Senin, 14 Mei 2012

Apakah Langit Masih Biru


Apakah langit masih biru? Kita duduk saja di tepi lautan. Memandangi langit biru dengan bintil-bintil awan yang terlihat tenang. Tapi wajahmu tetap hujan lantaran air mata deras membasahi pipimu yang merah merona. Sekarang bulan April, seharusnya musim hujan sudah berlalu.

Belum lama kita mengenal, tapi aku sudah tau ketegaranmu. Caramu berbicara, caramu mengolah kata, aku tahu sekali itu hanya bisa diselesaikan oleh orang-orang yang berjiwa kekar. Sebelum kata terucap pun aku sudah tahu, dari jarak antara kedua matamu, bahwa kamu adalah orang yang tegas dan berpegang teguh pada prinsip-prinsip hidup, untuk mengatakan kurang bisa bertoleransi.

“Aku semakin ragu dan tak yakin.” Kalimat itulah yang membawa kita ke sisi dunia yang amat luas ini. Yang mungkin bagimu hanya seluas harapan-harapan yang jauh untuk tercapai. Bagiku kalimat itu adalah kesimpulan yang terburu-buru. Kesimpulan yang bisa saja muncul karena terlalu menggebu untuk sebuah harapan. Keraguan akan mengacaukan segalanya, mengakukan gerak dan mempersendat langkah.

“Apakah dia mencintaiku?” Lagi-lagi pertanyaan yang menodong dan mencoba memotong perjalanan alam yang wajar. Masih satu minggu, sahabatku, bukankan itu terlalu buru-buru. Cinta bisa datang kapan saja, tentu, cinta secara wajar akan datang setelah sekian lama. Terlebih kamu belum pernah bertemu. Belum pernah bertemu tapi kamu sudah mencintai, menyembul sebuah pertanyaan dalam hati kecilku; apa itu benar cinta.

“Aku yakin, itu datang dari hatiku yang terdalam.” Kata-katamu memang yakin. Namun, aku meragukan hatimu seyakin itu. Membedakan hati dan nafsu sepeti kamu memisahkan air dan kopi dari secangkir kopi yang tersaji. Bukankah terkadang nafsu juga ikut campur dalam kebaikan. Seperti keikutsertaannya dalam asmara.

“Ya, aku tahu dari pembicaraan itu, entah apa yang membuat ia berbeda sekali dengan laki-laki lain yang aku kenal selama ini. Juga dari ceritamu, siapa ia, bagaimana ia.” Aku berusaha memahami jalan perasaanmu. Kata-kata memang bisa menjadi jerat bagi siapa saja. Dalam pembicaraan apapun, satu kelemahan jika kamu tidak mengetahui bagaimana raut mukanya. Karena ucapan yang sempurna hanya bisa terjadi dengan gerak tubuh dan raut muka. Ya, bolehlah kamu mencintainya, tentu tidak sedemikian dalam untuk waktu yang singkat.

“Tapi lihatlah diriku saat ini. Aku merasa bukan diriku seperti dulu lagi. Aku menjadi cengeng. Bahkan untuk urusan remeh seperti ini. Lihatlah, lihatlah aku menangis untuk macam rasa nggak jelas ini. Lihatlah.” Kamu berkata manja sekali. Jelas bukan dirimu yang selama ini aku kenali. Kamu menjadi seperti itik yang kehilangan induknya. Namun itu manusiawi. Di negeri china ada seorang panglima perang yang tidak pernah menitikkan air mata, melainkan karena seorang wanita yang dicintainya. Ya, itu manusiawi. Kucurkan air matamu, sampai ditelan udara.

Lantas, apa yang harus aku lakukan?” Pertanyaan ini memaksaku menjadi dirimu. Akupun berusaha menjadi dirimu dengan batas sifat dan keinginanmu yang aku ketahui. Namun perasaan cinta, kujumputkan saat aku baru mengenal gadis berpuluh tahun lalu. Lalu aku bayangkan sebagaimana kisahmu saat ini. Maka tersimpul satu keputusan. Aku harus tetap menghubunginya, meski dengan perasaan sedikit kecewa.

Kenapa harus aku yang memulainya. Aku ini wanita. Aku ini wanita, bukan laki-laki. Tidak pantas untuk berlaku seperti itu. Dialah yang seharusnya memulai. Aku ini wanita, tidak pantas untuk memulainya.” Kamu berkata tidak terima. Ah, masih saja ada pembeda laik-laki dan perempuan dalam kondisi saat ini. Buanglah jauh-jauh egoismemu itu. Kedepankan keberhasilan harapanmu, keberhasilan cintamu.

Tidak. Aku tidak akan melakukan hal itu. Aku tidak boleh merubah diriku untuk menjadi itu. Di sisi lain, keberadaanku ini mustahil sekali untuk melakukan hal itu. Atau aku akan terjungkal di lembah kehinaan.” Tidak, sama sekali tidak merubah kamu sedikit pun. Ini hanyalah teknis berkomunikasi. Seperti halnya saat kamu berbicara dengan anak-anak, tentu tidak sama dengan saat kamu berbicara dengan orang tua. Dan kalau kamu bilang tidak ingin berubah, tetap pada jiwamu yang dulu, aku katakan bahwa sebenarnya kamu berubah jauh dari yang dulu. Ya, saat ini kamu telah berubah. Air matamu yang mengucur, keluhanmu, dan kekecewaan yang dalam sudah mencabutmu dari sifat dan karakter aslimu. Kau sudah berubah sekarang.

“Aku benci sekali dengan sikapnya. Kenapa ia tidak menganggap keberadaanku, mengapa ia tidak menghubungiku, menanyakan keadaanku, menanyakan kabarku.” Mencintai. Ya, mencintai. Kau harus belajar mencintai. Cinta itu penyatuan, sahabatku. Dan untuk menyatukan itu dirimu harus pandai-pandai memberi. Berikanlah jiwamu padanya, dengan setulusnya. Tentu kau sudah tahu akan ketulusan itu. Ia tidak akan mengharap balasan.

“Apa barangkali ia tidak mencintaiku?” Untuk mengetahui apakah ia mencintai atau tidak diperlukan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Meski ia tidak memperhatikanmu saat ini, ia bukan berarti tidak menaruh hati padamu. Kadang, wujud cinta sesorang tidak harus menyentuh cinta sertamerta. Terlalu singkat untuk sebuah keputusan. Cinta bisa datang kapan saja, dimana saja. Namun, kematangan cinta akan akan bisa tercapai dalam jangka lama.

Tegarkan jiwamu, ingatlah para laki-laki yang meminangmu tapi kau tolak dengan tegas, dengan kata lugas. Ingatlah bahwa masih banyak laki-laki dengan kualitas, yang tidak sembarangan yang siap menerimamu. Kamu tidak perlu menangis sesenggukan seperti ini. Kembalilah pada dirimu yang dulu, yang selalu tegar dengan tantangan, yang tak pernah kenal dengan keputusasaan. Maka saat itu langit tak biru lagi, lantaran dipanggang senja. Dan tanpa kusadari, air matamu telah mengering.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar