Rabu, 29 Juni 2016

Masjid Tanpa Menara

Seusai pembacaan pujian sholawat Shollalahu setelah sholat Tarawih, kami sempatkan berbincang-bincang di teras masjid sembari menikmati jajanan tradisional. Malam begitu tenang. Pak Supangat seorang kakek di desa kami, bercerita bahwa masjid yang kami tempati ini dulunya terbuat dari kayu. Cerita berlanjut pada orang-orang yang menjadi imam dan muadzin pada saat itu. Semua menyimak dengan seksama. Lalu tibalah pada cerita yang belum pernah saya dengar.

“Dulu di depan masjid ini terdapat sebatang pohon Nangka besar sekali. Ketika tiba waktu sholat, saya harus menaikinya untuk mengumandangkan adzan”.

“Loh, kenapa kek?” Saya bertanya heran.

“Dulu belum ada pengeras suara, jadi supaya adzan terdengar, aku harus naik pohon”.

Kami pun menganggung-angguk.

“Bahkan dulu, dari Gunung Cilik terdengar”. Sambung Pak Samsul yang mungkin saat itu masih remaja. Gunung Cilik adalah sebutan kompleks pemakaman umum di bukit, sekitar 2 km utara desa kami.

“Bisa terdengar sampai sana?” Saya menyela tak percaya.

“Ya, dulu desa ini masih sepi, sedikit rumah dan bangunan. Mesin juga masih jarang.”

Saya berdecak kagum, lalu terseret, mencoba menerka-nerka suasana 80 tahun yang lalu. Desa kami masih sepi, tak ada suara kecuali gemerisik dedaunan tertiup angin. Di terik matahari, pak Supangat muda yang perkasa menaiki ranting demi ranting pohon Nangka. Setelah sampai puncaknya ia mengatur nafasnya, memperlambat detak jantungnya. Kemudian mengambil nafas dalam-dalam, bersiap mempersembahkan suara terindah yang dimilikinya.

2 komentar:

  1. Saya sudah datang ke sini dan membaca tulisan ini
    Terima kasih telah berkenan untuk ikut meramaikan Lomba Menulis : 1001 Kisah Masjid di blog saya
    Semoga sukses.

    Salam saya

    BalasHapus
  2. Wa'alaikumsalam. Semoga bermanfaat ya pak, dan juga menang. Hehe.. Aamiin..

    BalasHapus