Dihisapnya
rokok dalam-dalam, lalu dihembuskan pelan-pelan. Asap lembut keluar dari
mulutnya berurutan. Lalu dipandanginya pisang goreng, tahu isi, tape goreng,
dan rentengan berbagai kerupuk yang tersaji di depannya.
Tak
lama kemudian datang satu orang. Ia tak beralas kaki. Titik-titik keringat di
kening dan lengannya berkilauan, menandakan bahwa ia baru saja menjalani
pekerjaan yang melelahkan. Bau langu getah kayu membubung dari orang itu. Dan
di pundaknya terdapat serpihan-serpihan kulit kayu. Tanpa ragu ia mengambil
pisang goreng dan langsung menggigitnya. Kemudian dengan suara serak ia
berucap, “es teh satu, bu”. Lalu dikunyahnya lagi pisang itu dengan kuat.
Seakan-akan ia sudah menahan rasa lapar dalam beberapa waktu.
Sarpan
masih menghisap lagi rokoknya, sambil sesekali menyeruput kopi hitam di
depannya. Lalu dipandanginya ibu penjaga kedai yang sibuk dengan gelas, gula,
teh, dan air panas dalam termos. Dengan cepat ia mengaduk teh dalam gelas, dan
dengan cepat pula ia menyajikannya pada kuli kayu itu.
Beberapa
saat kemudian datang dua orang. Dua orang tersebut duduk di sampingnya. Kedua
kakinya belepotan tanah liat. Sudah tentu yang dua orang ini adalah petani. Di
tengah hari ini mereka menghindari terik matahari dengan menggelontorkan
minuman dan beberapa jajanan di kedai.
Semua
itu hanya sedikit pengalih kegundahan Sarpan siang itu. Pikirannya kembali lagi
pada persoalan pada dirinya. Lalu ia mulai membanding-bandingkan dirinya dengan
orang-orang tersebut. Apakah mereka juga mengalami apa yang dialaminya. Ah
tentu tidak, pikirnya. Dilihat dari wajahnya, petani dan tukang kayu itu lebih
ceria darinya, meskipun ia bersepatu dan berbaju masuk, namun mereka lebih
ceria dibanding dirinya.
Barangkali
kuli kayu dan petani itu penghasilannya tidaklah seberapa, namun beban yang
ditanggungnya juga tidak banyak. Orang-orang seperti mereka lebih nerimo dengan
apa yang dipunyainya. Menerima dengan apa yang diperolehnya membuat mereka
bahagia. Kemudian Sarpan melihat dirinya sendiri. Meskipun penghasilannya lebih
banyak dari orang-orang yang duduk di sampingnya, namun ia terpuruk saat ini.
Dulu,
waktu ia masih lajang, ia memegang prinsip bahwa jika ia menikah kelak, ia akan
memilih gadis yang benar-benar dicintainya. “Lha kita kan menikahi gadisnya,
bukan hartanya, kan?” Begitu ucapnya kepada teman-temannya yang mengutamakan
kekayaan calon mertuanya. “Lha kita kan menikahi orangnya, bukan mertuanya atau
neneknya kan?” begitu ucapnya kepada teman-teman yang mengutamakan keturunan
calon istri. “Lha kita menikahi ceweknya kan, bukan menikahi pangkat atau
pekerjaannya?”, begitu ia berucap kepada teman-temannya yang mengutamakan karir
calon istri.
Sarpan
begitu yakin bahwa cinta yang murni akan memandang yang dicintainya saja, tak
lain. Tidak memandang apa yang menghiasinya bahkan apa yang ada di sekitarnya.
Karena menurutnya jika masih memandang hal-hal di luar apa yang dicintai, maka
cintanya bukan lagi murni, namun imitasi.
Waktu
masih mengaji di madrasah dulu kyainya pernah bilang bahwa ada sebuah hadist
yang mengatakan bahwa dalam memilih istri itu ada empat pertimbangan yang sangat prinsip. Pertama kecantikannya, kedua nasabnya, ketiga kekayaannya, dan keempat akhlak dan agamanya. Namun dari keempat itu, jika akhlak dan agama kurang, maka yang lainnya menjadi tidak baik. Dari hal itu bisa dipahami bahwa ada
pertimbangan-pertimbangan di luar dari yang dicintai, namun itu tidaklah yang
utama. Karena tetap akhlak baik yang menjadi utama, sedang akhlak baik tentu
suatu hal yang ada dalam sesorang yang dicintai. Prinsip itu ia pegang erat
hingga pada saat ia menentukan pendamping hidupnya.
Dan
benar saja ketika ia menentukan pilihan, maka yang menjadi patokan utama ialah
seorang yang dipinangnya. Ia menutup mata terhadap kondisi keluarga calon
istrinya, juga saudara-saudaranya. Ketika ia mengetahui yang akan dijadikan
istri adalah orang yang baik, maka dia langsung menentukan pilihan. Ia sudah
mendapatkan cinta yang murni, pikirnya saat itu.
Pesta
pernikahan Sarpan diselenggarakan cukup meriah. Tamu-tamu banyak yang
berdatangan memberikan doa dan ucapan selamat. Ia bahagia, duduk berdua di
pelaminan dengan seseorang yang dicintainya secara murni. Maka Sarpan sudah tak
sabar untuk menyampaikan rencana panjang yang sudah matang kepada istrinya.
Rencana itu tentang rintisan keluarga yang bahagia.
Dengan
berjalannya waktu, Sarpan semakin yakin bahwa ia tidak salah memilih istrinya.
Ia kenal betul dengan karakter istrinya, dan memang karakter seperti itu yang
diinginkannya. Maka ia segera menyampaikan rencana besar mengenai arah
keluarganya. Meliputi merintis ekonomi dan menentukan pendidikan anaknya kelak.
Namun
sayang sekali, rencana itu tidak bertahan lama. Pada sebuah malam, ketika ia
berkunjung di rumah mertuanya, istrinya dipanggil oleh ayah ibunya, didudukkan
di ruang tamu. Sedang Sarpan pada saat itu barada di kamar.
“Dulu
acara resepsi pernikahanmu, sebenarnya memakai uang dari bank”. Ibu berkata
terus terang. “Kami meminjam dari bank sebanyak tiga puluh juta. Uang itu
diangsur selama dua tahun, jadi satu bulan sekitar 1,7 juta”. Perkataan ibu
diperkeras, seakan supaya nyaringnya terdengar hingga di telinga Sarpan.
Istri
Sarpan hanya terdiam.
“Kami
sudah mengangsurnya selama delapan kali. Dan merasa keberatan. Kamu tahu
sendiri kan, pendapatan keluarga kita tidaklah seberapa. Saya bermaksud untuk
meminta bantuan kalian melunasi hutang kita”. Begitulah akhir pembicaraan malam
itu. Istri Sarpan mengiyakan permintaan ibunya, dan tentu ia akan bermusyawarah
dulu dengan Sarpan.
Sejak
saat itu, rencana yang sudah berjalan menjadi kacau. Tabungan Sarpan semakin
bulan tidaklah bertambah, melainkan terus berkurang untuk menutupi biaya hidupnya.
Penghasilannya sebagai pegawai honorer pemerintah memang cukup untuk hidup
berdua dan masih bisa menyisakan uang untuk tabungan. Namun, semenjak membantu
mertuanya melunasi hutang, keadaan ekonominya menjadi kacau.
Hal
itu terus berlarut hingga istrinya hamil dan melahirkan. Kebutuhan yang lebih
banyak, menjadikan tabungannya kini habis terkuras. Bahkan untuk membeli
keperluan sehari-hari ia sempat beberapakali kesulitan karena kondisi keuangan
yang jelek.
Di
saat titik jenuh keuangan melanda, ia memberanikan diri menanyakan mas kawin
yang digunakan sebagai mahar menikah dulu. Sarpan berniat ingin meminjamnya.
Dan ia sungguh kaget ketika istrinya mengatakan bahwa mas kawin yang ia terima
sudah habis dipakai ibunya. Dan yang lebih membuat terkejut, uang mas kawin itu
sebenarnya sudah disimpan di lemari kamar isrtinya di rumahnya. Lalu entah
bagaimana ibu istrinya mengetahui uang itu, mengambilnya dan membelanjakannya.
Baru setelah beberapa waktu mertuanya bilang kepada istrinya tentang uang itu.
sejak itu di benak Sarpan mulai tumbuh pikiran negatif tentang keluarga
istrinya.
Ia
mulai merasa gelisah. Bagaimanapun mertua adalah sama dengan orang tuanya
sendiri. Menghormatinya, mematuhinya, tentu tak berbeda dengan mematuhi orang
tua sendiri. Namun yang menyesakkan dada jika beberapa tanggung jawab yang
seharusnya dilaksanakan oleh mertua, lalu dilimpahkan kepada menantunya.
Bisakah hal itu disebut sebagai pemerasan. Ah bodoh sekali, bagaimana mungkin
orang tua bisa disebut memeras anaknya. Bukankah diri dan harta anak itu milik
orang tua. Sungguh persoalan yang pelik.
Persoalan
ini dipikirnya hanya sendiri saja. Istrinya tidak mungkin diajak berembuk untuk
mencari solusinya. Karena selain yang bersangkutan adalah ayah ibunya, istrinya
juga masih lugu dan polos. Bisa jadi ia berangggapan positif terhadap diri
Sarpan. Hal itu dilihat dari persoalan ketika uang mas kawinnya diambil ibunya
tanpa izin, lalu dibelanjakan, namun istrinya hanya diam dan mempermasalahkan.
Juga
tidak mungkin persoalan ini disampaikan kepada orang tua Sarpan. Hal itu bisa
menumbuhkan pikiran negatif dalam diri orang tuanya tentang besannya. Dan kalau
sudah tumbuh pikiran negatif maka hubungan antara dua keluarga sudah bisa
dipastikan tidak bisa harmonis. Dan Sarpan sangat khawatir jika hal itu
terjadi, karena bisa memecah silaturrahmi yang sudah terjalin.
Kini
keluarga Sarpan tidak seharmonis dulu. Sering terjadi pertengkaran antara ia
dan istrinya. Pertengkaran itu lah jauh dari masalah keuangan keluarga. Si
kecil yang lucu tentu membutuhkan seabrek perlengkapan dan keperluan tumbuh
kembangnya. Namun Sarpan tetap tidak berterus terang bahwa salah satu faktor
memburuknya keuangan karena persoalan hutang. Hal itu akan menyakiti hati
istrinya.
Diam-diam
ia menyetujui apa yang dulu dikatakan temannya, yang mana ditolak mentah-mentah
olehnya pada saat itu. “Cita-citaku adalah mencari istri anak konglomerat. Biar
setelah menikah aku tak perlu capek-capek cari kerja. Karena sudah tersedia
lapangan pekerjaan yang menjanjikan. Makanya sekarang aku bersungguh-sungguh
mendalami ilmu manajemen, ya untuk mempersiapkan itu”.
Atau
perkataan temannya yang lain, “Bagaimanapun juga mertua itu turut menentukan
karir kita. Mertua yang banyak kenalan, banyak mitra kerja, akan mengarahkan
kita dalam karir dan pekerjaan. Bisa jadi menempatkan kita di pekerjaan yang
baik”.
Kini
Sarpan menyadari bahwa mencari istri itu hakikatnya adalah satu paket beserta
keluarganya. Bagaimanapun kedudukan keluarga istri adalah sama dengan
keluarganya sendiri. Maka baik dan buruknya, bahagia dan sedihnya, menantu
turut merasakannya.
Ia
tersadar dari lamunannya. Dua petani dan kuli kayu sudah tak ada di sampingnya.
Barangkali mereka ke kedai ini memang karena hanya ingin rehat sejenak,
melepaskan beban kecil di pundaknya. Bukan seperti dirinya, yang mendamaikan
hati yang sedang terbebani dengan tumpukan persoalan.
Dihisapnya
rokok dalam-dalam, lalu dihembuskan pelan-pelan. Asap lembut keluar dari
mulutnya berurutan. Lalu dipandanginya pisang goreng, tahu isi, tape goreng,
dan rentengan berbagai kerupuk yang tersaji di depannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar