Rakyat miskin tak boleh sekolah. Seakan-akan kalimat itu menjadi wahyu seperti kitab suci yang tak bisa ganggu gugat. siapa bilang! kami Aliansi Masyarakat Miskin Malang (AMMM) menyekolahkan sebanyak 24 anak dengan perincian diterima di SMKN 4, 7 anak diterima di SMKN 2, sebanyak 6 anak diterima di SMKN 3 dengan biaya hanya Rp 300 ribu untuk membeli seragam. dengan kata lain mereka bebas uang SBPP dan uang SPP sampai tamat nanti.
selama tiga tahun terakhir, semenjak program Back to school, pada tahun 2009 lalu, tiap tahun kami rutin mengadvokasi rakyat termarjinalkan yang terkendala biaya sekolah. seperti tahun-tahun sebelumnya, kita selalu membuka pos pengaduan pendidikan pada musim pendaftaran siswa baru. dan al hasil, tahun ini kami sudah menerima sebanyak 94 pengaduan dari masyarakat miskin tentang mahalnya pendidikan di kota Malang.dan mulai tahun ini ada 7 anak dari warga kurang mampu yang mengikuti SNMPT/SPMB PTAIN bilamana mereka lolos dalam ujian tersebut kita akan siap pasang badang menggratiskan biaya kuliah mereka.
sebenarnya terdapat celah-celah hukum yang bisa kita gunakan untuk membongkar kalimat "rakyat miskin tak boleh sekolah". karena tentang pendidikan sudah diatur dalam peraturan pemerintah dan Undang-undang seperti dalam PP Nomor 66 Tahun 2011 tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan, terutama pada Pasal 53 A terkait batas minimal 20 persen bagi siswa yang tidak mampu dan berprestasi, "Satuan pendidikan menengah atau satuan pendidikan tinggi yang diselenggarakan oleh pemerintah atau pemerintah daerah wajib mengalokasikan tempat bagi calon peserta didik yang kurang mampu secara ekonomi paling sedikit 20 % dari jumlah keseluruhan peserta didik baru". kemudian PP Nomor 57 Tahun 2008 tentang Wajib Belajar 9 Tahun dan PP 48 Tahun 2008 tentang Pendanaan Pendidikan.
kalau kita merujuk pada pasal-pasal di atas, maka kita dapati bahwa kalangan tidak mampu terbuka lebar untuk mengenyam pendidikan hingga universitas negeri. lantas kenapa fakta di lapangan saat ini masih terjadi biaya sekolah tinggi dan tertutup bagi warga miskin. hal itu terjadi karena diantaranya penyimpangan pada peraturan turunan, semisal yang kita jumpai dalam kasus di malang, yang mana dalam perwali no 27 tahun 2011 yang mengatur besaran SBPP dan SPP tiap-tiap sekolah. dalam SBPP SMA sederajat misalnya, berkisar antara 2.000.000 hingga 3.000.000. Hal tersebut tentu bertentangan dengan PP 48 tahun 2008 bahwa untuk satuan pendiikan wajib belajar 9 tahun menjadi tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah. Artinya meskipun tidak mempunyai duit, pendidikan 9 tahun menjadi tanggung jawab pemerintah, yaitu dengan cara digratiskan.
faktor lain dari muncunya pungutan liar (pungutan yang tidak didasari peraturan dan undnag-undang) adalah oknum-oknum pihak sekolah. banyak sekolahan yang membuat kebijakan penarikan biaya SBPP dengan alasan otonomi. ada juga pihak sekolah berdalih bahwa penarikan uang itu berdasar pada kesepakatan wali siswa yang diperantarai oleh Komite Sekolah. Busyet!!! Padahal menentukan besaran biaya bukanlah wewenang komite sekolah.
untuk membongkar kebusukan lembaga-lembaga pendidikan, harus diadakan advokasi dan pendampingan secara serius oleh orang-orang yang peduli dengan pedidikan dan kemajuan bangsa ke depan. Tidak perlu banyak-banyak, tiga orang saja cukup untuk memporandakan kecurangan-kecurangan yg terjadi dlm lembaga pndidikan.
"jangan sampai ada anak putus sekolah hanya karena biaya", itulah kalimat yang selalu diucapkan Amrulloh ketua AMMM dalam setiap kesempatan dialognya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar