Setiap perjalanan menyisakan
kenangan yang unik dan berbeda. Begitu juga dengan perjalanan saya dan Agus
Subekti ke Jogjakarta pada tanggal 25 Desember 2012 lalu. Sebuah perjalanan
yang saya anggap terlalu berani karena menggunakan Vespa Rambo saya, yaitu
Vespa modifikasi ekstrem berbentuk ceper dan panjang sekitar 2 meter.
Vespa tersebut saya beli dari Mbah
Singo, penghulu kelompok Sekuter Peteng (Sepet) Trenggalek. Saya membelinya
sekitar dua tahun yang lalu, dan selama itu belum pernah sama sekali saya
menyervis mesin. Beberapa kali ke bengkel hanya memperbaiki kaki-kaki supaya
nyaman dinaiki. Vespa itu sudah saya bawa ke Malang
beberapa kali, sudah saya bawa ke Mojokerto, ke Nganjuk. Semua perjalanan
tersebut lancar, tanpa mengalami ngadat maupun mogok di jalan. Hanya dulu waktu
oli yang saya gunakan masih oli bekas, jadi sering membersihkan busi di mesinnya.
Tanggal 25 ke Jogjakarta tidak
dengan tanpa maksud. Saya sendiri dalam rangka mengantarkan vespa Rambo ke
calon pemilik barunya, di daerah Kotagede Jogjakarta. Vespa sudah di DP satu
juta sejak sebelum tanggal 20. Dan Bekti ingin menghadiri resepsi pernikahan
temannya di daerah perbatasan Solo-Sragen. Dua tujuan satu jalan, itulah yang
membuat kami sepakat untuk ke kota budaya Ngayogjokarto.
Saya berangkat dari rumah jam
sembilan malam. Kondisi yang dingin, memaksa saya membelit leher saya dengan
sorban. Knalpot besar yang berdiri miring di samping kiri menyembulkan bunyi
“dong.. dong..” dan memantul-mantul di keheningan malam. Setelah mengucapkan
mantra doa, saya mulai menarik penali gas dengan mantap. Perjalanan pun dimulai
beserta lika-likunya.
Perjalanan saya lakukan dengan
santai sekali, sekitar 60 km perjam. Demikian karena listrik yang dihasilkan
spool dalam mesin melebihi kebutuhan, sehingga jika digas melebihi kecepatan
itu dop (bola lampu) akan putus karena tegangan arus listrik yang dihasilkan
terlalu besar. Menjalani perjalanan tengah malam sendirian dengan kecepatan
bentor (becak motor) sungguh membosankan. Akhirnya setelah sampai pasar mangga
Banyakan Kediri saya tak sabar lagi, penali gas saya tarik lagi, dan vespa pun
melaju lebih kencang.
Setelah itu nyala lampu terang
setengah putih dan tidak putus. Kondisi tersebut saya pertahankan dan
perjalanan mulai menyenangkan. Menyalip truk-truk besar berkelok ke kanan, ke
kiri di tengah malam vespaku meraung-raung sendiri. Namun sampai daerah Geringging,
“pet” jalan di depan benar-benar gelap. Lampu depan belakang mati total. Hedeh
perjalanan terhenti sejenak. Aku periksa, dop benar-benar putus. Putus sudah
harapan untuk mendapatkan penerangan. Tengah malam, mana ada toko dop buka.
Saya pun melanjutkan perjalanan
dengan pelan sekali. Setiap ada kendaraan dari belakang, saya sedikit menepi.
Tak lama kemudian dari arah belakang ada truk tronton tangki pemasok bensin.
Truk tersebut berlaju kencang karena tangkinya sedang kosong. Saya tidak menyia-nyiakan
kesempatan itu. Penali vespa saya tarik kuat-kuat untuk mengejar truk tersebut.
Saya secara teratur membuntuti truk besar itu di belakangnya. Dengan seperti
itu saya bisa mendapatkan jalan tanpa lampu.
Sesampai di tikungan pasar Pace
Nganjuk, saya harus belok ke kanan. Sedang truk bensin terus menuju kota
Nganjuk. Jalanan yang sebagian besar pesawahan itu saya lalui tanpa lampu.
Nasib memang memihak ke saya, pantulan cahaya rembulan purnama membuat
benda-benda di sekitar jalan memantulkan bayangan. Dengan demikian saya tetap
bisa menjaga laju tetap pada jalan meski tanpa lampu.
Sesampai Nganjuk saya bertemu Bekti
dan bermalam di sana. Keesokan harinya, jam 06.30 kami meluncur menjauhi
matahari. Daerah Solo perbatasan Sragen adalah tujuan pertama, lalu ke Kotagede
rumah Mas Hery Syukur yang mau membeli Vespa yang kami tunggangi tersebut.
Perjalanan di pagi sangat
menyenangkan. Mentari dari arah timur seperti lampu yang super besar, menerangi
segala keindahan di hadapan kami. Caruban, Madiun, dan Ngawi seperti tak
terasa. Saat pukul sepuluh, kami berhenti sejenak melepas penat di tengah
kawasan hutan Ngawi. Di samping jembatan kami teguk air mineral, dan Bekti
menghisap beberapa glintir rokok.
Berpose di perbatasan Madiaun-Ngawi.
Istirahat di kawasan hijau.
Seusai beristirahat, kami lanjutkan
perjalanan. Pemandangan yang serba hijau membuat perjalanan sungguh
menyenangkan. Truk-truk tronton bermuatan berat yang merengkek-rengkek
menyusuri jalan tanjakan aku dahului satu persatu. Vespa yang rendah dengan
tanah membuat tinggi mata sejajar dengan roda truk-truk besar itu.
Pukul tiga sore kami menuju tujuan pertama yaitu menghadiri pernikahan temannya
Bekti, di daerah perbatasan Solo Sragen. Meski ia belum pernah ke rumahnya,
namun alamat yang kami tuju sudah jelas. Jadi kami tidak sampai kehilangan
arah. Dan kami pun segera sampai.
Sesampai di rumah teman kami, ada
satu hal yang menarik yang membuat saya bertanya-tanya sejak masuk rumah tersebut.
Selama masih mengobrol sama bapak pemilik rumah tanda tanya besar itu masih
saya pendam. Nah, ketika temannya Bekti sudah datang dan kami mulai mengobrol,
saya langsung bertanya tentang hal yang membuat saya penasaran tersebut.
Adalah satu huruf jawa berbunyi “Ja”
tertulis di atas gawang rumah, sebagai pemisah antara ruang tamu dan ruang
keluarga. Huruf tersebut ditulis dengan cat berwarna hijau dihiasi dengan dua
ornamen di kanan kirinya. Saya yakin bahwa tulisan tersebut bukan sekedar
coretan, namun ditulis dengan sengaja dan dengan maksud tertentu.
Huruf Jawa, "Ja".
Dan tepat sekali dugaan saya. Setelah
saya tanyakan ke mas Kaffin, nama teman Bekti, dia menjawab bahwa tulisan “Ja”
tersebut sebagai pengeling-eling dalam bahasa jawanya. Maksudnya adalah sebagai
pengingat. “Ja” dalam bahasa jawa adalah “aja” artinya jangan. Maksudnya, lek
kepingin diregani wong, ja sombong. Lek kepingin sugeh, ja males kerja. Lek
kepingin pinter, ja males maca buku. Lek kepingin entuk pacar, ja males golek.
Dalam bahasa Indonesianya, kalau kamu ingin dihargai orang lain jangan sombong, kalau ingin kaya, jangan malas
bekerja. Kalau ingin pandai, jangan malas membaca buku, dan seterusnya.
Sebuah cara yang ampuh untuk selalu
mengingatkan kepada kebaikan. Ditulis di atas pintu yang mana setiap saat
dilalui saat masuk rumah dan mau tidak mau pasti terbaca. Satu kata “ja” atau
jangan, ternyata bisa mempunyai makna yang tak cukup diuraikan ke dalam
berjilid-jilid buku pun. Luar biasa.
Seusai kami bersilaturrahmi, kami
melanjutkan perjalanan berikutnya, menuju kota
Ngayogjokarto. Hari sudah mulai petang, dan Vespa belum ada lampunya
sama sekali. Kami segera hunting toko lampu, sebelum gelap dan semua toko sperpart
motor tutup. Dari toko ke toko, tak ada lampu yang cocok, sampai kami menemukan
toko besar yang hampir saja tutup karena tinggal sedikit pintu yang terbuka.
Saya langsung nyelonong masuk dan membeli dop buat ganti lampu vespa yang mati
kemarin malam. Walhasil, dari toko setengah tutup tersebut saya mendapat dop
lampu.
Karena jalan lumayan terang, kami
tunda memasang lampu ke Vespa. Karena jika dop sudah terpasang kami tak bisa
melaju dengan kencang, khawatir dop lampu akan putus lagi. Namun selang
beberapa kilo kami berhenti di tukang tambal ban, dan meminjam kunci engkol
serta obeng guna memasang dop tersebut. Saya baru menyadari pentingnya
peratalan perbengkelan saat mengendarai Vespa, dan saya tidak membawa peralatan
sama sekali kecuali kunci busi, karena peralatan tertinggal di Vespa saya
satunya. Terlalu berani dan nekad menurut saya.
Senja di barat yang kuning kemerahan
kami nikmati dengan laju vespa yang lamban. Luasnya jalan Kklaten Jogja dan
keramainnya sungguh menambah keceriaan senja di sore itu. Semua kendaraan
menyalakan lampunya, dan jalanan semakin tampak ramai olehnya. Tak lama
kemudian perut Bekti berbunyi, itu tandanya minta diisi. Kami pun bertengger di
angkringan dekat candi Prambanan, untuk menikmati khas Jogja Sego Kucing dan
teh pahitnya.
Rambo dengan background Angkringan.
Jembatan layang Janti kemudian
musium pelukis ekspresionis Affandi, merupakan dua tempat yang paling saya
ingat sebagai tanda saya benar-benar sudah sampai Jogjakarta. Sesampai di
Jogja, saya langsung menuju ke takmir masjid Program Pascasarjana Universitas
Islam Indonesia, tak lain adalah menuju sahabat saya Riza Multazam Luthfi.
Tanpa kabar-kabar kami langsung menuju ke kamarnya, dan ia tentu kaget sejenak
dengan kedatangan kami.
Dengan kedatangan kami, Riza
langsung sibuk dengan urusan dapur dan tetek bengeknya. Ia mempersiapkan makan
malam dengan menu andalannya, sayur bening dan mie rebus. Dua kali saya
mengunjunginya, dua kali kami disambut dengan menu yang sama. Jangan-jangan
memang setiap hari sayur itu dan mie.
Reza terkejut saat saya dengan tiba-tiba masuk lorong kamarnya.
Mie dan sayur siap mengisi perut malam.
Setelah perut kami penuh dengan
sayur mayur dan mie masakan takmir masjid, saya menemui mas Hery Syukur yang
akan membeli Vespa Rambo saya itu. Pertemuan kami lakukan di halaman masjid,
lantaran rumah mas Hery sedang ada pengajian keagamaan. Setelah ia melihat
vespa saya, dan sempat mencobanya, beliau sepakat untuk membeli. Namun, karena
ada kesalahfahaman tentang surat-surat Vespa, beliau membatalkan pembelian
dengan memberikan seluruh DP satu juta itu ke saya. Akad jual beli pun dibatalkan
dengan sama-sama ikhlas dan rela hati.
Dengan dibatalkannya pembelian
Vespa, muncul masalah baru. Rencana kami untuk kembali ke Nganjuk malam itu
juga, kami urungkan, karena vespa tidak jadi diambil calon pemilik barunya.
Akhirnya saya dan Bekti bermalam di tempat Riza tersebut. Meski satu kasur kami
gunakan berempat, tidur terasa pulas. Oh Jogja.
Pagi harinya setelah sarapan, kami
berpamitan pulang dengan jalan-jalan ke Malioboro terlebih dahulu sekedar ambil
foto menandakan bahwa Vespa Rambo sudah pernah memijak jantung Jogja tersebut.
Setelah berfoto-foto kami sempatkan menemui dua saudara dari ponorogo di warkop
Mato. Berharap ada yang mau membeli vespa dan kami bisa pulang naik bis. Namun
usaha itu sia-sia karena waktu mengharuskan kami segera kembali ke Nganjuk.
Berpose sebelum pulang.
Km nol Malioboro.
Kami pun segera berangkat menuju
matahari terbit untuk segera sampai Nganjuk. Sebelum laju vespa kami galak,
saya putus kabel yang menyambung ke lampu, sehingga melaju dengan kecepatan
berapa pun arus listrik yang menuju lampu terputus. Perjalanan pulang itu
adalah titik puncak kecepatan vespa. Saya tak peduli vespa saya rontok di
jalan, saya tarik penali gas sekencang-kencangnya selama kondisi jalan
memungkinkan.
Hasilnya luar biasa. Perjalanan yang
kami mulai pukul 08.00 pagi pada jam dua kami sudah memasuki kawasan Caruban.
Waktu tempuh tersebut terpotong di hutan Ngawi saat kami melakukan ritual makan
siang di sebuah kedai. Masih saya ingat setiap di pemberhentian, Bekti yang
duduk di belakang selalu berdiri dan memijit-mijit bokongnya. Katanya ngilu
rasanya. Pernah dia mencoba duduk di depan mengendalikan Rambo, namun
tersendat-sendat lantaran silang lima kopling yang ada dalam mesin Vespa sudah
aus dan waktunya menggantinya.
Ketika mulai masuk hutan Caruban,
tiba-tiba mesin Rambo meletus-letus dan berhenti. Setelah aku coba dengan
perbaikan yang saya bisa, ia tetap tak mau hidup lagi. Kategangan mulai
terjadi. Selama yang pernah saya lakukan adalah bepergian dengan Vespa PX
Ekslusif yang pengapiannya menggunakan sisten CDI. Dan selama itu pula saya
tidak pernah mengalami kendala serius. Sedangkan sistem pengapian Rambo adalah
platina. Masih sangat asing bagi saya.
Hape saya mati, memaksa saya untuk
cari pinjaman charger di konter terdekat untuk menghubungi kawan-kawan
sekoteris dan minta bantuan mereka. Setelah hape saya hidup dengan bantuan
batrey pinjaman, saya sempatkan mencatat beberapa nomor, dan menghubunginya
lewat hapenya Bekti. Namun semua kawan-kawan lagi di luar kota. Akhirnya saya
cari bengkel terdekat.
Orangnya tua, rumahnya sederhana.
Beliaulah yang nantinya akan berusaha memperbaiki vespa saya. Mulai jam tujuh,
hingga jam setengah dua belas malam, beliau berusaha memperbaiki dengan jalan
pintas, karena alat yang mati yaitu kondensator yang menghubungkan kumparan
spul dan koil. Alat itu hanya bisa didapatkan di toko, sedangkan pada malam
hari mana ada toko sparepart motor buka.
Memperbaiki kondensator.
Pertama kalinya memanjakan Vespa.
Hingga akhirnya, beliau menyerah. Solusi
terakhir adalah kami menghadang mobil pick up yang melintas ke arah Nganjuk. Pick
up pertama yang kami hadang hanya sampai daerah Guyangan, yaitu daerah sebelum
kota Nganjuk. Kamipun tidak jadi menumpang. Pick up kedua kami hadang, ia akan
menuju kota Kediri. Dengan negoisasi singkat, kesepakatan pun terjadi. Pick up
tersebut mengangkut Rambo hingga desa Kapas, Sukomoro, Nganjuk dengan ongkos Rp.
50.000. Itulah akhir perjalanan kami, dan untuk pertama
kalinya saya memanjakan vespa dengan menaikkannya ke mobil Pick up. Selamat malam bapak tua, terima
kasih telah merawat Rambo meski sementara. Jasamu akan selalu kukenang. Maka kupandangi
lama bentuk rumahmu, dan kelak akan aku cari-cari ketika melintasi jalan ini. Perjalanan
kamipun berlanjut, hingga larut.
***
Rambo tersebut akhirnya terjual
beberapa minggu sebelum saya menikah. Dengan bandrol harga Rp. 3.100.000. Dari
uang tersebut saya bisa membeli cincin pertunangan, mas kawin, dan serba-serbi
pernikahan lainnya. Namun sayang sekali, saya tidak sempat mengisyaratkan
perpisahan dengannya. Dia dibeli orang ketika aku serviskan di sebuah bengkel
di Nganjuk. Melalui handphone, saya dan pemilik bengkel bernegoisasi. Sore itu
bernegoisasi, sore itu juga Rambo dibawa pemiliknya yang baru. Ketika saya
mengunjungi bengkel untuk mengambil uangnya, Rambo sudah tiada. Selamat tinggal
Rambo, semoga pemilik barumu lebih merawatmu. Setiap jengkal perjalanan yang
kita lalui, tak pernah hilang dari ingatan.
jadi pengen
BalasHapus