Senin, 21 Mei 2012

Sesaji Gombal


Kata “gombal” tak sing lagi di telinga kita. Secara bahasa gombal berarti kain tua yang sobek-sobek. Sisa baju atau celana yang sudah lusuh, biasa dibuat lap atau pel lantai, itulah gombal. Lantas kenapa gombal diidentikkan dengan laki-laki? Apa karena kebanyakan laki-laki pekerja kasar dengan keringat berkucuran yang kadang-kadang saat bekerja penampilannya compang-camping. Tentu bukan, karena yang suka menyebut laki-laki itu menggombal hanya perempuan. Dan yang dimaksud menggombal di sini adalah kata-kata atau ucapan yang keluar dari laki-laki untuk menarik hati perempuan.

Dalam banyak kasus, saat mengirim puisi lewat pesan pendek kepada beberapa perempuan, mereka mengatakan menggombal. Padahal puisi itu kan kata-kata yang padat dengan majas dan metafora. Lantas saya jadi berpikir, apa sebenarnya makna gombal itu sendiri, untuk mengetahui ketika seseorang berpuisi apakah bisa dikatakan sedang menggombal.

Menurut kamus Tesaurus, di sana gombal juga berarti tipu. Dengan kata lain menggombal berarti menipu. Saya mengaitkan pada konteks saat laki-laki merayu perempuan dengan kata-kata tanpa bukti, rupanya pergeseran makna terjadi dalam konteks ini. Yaitu kata-kata yang hampa, tak berdasarkan fakta, yang mana kata-kata tersebut menjadi sia-sia seperti gombal. Gombal pada arti sebenarnya memang kain yang sudah tak terpakai semestinya. Seumpama baju, adalah baju yang tak ada artinya karena dipakai pun sudah tidak layak dan cenderung untuk dibuang. Di sinilah pusat perkara kenapa ketika laki-laki berujar tanpa bukti pada wanita mereka menyebutnya menggombal. Lalu, apakah puisi juga seperti gombal?

Puisi adalah ungkapan yang ringkas padat dengan metafora. Kalau puisi dikatakan gombal, maka menggunakan kata gombal untuk makna menipu juga salah satu metafora. Fakta dari puisi adalah peristiwa dan imajinasi. Puisi mengambil peristiwa, diolah dalam imajinasi, lalu diungkapkan melalui kata dan kalimat untuk menyuguhkan dunia yang baru. Kemudian dalam puisi terdapat unsur-unsur pembentuknya, seperti nada, ritma, diksi, sajak dan pesan, yang menjadikan puisi sebagai bahasa tingkat kedua. Tentu berbeda dengan kata-kata gombal, yang hanya mengungkapkan sesuatu yang tidak ada untuk menuju kekosongan juga.

Kembali ke makna gombal, lebih dari itu, gombal jika diperpanjang tidak hanya berkutat pada kata-kata, namun  juga tindakan. Hal itu jika didasarkan pada pergeseran makna dari perbuatan menggombal menjadi perbuatan penipuan. Ketika karakter maskulin yang menjadi ciri khas laki-laki lemah karena secara emosional ia masih kekanak-kanakan, maka laki-laki tersebut akan menutupi kekurangan itu dengan bersanding dengan sesuatu di luar dirinya.

Sebagai contoh, seorang laki-laki yang mengatakan cinta sejati dengan latar belakang harta beserta kemewahannya,  dengan niat supaya si perempuan tertarik padanya, maka ia sudah menggombal sempurna, meski harta benda itu benar-benar dimilikinya. Karena cinta sejati tidak memerlukan serangkaian property di luar eksistensinya. Ketika saya mengucapkan kata cinta dengan sepenuh jiwa, dengan saya mengucapkannya dengan mobil mewah umpamanya, tentu yang kedua lebih dipertimbangkan oleh perempuan daripada yang pertama. Padahal yang kedua penuh gombalan.

Yang demikian itu, harta dan kemewahannya hanya akan percuma. Karena cinta sejadi adalah pemberian jiwa sepenuhnya, meski dalam pemberian jiwa sepenuhnya nanti mempunyai indikasi memenuhi kebutuhan material. Namun, ketika seorang laki-laki mengedepankan benda-benda yang diluar dirinya untuk mencintai,  ia tetap menggombal. Jika pengertian ini dibalik, maka perempuan yang suka jika seorang laki-laki mempersembahkan cintanya dengan harta dan kemewahannya maka perempuan itu hanya berpikir gombal. Dan yang seperti ini yang tetap disukai perempuan.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar