Semenjak diberlakukannya jam malam pada kampus, seperti tiada perbedaan antara siang dan malam. Mahasiswa selalu berlalu lalang dan kadang bergerombol berbincang-bincang di sudut lorong di setiap lantai. Atau duduk-duduk di kelas yang tidak digunakan kuliah. Hal itu dilakukan sembari menunggu pergantian jam kuliah; dengan berdiskusi atau mengerjakan tugas berkelompok, ada yang sekedar bertukar cerita.
Aku juga mendapatkan beberapa jam kuliah di malam hari. Pada awalnya terasa sebagai hal yang ganjil. Melakukan aktifitas perkuliahan di malam hari. Dulu pernah berpikir, betapa nantinya perkuliahan akan terasa seperti pengajian. Hehehe... Namun setelah beberapa kali mengajar pada jam malam ternyata lebih kondusif dari mengajar di siang hari. Suasana lebih hening, pencahayaan lampu yang kekuning-kuningan juga turut menghantarkan rasa khidmat pada setiap kata yang terlontar.
Tapi ada satu malam, yang berbeda dengan malam-malam lainnya. Saat itu aku mendapatkan jam kuliah terakhir, yaitu jam kedelapan atau jam 20.00-21.40 WIB. Proses belajar mengajar terasa sangat khusyu'. Tak ada suara apapun selain suara diskusi kelas. Bisa dikatakan suasana pembelajaran saat itu seperti sebuah pertunjukan teater yang sangat alami dan menawan. Aku yang duduk di pojok samping depan, mendapatkan angel pandang suasana kelas yang artistik. Tampak sekali gestur para pemakalah yang terpatah-patah tatkala mendapatkan pertanyaan-pertanyaan cukup jeli dari audiens mengenai makalah mereka. Juga tampak dengan jelas raut wajah kemenangan sang pelontar pertanyaan, yang berhasil membuat presentator bagai badut kehabisan lelucon.
Lalu tiba waktu bagiku untuk memberikan catatan, penjelasan tambahan, dan sedikit review penyajian tema diskusi. Akupun berdiri, melangkahkan kaki ke depan dengan pelan. Semua pandangan tertuju padaku. Maka kumulailah kata demi kata disertai gerakan tangan, dan sapuan tatapan mata pada semua mahasiswa. Seakan-akan aku melakukan solilokui di depan ribuan penonton pertunjukan dan berhasil membawa mereka ke dalam alam cerita yang kusampaikan.
Tak terasa ekspresi kalimat dan gerakku harus berakhir saat jam tangan menunjukkan pukul 21.40 WIB. Maka segera kusimpulkan pemikiran yang berajut, menjadi sebuah pemahaman yang lengkap dan utuh. Tak lupa kuucapkan beberapa kata yang cukup menggugah kesadaran jiwa, "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan", menirukan kalimat Jean Marais kepada Minke.
Semuanya pun berakhir. Beberapa anak mulai keluar dari kelas, tanpa kuduga lampu kelas tiba-tiba mati, dan semua mahasiswa lari berhamburan keluar kelas. Kampret... ternyata itu ulah salah satu mahasiswa yang menombol sekakel lampu, padahal aku juga kaget ingin meloncat. Seluruh mahasiswa lari terbirit-birit menuruni tangga. Aku sebagai seorang pengajar tentu gengsi untuk ikut berlarian, apalagi bersama anak-anak itu, apa kata dunia. Akhirnya aku tetap berjalan lirih, dan berusaha menahan suasana mencekam itu. Tinggal aku sendiri di lorong gedung lantai tiga berjalan selangkah demi langkah.
Dalam keheningan itu, dua telingaku mendengar suara lirih, "Tuk.. Tuk.. tuk". Lalu aku berhenti dan menoleh ke belakang. Tak kudapati suatu apapun, suara itu juga berhenti. Kemudian aku melangkah lagi, dan lagi-lagi suara tuk-tuk itu mencul kembali dari arah belakang. Aku berhenti lagi dan menoleh ke belakang. Yang kulihat hanyalah lorong panjang gelap yang meliuk. Bulu kudukku tumbuh dengan cepat, kurasakan sesuatu lain membuntutiku. Maka aku percepat langkahku, dan suara tuk-tuk itupun terdengar lebih keras dan berjejal.
Tak ada mahasiswa lagi yang tersisa, aku percepat lagi langkahku setengah berlari. Suara tuk-tuk itu terus mengikuti langkahku. Aku turuni tangga secepat kilat, hampir-hampir terjungkal. Tiba di lantai dua semuanya gelap, hanya bayangan tiang-tiang bangunan yang tampak berdiri angkuh, dan pintu toilet yang terbuka, seakan menatapku tajam. Kulit leherku terasa lebih tebal. Aku berlari dan suara tuk-tuk itu mengikutiku lebih dekat lagi, hingga tiba di lantai pertama. Aku pun sedikit lega. Di sana tampak beberapa mahasiswa yang berjalan menuju parkiran.
Aku pun berjalan lebih santai lagi. Dan hampir tak kupercaya, suara tuk-tuk itu masih mengikutiku. Aku perdengarkan dengan cermat. Suara tuk-tuk itu selaju dengan langkah kaki kananku. Aku berhenti, kaki kanan aku hentakkan ke lantai. Bersuaralah, "Tuk". Aku angkat kakiku, kulihat telapak sepatuku. Sobreeet... ternyata di sela-sela motif bawah sol sepatu, terselip kerikil kecil.
Lalu tiba waktu bagiku untuk memberikan catatan, penjelasan tambahan, dan sedikit review penyajian tema diskusi. Akupun berdiri, melangkahkan kaki ke depan dengan pelan. Semua pandangan tertuju padaku. Maka kumulailah kata demi kata disertai gerakan tangan, dan sapuan tatapan mata pada semua mahasiswa. Seakan-akan aku melakukan solilokui di depan ribuan penonton pertunjukan dan berhasil membawa mereka ke dalam alam cerita yang kusampaikan.
Tak terasa ekspresi kalimat dan gerakku harus berakhir saat jam tangan menunjukkan pukul 21.40 WIB. Maka segera kusimpulkan pemikiran yang berajut, menjadi sebuah pemahaman yang lengkap dan utuh. Tak lupa kuucapkan beberapa kata yang cukup menggugah kesadaran jiwa, "Seorang terpelajar harus juga belajar berlaku adil sudah sejak dalam pikiran, apalagi perbuatan", menirukan kalimat Jean Marais kepada Minke.
Semuanya pun berakhir. Beberapa anak mulai keluar dari kelas, tanpa kuduga lampu kelas tiba-tiba mati, dan semua mahasiswa lari berhamburan keluar kelas. Kampret... ternyata itu ulah salah satu mahasiswa yang menombol sekakel lampu, padahal aku juga kaget ingin meloncat. Seluruh mahasiswa lari terbirit-birit menuruni tangga. Aku sebagai seorang pengajar tentu gengsi untuk ikut berlarian, apalagi bersama anak-anak itu, apa kata dunia. Akhirnya aku tetap berjalan lirih, dan berusaha menahan suasana mencekam itu. Tinggal aku sendiri di lorong gedung lantai tiga berjalan selangkah demi langkah.
Dalam keheningan itu, dua telingaku mendengar suara lirih, "Tuk.. Tuk.. tuk". Lalu aku berhenti dan menoleh ke belakang. Tak kudapati suatu apapun, suara itu juga berhenti. Kemudian aku melangkah lagi, dan lagi-lagi suara tuk-tuk itu mencul kembali dari arah belakang. Aku berhenti lagi dan menoleh ke belakang. Yang kulihat hanyalah lorong panjang gelap yang meliuk. Bulu kudukku tumbuh dengan cepat, kurasakan sesuatu lain membuntutiku. Maka aku percepat langkahku, dan suara tuk-tuk itupun terdengar lebih keras dan berjejal.
Tak ada mahasiswa lagi yang tersisa, aku percepat lagi langkahku setengah berlari. Suara tuk-tuk itu terus mengikuti langkahku. Aku turuni tangga secepat kilat, hampir-hampir terjungkal. Tiba di lantai dua semuanya gelap, hanya bayangan tiang-tiang bangunan yang tampak berdiri angkuh, dan pintu toilet yang terbuka, seakan menatapku tajam. Kulit leherku terasa lebih tebal. Aku berlari dan suara tuk-tuk itu mengikutiku lebih dekat lagi, hingga tiba di lantai pertama. Aku pun sedikit lega. Di sana tampak beberapa mahasiswa yang berjalan menuju parkiran.
Aku pun berjalan lebih santai lagi. Dan hampir tak kupercaya, suara tuk-tuk itu masih mengikutiku. Aku perdengarkan dengan cermat. Suara tuk-tuk itu selaju dengan langkah kaki kananku. Aku berhenti, kaki kanan aku hentakkan ke lantai. Bersuaralah, "Tuk". Aku angkat kakiku, kulihat telapak sepatuku. Sobreeet... ternyata di sela-sela motif bawah sol sepatu, terselip kerikil kecil.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar