Langkahku
tak mau berhenti. Sekarang waktunya senja dan aku terus menuju ke barat. Mengharuskan
sampai ke ruko pak Kirman sebelum mentari benar-benar menyisipkan tubuhnya ke
balik gunung. Dengan seperti itu aku tidak mengingkari janji untuk menemuinya
sore hari, bukan malam hari. Malam hari bagi kami adalah malam yang gelap, suram. Tidak baik untuk meminta
maaf, apalagi tentang keterlambatan membayar hutang.
Kuning senja melumat muka tubuhku,
kulihat dua lenganku yang legam menyesap kilaunya. Dari arah berlawanan kulihat
secercah bayangan di atas tanah, lalu meluncur sepeda motor dengan kecang dan...
“tidaaaaaaak! Wusssy...” Secara reflek mulutku berteriak. Nafasku tersengal. Oh, terlindas, oh, tidak. Tubuhku
lemas seketika, tapi aku tetap berlari menujunya.
Tokek.
Di sampingnya selincir ekor dengan enam baris bintil belang-belang bergerak-gerak terlepas dari tubuhnya. Sungguh lega hati
merasakannya. Warnanya
abu-abu kebiruan dengan bintil-bintil besar seluruh
tubuhnya. Aku segera
membungkuk guna memungut si pemilik ekor. Tapi sungguh sial, tokek yang hampir
modar itu malah berlari menjauhiku. Kakiku tak rela lebih jauh darinya, kakiku
mengikuti dan berusaha mendahului tanpa menginjakknya. Tokek semakin gesit, ia
menghindar di setiap tikamanku. Aku pun semakin semangat dengan kelincahannya.
Itu artinya sepeda motor yang melesat tadi sama sekali tidak melukainya, atau
tidak membuatnya keder sedikit pun. Ia sungguh lincah.
Aku
hadang dari utara lalu aku tikam, ah sial, ia kabur ke arah barat. Aku segera
berlari mendahuluinya dan menghadangnya dari arah berlawanan, tapi saat aku
tikam si tokek selalu kabur dengan kecepatan jari-jarinya. Tubuh gendutnya yang
lenggak-lenggok seperti mengejekku saja. Ia sungguh tokek yang indah. Kali ini
aku dan dia sama-sama payah. Kembang kembis perutku dan perutnya ingin saling
mendahului. Kami berhadapan dan saling marasai kesialan yang sedang menimpa.
Kesialanku tidak juga menangkapnya, kesialannya tidak bisa membebaskan dirinya.
Mata kami saling memandang, menghayati keheningan, mencari celah untuk lebih
cepat melangkah.
Kutikam ia kesekian kalinya, namun tetap kecepatan
kakinya membuat ia lolos dari genggamanku. Tokek itu malah berlari kencang
sekali menuju teras rumah. Aku terus memburunya. Ia menyelinap di bawah pot
bunga. Aku pun mengintai, kemana kepala tokek mengarah. Dalam hitungan ke tiga,
aku angkat pot yang tidak terlalu besar itu dengan tangan kiri dan tangan kanan
siap mencengkeram tokek. Ketika satu sisi pot terangkat, tampak benda
berkilauan di bawahnya. Aku sedikit tercengang. Tokek lari tunggang langgang
memanjat tembok rumah pak Dibya. Hilang sudah harapan akan tokek. Hilang sudah
bayangan meminangnya di atas timbangan pasar hewan. Hilang sudah angan-angan
membeli beberapa kebutuhan dengan menjual tokek itu.
Kunci. Benda berkilau yang melenakan itu adalah kunci.
Kulihat sekitar tak ada orang. Kunci itu aku pungut tampak tulisan SES dan aku
lihat handle pintu rumah pak Dibya juga bermerk SES. Apakah ini kunci rumah pak
Dibya! Aku semakin yakin kalau itu kunci rumahnya. Niat buruk menyusupi jiwaku.
Bukankah pak Dibya dalam minggu-minggu ini pergi ke luar kota mengurusi
bisnisya! Bukankah dengan kunci ini setidaknya aku bisa mengambil beberapa barang
di rumahnya! Ah, segera kutampik pikiran-pikiran itu, meski kunci akhirnya
kubawa juga. Sampai di ruko pak Kirman mentari tak menyisakan sinarnya
sedikitpun.
***
Kunci itu kusimpan dalam laci. Namun bayangannya
menyibukkanku. Aku gelimpangan di kamar tidur. Istriku mendekur saja, memang
aku sengaja tidak menceritakan tentang kunci itu. Bisa jadi ia marah-marah
karena kunci itu mengancam jiwaku. Jika jiwaku terancam mau tak mau jiwanya
ikut terancam juga. Tapi kalau aku ceritakan bagaimana jika aku masuk rumah pak
Dibya dengan kunci itu lalu mengambil beberapa barang untuk diuangkan, ia pasti
berbalik pikiran lalu merengek-rengek supaya aku segera melakukan hal bodoh
itu. Yah, memang sifat perempuan.
Lantas aku bertanya-tanya, kenapa pak Dibya meninggalkan
kuncinya di bawah pot! Apa untuk mengelabuhi pencuri! Atau jangan-jangan ia
berjaga jika dalam perjalanannya ke luar kota ditodong rampok, kunci rumah itu
tidak akan jatuh di tangan mereka. Kalau itu alasannya berarti di rumah itu ada
sesuatu yang sangat berharga. Uang! Emas! Ah, sungguh kacau pikiranku malam ini.
Atau aku kembalikan saja kunci itu ke tempat semula.
Dari pada persoalan semakin rumit. Bisa jadi suatu saat nanti aku ceroboh
dengan kunci itu, lalu ada orang yang tau kalau aku membawa kunci rumah pak
Dibya bisa mati kesekian kali aku. Urusannya bisa panjang. Apa mengembalikan ke
bawah pot juga perkara yang gampang! Bisa jadi saat aku mengembalikannya ada
orang melihat aku mengendap-endap membawa kunci itu, lalu dia berteriak maling
dan aku digebukin seluruh warga. Atau bisa jadi jika orang yang melihat
gerak-gerikku di teras pak Dibya ia mengintip saja lalu saat aku pergi, dengan
diam-diam ia membuka pot itu lalu mengambil kunci dan menguras habis isi rumah
pak Dibya. Yang berhak menguras itu kan aku. Ah, tokek gendut itu membuat aku
galau saja. Atau aku sendiri yang salah! Kenapa tadi sore aku tidak terus
mengejar tokek saja tanpa menghiraukan benda berkilau di bawah pot itu. Seandainya
aku tadi menangkapnya tentu sekarang sudah mendapatkan rupiah meski tak
seberapa. Ah.
Kalau urusan menguntit dompet dari saku sesorang aku
jagonya. Tapi, membobol rumah, lebih-lebih membuka rumah tanpa penghuni yang di
dalamnya penuh barang berharga dengan kunci di tangan sudah mengedonkan
mentalku. Aku jadi ingat saat diajak Rukani mencuri sepeda motor, aku menolak
dengan tegas. Dibayar berapa pun aku tidak akan mau, meskipun aku hanya menjadi
lintas kedua yang bertugas membawa kabur motor setelah kunci stirnya dirusak.
Bahkan untuk memprotoli saja aku tidak
mau. Mencopet di keramaian lebih ringan bagiku. Dompet yang tipis bisa saja
langsung aku selipkan ke celana dalam. Atau kalau kepepet aku lempar saja ke
mana saja. Sedang mencuri barang yang berukuran besar, bagaimana bisa bersilat
tangan. Itu jelas bukan keahlianku.
Gambar kunci muncul lagi, mengambalikan pikiranku pada
isi rumah pak Dibya. Apa aku kembalikan saja secara baik-baik menunggu pak
Dibya pulang. Tapi kapan! Bisa jadi saat pak Dipya samapi rumah mendapati
kuncinya di bawah pot telah raib, ia langsung lapor polisi. Lalu polisi tentu
membuat kecuriga-kecurigaan pada warga sekitar termasuk aku. Atau lebih parah
lagi polisi mengintrogasi semua warga untuk mengetahui siapa yang mencuri
kuncinya. Ah, payah. Ide ini akan membuatku menunggu berhari-hari di depan
rumah pak Dibya. Menunggu kedatangannya. Kalau memang seperti itu, trus
bagaimana aku harus mengatakan kepadanya! Aku harus mengatakan kunci ini
kudapat dari mana! Jatuh! Mana mungkin! Pak Dibya sengaja meletakknnya di bawah
pot. Duh. Lamat-lamat aku tertidur juga.
***
Gelap.. benar-benar masih gelap. Dingin pagi menyusupi
kulit. Tak ada suara tokek atau apa.. sepi sekali. Seharusnya nyaliku lebih
lebar, tapi dingin menyempitkannya.
Kerikil di tepi aspal belum terlihat sepenuhnya. Sesekali mulutku nyengir jika
kakiku menginjak kerikil itu. Aku sengaja tak memakai alas kaki, teman-teman
bilang gesekan telapak kaki dengan tanah lebih halus ketimbang sandal atau
sepatu.
Rumah
pak Dibya sudah tampak. Lampu teras dibiarkan berpijar sepanjang ditinggal penghuninya.
Pot yang menyimpan kunci ini masih tergeletak seperti terakhir aku
meninggalkannya. Aku paksakan perasaanku untuk tenang, namun tubuh tetap
menggigil bercampur rasa was-was. Niatku sudah bulat, aku tidak akan
macam-macam di dalam rumah pak Dibya. Tempat yang aku tuju pertama adalah
kamar, lalu laci, dan lemari.
Siapa tau ada simpanan di bawah baju atau di dalam lemari, barang sejuta atau
dua juta. Aku hanya akan mengambil itu dan langsung pergi. Aku tentu bisa
menikmati nasi Soto Ayam pagi ini dan jugs kegirangan
istriku ketika aku pulang dengan beberapa uang nanti sore.
Kulangkahkan
kaki pada anak tangga pertama sebelum memasuki teras. Kutengok jalan tak ada
yang lewat kecuali mobil-mobil yang datang dari jauh menuju ke pasar. Mana
mungkin mereka mengetahui kalau ini rumah pak Dibya dan aku adalah tetangganya
yang masuk tanpa izin! Mereka tentu menganggap aku adalah pemilik rumah ini.
Tapi, tapi pot yang tergeletak itu seperti menatapku. Ah, itu hanya benda mati.
Aku ambil
kunci di dalam saku. Menggerenjal dingin sekali seperti es batu. Aku lihat
sejenak berkilau memantulkan lampu teras berwarna kuning. Ia seperti tersenyum
padaku, seperti ia bahagia akan kupertemukan
dengan kekasihnya slot pintu itu. Seakan dia kangen dengan slot pintu karena
berhari-hari terpuruk di bawah pot bunga. Langsung saja aku masukkan lubang
kunci pelan-pelan. Pot pun tidak boleh mendengarnya. Hanya aku dan kunci.
Belum
sempat kunci aku putar menggeser gigi-gigi dalam slot, sebuah petir melemparkan
kesadaranku sejenak. Petir itu berwarna kuning, dari buah lampu mobil yang
masuk ke halaman rumah pak Dibya. Pak Dibya... pak Dibya... mulutku menyebut
nama itu, tapi tanpa suara. Benar-benar tanpa suara. Mungkin jika direkam aku
sepertu tuna wicara yang berusaha memahamkan orang. Pak Dibya datang pagi itu.
Debar jantungku tak dapat lagi kurasa, aku hanya merasakan tusukan petir itu.
“Lho,
pak Ridwan. Ada perlu apa, pak?” ucap pak Dibya setelah keluar dari mobilnya.
Istrinya masih mengemasi barang-barang di dalam mobil.
Aku
bicara, tapi tak ada suara yang keluar. Hanya mulutku bergoyang-goyang dengan
raut wajah kecemasan.
“Bapak
kok diam saja, maksudnya apa?”
Aku
berteriak. Tak ada suara yang keluar dari mulutku. Aku lalu menggeleng-geleng
sebagai isyarat tidak ada apa-apa, semua baik-baik saja. Aku hanya lewat dan
kebetulan mampir saja.
“Bapak
sakit ya?” Ucap pak Dibya sambil mendekatiku. Istrinya keluar dari mobil
mendekatinya dengan tangan penuh tas belanja.
Aku
hanya menggeleng-gelengkan kepala. Suaraku seperti ditelan udara. pak Dibya
lebih mendekat. Aku berkata tidak. Tanpa suara. Kuangkat tanganku, aku
isyaratkan tidak ada apa-apa. Semua baik-baik saja.
Pak
Dibya melihat kunci yang masih di genggamanku. Dia memungutnya. Ingin aku
merebutnya, tapi tanganku lemah, sungguh lemah. Lalu kunci itu pun beralih
digenggaman pak Dibya. Hatiku seperti pecah berkeping-keping.
“Lho.
Ma, kunci rumah kita ma. Yang kita cari-cari ternyata ditemukan pak Ridwan,
ma.” Pak Dibya mengungkapkan kunci itu kepada istrinya. Istrinya tampak tertawa
terbahak-bahak. Tas-tas belanja yang nggrembol di tangannya berguncangan.
“Pak
Ridwan menemukannya dimana? Kunci ini sudah beberapa hari kami cari-cari.” Pak
Dibya menanyaiku.
Aku
ingin mengungkapkan sesuatu, tapi suara tetap tak ada.
Lalu
pak Dibya berbincang sebentar dengan istrinya, waktu semakin terasa pelan.
Seperti slow motion. Lalu ia mengambil tas-tas yang ada di tangan istrinya, dan
memberikannya kepadaku seluruhnya. Ia tertawa-tawa dan seperti mengungkapkan senuah kebahagianaan kepadaku. Namun tak ada suara juga. Mulutnya hanya tampak
komat-kamit. Mungkin saja ucapan terimakasih karena kuncinya telah aku
kembalikan. Dengan pelan sekali aku menerima tas-tas itu. Tiba-tiba ada suara
tokek di atap teras pak Dibya.
“Mas..
mas.. sudah pukul sepuluh!” Seperti ada tangan kasar menggoyang-goyang
pundakku.
Benda
berkilauan diapit jari jempol dan telunjuk yang tampak pertama saat kubuka
mata, lalu disusul suara yang setiap sore
bertanya berapa duit yang kudapat. Tapi pertanyaan kali ini berbeda, “Mas, ini
kunci apa?”