Toga-toga kami lempar ke atas. Berputar-putar melayang di angkasa. Kami teriakkan bersama, ”Horeee...”. Usai sudah empat
tahun kami jejaki sudut-sudut kampus ini. Mulai terbit pagi hingga petang
datang. Mulai diskusi, kencan, dan demo berhari-hari. Semua bahagia.
”Bit, kapan mudik?”. seorang teman menggepak pundakku.
Aku tersentak.
”Oh,
aku, mungkin beberapa hari lagi”.
”Mengapa
tergesa pulang? Mau ngapain di rumah?“.
”Yah,
sambil menunggu rencana, aku pulang saja“. Aku berpura-pura. Sebenarnya rencana
besar sudah mendarah daging di tubuhku.
”Trus,
bagaimana denganmu?“.
”Aku mau
bergabung di restoran bulekku. Kebetulan di sini bulek punya tiga restoran. Nah,
salah satunya aku pegang nanti. Sarjana sastra kan bisa ngapain aja. Jadi
sastrawan, kritikusnya, konglomerat, sampai tukang parkir, sah-sah saja.
Hahaha....”. kita tertawa riang.
Percakapan siang itu masih terbayang dalam benakku. Bagaimana seorang itu
setelah dewasa mencari jalan hidupnya. Seperti ada kanal-kanal lajur kehidupan
yang memang tak dapat kita memilih lagi. Dan Ririn, kemarin ia sudah didampingi
calon suaminya, habis kuliah langsung nikah. Mungkin itulah yang sering
digunjing orang-orang tua, ”Buat apa anak putri kuliah, paling-paling setelah
kuliah juga nikah, ngurus keluarga! Habis sudah.”, sehingga sepanjang sejarah
tak pernah ada gadis desaku yang kuliah.
Aku
sendiri memahami, kampungku membutuhkan sarjana seperti aku ini. Kampungku
memang kampungan. Kualitas dan kuantitasnya sungguh terbelakang. Coba
bayangkan, sepanjang sejarah, hanya aku yang sampai di ruang perkuliahan.
Itupun karena beasiswa orang tidak mampu, bukan biaya sendiri. Anak-anak gadis
paling tinggi lulus SMP, setelah itu dikawinkan. Dan juga anak laki-laki
sampai SMA, itupun setelah tamat kembali ke sawah atau mengembangbiakkan
ternak. Hanya di situlah ujung-ujung mimpi mereka.
Aku
sekarang ini bisa, bagaimana mengelola pemuda dengan potensi besar mereka. Pemuda. Ya, pemuda. Teman-teman seusiaku dan pemuda-pemuda kampungku akan
kugerakkan mereka. Akan aku bakar semangat mereka. Akan aku tularkan semua
yang kudapat selama kuliah. Beberapa buku yang mudah dibaca sudah aku siapkan
dengan menyisihkan sebagian uang saku. Tentang tata desa, motifasi,
pengembangan diri, dan ketrampilan home
indurstri lainnya. Aku
tinggal mengumpulkan teman-temanku dengan membentuk kelompok kreatif.
Aku tak
habis membayangkan, betapa gembiranya mereka nanti. Aku akan membawa angin
sejuk dunia intelektual untuk perubahan mereka, perubahan kampung kami.
Terlebih lagi Hadi, Rukani, Romadhon dan Robi'an yang dulu semangatnya
terpangkas kemelaratannya, pasti akan bisa tumbuh kembali. Selain itu ada juga
bapak Bimo, guru sejarah yang dulu selalu membangkitkan semangat kami untuk
belajar dan terus belajar. Bisa saja nanti pak Bimo sebagai pembimbing kita.
Rem
kereta berderit-derit. Kereta berhenti. Peluit petugas stasiun melengking ke
setiap celah cendela kereta. Hanya lima orang terhuyung-huyung menuruni kereta
itu. Salah satunya aku.
Suasana
begitu sepi, tidak seperti hingar bingar kota. Di sana ada dua petugas kereta
dan satu tukang ojek yang sedang mangkal dengan joki yang terkantuk-kantuk.
Akupun segera tawar menawar harga dengannya.
Perkampungan
sudah terlihat. Tak banyak berubah. Rumah-rumah sama seperti empat tahun yang
lalu. Tetap
bergedong anyaman bambu. Dinding-dinding reyot tetap berdiri condong. Hanya
beberapa rumah yang terlihat ditembok. Saat melewati jalan satu-satunya kampung
ini, semua orang melihatku. Melambaikan tangan. Anak-anak yang dulu masih
menetek, hanya bengong terheran-heran mengapa bapak ibunya melambaikan
tangannnya kepada orang asing, pikirnya.
“Sabit! Sabit pulang!” beberapa orang berteriak dan beberapa lagi melambaikan
tangannya sebagai sambutan sederhana.
Aku
tengok kanan kiri, tak satupun kulihat batang hidung teman-teman. Yang kujumpai
hanya anak-anak kecil bermain di halaman rumah dan orang-orang lanjut usia
memamah daun suruh di lincak teras rumah. Aku heran.
Sampai
di rumah, aku disambut tangis kedua orang tuaku dan kedua adikku yang terlalu
dini mengerti tangisan mereka. Aku keluarkan dua mainan untuk adik tersayangku
itu. Senang sekali.
Setelah
beberapa menit, setelah haru biru pertemuanku dengan keluarga, aku bergegas
keluar untuk menemui teman-teman dan segera menjelaskan rencana-rencana yang
akan kami lakukan. Rumah teman-teman tidak jauh, karena kampungku hanya
sepanjang 600M jalan membentang menghubungakan antara petak sawah dengan petak
sawah lainnya.
“Pak,
Robi’an dimana?”
“Oh, nak
Sabit sudah pulang! Robi’an setahun yang lalu ke Malaysia”.
“Ke
Malaysia? Kerja apa pak? Dengan siapa?”.
“Saya
juga kurang tau pasti. Kata orang-orang bekerja di proyek bangunan” Bapak
Robi’an berkata dengan ragu. “Ia bersama Nak Romadhon”.
“Bersama
Romadhon?”
“Ya”
Aku
cemas. Aku langsung berlari menuju rumah Hadi. Tak ada
orang sama sekali. Hanya kedua adiknya bermain Dakon di pelataran rumah.
“Adik,
mas Hadinya lagi ke sawah?”
Kedua
bocah itu bengong sebentar. Bertanya-tanya siapa yang dihadapinya.
“Saya
Sabit, teman mas Hadi”
“Mas
Hadi bekerja di Surabaya” Salah satu dari mereka menjawab dengan sorot
kejujuran.
Aku
segera berlari ke rumah Rukani. Namun, sebelum sampai di rumahnya, aku bertemu
dengan Rurun, teman sekelasku juga. Ia menggendong seorang bayi, dan menenteng
anak kecil di tangan kanannya.
“Sabit!
Baru datang?”
“Ya. Ini
semua anakkmu, Run? Oh ya, temen-temen kita pada kemana?”. Aku menjawab
sekaligus bertanya penuh penasaran.
“Iya
Bit, ini anakku. Teman-teman kita banyak yang melancong ke kota. Bahkan ke luar
negeri seperti si Robi’an dan Romadhon. Juga adik-adik kelas kita sudah banyak
yang meninggalkan kampung ini”.
Aku
semakin cemas. Hatiku berdetak-detak.
“Trus,
siapa yang masih di sini?”
“Hanya
aku, Ulfa dan Rukmini. Kita sudah punya momongan semua. Endang dan Safitri
bekerja menjadi pembantu rumah tangga di Surabaya”
“Terimakasih ya, aku ke rumah pak Bimo dulu” Aku cepat berlari. Kakiku
bergetar. Hatiku tertumbuk-tumbuk.
Aku
lihat rumah pak Bimo masih seperti dulu. Cuma agak kusam. Pintunya setengah
terbuka. Lincak panjang yang sering kita pakai bermain
masih berdiri tegak di teras sebelah kanan. Kusam. Pasti sudah tidak digunakan
duduk-duduk lagi.
“Assalamu’alaikum!”
Tak ada yang menjawab. Aku langsung masuk saja. Karena saat sekolah dulu rumah
ini seperti rumahku dan juga rumah teman-teman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar