu. Gimana tidak, tiap hari kita diributkan ternak yang mengamuk seperti kesetanan”

”Ya, hantu-hantu kacangan itu semakin hari semakin menjadi. Sering memunculkan suara benturan di tengah malam, sampai para peronda mengira itu maling. Tapi setelah dilihat tidak ada apa-apa, kecuali seglintir pocongan yang sedang usil. Para hantu sudah sangat mengganggu aktivitas warga. Harus segera kita basmi”

”Ya, saya sepakat kita harus membakar Danyang Soho itu”

”Aku juga pernah, waktu lewat Danyang Soho, seperti di kasih seorang tua beberapa ribu uang. Tak berpikir panjang, aku pun menerimanya, tapi, setelah uang itu saya belikan berubah menjadi kembang tujuh warna. Si penjual jadi menuduh saya melakukan penipuan dengan pesugihan. Ini kan sudah keterlaluan!”

”Ya, harus kita ganyang”

”Harus, harus, sebelum para lelembut lebih kreatip dalam mengganggu warga”

Maka, malam harinya, seluruh warga desa berbondong-bondong akan membakar sebuah pohon besar -Danyang Soho- yang terkenal sebagai markas besar para lelembut.

Meski malam mencekam, dingin menusuki tulang, tak menyurutkan langkah warga untuk membakar pohon itu. Para warga yakin, setelah membakar Danyang Soho, para lelembut akan pergi dari desa ini, minimal tidak lagi usil pada manusia. Dengan obor di tangan kanan dan cirigen berisi bensin di tangan kiri, hampir semua warga ikut menggrebek Danyang Soho. Hanya ibu-ibu yang punya anak kecil, yang tinggal di rumah.

Jarak 200 meter sebelum Danyang Soho, tiba-tiba angin ribut datang. Mengombang-ambingkan barisan warga. Mematikan sebagia obor yang ada.

”Semua berkumpul, melingkar!” instruksi dari pak lurah.

Maka semua berkumpul, melingkar, dan merapat. Obor-obor yang mati dinyalakan lagi. Bau busuk tiba-tiba menyengat hidung, lalu beberapa pocong dengan wajah penuh ulat bergelantung di reranting pohon. Tak berpikir lama, semua warga melemparinya dengan batu yang sudah disiapkan di saku. Pocongpocong itu lalu menghilang.

Kini suara lolongan serigala memekikkan telinga. Disusul dengan hujan kepala dari atas pohon. Setelah di tanah, kepalakepala itu tersenyum dengan taring yang tajam. Para warga menginjaknya hingga kepalakepala itu lebam, lalu menghilang.

Pada hitungan ketiga, para warga berlari menyerang Danyang Soho. Surder Bolong muncul, Suster Ngesot, Thong-thong Shot, Mbilung, Pocong, Wedon, tak ketinggalan. Semua bermuka seram. Namun, semua dilibas dengan lemparan batu-batu warga.

Tibalah semua warga di depan Pohon Soho besar yang dianggap sebagai sarang lelembut. Saat semua akan menyiramkan bensin ke pohon, tiba-tiba muncul sesosok makhluk besar, hitam, dan bertaring panjang.

“Hhhaaaaaaaa!” gendruwo itu berteriak hingga warga menyumpat telinga.

“Manusia goblok, bodoh, dungu, tolol, asu, kalian!”

”Lelembut bodoh, dungu, suka usil, ngganggu manusia, setan, kalian!”

”Diaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaam!” gendruwo berteriak. Warga menyumpat tenlinga.

”kami diciptakan memang untuk mengganggu manusia!. Dan kalian seharusnya takut pada kami. Tapi sekarang tidak. Sekarang beda. Kalian sudah tidak lagi lakut pada kami. Malahan, kalian melempari batu kami, mengolok kami, dan malam ini kalian akan membakar rumah kami.”

”Kalian hantu sudah membuat kami kesal. Membuat warga tidak bisa tidur nyenyak. Kenapa sih, kalian enggak bisa diam!” pak Lurah mengutarakan isi hati warga.

”Kalian manusia dungu! Kami, yang sebagai pengganggu kecil seperti ini kalian lawan. Kalian musuhi. Kalian musnahkan. Lihat! Buka mata kalian! Para manusia yang menyakiti kalian, para pemimpin kalian, yang korup, yang memebuat rakyat miskin, para mafia hukum, para maling negara yang melumat kebahagiaan kalian, tidak pernah kalian musuhi, bahkan membencipun kalian tidak pernah!

Apa karena kalian takut! Cih, pengecut! Penghianat! Kalian, para manusia takut pada keculasan, kecurangan. Manusia asu!. Buka mata kalian, dana centuri yang lenyap, lumpur Sidoarjo, korupsi, itu sudah benar-benar membuat kalian mati kelaparan. Tapi kalian tidak melawannya! Dan kami, yang memang digariskan sebagai penggaggu kacangan, sudah hancur eksistensi kami. Kalian gusur rumahrumah kami. Rawa-rawa kalian tebang, hutang kalian tebang, sungai-sungai kalian jadikan bangunan, kalian soroti rumah-rumah kami dengan lampu gemerlapan. Bukankah itu penggusuran hak hidup kami! Kami adalah makhluk kegelapan. Hutan, rawa, sungai, kalian jamah semua, kalian rusak semua!

Dan yang paling memiriskan hati, kalian sudah tidak takut pada kami. Eksistensi kami sebagai pengganggu kini hancur. Hancur. Hancuuuuuurrr... kalian gembar-gembor kesetaraan hak, kesetaraan jenis kelamin, hak pendidikan, hak hidup, tapi kalian tetap semena-mena pada yang lemah dan takut pada yang kuat. Bahkan, pada yang harus dilawan kalian malah takut. Seharusnya kalian juga mempertimbangkan hak-hak kami. Bukankah kita juga hidup semagai satu makhluk, makhluk Tuhan semesta! Kalian manusia goblok.

”Faiz! Mana Faiz!”

Gila, gendruwo memanggilku.

”Faiz, kamu itu manusia Manja, alias Manismanis Jancuki! Kami tau sebenarnya kamu masih takut kami. Tapi itu tidak penting. Lihatlah, korupsi di kabupatenmu sudah mencapai stadium empat. Dan kamu, apa yang kamu lakukan! Malah buat cerpen kacangan yang nggak laku diterbitkan. Seharusnya kamu menghunus parang dan membabat siapa saja yang merampas hak-hak rakyat. Lawan dengan otakmu, tenagamu, dan hartamu! Kamu takut! Manusia yang takut pada yang salah itu manusia pengecut!”

Aku malu bukan kepalang. Kok tau, aku sebenarnya masih takut pada hantu.

”Nurani, bukumu yang ke 17 sudah terbit. Tapi itu hanya akan mencerdaskan para borjuis untuk menyiasati semua perlawananmu. Bukankah buku-bukumu itu Cuma dibaca oleh orang-orang borjuis! Karena hanya mereka yang mempu membeli buku. Kamu harus bikin gerakan bawah untuk penyadaran akan penindasan kekuasaan pada rakyat. Tapi, sekolah menulis yang efektif sebagai media malah kau lupakan, padahal sudah beberapa siswa mau mendaftar. Perubahan tidak akan terjadi melainkan dari gerakan bawah”

Pak nurani Cuma cengingas-cengingis. Barangkali ada hal-hal lain yang tidak diketahui gendruwo tentang dirinya.

”Sukarto, sebagai lurah kamu tidak pernah memihak rakyat. Lihat, selama kamu pimpin tidak ada kemajuan sama sekali. Aspal pada bolong-bolong kamu biarkan, sampai banyak orang terperosok di dalamnya. Itu tanggung jawab kamu. Progarm-progammu tak lebih Cuma gambar saja formalitas. Hasilnya nonsen. Perangkatmu yang bodohbodoh itu, bisa apa mereka! Aku kok heran, tahun ini kok kamu jadi calon lagi! Apa kamu pikir jadi lurah itu enak! Tidak. Sama sekali tidak. Jadi lurah itu harus pandai, jujur, cerdas dan bertanggung jawab, pekerja keras. Tapi nggak tau, kalo bagimu jadi lurah diambil duitnya doang.”

Wajah pak Sukarto merah padam. Semoga orang-orang yang membaca terbuka hatinya.

”Mulkadi, dulu kamu jadi lurah, dan sekarang magang lagi. Apa jabatan itu tidak membuatmu takut! Apa kamu tidak takut pada tanggungjawab itu! Toh, waktu kamu jadi lurah juga nggak ada kemajuan. Waktu kepemimpinanmu memang belum terbuka seperti sekarang. Jadi, kalaupun kamu korupsi”

”Maskuni, kamu juga magang lurah. Rupanya jabatan wakil lurah menggiyurkanmu untuk menduduki jabatan lurah. Seharusnya kamu bercermin dulu, beberapa oraganisasi kamu ketuai, tapi kegiatannya Cuma ituitu saja. Kamu memang jujur. Tapi yang diperlukan pemimpin tidak hanya jujr saja, melainkan keprofesionalitasan dan kekreatipan.”
(KALAU MAU BOLEH MENAMBAHKAN TULISAN APA AJA DI PARAGRAF INI........ Ingat, mencantumkan nama terang bisa memejahijaukan Anda!)

”Kalian memang bodoh, kalian pengecut! Kami diciptakan untuk mengganggu kalian! Dan kalian harus takut pada kami. Tapi nyatanya...” gendruwo menghentikan kata-katanya. Dari kedua matanya keluar air mata. Lelembut lainnya menyusul, mengerubunginya, ikut meneteskan air mata.

”Kalian sudah menyalahi kodrat Tuhan” dengan bersimbah air mata Gedruwo melanjutkan. ”kalian para manusia menakuti sesuatu yang tidak seharusnya ditakuti, dan menidaktakuti yang seharusnya ditakuti. Asu!.

Suasanya menjadi hening, seperti ada duka di celahnya. Di tengah keheningan malam itu, seorang berteriak ”Bakaaaar!”. Kebodohan dan keculasan merasuki otak para warga. Semua bensin disiramkan ke pohon, lalu oborobor dilemparkannya.

Api pun tak terbendung lagi menjilati seluruh pohon. Para hantu menangis sedang para manusia tertawa dengan kebodohannya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar