Sudah
lama saya berhenti nulis di blog ini. Sepertinya memang salah satu penyebab
utamanya adalah keinginan untuk menulis hal-hal yang “serius” mengingat
sekarang sudah memasuki lebih lima tahun dari seperempat abad umur saya. Saya
harus meninggalkan tulisan-tulisan pop dan beralih pada yang lebih serius dan
berbobot. Namun apalah daya, dengan kesibukan kerja di dua instansi membuat
saya kewalahan dalam menjalani hari-hari, hingga tak satupun tulisan dapat
terangkai selama hampir satu tahun.
Pada kesempatan ini saya akan menulis tulisan yang pantasnya saya tulis sekitar tujuh tahun lalu. Namun tak apalah saya niatkan untuk memulai bangkit lagi dalam mengisi blog yang lama vakum ini. Dan tentunya, tulisan ini saya sajikan dari peristiwa lama.
Setiap
remaja mesti ingin meraih cinta sejati yang diidam-idamkannya. Begitu juga
dengan saya remaja, bergelora dalam semangat perburuan cinta hakiki nan sejati.
Cinta, oleh pakarnya masih diperdebatkan definisinya. Saya remaja
mengartikannya sebagai kata “menyukai”, dalam bentuk kata kerja aktif. Artinya
cinta adalah aktivitas menyukai sesuatu. Nah, kata menyukai itu dalam gramatika
Arab merupakan kata kerja yang membutuhkan objek (fiil muta’adi) maka ketika
seorang mencintai maka haruslah ada yang menjadi objek dari cinta tersebut.
Saya
remaja pun juga merasakan kebutuhan akan seseorang untuk dicintai. Karena kata
kerja aktif mencintai sudah menguasai diri saya, sedang seseorang yang menjadi
objek kata tersebut belum ada. Maka mulailah langkah demi langkah saya lakukan
untuk mencari tumpuan kata kerja mencintai yang sudah menyatu dalam jiwa.
Barangkali
berbeda dari orang pada umumnya, meskipun tujuan utama saya menemukan seseorang
yang saya maksudkan itu, namun saya lebih tertarik pada proses bagaimana saya
menemukannya. Dengan demikian saya selalu memimpikan sebuah pertemuan yang
indah, agung, dan berkesan. Laksana seorang pangeran yang menempuh ribuan
rintangan sebelum menemukan tuan putrinya pada dongeng-dongeng. Salah satu
pengalaman saya dalam hal ini akan saya ungkapkan pada tulisan berikut ini.
Di stasiun
kota Malang. Orang-orang dalam ketegangan ketika stasiun mengumumkan datangnya
kereta dari Surabaya menuju Blitar dan Tulungagung. Mereka serentak berdiri,
mendekati lintasan kereta api, dalam benak mereka tersisip rasa cemas; akankah
mendapatkan tempat duduk. Lalu klakson kereta pun mendengung dan calon penumpang
memasang mata untuk memantau gerbong mana yang paling longgar di antara
gerbong-gerbong kereta. Saya hanya mengamati saja, karena naik kereta dengan
berdiri menjadi kesenangan tersendiri.
Setelah
kereta menghentikan rodanya, saat itu juga calon penumpang berdiri di depan
pintu menunggu penumpang yang turun di stasiun Malang. Setelah itu mereka
langsung berebut pintu memasuki gerbong kereta yang sebenarnya sudah sesak
penumpang. Saya masuk terakhir kali dan tak lama kemudian kereta berjalan lagi.
Gerbong sesak oleh penumpang, saya pun bergeser ke tengah gerbong untuk
menghindari gangguan para asongan yang berjalan mondar-mandir dari gerbong satu
ke gerbong lainnya.
Pada
saat itulah mata menikmati uniknya para musafir yang heterogen dalam satu gerbong,
bagaimana mereka berperilaku, berinteraksi antar sesamanya, dan merupakan hal
yang paling menyenangkan menebak-nebak apa yang mereka pikirkan hingga menebak latar
belakang mereka. Dengan berdiri, mata bebas memandang ke arah manapun ia
inginkan. Semua itu saat ini tidak bisa dinikmati lagi oleh para traveler,
dikarenakan transformasi PT. Kereta Api pada beberapa tahun terakhir yang
memberlakukan isi penumpang sesuai dengan tempat duduk, dan pelarangan asongan
berjualan dalam gerbong maupun stasiun.
Mata
saya menyapu dari satu wajah ke wajah lainnya, saya menemukan sinar yang terang,
rambutnya tergerai panjang gemlitir di tempa angin. Ibarat malam, wajahnya
adalah rembulan, dan paginya adalah mentari. Mata saya terus mencuri-curi
pandang, menikmati indahnya ciptaan Tuhan. Lalu saya berfikir mencari cara
untuk dapat sekedar berkenalan dengan gadis itu. Akal saya menggali ide dengan
keras, menemukan cara berkenalan yang berkesan. Posisi antara dua makhluk ini
menyulitkan untuk saling bersapa. Saya berdiri di antara tempat duduk kereta
yang penuh terisi penumpang, sedangkan ia duduk di kursi yang jauh dariku. Dan jarak
kami dijejali beberapa penumpang yang juga berdiri di sepanjang jalan gerbong.
Kedipan
demi kedipan kedua matanya memacu saya untuk terus menemukan cara untuk bersapa
lalu mengenalnya. Akhirnya satu cara saya temukan juga. Saya segera
mengeluarkan karcis kereta dari lembaran kertas, lalu mengeluarkan pena dan
mulai menuliskan beberapa kata. Begini bunyinya, “Saat rambutmu tergerai indah, tak dapat kuingat lagi, selain
bidadari yang menawan dengan segala kesempurnaan. Hai
gadis perparas manis, aku ingin mengenalmu”. Lalu aku tuliskan nomor telpon di
bawahnya. Lalu karcis itu aku lipat dan menunggu waktu yang tepat untuk
menyampaikannya.
Roda
kereta terus berputar, suara gemeretak perpindahan roda besi di antara potongan
rel tidak mengenal lelah. Aku terus waspada menemukan saat tepat untuk sebuah
perkenalan yang berkesan, tak diguga-duga, secara tiba-tiba, penuh kejutan. Akupun
sudah membubung tinggi membayangkan jika perjumpaan ini berhasil, betapa
indahnya awal kisah cintaku nanti.
Kereta
melambat sebelum memasuki stasiun Blitar. Gadis itu bergegas bersiap untuk
turun, maka aku segera bersiap untuk menyampaikan kertas merah muda di
genggaman. Ketika ia mulai melangkahkan kaki menuju pintu keluar akupun segera
mengikutinya dengan langkah lebih cepat mendesak dan menjejal beberapa
penumpang yang berdiri di sepanjang jalan. Sebelum ia sampai di pintu saya
segera menyapanya lalu perempuan itu menoleh ke arahku. Jentik bulu matanya,
bibirnya, menekan nafasku. Lalu dengan segera aku katakan bahwa karcisnya
terjatuh dan aku berusaha memberikannya lagi. Di saat itu pula aku mengulurkan
tanganku dengan secarik karcis kertas merah muda terapit jari jempol dan
telunjuk. Ia pandangi karcis sejenak lalu menatapku dan mengatakan bahwa itu
bukanlah karcisnya.
Aku mengatakan
bahwa ini karcisnya seraya memaksa untuk menerimanya. Dengan desakan penumpang
dari belakang yang juga mau turun, maka ia pun mengambil karcis itu lalu
melangkah menuju pintu dan menuruni gerbong kereta. Aku pun melangkah berbalik
arah untuk melihat langkahnya dari jendela. Pada saat itu aku melihat seorang
penumpang yang hendak turun dan tangannya mengapit sebuah karcis kecil dari
kertas karton berwarna coklat. Aku baru menyadari bahwa karcis yang kami miliki
tidaklah sama. Penumpang dari kota Malang yang turun Tulungagung menggunakan
karcis dari kertas HVS berwarna merah muda, sedang yang turun di kota Blitar
(jaraknya lebih dekat) menggunakan karcis kecil berwarna coklat. Mukaku sekaligus
terasa tebal. Sungguh peristiwa yang memalukan sekaligus memilukan. Aku pun
segera membungkukkan badan berusaha menatap luar dari jendela, berharap
pandangan ini dapat mengahantarkan langkah perempuan itu, sekaligus melihat
reaksinya. Namun yang kudapati hanyala para manusia yang berjejal dalam
kesibukan perjalanan. Seperti hatiku yang berjejal rasa malu, sesal, dan sebal.
Roda
kereta menggelinding lagi, wajahku terserpih-serpih sembari menunggu handphone
dalam saku, barangkali masih akan tiba secuil harapan untukku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar