Penelitian Stilistika
Puisi “Ada Tilgram Tiba Senja” karya Ws. Rendra
Puisi “Ada Tilgram Tiba Senja” karya Ws. Rendra
BAB I
PENDAHULUAN
A. Pendahuluan
Sebelum memiliki stilistika, bahasa dan sastra
telah memiliki gaya (style). Gaya adalah segala sesuatu yang menyimpang dari
pemakaian biasa. Penyimpangan tersebut bertujuan untuk keindahan. Keindahan ini
banyak muncul dalam karya sastra, karena sastra memang sarat dengan unsur
estetik. Segala unsur estetik ini menimbulkan manipulasi bahasa, plastik
bahasa, dan kado bahasa, sehingga mampu membungkus rapi gagasan penulis.
Manipulasi tersebut dinamakan gaya bahasa. (Endaswara; 2008:71).
Gaya bahasa sastra memiliki kekhasan, karena
berbeda dengan bahasa yang digunakan sehari-hari. Disamping itu, wewenang
sastrawan untuk keluar dari kaedah bahasa (licentia poetika) membuat gaya bahasa
sastra semakin bebas membentuk karakter dirinya. Dengan adanya penggunaan
bahasa pengarang yang khas dan kadang keluar dari kaeidah konfensional, maka
penelitian tentang gaya bahasa sangat dibutuhkan guna mengetahui makna yang
ingin disampaikan oleh pengarang.
Dari segi struktur, karya sastra dapat diteliti dengan beberapa metode, seperti
semiotik yang meneliti simbol-simbol, semantik yang meneliti tentang makna, dan stilistika yang meneliti tentang gaya
bahasa. Pada dasarnya semua
penelitian karya sastra tersebut bertujuan untuk mengetahui makna karya secara
total atau mendekati total.
Menurut Muhammad (1988:17-33) penelitian
stilistika hendaknya sampai pada tingkat makna gaya bahasa sastra. Makna
tersebut ada dua hal, yaitu makna denotasi (makna lugas) dan makna konotasi
(kias). Kedua makna itu akan saling berhubungan satu sama lain. Pemaknaan
keduanya perlu memperhatikan deskripsi mental dan deskripsi fisikal gaya
bahasa. Deskripsi ini akan tampak melalui pilihan kata, yaitu ketepatan dan
kesesuaian kosa kata. Pemakaian kosa kata yang tepat tentu akan mendukung
keindahan karya sastra (Via Suwardi Endaswara; 2008:73).
Di sini penulis akan meneliti gaya bahasa puisi
“Ada Tilgram Tiba Senja” karya Ws. Rendra dengan menggunakan teori metode puisi yang dikemukakan
oleh Henry Guntur Tarigan. Puisi tersebut akan dikaji dari segi metodenya
menggunakan analisis stilistika untuk mengungkap gaya bahasa puisi. Setelah
gaya bahasa puisi diungkap, penulis akan meneliti fungsi dari gaya bahasa
tersebut sebagai pembentuk makna.
B.
Rumusan masalah
1. Bagaimana gaya bahasa metode puisi Ada Tilgram Tiba
Senja karya WS. Rendra?
C.
Tujuan penelitian
1. Mengetahui gaya bahasa metode puisi Ada Tilgram Tiba Senja
karya WS. Rendra.
D. Manfaat
Penelitian
1. Untuk mengetahui gaya
pembangun metode puisi Ada Tilgram Tiba Senja karya WS. Rendra.
E.
Metodologi penelitian
1. Obyek penelitian
Obyek yang digunakan pada penelitian sastra ini adalah puisi yang berjudul Ada Tilgram Tiba Senja karya WS. Rendra.
2. Batasan penelitian
Dalam penelitian sastra terdapat dua wilayah yang dapat diteliti. Wilayah tersebut adalah segi ekstrinsik dan intrinsik sastra. Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti wilayah intrinsik sastra, yaitu meneliti ciri teks sastra dengan pisau analisis Metode Puisi menurut Henry Guntur Tarigan.
3. Metode pengumpulan data.
Untuk pengumpulan data peneliti menggunakan data-data dalam puisi Ada Tilgram Tiba Senja yang berhubungan dan diperlukan sebagai data-data penelitian. Data-data tersebut dapat berupa kata, frasa, kalimat, bait, atau keseluruhan puisi.
4. Metode penelitian
Penelitian puisi Ada Tilgram Tiba Senja ini menggunakan penelitian perpustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan di kamar kerja peneliti atau di ruang perepustakaan dimana peneliti memperoleh data dan inforamasi tentang obyek penelitiannya lewat buku-buku atau alat-alat audio visual lainya (Semi; 1990:8).
Adapun metode kerja pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang dikaji secara empiris.
1. Obyek penelitian
Obyek yang digunakan pada penelitian sastra ini adalah puisi yang berjudul Ada Tilgram Tiba Senja karya WS. Rendra.
2. Batasan penelitian
Dalam penelitian sastra terdapat dua wilayah yang dapat diteliti. Wilayah tersebut adalah segi ekstrinsik dan intrinsik sastra. Dalam penelitian ini peneliti akan meneliti wilayah intrinsik sastra, yaitu meneliti ciri teks sastra dengan pisau analisis Metode Puisi menurut Henry Guntur Tarigan.
3. Metode pengumpulan data.
Untuk pengumpulan data peneliti menggunakan data-data dalam puisi Ada Tilgram Tiba Senja yang berhubungan dan diperlukan sebagai data-data penelitian. Data-data tersebut dapat berupa kata, frasa, kalimat, bait, atau keseluruhan puisi.
4. Metode penelitian
Penelitian puisi Ada Tilgram Tiba Senja ini menggunakan penelitian perpustakaan (library research) yaitu penelitian yang dilakukan di kamar kerja peneliti atau di ruang perepustakaan dimana peneliti memperoleh data dan inforamasi tentang obyek penelitiannya lewat buku-buku atau alat-alat audio visual lainya (Semi; 1990:8).
Adapun metode kerja pada penelitian ini menggunakan metode kualitatif yaitu mengutamakan kedalaman penghayatan terhadap interaksi antar konsep yang dikaji secara empiris.
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Stilistika
Stilistika adalah ilmu tentang gaya, sedangkan
Stil (style) secara umum adalah cara-cara yang khas, bagaimana segala sesuatu
diungkapkan dengan cara tertentu, sehingga tujuan yang dimaksudkan dapat
dicapai secara maksimal (Nyoman; 2009:3). Secara bahasa
stilistika berasal dari kata style yang berarti gaya. Penelitian stilistika
sastra maksudnya meneliti tentang gaya bahasa sastra.
Menurut Suwardi Endraswara (2008:73) penelitian
gaya bahasa dapat dilihat dari tiga aspek. Pertama, dari sudut penulis, dengan
mempelajari kedalaman penulis dalam menampilkan gaya bahasa. Kedua, dilihat
dari ciri teks sastra. Ketiga, gaya bahasa yang dihubungkan dengan kesan yang
diperoleh pembaca, dan merupakan asumsi pembaca yang mengarah ke faktor
resepsi.
Sedangkan Wellek dan
Warren menyebutkan adanya dua kemungkinan pendekatan dalam penelitian
stilistika. Pertama, dimulai dengan analisa sistematis tentang sistem
linguistik karya sastra dilanjutkan dengan interpretasi tentang ciri-cirinya
dilihat dari segi estitis untuk mengungkapkan makna secara total. Kedua,
mempelajari tentang ciri-ciri yang membedakan sistem satu dengan lainnya dengan
membandingkan keduanya. Bisa dimulai dengan mengamati deviasi-deviasi seperti
pengulangan bunyi, inversi susunan kata, susunan hirerarki klausa yang semuanya
mempunyai fungsi estetis seperti membuat penekanan dan membuat lebih jelas dan
tajam atau kebalikannya yaitu fungsi
mengaburkan dan membuat makna menjadi tidak jelas (Wellek dan Warren; 1995:226).
Adapun langkah-langkah nanalisis yang perlu
dilakukan dalam kajian stilistika adalah sebagai berikut (Endraswara; 2008:75):
1. Pertama bisa menetapkan unit analisis, misalkan beberapa bunyi, kata,
frase, kalimat, bait, dan sebagainya.
2. Dalam puisi memang analisis dapat berhubungan dengan pemakaian aliterasi,
asonansi, rima, dan variasi bunyi yang digunakan untuk mencapai efek estetika.
3. Analisis diksi memang sangat penting karena ini tergolong wilayah
kesastraan yang sangat mendukung makna dan keindahan bahasa. Kata dalam
pandangan simbolis tentu akan memuat lapis-lapis makna. Kata akan memberikan
efek tertentu dan menggerakkan pembaca.
4. Analisis kalimat ditekankan pada variasi pemakaian kalimat dalam setiap
kondisi.
5. Kajian makna bahasa juga perlu mendapat tekanan tersendiri. Kajian makna
hendaknya sampai pada tingkat majas, yaitu sebuah figuratif language yang
memiliki makna bermacam-macam.
Dari paparan tersebut dapat disimpulkan bahwa
kajian stilistika hendaknya sampai pada dua hal, yaitu makna dan fungsi. Makna
dicari dengan penafsiran untuk mengetahui totalitas makna karya sastra,
sedangkan fungsi dicari dengan meneliti fungsi stilistika dalam membangun
karya. Penggunaan kata-kata dirancang oleh pengarang secara sengaja maupun
tanpa sengaja untuk menimbulkan efek komunikasi sastra.
B. Metode Puisi Henry
Guntur Tarigan
Henry Guntur Tarigan (1991:28) mengutip Morris
membagi metode puisi menjadi lima. Yaitu (1) Diksi, (2) imaji, (3) kata nyata,
(4) majas, (5) ritme dan ritma.
1. Diksi.
Diksi berarti pilihan kata. Daya pikir untuk
membayangkan atau menciptakan gambar kejadian berdasarkan kenyataan atau
pengalaman seseorang. Pilihan kata dalam puisi sangat penting sekali, karena
hal ini dapat mencerminkan ruang, waktu, falsafah, amanah, efek, dan nada puisi
dengan tepat. Pemilihan kata tersebut dapat berupa kata-kata denotatif dan
dapat berupa kata-kata konotatif. Kata denotatif adalah kata yang memiliki
makna sebenarnya, sedangkan kata konotatif adalah kata kiasan.
2. Imaji
Imaji adalah daya bayang. Imaji dalam puisi
bertujuan untuk membawa pembaca supaya membaca merasakan apa yang dirasaikan
penyair yang dituangkan dalam sebuah puisi. Untuk membawa daya bayang pembaca
kepada apa yang dirasakan penyair, penyair harus pandai memilih kata-kata yang
tepat untuk memperkuat daya bayang pikiran pembaca.
3. Kata nyata
Kata nyata adalah kata yang kongkrit dan khusus,
bukan kata yang abstrak dan bersifat umum. Pemilihan kata nyata sangat membantu
penyair menyampaikan tujuan puisinya. Puisi tentang amarah akan lebih kongkret
dan bisa membawa pembaca merasakan apa yang diinginkan oleh penyair jika
pemilihan kata nyatanya kuat. Seperti kata membuncah, amarah, bedebah, benci,
dan lain sebagainya.
4. Majas
Majas adalah kata kiasan. Dengan kata kiasan atau majas,
penyair akan lebih mudah menjelaskan sesuatu kepada pembaca. Yaitu dengan
persamaan, perbandingan, maupun kata-kaya kias lainnya. Kiasan juga menjelaskan
hal-hal yang bersifat abstrak menjadi kongkrit.
5. Ritme dan rima
Ritme adalah irama. Dalam kepustakaan Indonesia
ritme atau irama adalah turun naiknya suara secara teratur. Sedangkan rima atau
sanjak adalah pengulangan bunyi yang berselang, baik di dalam lirik sajak,
maupun pada akhir larik sajak yang berdekatan. Ritme dan rima sebuah puisi erat
sekali hubungannya dengan rasa, suara, dan makna.
Ada beberapa jenis rima antara lain menurut
posisinya yaitu rima awal dan rima akhir. Menurut susunannya rima juga dibagi
menjadi rima berangkai, rima berselang, rima berpeluk.
BAB III
PEMBAHASAN
Penelitian puisi Ada Tilgram Tiba Senja karya WS
Rendra ini akan dianalisis dengan analisis stilistika dikaji secara beruntut
bait perbait dengan pisau analisis metode puisi yang dikemukakan oleh Henry
Guntur Tarigan.
Seperti yang sudah dikemukakan di depan, bahwa penelitian stilistika mempunyai dua tujuan, yaitu meneliti gaya bahasa kemudian dari gaya bahasa itu dilanjutkan dengan meneliti fungsinya sebagai pembangun makna dalam karya sastra. Demikian dengan penelitian ini, akan diteliti terlebih dahulu gaya bahasa puisi yang kemudian diteliti fungsi gaya tersebut dalam pembentukan makna.
(1)
(Ada tilgram
tiba senja
Dari pusar
kota yang gila
Disemat di
dada bunda)
Pada bait pertama, kata senja bisa menjadi denotasi dan konotasi. Sebagai denotasi ketika tilgram atau kabar yang datang benar-benar di waktu senja. Sedang sebagai konotasi, jika kata senja tersebut menjadi makna hari tua bagi sang ibu. Pemilihan kata senja membawa imaji pembaca bahwa kabar tersebut tiba setelah penantian lama.
Pusar kota, sebagai tempat berasalnya tilgram merupakan metafor. Pusar cekungan di tengah dinding perut bekas tali pusar dimanfaatkan oleh penyair untuk mengungkapkan tengah-tengat kota atau pusat kota. Kata gila untuk menyifati pusat kota juga merupakan metafor. Gila mencerminkan keruwetan dan carut marutnya kehidupan kota. Setelah kabar tersebut datang lalu disemat di dada bunda. Disemat berarti ditempel. Pemilihan kata semat menggambarkan betapa kabar tersebut benar-benar dirindukan ibu dan membuatnya bahagia.
Dari bait pertama kita dapati kata-kata nyata yaitu senja, pusar dan semat. Kata-kata tersebut sekaligus menjadi majas yang mengukuhkan kedalaman makna. Rima akhir yang berupa huruf vokal “a” menjadikan ringan diucapkan dan membawa kesan yang riang. Seperti pada yang bertulis miring di bawah.
Pada bait pertama, kata senja bisa menjadi denotasi dan konotasi. Sebagai denotasi ketika tilgram atau kabar yang datang benar-benar di waktu senja. Sedang sebagai konotasi, jika kata senja tersebut menjadi makna hari tua bagi sang ibu. Pemilihan kata senja membawa imaji pembaca bahwa kabar tersebut tiba setelah penantian lama.
Pusar kota, sebagai tempat berasalnya tilgram merupakan metafor. Pusar cekungan di tengah dinding perut bekas tali pusar dimanfaatkan oleh penyair untuk mengungkapkan tengah-tengat kota atau pusat kota. Kata gila untuk menyifati pusat kota juga merupakan metafor. Gila mencerminkan keruwetan dan carut marutnya kehidupan kota. Setelah kabar tersebut datang lalu disemat di dada bunda. Disemat berarti ditempel. Pemilihan kata semat menggambarkan betapa kabar tersebut benar-benar dirindukan ibu dan membuatnya bahagia.
Dari bait pertama kita dapati kata-kata nyata yaitu senja, pusar dan semat. Kata-kata tersebut sekaligus menjadi majas yang mengukuhkan kedalaman makna. Rima akhir yang berupa huruf vokal “a” menjadikan ringan diucapkan dan membawa kesan yang riang. Seperti pada yang bertulis miring di bawah.
(Ada tilgram
tiba senja
Dari pusar kota
yang gila
Disemat di dada
bunda)
(2)
(Bunda, letihku tandas ke tulang
Anakda kembali pulang)
Pada bait kedua, Point of view (sudut pandang) beralih ke anak. Pada bait pertama pencerita adalah “dia”, sedangkan pada bait kedua pencerita berganti menjadi si Anak, yaitu sebagai isi telegram yang tiba. Kata letih, tandas dan tulang merupakan kata nyata. Tandas ke tulang merupakan metafor yang berarti lelah sekali sekali. Letih tandas ke tulang membawa imajinasi pembaca pada kehidupan yang melelahkan, dan alasan tersebutlah yang membuat si anak akan pulang. Pada baris pertama bait ke dua kita dapati rima awal, yaitu pada yang tertulis miring “Bunda, letihku tandas ke tulang”.
Pada bait kedua, Point of view (sudut pandang) beralih ke anak. Pada bait pertama pencerita adalah “dia”, sedangkan pada bait kedua pencerita berganti menjadi si Anak, yaitu sebagai isi telegram yang tiba. Kata letih, tandas dan tulang merupakan kata nyata. Tandas ke tulang merupakan metafor yang berarti lelah sekali sekali. Letih tandas ke tulang membawa imajinasi pembaca pada kehidupan yang melelahkan, dan alasan tersebutlah yang membuat si anak akan pulang. Pada baris pertama bait ke dua kita dapati rima awal, yaitu pada yang tertulis miring “Bunda, letihku tandas ke tulang”.
(3)
Kapuk randu!
Kapuk randu!
Selembut
tudung jenawan
Kuncup-kuncup
di hatiku
Pada
mengembang bermekaran.
Konstruksi pantun dipakai penyair pada bait ketiga. Dua baris pertama sebagai sampiran, dan dua baris terakhir sebagai isi. Dan seperti bentuk pantun yang konvensional yaitu berima abab. Kuncup dihati yang bermekaran merupakan kalimat metafor, sebagai makna sesungguhnya yaitu kebahagiaan yang besar. Kata kuncup sebenarnya identik dengan bakal bunga. Di sini penyair memanfaatkan kuncup bunga yang mulai mekar karena berkembang sebagai sebuah hati yang kedatangan kebahagiaan. Dari segi subjek, pada bait ketiga beralih kepada yang berbahagia, yaitu ibu. Dengan pulangnya anak yang sedang mengembara, maka ibu menjadi bahagia. Adanya tanda kurung pada bait satu dan dua, saya mengindikasikan dua bait tersebut menjadi latar belakang dari puisi ini, karena pada bait-bait selanjutnya yang menjadi subjek puisi secara konsisten adalah ibu.
Konstruksi pantun dipakai penyair pada bait ketiga. Dua baris pertama sebagai sampiran, dan dua baris terakhir sebagai isi. Dan seperti bentuk pantun yang konvensional yaitu berima abab. Kuncup dihati yang bermekaran merupakan kalimat metafor, sebagai makna sesungguhnya yaitu kebahagiaan yang besar. Kata kuncup sebenarnya identik dengan bakal bunga. Di sini penyair memanfaatkan kuncup bunga yang mulai mekar karena berkembang sebagai sebuah hati yang kedatangan kebahagiaan. Dari segi subjek, pada bait ketiga beralih kepada yang berbahagia, yaitu ibu. Dengan pulangnya anak yang sedang mengembara, maka ibu menjadi bahagia. Adanya tanda kurung pada bait satu dan dua, saya mengindikasikan dua bait tersebut menjadi latar belakang dari puisi ini, karena pada bait-bait selanjutnya yang menjadi subjek puisi secara konsisten adalah ibu.
(4)
Dulu ketika
pamit mengembara
Kuberi ia
kuda bapanya
Berwarna sawo
muda
Cepat larinya
Jauh
perginya.
Pemilihan kata mengembara dan kuda merupakan kata nyata. Mengembara berkuda akan mencitrakan makna pengembaraan ke daerah yang sangat jauh dan bisa menempuh daerah-daerah yang sulit pun. Pada bait keempat terdapat pengulangan susunan hireraki klausa sebab akibat yang diagramatik. “Cepat larinya/ Jauh perginya”, klausa ke dua sebagai akibat dari klausa pertama, jika cepat perginya, maka besar kemungkinan jauh perginya juga. Setelah ibu berbahagia pada bait ketiga, pada bait keempat tema pembicaraan beralih ke nostalgia masa lalu. Hal tersebut wajar, karena seseorang ketika kedatangan kebahagiaan dengan sebuah perjumaan, maka ia akan teringat saat-saat perpisahan yang mengharukan.
Pemilihan kata mengembara dan kuda merupakan kata nyata. Mengembara berkuda akan mencitrakan makna pengembaraan ke daerah yang sangat jauh dan bisa menempuh daerah-daerah yang sulit pun. Pada bait keempat terdapat pengulangan susunan hireraki klausa sebab akibat yang diagramatik. “Cepat larinya/ Jauh perginya”, klausa ke dua sebagai akibat dari klausa pertama, jika cepat perginya, maka besar kemungkinan jauh perginya juga. Setelah ibu berbahagia pada bait ketiga, pada bait keempat tema pembicaraan beralih ke nostalgia masa lalu. Hal tersebut wajar, karena seseorang ketika kedatangan kebahagiaan dengan sebuah perjumaan, maka ia akan teringat saat-saat perpisahan yang mengharukan.
(5)
Dulu masanya
rontok asam jawa
Untuk apa
kurontokkan airmata
Cepat larinya
Jauh
perginya.
Pada bait kelima, ada inversi atau pembalikan letak kata pada “Dulu masanya rontok asam jawa” yang seharusnya dulu masanya asam jawa rontok”. Hal itu mencerminkan tekanan pada kata rontok yang diletakkan di muka kalimat yang diterangkannya sebagai kiasan rontoknya air mata yang berarti jatuhnya air mata pada baris setelahnya. Pengulangan susunan hirerarki klausa sebab akibat yang diagramatik juga terjadi pada dua baris terakhir. Setelah ibu berpisah dengan anak, yang memeakai kuda bapanya, maka tak terelakkan kesedihan merundungnya.
Pada bait kelima, ada inversi atau pembalikan letak kata pada “Dulu masanya rontok asam jawa” yang seharusnya dulu masanya asam jawa rontok”. Hal itu mencerminkan tekanan pada kata rontok yang diletakkan di muka kalimat yang diterangkannya sebagai kiasan rontoknya air mata yang berarti jatuhnya air mata pada baris setelahnya. Pengulangan susunan hirerarki klausa sebab akibat yang diagramatik juga terjadi pada dua baris terakhir. Setelah ibu berpisah dengan anak, yang memeakai kuda bapanya, maka tak terelakkan kesedihan merundungnya.
(6)
Lelaki yang
kuat biarlah menuruti darahnya
Menghujam ke
rimba dan pusar kota
Lelaki, kuat, darah, hujam, rimba, dan pusar merupakan kata nyata. Pemilihan kata-kata tersebut mendukung makna yang mengarah pada seorang lelaki. Menuruti darah adalah kalimat metonimi. Darah berarti hati, tempat dimana keinginan timbul dan muncul. Begitu juga menghujam, berarti menancap. Hal itu membawa imaji pembaca akan kekuatan si lelaki saat berkelana di rimba maupun di kota. Setelah kesedihan melanda ibu, ia mencoba melipur hatinya dengan mengembalikan pada sifat tabiat lelaki, yaitu mengembara. Dengan mengembalikan setiap sesuatu pada sifat asalnya, maka kerelaan akan lebih mudah dibangun.
Lelaki, kuat, darah, hujam, rimba, dan pusar merupakan kata nyata. Pemilihan kata-kata tersebut mendukung makna yang mengarah pada seorang lelaki. Menuruti darah adalah kalimat metonimi. Darah berarti hati, tempat dimana keinginan timbul dan muncul. Begitu juga menghujam, berarti menancap. Hal itu membawa imaji pembaca akan kekuatan si lelaki saat berkelana di rimba maupun di kota. Setelah kesedihan melanda ibu, ia mencoba melipur hatinya dengan mengembalikan pada sifat tabiat lelaki, yaitu mengembara. Dengan mengembalikan setiap sesuatu pada sifat asalnya, maka kerelaan akan lebih mudah dibangun.
(7)
Tinggal bunda
di rumah menepuki dada
Melepas hari
tua, melepas do’a-do’a
Cepat larinya
Jauh
perginya.
Pada
bait ke tujuh, kata nyata kita dapati
pada menepuk dan melepas. Menepuki dada merupakan majas. Dimaksudkan makna
sesungguhnya yaitu berusaha mengikhaskan kepergian putranya. Pada baris kedua terdapat
pengulangan pola susunan kalimat, “melepas hari tua/melepas do’a-doa” itu membawa
imaji pembaca bahwa benar-benar dihabiskannya usia di rumah dan selama itu bunda
selalu berdo’a untuk anaknya yang sedang mengembara. Rima akhir “a” masih
mewarnai pada bait ke tujuh begitu juga pengulangan klausa sebab akibat yang
diagramatik pada dua baris terakhir seperti bait-bait sebelumnya.
(8)
Elang yang
gugur tergeletak
Elang yang
gugur terebah
Satu harapku
pada anak
Ingat ‘kan
pulang ‘pabila lelah.
Konstruksi pantun digunakan
lagi oleh penyair pada bait kedelapan. Namun demikian dua sampiran di atas
masih mempunyai korelasi dengan dua baris isi. Elang yang gugur tergeletak dan
terebah mempunyai korelasi dengan kelelahan si anak. Setelah anak tersebut
lelah yang bagai elang yang gugur tergeletak dan terebah, ibu berharap ia ingat
akan pulang. Kata tergeletak dan terebah menggiring imaji pembaca untuk
merasakan kelemahan dan ketidakberdayaan, dan hal itu untuk mendukung kata
lelah yang disandarkan pada anak yang mengembara. Setelah lama berpisah,
kerinduan akan perjumpaan dengan kepulangan anak ke rumah tak terelakkan lagi.
(9)
Kecilnya dulu
meremasi susuku
Kini letih
pulang ke ibu
Hatiku
tersedu
Hatiku
tersedu.
Rima akhir “u” membawa
kesan mengharukan. Dan sebagaimana pada bait-bait sebelumnya, pengulangan
kalimat membentuk irama dan membentuk kekuatan makna. Di saat anak akan pulang
ibu pun teringat dengan masa lalu, masa saat anaknya kecil dulu.
(10)
Bunga randu!
Bunga randu!
Anakku lanang
kembali kupangku.
Pada
bait ke sepuluh pola pantun juga
digunakan oleh penyair. Satu baris pertama sebagai sampiran dan satu baris
berikutnya menjadi isi. Pengulangan klausa “bunga
randu!” pada sampiran dimaksudkan untuk membangun irama bahagia saat anak bunda kembali
pulang. Selain itu penggunaan kata jawa “lanang” pada kalimat “Anakku lanang”
memberikan kesan kasih sayang kepada anak lelakinya. Anakku lanang lebih
mengandung unsur kasih sayang dari pada kata anakku lelaki.
(11)
Darah, oh,
darah
Ia pun lelah
Dan mengerti
artinya rumah
Kata darah untuk menyebut
anaknya yang diucapkan oleh seorang ibu membawa makna kedekatan dan keeratan,
sebagaimana sebutan untuk anak kandung dengan kata darah daging. kalau kita
baca pengulangan kata darah pada baris pertama bagai menimang nimang seorang
bayi. Di sinilah si penyair memanfaatkan nada sebagai penguat makna, betapa ibu
mempunyai kasih sayang kepada anaknya.
(12)
Rumah mungil
berjendela dua
Serta bunga
di bendulnya
Bukankah itu
mesra?
Bait ke dua belas
merupakan deskripsi dari rumah pada bait sebelumnya. Rima akhir “a” membawa
suasanya ceria dan bahagia. Rumah mungil berjendela dua menjadi mesra tatkala
anak lelaki datang dari petualangan.
(13)
Ada podang
pulang ke sarang
Tembangnya
panjang berulang-ulang
-pulang ya
pulang, hai petualang!
Tekanan bunyi paduan
antara suara vokal “a” dengan bunyi-bunyi suara sengau “ng” menjadi rima akhir
“ang” pada bait ke tiga belas membentuk nada riang dan bahagia saat diucapkan. Kalimat
podang pulang ke sarang sebagai majas seorang laki-laki yang pulang ke rumah.
Dengan pulangnya anak ke rumah, maka diliputi kebahagiaan yang oleh pengarang
diungkapkan dengan tembang panjang yang berulang-ulang.
(14)
Ketapang.
Ketapang yang kembang
Berumpun di
dekat perigi tua
Anakku
datang, anakku pulang
Kembali
kucium, kembali kuriba.
Pada
bait terakhir, pola pantun digunakan
lagi oleh penyair. Dua baris atas merupakan sampiran dan dua baris ke dua
merupakan isi. Terdapat pula pengulangan-pengulangan
yang dimaksudkan memberi tekanan pada arti, selain sebagai pembentuk irama pada
puisi. Seperti “Ketapang. Ketapang yang kembang” juga “Anakku
datang/anakku pulang” serta “kembali kucium/kembali kuriba”. Pengulangan-pengulangan struktur kalimat membawa
nada dan irama berdendang. Terjadi susunan kalimat yang diagramatik pada
“Anakku datang/anakku pulang” dan “Kembali kucium/kembali kurima”, dan di sini
terdapat paralelisme semantik.
Dari bait ke bait, secara semantik memiliki logika beruntut, yang menurut
Kris Budiman mengikuti logika metodologis ilmu sosial. Yaitu bait pertama yang
berisi latar puisi, bait ke dua berisi telegram yang tiba, yang mana sebagai
titik pokok terjadinya keseluruhan puisi. Kemudian bait kedua menjadi alasan
bait ketiga, yaitu datangnya bahagia. Dilanjutkan ke bait ke empat setelah
bahagia karena perjumpaan, ibu teringat masa lalu saat-saat perpisahan. Pada
bait ke lima pendeskripsian tentang kesedihan ibu. Kemudian bait ke enam,
pelipuran lara atas kesediahn ibu. Akhirnya pada bait ketujuh ibu hanya bisa
pasrah dengan tetap tinggal di rumah dan selalu berdoa untuk anaknya. Setelah
ditinggal lama, muncul bait ke sembilan sebagai harapan kepulangan anak. Dan pada
bait ke sepuluh, akhirnya harapan itu terwujud dengan pulangnya anak kepada
ibu. Maka ibu pun mengembalikan sifat tabiat seseorang ketika lelah pasti akan
pulang, pada bait ke sebelas. Pada bait ke dua belas ungkapan kebahagiaan yang
berimbas pada pentingnya sebuah rumah yang akan ditinggali bersama anaknya
lagi. Pada bait ke tiga belas, kebahagiaan ibu muncul lagi sebagai reaksi
kepulangan anak. Dan ditutup oleh bait ke empat belas, yang merupakan
kesimpulan dari puisi yaitu kepulangan anak yang membawa kebahagiaan pada ibu.
Dari alur logika makna puisi tersebut, bisa kita ketahui bahwa puisi “Ada
Tilgram Tiba senja” adalah sebuah cerita panjang. Dan hal tersebut senada
dengan para kritikus sastra yang mengatakan bahwa rendra adalah seorang penyair
kalimat, sebagai bandingan penyair kata yang didominasi oleh karya-karya
Chairil Anwar, Sutardji Chalzoum Bachri, dan lainnya.
BAB IV
KESIMPULAN
Dari kajian gaya bahasa di atas, dapat disimpulkan:
1. Diksi
Pemilihan kata pada puisi “Ada Tilgram Tiba Senja”
sangat erat dengan makna yang ingin diusungnya. Misalnya kata-kata yang
disandarkan pada lelaki, yaitu darah, menghujam, elang, mengemabara, kuda, dari
segi makna dan nada menyuguhkan kesah gagah dan kuat. Sedangkan kata-kata yang
disandarkan pada sebuah kebahagiaan, kuncup, mekar, kembang, ketapang, berumpun,
dari segi nada mudah dan ringan diucapkan, dan dari segi makna riang gembira. Pemilihan
kata metafor juga banyak dijumpai pada puisi tersebut.
2. Kata Nyata
Kata nyata adalah
kata yang khusus dan kongkret. Kata nyata pada puisi “Ada Tilgram Tiba Senja”
diantaranya, semat, senja, darah, lelah,
tergeletak, rebah, rontok, dan sebagainya. Pemilihan kata nyata pada puisi
tersebut memang dapat menggiring imaji pembaca ke pemaknaan yang khusus dan
tidak abstrak.
3. Majas
Penyair banyak
menggunakan majas metafor. Darah untuk menyebut lelaki, kuncup yang kembang
sebagai ungkapan kebahagiaan, dan banyak lainnya.
4. Imaji
Puisi tersebut
membawa imaji pembaca pada suatu keadaan bahagia, disertai ingatan-ingatan masa
lalu pemilihan kata yang tepat, majas maupun kata nyata sangat efektif untuk
membawa imaji pembaca pada apa yang ingin disampaikan penyair.
5. Ritme dan Rima
Penyair memanfaatkan
beberapa sajak untuk menciptakan ritme dan rima. Seperti perpaduan suara vokal “a”
dengan suara sengau “ng” untuk mencitrakan keriangan dan keceriaan. Kemudian konsonan
h, k, t, m, mencitrakan berat dan gundah. Seperti pada ”Lelaki yang kuat/biarlah menuruti darahnya/Menghujam ke rimba dan pusar kota”. Pola
pantun yang digunakan penyair dalam puisinya juga membentuk nada dendang yang
erta sekali dengan rasa bahagia. Puisi tersebut juga banyak
menggunakan pengulangan kata untuk memberikan tekanan pada ide atau ungkapan
yang ingin ditonjolkan penyair. Selain sebagai penguat kalimat-kalimat
tertentu, pengulangan kata juga difungsikan sebagai penyelaras irama puisi
sehingga jika dibaca akan memercikkan irama yang teratur.
Demikianlah gaya bahasa puisi Ada
Tilgram Tiba Senja yang ditangkap penulis. Dan tentu masih banyak kekurangan
dan pengkajiannya, maka perlu diperbaiki dengan penelitian selanjutnya yang
lebih mendalam.
DAFTAR PUSTAKA
Atar Semi, Metode penelitian Sastra, cet. 10 (Bandung: ANGKASA, 1990)
Nyoman Kutha Ratna, Stilistika, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009)
Nyoman Kutha Ratna, Stilistika, (Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2009)
Rene Wellek & Austin Warren (terjemahan), Teori Kesusastraan, (PT
Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1995)
Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Sastra, (cet IV. Media
Pressindo, Jogjakarta, 2008)
Nb. Tulisan ini sudah diolah lagi secara serius dan diterbitkan dalam jurnal penelitian ilmiah, bisa didownload di sini, setelah membuka halaman tersebut klik Full Text: PDF (BAHASA INDONESIA).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar