Minggu, 29 Juni 2025

Mengenali Bentuk Kekerasan pada Anak

Anak adalah pelaku peradaban di masa depan. Mereka yang kelak akan meneruskan kehidupan dan merawat peradaban, sehingga harus kita siapkan sebaik mungkin. Persiapan tersebut dapat dilakukan dengan mendidiknya dengan pendidikan yang baik, menjaga pertumbuhannya, pertumbuhan fisik dan jiwa.

Namun kenyataannya masih banyak anak tidak mendapatkan perlakuan yang semestinya bahkan menerima kekerasan. Pelaku kekerasan justru lebih banyak dilakukan oleh orang-orang terdekatnya, yang seharusnya melindungi dan menjaganya. Hal ini dapat berdampak buruk terhadap tumbuh kembangnya secara fisik maupun mental.

Menurut WHO, kekerasan terhadap anak adalah suatu tindakan penganiayaan atau perlakuan salah pada anak dalam bentuk menyakiti fisik, emosional, seksual, melalaikan pengasuhan dan eksploitasi untuk kepentingan komersial yang secara nyata atau pun tidak, dan dapat membahayakan kesehatan, kelangsungan hidup, martabat atau perkembangannya.

Tahukah kita bahwa kekerasan terhadap anak tidak hanya sebatas kekerasan fisik saja, namun ada beragam bentuk kekerasan pada anak yang mungkin tidak pernah kita sadari sebelumnya. Apa saja bentuk kekerasan anak?

1. Kekerasan fisik

Kekerasan fisik pada anak adalah setiap tindakan yang menyebabkan rasa sakit atau cedera tubuh, dilakukan oleh orang dewasa atau orang yang memiliki kekuasaan atas anak, baik sebagai bentuk hukuman maupun bentuk agresi. Menurut WHO kekerasan fisik pada anak meliputi pemukulan, penamparan, mendorong, menendang, membakar, mencekik, atau menggunakan benda untuk melukai anak.

Kekerasan fisik anak kerap dilakukan oleh orang-orang terdekatnya, seperti orang tua dan teman sebaya. Orang tua melakukan kekerasan fisik biasanya dengan dalih sebagai cara mendidik anak yang bandel. Sebagian lagi memosisikan kekerasan sebagai sanksi yang sah atas hukuman bagi anak-anak yang nakal. Dengan alasan apapun kekerasan pada anak tidak dibenarkan.

2. Kekerasan psikologis

Kekerasan psikologis (atau kekerasan emosional) pada anak adalah bentuk perlakuan buruk non-fisik yang dapat merusak perkembangan mental, emosional, dan sosial anak. Kekerasan psikologis kerap tidak disadari oleh pelakunya, karena dampak yang ditimbulkan tidak dapat diamati secara langsung. Meski tidak tampak secara langsung, dampak psikologis dapat dialami korban lebih lama hingga seumur hidupnya.

Bentuk-bentuk kekerasan psikologis pada anak, diantaranya; (1) kekerasan verbal yang merendahkan seperti memaki, mencaci, membentak, atau mengejek secara berulang, (2) penolakan emosional seperti mengabaikan kebutuhan kasih sayang, atau menunjukkan ketidakinginan memiliki anak, (3) ancaman dan intimidasi dapat terjadi dengan menakut-nakuti anak dengan kekerasan atau hukuman ekstrem, (4) pengucilan atau isolasi sosial yaitu melarang anak berinteraksi dengan orang lain, (5) ekspektasi tidak realistis seperti menekan anak secara berlebihan agar mencapai target yang tak sesuai usia.

3. Kekerasan seksual

Kekerasan seksual pada anak adalah segala bentuk aktivitas seksual yang dipaksakan, dimanipulasi, atau dilakukan terhadap anak, baik secara fisik maupun non-fisik, tanpa persetujuan dan di luar kapasitas pemahaman anak. Menurut WHO, kekerasan seksual pada anak termasuk “setiap aktivitas seksual yang melibatkan anak, dengan atau tanpa kontak fisik, oleh orang dewasa atau remaja yang lebih tua.”

Bentuk-bentuk kekerasan seksual pada anak;

a. Kontak Fisik Langsung, seperti pemerkosaan atau percobaan pemerkosaan, perabaan bagian tubuh secara seksual, memaksa anak untuk meraba tubuh pelaku.

b. Tanpa Kontak Fisiks, seperti memperlihatkan materi pornografi kepada anak, voyeurisme (mengintip anak mandi/telanjang), ekshibisionisme (memperlihatkan alat kelamin), mengajak atau memaksa anak berpose atau direkam secara seksual.

c. Eksploitasi Online, seperti grooming (perkenalan untuk menjebak anak secara seksual melalui internet), penyebaran gambar atau video seksual anak (child pornography), dan sextortion (pemerasan berbasis konten seksual).

4. Kekerasan sosial

Kekerasan sosial pada anak adalah bentuk kekerasan yang terjadi akibat penolakan, pengucilan, diskriminasi, atau pelecehan yang dilakukan oleh lingkungan sosial, seperti teman sebaya, keluarga, sekolah, atau masyarakat. 

Bentuk-bentuk kekerasan sosial pada Anak, (1) Perundungan (bullying) seperti pengucilan dari kelompok bermain, mengolok-olok fisik, nama, agama, atau status sosial, menyebarkan rumor atau fitnah di sekolah/online, (2) diskriminasi, seperti anak tidak diperlakukan adil karena agama, ras, gender, disabilitas, atau latar belakang ekonomi, (3) penolakan Sosial, seperti tidak diajak bermain, tidak dianggap dalam kegiatan kelompok, dihindari oleh guru atau orang dewasa lain, (4) kekerasan Berbasis Gender seperto anak laki-laki/feminin atau anak perempuan maskulin diolok karena tidak sesuai stereotip gender, penolakan terhadap anak-anak dari kelompok LGBTQ

5. Kekerasan ekonomi

Kekerasan ekonomi pada anak adalah tindakan yang membatasi atau mengeksploitasi anak secara ekonomi hingga mengganggu hak-hak dasar mereka untuk hidup layak, berkembang, dan mengakses pendidikan, kesehatan, atau kebutuhan dasar lainnya.

Menurut KPAI dan UU No. 35 Tahun 2014: Kekerasan ekonomi dapat terjadi saat anak dimanfaatkan untuk bekerja atau mencari uang, atau tidak diberi akses terhadap kebutuhan dasar meski orang tua/penanggung jawab mampu.

Bentuk-bentuk kekerasan ekonomi pada anak adalah, (1) Eksploitasi ekonomi seperti memaksa anak bekerja di usia dini untuk membantu ekonomi keluarga, menjadikan anak sebagai pengemis, pengamen, pedagang asongan, atau pekerja rumahan, memperkerjakan anak di sektor berbahaya, (2) penelantaran ekonomi seperti tidak memberikan uang untuk kebutuhan sekolah, makanan, atau pakaian meski mampu, mengabaikan tanggung jawab ekonomi terhadap anak setelah perceraian, (3) kontrol ekonomi berlebihan seperti anak dimanipulasi secara finansial atau dipaksa menyerahkan penghasilan dan mencegah anak mengakses pendidikan karena dianggap tidak menghasilkan.

Selasa, 10 Juni 2025

Cara Berkomunikasi Dengan Anak

Memperlakukan anak tidak semudah yang kita kira. Kadang orang tua kurang tepat dalam meletakkan sikap dan perilakunya kepada anak. Kenapa demikian? karena setiap masa tumbuh kembang anak membutuhkan sikap dan perlakuan yang berbeda. Misalnya ketika anak beranjak remaja maka cara orang tua dalam memperlakukan anak juga harus berubah. Ketika anak masih kecil, orang tua yang mengerjakan semua hal, namun saat anak mendekati usia remaja, mereka harus diberi kesempatan untuk mengerjakan tugas-tugas mereka sendiri. Hal ini dapat berpengaruh terhadap perkembangan pemikiran anak, sekaligus sebagai pendidikan mereka untuk menjadi anak yang mandiri.

Orang tua juga harus menjelaskan kepada anak hal-hal yang baik maupun hal-hal yang buruk. Orang tua juga bertanggungjawab untuk mendidik dan menanamkan kemandirian kepada anak. Untuk membentuk anak menjadi orang dewasa yang bertanggungjawab, maka anak harus mendapatkan pengetahuan dan wawasan tentang nilai-nilai hidup. Di dalam diri anak juga perlu ditanamkan kemampuan memotivasi diri, kemampuan untuk memanfaatkan waktu dengan baik, penanaman nilai-nilai positif, kemampuan untuk berinteraksi dengan orang lain, dan lain sebagainya. Sehingga orang tua tetap harus menjalin komunikasi yang baik dengan anak.

Jalinan komunikasi antara anak dan orang tua sering mendapat kendala, terutama ketika anak mulai remaja. Pada fase ini anak lebih percaya kepada orang lain, seperti teman dan guru daripada orang tua. Saat anak mulai dewasa, ia mulai mengembangkan rasa diri dan identitas pribadi. Identitas ego akan selalu berubah karena pengalaman dan informasi baru yang diperoleh dari interaksinya setiap hari dengan orang lain. Pada saat ini peran orang tua lebih bersikap sebagai konsultan dan memberikan berbagai pilihan beserta konsekuensinya. Oleh karena itu komunikasi antara orang tua dengan anak harus berjalan dengan baik. Terdapat beberapa hal yang dapat dilakukan orang tua untuk menjalin komunikasi dengan anak, yaitu:

1. Memilih waktu yang tepat, yaitu saat anak dalam suasana hati yang baik

Berkomunikasi secara serius dengan anak harus pada saat yang tepat. Hal ini dapat dilakukan saat kondisi hati anak senang dan tidak stres, sebelum tidur, saat beraktifitas bersama, saat makan bersama, saat mereka tertarik untuk berbicara, dan saat anak butuh bantuan dan dukungan emosional.

2. Mendengarkan anak

Mendengarkan anak dengan baik adalah kunci dalam membangun hubungan yang kuat dan saling percaya. Mendengarkan anak dapat dilakukan dengan perhatian penuh dan penuh empati. Berikan kesempatan kepada anak untuk berbicara dan berikan respon dengan cepat.

3. Berbicara dengan bahasa yang sesuai

Berbicara dengan anak menggunakan bahasa yang sesuai melibatkan penggunaan kalimat sederhana, jelas, dan positif, serta menghindari bahasa bayi dan kata-kata negatif. Penting juga untuk memberikan perhatian penuh, mendengarkan dengan seksama, dan memberikan respons positif terhadap upaya anak dalam berbicara. 

4. Menghindari respon yang berlebihan

Menghindari respon berlebihan saat berbicara dengan anak dapat membantu membangun komunikasi yang lebih efektif dan sehat. Ini berarti tidak terlalu emosional atau berlebihan dalam merespon apa yang dikatakan anak, tetapi tetap memberikan dukungan dan perhatian.

Menghindari respon berlebihan dapat dilakukan dengan mendengarkan dengan seksama yaitu memberikan perhatian penuh pada apa yang dikatakan anak dan coba pahami maksudnya, menggunakan bahasa yang sederhana dengan menghindari bahasa yang rumit atau teknis yang mungkin tidak dipahami anak, memberikan respon yang positif dan mendukung dengan menunjukkan bahwa anak didengarkan dan dihargai, misalnya dengan tersenyum, mengangguk, atau memberikan pujian.

Tidak terlalu emosional juga penting untuk menciptakan respon yang tidak berlebihan yaitu dengan menghindari berteriak atau menunjukkan rasa cemas berlebihan saat anak bercerita. Berikutnya memberi kesempatan anak untuk berbicara dengan cara tidak memotong pembicaraan anak dan biarkan mereka menyelesaikan apa yang ingin mereka sampaikan. Fokus pada apa yang dikatakan anak dan tidak terburu-buru untuk memberikan nasihat atau solusi, tetapi biarkan anak menyampaikan apa yang mereka pikirkan dan rasakan.

menggunakan bahasa tubuh yang positif dengan menatap mata anak dengan hangat, tersenyum, dan tunjukkan bahwa Anda mendengarkan dengan penuh perhatian. Memberikan contoh perilaku yang baik. Saat menegur anak, berikan contoh perilaku yang lebih baik daripada hanya mengatakan "jangan" atau "tidak".

Jika anak berbicara kasar atau kurang sopan, jangan bereaksi berlebihan sampaikan dengan tenang bahwa perilaku itu tidak baik dan berikan penjelasan dengan bahasa yang sederhana. Jika anak mengalami kesulitan berbicara, jangan memaksa mereka dengan memberikan stimulasi yang positif dan bantu mereka untuk berbicara dengan cara yang lebih nyaman

5. Tetap tegas tanpa amarah

Tegas dan marah kadang kala terlihat sama. Namun kedua hal tersebut sebenarnya sagat berbeda. Sikap tegas adalah sikap yang menunjukkan ketegasan berdasarkan alasan yang logis, dengan mempertimbangkan akibatnya. Adapun marah lebih pada emosi negatif yang muncul karena tidak suka atau jengkel dan bersifat spontan tanpa memperhitungkan akibatnya.

Dalam menjalin komunikasi dengan anak, hendaknya orang tua bersikap tegas, dan tidak plin-plan. Terlebih menyangkut keputusan-keputusan yang berkaitan dengan anak. Orang tua yang tegas dan kosisten dengan apa yang diucapkan maupun yang diputuskan dapat meneguhkan hati anak untuk mengikuti dan menaatinya.

6. Menghargai perbedaan pendapat

Menghargai pendapat anak berarti menerima dan mendengarkan dengan serius apa yang mereka katakan, meskipun mungkin berbeda dengan pendapat kita. Ini penting untuk membangun kepercayaan, meningkatkan kemampuan komunikasi, dan membantu anak merasa dihargai.