Tubuhnya masih
ceking seperti saat kami kuliah dulu. Rambutnya yang berlingkar-lingkar
sekarang tak tampak lagi karena sekarang potongan rambutnya cepak. Gaya bicara,
berjalan, dan menyeletuk, masih sama. Hanya rautnya lebih dewasa sekarang.
Jarak dua jam
dari tempat dari tempatnya bukanlah suatu hal yang berat. Namun hujan deras
barangkali cukup menguras tenaganya. Aku sendiri juga heran, di tahun ini hari
ini adalah hari pertama turun hujan. Tepat saat sahabatku datang mengunjungiku.
Ia duduk di
kursi ruang tamu. Menyruput teh hangat yang disediakan ibu. Basah rambutnya
sesekali mengalir ke dahinya. Sedang aku duduk di kursi depannya, menunggu
kabar apa yang dibawanya.
“Bagaimana
kabarmu? Kabar Yuni? Kapan kalian menikah?”
Tiba-tiba ia
memberondong pertanyaan dengan satu runtutan tema, yaitu hubunganku dengan
Yuni, gadis terdekatku yang aku kenal setahun yang lalu.
“Kabar kita
baik saja. Menikah! Haha.. Hal itu belum terpikirkan”. Aku menjawabnya ringan.
Aku tahu sekali karakter Ubik, kadang-kadang dia memancing pertanyaan dengan
pertanyaan. Artinya dia bertanya itu supaya aku ganti bertanya dengan hal yang
sama kepadanya.
“Oh ya,
bagaimana dengan kabar asmaramu?” Aku pun ganti bertanya kepadanya.
“Asmara apa?”
Nah, ia selalu
mengelak untuk menjawab langsung. Tepat sekali seperti biasanya.
“Dengan Utha
yang pernah kamu ceritakan dulu?”
“Kami hanya
sepasang sahabat. Tak lebih dari itu.” Lalu ia menghela nafas panjang.
Mengambil gelas teh, lalu meminum sedikit dan diletakkannya kembali ke atas
meja.
“Sebenarnya ada
lagi setelah itu. Aku mengenal seorang gadis baru, dan ternyata ia adalah satu
sekolahan denganku.”
“Oh ya, dimana
kalian saling kenal?”
“Di sebuah
jalan. Ya, semuanya berawal dari sebuah jalan.”
Saya membetulkan
posisi duduk saya. Bersiap mendengarkan cerita panjangnya.
“Semenjak
dikenalkan seorang teman tentang bagaimana cara bermain badminton dengan baik,
aku pun mulai menyukainya. Bermain badminton selain olah raga juga menuntut
konsentrasi tinggi. Di tengah bergeraknya seluruh organ tubuh, konsentrasi
dihadirkan untuk melemahkan musuh dengan memberi umpan bola yang sulit ditimpa
lawan.
Dengan gemarnya
bermain badminton, aku hampir setiap pagi berlatih di sebuah lapangan khusus.
Dan suatu pagi, tanpa kusangka aku melihat seorang gadis dengan anak kecil yang
menggenggam jari telunjuknya. Seketika aku hentikan permainan, dan kupandangi
ia. Aku mengaguminya. Bagaimana ia berjalan, dan bagaimana ia memperlakukan
anak itu. Dengan kasih sayangnya.
Di tengah
kekaguman, lawan mainku mengatakan bahwa dia kenal dengan gadis itu. Aku pun
bertanya tentangnya dan mencari tahu lebih banyak lagi di kemudian hari. Tanpa
kusadari benih rasa suka saat itu tumbuh kembang dengan baik dalam hatiku. Dan
aku semakin sadar bahwa perasaan suka itu tidak semata karena fisiknya saja,
namun hati dan karakternya juga. Bukankah pernyataan orang lain terhadap
seseorang itu lebih jujur?” Ia menoleh kepadaku.
“Iya. Benar.
Tepat sekali”
Lalu ia
mengambil gelas teh, dan meminumnya lagi sedikit.
“Benar, Rid.
Aku benar menyukainya. Dan menurutku rasa sukaku itu tidak main-main. Tidak
seperti dulu-dulu, kita sering menyuit-nyuiti cewek berbodi padat dan
membicarakannya dengan gurauan. Kali itu aku benar-benar merasakan rasa suka
yang sesungguhnya.”
Aku mengangguk-angguk
mengiyakan. Sambil mengenang masa-masa kuliah dulu.
“Dia beberapa
kali melewati lapangan itu, dan tentu permainanku terhenti untuk menikmati
keindahan ciptaan Tuhan itu. Hingga suatu saat aku mendapatkan nomor telfonnya,
Rid. Dan betapa gembiranya ketika aku menghubunginya, ternyata ia sudah tahu
aku sebelumnya. Aku masih ingat pada saat itu tepat tanggal 18 Oktober 2012.
Bukankah itu awal yang baik sekali. Bukankah pengenalan itu menjadi setiap awal
mula keintiman?” Ia menoleh kepadaku. Aku hanya mengangguk-angguk mengiyakan.
“Kami pun
berbincang-bincang dan dengan jarak dua minggu setelah itu aku mengajaknya
keluar ke sebuah taman. Bukankah itu perkembangan yang baik sekali, Rid. Malam
itu kami habiskan layaknya sepasang kekasih. Dengan gelora cinta baru kami
menyelami diri kami masing-masing dan menukarkannya satu sama lain. Dia
mengatakan banyak hal, dan itu sesuai dengan cerita-cerita orang dekatnya yang
sempat aku tanyai sebelumnya. Dia mengatakan banyak hal yang menurutku
seharusnya menjadi rahasianya. Dia mengatakannya dengan nyaman, Rid. Bukankah
itu tanda kepercayaannya kepadaku. Malam itu juga aku menjadi orang yang ia
percayai. Bukankah itu baik sekali, Rid?” Ia menoleh kepadaku. Dan itu memang
benar.
“Kami jalani
hari-hari berikutnya dengan mesra sekali. Ungkapan rindu, sayang, cinta, tidak
lagi bisa aku tahan, Rid. Semua kata itu begitu saja saling masuk antara
handphone kami. Itu merupakan perkembangan yang cepat. Dan kamu tahu saja, Rid,
gerimis yang sempat turun membuat suasana hati kami semakin berbunga-bunga.
Secepat itu
pula keluarganya mengenal diriku. Sepulang dari taman malam itu aku berkenalan
dengan ibunya, dan hari-hari berikutnya aku juga sempat bersilaturrahmi ke
rumahnya. Aku mengenal ayahnya, kakanya, adiknya, keponakannya, semua baik
kepadaku. Aku semakin yakin dengan keadaan ini, Rid. Bukankah menikah itu
selain mempersatukan dua manusia, juga mempersatukan dua keluarga, Rid.
Dan bulan itu,
Rid, bulan dimana ia dilahirkan di bumi kita ini. Hal itu adalah moment
terpenting setiap manusia, selain hari dimana manusia disahkan bersama
pendamping hidupnya, dan hari dimana manusia dipanggil yang Kuasa. Aku pun
mencari buku yang baik buat kado ulangtahunnya. Karena bagiku memberi buku itu
adalah sebaik-baik pemberian. Meski wujud bukunya sudah hancur lemur, namun
pengetahuan yang di dalamnya senantiasa kekal bermukim di dalam jiwanya.
Kedua kalinya
aku mengajak ia keluar ialah di taman kota Kediri. Sebenarnya setiap aku melihat
mall yang berdiri megah di tepinya, aku selalu mengutuk, karena mall itu
berdiri di atas kawasan ruang hijau. Tapi kali itu benar-benar tidak menanggapi
seonggok bangunan terkutuk itu. Apakah cinta sudah membutakan kepekaanku pada
kepedulian sosial. Aku memaklumi saja, sebagai gelora cinta baru yang menggebu.
Ketika itu, ia
menceritakan seluruh kehidupan keluarganya. Seluruh masalah yang dihadapi
keluarganya. Tanpa tedeng apa pun. ia menceritakannya dengan jiwa yang tulus.
Aku pun semakin mantap dengan kepercayaannya padaku. Aku sudah dipercaya, Rid. Dia
sudah merasa nyaman di sisiku. Bukankah itu pertanda bahwa ia juga menyukaiku,
Rid?” Ia menoleh kepadaku. Kali ini aku tidak mengangguk, tapi mencoba
membayangkannya. Bisa jadi itu hanya perasaannya yang berlebihan.
Sebulan sudah
berlalu, dan kami baik-baik saja. Akan tetapi, Rid. Setelah sebulan itu
seseorang datang ke rumahnya dan menanyakan ia. Ia tidak suka pada dasarnya.
Namun karena kemapanan hidupnya dari segi ekonomi, ibunya lebih condong ke seseorang
itu. Dan kamu tentu sudah tahu, meski jaman kini sudah modern dengan
keterbukaan, namun masih banyak pemaksaan kehendak. Sistem patriarkat masih
banyak membunuh kemerdekaan seseorang.”
Ia berhenti
sejenah, meneguk habis isi teh di dalam gelas. Aku bisa membaca kesedihan di
wajahnya. Dan aku pun tak luput dari kesedihan itu.
“Meski dia
tidak pernah mengtakan cinta padaku, tapi aku sudah tahu, kalau dia
mencintaiku.” Ia melanjutkan ceritanya. “Aku tidak menyerah, Rid, karena
menyerah itu tanda-tanda orang pengecut. Dengan lantang aku memberikan
pengertian-pengertian cinta kepadanya. Aku jelaskan dimana kedudukan harta
benda dalam kehidupan. Aku utarakan seluruh rencanaku bersamanya ke depan.
Hanya itu, Rid, yang aku mampu. Karena dari segi ekonomi aku memang masih
sebatang kara.
Kalau saja aku
mau, aku bisa menampakkan kekayaan bapakku. Tapi itu sangat pengecut sekali,
Rid. Sampai kapan pun aku tidak akan mengatakan itu hakku, kalau sesuatu itu
memang bukan hakku, meski aku bisa saja memakainya kapan dan berapa saja. Aku
tidak ingin menjadi pengecut, Rid.
Dan hari ini
juga hubunganku dan dia berakhir. Dia tidak bisa mempertahankan cintanya dalam
musyawarah keluarga. Dia tidak bisa mempertahankan cintanya, Rid. Uang memang
tidak bisa membeli cinta, tapi ia mampu menginjak-injak cinta. Terakhir ia
menghubungiku, ia mengatakan menangis semalam lantaran perbedaan ini. Saat itu
juga, aku berpura-pura tegar. Aku berpura-pura hal itu wajar, karena ia harus
bangkit lagi dan mulai membangun cinta dengan laki-laki itu. Aku tidak ingin menampakkan
kesedihan di depannya. Dan kamu tentu lebih tahu, bagaimana berpisah dengan
orang yang disayanginya, di saat cinta di puncak gelora.”
Tanpa kami
sadari hujan deras yang turun kini menjadi kilauan senja yang menawan. Kilau
senja memantul melalui pintu rumahku yang terbuka. Dari ruang tamu kami duduk tampak
bintil-bintil air hujan yang menempel di daun-daun bagai emas gemerlapan. Jalan
masih basah dengan genangan-genangan air di beberapa sisinya. Semoga saja
kegundahan Ubik layaknya genangan itu, karena sebentar lagi juga akan mengering
menjadi debu yang mudah terbang diterpa angin.
Ia pun segera
bangkit, mengambil jaketnya yang masih memal. Aku mengikutinya dan
mempersiapkan diriku juga. Kami akan menuju ke Blora, rumah sahabat kami
satunya. Barangkali semua gundah Ubik tertumpah di sana.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar