Siang-siang, saat saya berteduh dari sengatan surya, hape berbunyi dua kali dengan pesan dari Riza Multazam Luthfi seorang penyair, seperti ini;
Bujang Lapuk
(buat paijun)
Haruskah hidupku sendiri
Tanpa belaian kata-kata
dan puisi?
25/07/2011
11:37
Sang Pencundang
(buat paijun)
Andai kutahu isi hatimu
Pasti tak akan
Kubisikkan cinta itu
25/07/2011
14:12
Sajak yang perjudul Bujang Lapuk sepertinya sebuah teguran bagi saya yang memang selama satu tahun terakhir ini jarang sekali menulis puisi atau karya sastra lainnya. Saya akui memang. Meskipun pada tahun sebelumnya juga enggak produktif amat.
Sedang sajak Sang Pecundang pertama membaca (via hape) terasa geli. Sesaat setelah hape saya saku, terasa ada yang janggal. Maka hape aku buka lagi, aku baca puisi kedua kalinya. Kening ini memicing-micing mengingat-ingat saat kuliah dulu. Kami (aku dan Reza) adalah sahabat dekat, saya lupa bagaimana pertama ketemu kok sampai menjadi sahabat. Yang pasti kita pada awal semester di kelas yang sama. Celakanya, pada tahun 2006 (awal semester tiga) kami menyukai cewek yang sama. Waduh... jian dekne ki.
Akhirnya kami putuskan untuk menjalani persaingan secara seportif, bahkan kalau bisa (dalam hal ini) bermitra-pun jadi. Saya lebih awal mendapatkan nomor tilpun cewek itu. Saya merasa lebih pede satu langkah. Namun sayang sekali, karena penyakit kronis bawaan dari kecil, sindrom gemeteran bicara di depan cewek, ketemuan pertama-pun aku ajak si Reza itu. Wal hasil, kencan bertiga itu menjadi kencan terkacau saya sepanjang sejarah. Nggak usah saya bicarakan, malu-maluin.
Persaingan secara sportif itu tidak semulus yang kita canangkan. Setelah si Riza tau karakter cewek itu dia mundur perlahan. Saya tetap bertahan. Tapi, penyakit saya itu membuat saya mengalami kemunduran juga. Setiap bertemu dan mengobrol sama si cewek saya mendadak seperti robot. Menoleh saja susah. Bicara tidak teratur dan tidak dengan kerangka pikir yang beruntun. Keringat dingin mengucur. Kadang terlalu over dengan raut wajah dan mimik berlebihan (Saya tau macam-macam kesalahan itu dari membaca buku setelahnya).
Waktu itu saya belum sadar dan saya terus mengejar dengan sikap yang sama. Setelah sekian waktu, saya mulai menyadari kalau dia kurang tertarik denganku. Dari sini lalu aku menyesuaikan diri (menjadi teman maksudnya, hehehe).
Setelah itu saya sempat suka kepada beberapa orang. Sedang Riza, selama kuliah pacaran sekali. Lalu di akhir saya menulis catatan ini dia sudah berganti pasangan lagi. Saya masih terjatuh pada lubang yang sama.
Bersama bergulirnya waktu, saya selalu mencoba mengatasi yang namanya demam perempuan dengan banyak membaca buku. Saya percaya kalau semua yang saya alami tak lepas dari motif-motif psikologi dan budaya. Lambat laun saya semakin bisa mengendalikan diri, bahkan lebih dari itu mengetahui titik-titik sentuh emosi wanita yang bisa membuat dia tergila-gila sama kita (lelaki). Saya mengetahui dasar-dasar proses seorang wanita alam mengambil keputusan. Pokoknya serba wanita dah. Dan lagi (tak kalah pentingnya) mengetahui bagaimana meraih hati camer alisan calon mertua. Saya tau, apakah saya bisa!
Ringkas kata, cinta yang saya tumpahkan kepada wanita-wanita yang saya sukai tidak-lah berakhir sia-sia, sehingga saya harus berkata “Andai kutahu isi hatimu/Pasti tak akan/Kubisikkan cinta itu” sebagaimana sajak Riza yang dibuat untukku di atas yang terkesan menyesali karena mengungkapkan cinta. Meskipun saya belum berhasil mendapatkan wanita, mencintai mendorong saya untuk tampil lebih sempurna. Saya berusaha menjadi yang terbaik untuk menarik perhatian seseorang yang saya sukai. Hal itu tentu mendorong perkembangan saya di bidang keilmuan maupun ketrampilan. Saya semakin percaya ketika bapak Mario Teguh mengatakan “orang yang ingin dicintai apa adanya (yang ada dalam dirinya), dia tidak akan pernah berubah (menjadi lebih baik)”. Sehingga mencintai dengan sepenuh hati, tidak akan pernah sia-sia. Percayalah!