Pak
Kadirun berjalan tergopoh-gopoh dari gedung lama yang sudah berusia belasan
tahun. Kerap ia memandangi jam tangan yang sudah melilit di tangannya sejak
lima tahun lalu. Bola matanya berpindah-pindah dari jam tangan menuju jalan
berkerikil kemudian kembali ke jam tangan lagi begitu seterusnya sampai ia
menaiki tangga ke lantai dua.
Selang
tiga menit, ia sudah berdiri di depan kelas. Siswa yang dihadapi baru separuh
yang sudah duduk di kursi. Sedang sisanya masih dalam perjalanan, itu menurut
mereka yang sudah hadir. Barangkali kenyataannya ada yang masih mandi atau
bahkan masih ngorok di atas kasur. Bagi pak Kadirun itu hal yang lumrah. Bangsanya
terbelakang jauh dari negara-negara lain salah satu faktornya adalah kemalasan
dan ketidakdisiplinan.
“Sastra Arab klasik belum mengenal aliran-aliran sastra yang lengkap dan koprehensip sebagaimana yang ada di jaman modern. Hal itu disebabkan karena aliran-aliran sastra baru muncul akibat dari perkembangan pemikiran dan kebudayaan modern ini”. Pak Kadirun memulai kuliahnya setelah beberapa detik ia mengucapkan salam.
“Sastra Arab klasik belum mengenal aliran-aliran sastra yang lengkap dan koprehensip sebagaimana yang ada di jaman modern. Hal itu disebabkan karena aliran-aliran sastra baru muncul akibat dari perkembangan pemikiran dan kebudayaan modern ini”. Pak Kadirun memulai kuliahnya setelah beberapa detik ia mengucapkan salam.
“Aliran
atau madzhab sastra baru masuk ke dalam sastra Arab sekitar abad dua puluh, hal
itu terjadi karena di dunia Arab tidak ada kritikus sastra yang secara serius
meneliti karya sastra. Faktor lainnya adalah orang-orang Arab cenderung
memegang teguh kebudayaan klasik nenek moyangnya yang membenci khayalan dan
filsafat.
Barangkali
dalam kajian sastra Arab klasik terdapat perhatian pada sastra yang dapat kita
sandingkan dengan pembagian aliran antara Klasik dan Romantisme. Klasik di sini
harus kita bedakan antara klasik bermakna masa lalu, dan klasik sebagai salah
satu aliran sastra. Supaya tidak ambigu dan rancu, istilah klasik yang bermakna
masa lalu akan saya gantikan dengan kata “lama”. Lama di sini mengacu pada karya-karya sastra Arab sebelum modern
atau sebelum abad 20.
Barangkali
dalam kajian sastra Arab lama terdapat perhatian pada sastra yang dapat kita
sandingkan dengan pembagian aliran sastra antara Klasik dan Romantisme. Misalnya saja
Ibnu Qutaybah yang membagi penyair menjadi penyair natural (al-syair al-mathbu’i)
dan penyair yang dibuat-buat (al-syair al-mutakallif). Kemudian term
“dibuat-buat” tersebut berkembang mengarah pada bentuk baru berupa pilar-pilar
puisi yang dianggap sebagai bentuk puisi arab ideal, dan selanjutnya bentuk
tersebut merupakan karakterisitik aliran Klasik. Begitu juga terdapat istilah
puisi permohonan maaf (al-syi’ru al-‘udzr) dan puisi sufi (al-syi’ru
al-mutashowifah) sebagai karya sastra yang dapat kita lihat dari segi
isinya sebagai aliran Romantisme.
Meskipun
demikian, puisi Arab tidak dapat kita bagi menjadi Klasik dan Romantik, karena
aliran tersebut merupakan kriteria modern. Puisi Arab bersifat liris emosional
di sebagian besar bentuknya. Di sisi lain ia cenderung mengikuti bentuk dan
tema yang terbatas. Dalam sejarahnya sangat sedikit sekali berkembang. Aliran
Klasik dan Romantisme adalah dua aliran yang berbeda yang tidak dapat
mengidentifikasi sastra arab lama.
Bentuk
sastra beraliran Klasik pada jaman modern ini (disebut Neo Klasik) hanya sebagai gerakan upaya
menghidupkan dan membangkitkan model sastra Arab lama dan upaya memperhatikan
masa lalu. Munculnya gerakan ini sebagai reaksi dari fase perkembangan
peradaban dalam sejarah Arab modern, sebagaimana yang terjadi pada aliran Neo Klasik dalam sejarah eropa modern. Tidak ada hubungan antara menghidupkan
sastra Arab modern dengan aliran Klasik barat. Orang-orang yang intens bergerak
dalam bidang ini diantaranya al-Barudi, Ahmad Syauqi, al-Jawahiri, dan
al-Marshofi.
Pada
aliran Romantisme, ada beberapa faktor yang menyebabkan sastra Arab terpengaruh
oleh sastra barat. Pertama, Orang-orang Arab khususnya Syuriah dan
Lebanon bermigrasi ke dunia barat dan mereka memunculkan keindahan sastra
Romantik. Kedua, adanya penerjemahan sastra Romantik ke dalam bahasa
Arab. Ketiga, perlunya pembaruan dalam sastra yang sesuai dengan
peradaban.
Sebenarnya
apa yang disebut sebagai esensi pribadi dalam aliran romantisme merupakan
karakter sastra Arab secara umum, bahkan itu adalah karakter masyarakat Arab.
Misalnya saja pada puisi-puisi Arab yang bertemakan berbangga-bangga (fakhr),
duka cita (ritsa), keberanian dan kekuatan (hammasah), dan cinta (ghazal),
tema-tema ini berasal dari esensi penyair yang sangat pribadi. Tema-tema
tersebut juga sama dengan tema-tema Romantisme barat yang banyak berbicara mengenai pemberontakan, kegelapan, alam, kesedihan, duka cita, dan kematian.
Penerapan
romantisme dalam kesusastraan Arab (Disebut sebagai madzhab Neo Romanik) adalah hasil perkembangan dinamika sosial
dan pemikiran, bukan semata-mata mengikut begitu saja pada sastra barat. Secara umum aliran Neo Romantik dalam sastra Arab adalah hasil dari pergolakan para sastrawan Arab ketika mereka berinteraksi dengan budaya barat. Para sastrawan Arab pada saat itu menatap modernitas barat melaju dengan pesat termasuk dalam kesusastraan, sedangkan bangsa timur masih terpuruk dalam ketertinggalan. Dengan beberapa pertimbangkan mereka meniru struktur sastra dengan konskekuensi keluar dari bentuk puisi lama. Munculnya aliran Romantisme di barat dengan lahirnya Neo Romantik di sastra Arab itu sendiri terpaut sekitar seratus tahun.
Pada
bidang romantisme, Jibran Khalil Jibran dianggap sebagai pelopor utama dalam sastra
Arab. Kemudian kelompok Diwan (Aliran pembaruan sastra Arab yang lahir dan berkembang pada tahun 1909-1918) yaitu Abbas Mahmud al-Uqad, Ibrahim Mazani, dan Abdurrahman
al-Syukri. Kemudian para kelompok Apollo (lahir pada tahun 1932 di Kairo) yang dinahkodai oleh Abu Syadi,
Ibrahim Naji, Ali Mahfudz Thoha, dan Abu Qasim Al-Syabi.
Pada
aliran Realisme, sastra Arab memiliki fenomena tersendiri sebagaimana yang
telah kita ketahui pada puisi-puisi klasik. Hal itu dapat kita jumpai pada
puisi-puisi masa jahiliyah yang menggambarkan kenyataan. Seperti deskripsi
mengenai peperangan, mengenai kuda yang gagah, pedang yang tajam, dan para
panglima mereka yang berwibawa. Kesemuanya itu merupakan cerminan dari
kenyataan.
Pada
masa Abasiyah ada perubahan besar dalam peradaban. Jahidz, seorang kritikus
yang memperhatikan dan menganalisa perubahan tersebut, menerbitkan buku
berjudul al-Bukhola yang berisi potret sosial serta kritikan atas
kebiasan yang merusak pada saat itu.
Pada
jaman modern ini realisme muncul dengan baju baru yang menolak kehidupan
metropolitan modern. Karya sastra prosa banyak menganut aliran ini. Di dunia
Arab, aliran ini juga condong dengan berkembangnya ideologi sosialis. Buku yang
berhaluan realisme adalah karya Abdurrahman Al-Syarqawi dengan judul al-Ardh
(bumi). Begitu juga banyak kita jumpai pada novel-novel karya Taufiq Hakim,
Thoha Husain, Najib Mahfudz.
Keadaan
yang demikian hampir sama dengan aliran-aliran sastra barat yang bergema di
kesusastraan Arab modern. Akan tetapi setiap aliran memiliki perbedaan dengan
sepak terjang klasik, romantisme, dan realisme”.
“Lantas,
kalau memang aliran sastra barat tidak dapat digunakan untuk mengkategorikan
sastra Arab, mengapa kita harus mempelajarinya?”. Tanya seorang siswa setelah
ia mengacungkan tangan.
Pak
Kadirun diam, mendalamkan analisa. Siswa lainnya meraba-raba analisa mereka
atas jawaban dari pertanyaan tersebut.
Nah,
ini sebenarnya inti dari materi kita pada pertemuan ini”. Ucap pak Kadirun
memecah keheningan sejenak.
“Sebenarnya
kurang pas jika kita katakan tidak dapat mengkategorikan secara keseluruhan
karya sastra Arab. Yang dimaksud tidak dapat mengkategorikan di sini adalah
jika dihadapkan pada karya sastra Arab lama” ucap pak Kadirun.
“Mengapa
kita mempelajari aliran sastra barat, sedang kajian utama kita adalah sastra Arab?”. Pak Kadirun melanjutkan. “Jika kita
berbicara mengenai epistemologi, maka besar kemungkinan kita tidak dapat keluar
dari teori-teori yang dilahirkan oleh dunia barat. Begitu juga dalam dunia
kesusatraan. Meskipun teori-teori tersebut tidak dapat diaplikasikan pada
keseluruhan karya sastra di berbagai belahan dunia, namun tetap menjadi referensi
kritis dan dijadikan rujukan oleh sebagian besar pemerhati dan pengkaji karya
sastra.
Hal tersebut terjadi karena; Pertama,
aliran sastra di barat sudah ada sejak abad 16. Pada saat itu para kritikus
sastra merumuskan karakteristik sastra dengan berdasarkan karya satra masa
Yunani. Sedangkan dalam dunia timur tengah, aliran sastra baru muncul pada awal
abad 20. Tentu sesuatu yang ada lebih dulu sedikit banyak memberikan pengaruh
pada masa setelahnya.
Kedua,
dinamika pemikiran di dunia barat tumbuh subur dari pada di dunia timur. Hal
tersebut menjadikan pemikir-pemikir barat melahirkan teori-teori kesusastraan
yang kritis terlebih setelah munculnya filsafat Materialisme yang dipelopori
oleh Karl Mark. Materialisme sendiri banyak berkontribusi dalam pembentukan
aliran sastra pasca Romantisme.
Hasil
perumusan para peneliti tersebut dapat kita jadikan pijakan pada sudut tertentu
dalam memandang karya-karya sastra Arab. Di sini kita tidak lagi bicara tentang
pengaruh terbentuknya aliran sastra barat terhadap sastra Arab pada saat itu,
namun lebih pada bagaimana aliran sastra barat tersebut dapat kita jadikan sebagai alat untuk membaca karya-karya sastra Arab.
Ketiga,
meskipun awal terbentuknya aliran sastra
itu hasil dari pembacaan karakteristik karya sastra pada masa dan wilayah
tertentu, namun dalam perkembangannya aliran sastra justru menjadi pedoman bagi
sastrawan dalam menciptakan karya sastra, termasuk sastrawan-sastrawan Arab
modern. Dengan demikian aliran sastra tersebut menemukan relevansinya jika
dihadapkan dengan karya sastra modern, di dunia barat maupun timur”.
Para
siswa mulai mengangguk-anggukkan kepala, mengungkapkan pemahaman dari paparan
pak Kadirun. Namun bagi pak Kadirun, itu hanya sebagai reaksi komunikatif saja,
toh paham atau tidak dengan apa yang ia katakan hanya yang mereka sendiri yang
mengetahui.
“Yang
perlu kita perhatikan, bolehlah perkembangan aliran sastra terhenti pada
berhentinya perkembangan filsafat. Namun karya sastra terus terlahir bersama
kelahiran manusia-manusia baru di lintas generasi. Hal itu menjadikan bentuk-bentuk
karya sastra modern cenderung mengekor pada bentuk-bentuk karya sastra
sebelumnya. Sehingga aliran-aliran sastra yang ada akan selalu eksis membaca
karya-karya sastra yang lahir jauh dari kelahirannya”.
“Apakah
sudah tidak dimungkinkan terbentuknya aliran sastra yang baru, pak?” Salah satu
siswa lansung menembakkan pertanyaanya, tanpa aba-aba lebih dulu. Barangkali
karena terlalu bersemangat.
“Coba,
adakah yang bisa menjawab?” Oleh pak Kadirun pertanyaan itu di lempar ke
siswa-siswa yang sebenarnya juga sedang berpikir perihal itu.
“Mungkin”.
Jawab sebagian siswa. “Tidak”. Jawab sebagian lainnya.
“Mungkin
saja”. Ucap pak Kadirun, menghabisi perselisihan mereka. “Pemikiran manusia itu
dinamis mengikuti perkembangan peradaban. Selama ini dapat kita katakan bahwa aliran-aliran
sastra yang sudah kita pelajari di kuliah ini melihat karya sastra dari segi dua
sisi; intrinsik karya satra (unsur strktur bahasa), adakalanya dari segi eksintrik
karya sastra (unsur yang ada di luar sastra itu sendiri, meliputi keadaan
penyair, proses penciptaan, kondisi sosial masyarakat, filsafat yang
melatarbelakangi, dan lain sebagainya). Dua sisi tersebut tidak dapat terbatasi
oleh tempat dan waktu. Selama masih ada sastrawan dan kritikus sastra, masih
sangat dimungkinkan terbentuknya aliran-aliran baru dalam sastra”.
Lalu pak Kadirun maju beberapa langkah. “Sebagaimana
kalian di sini, dicetak untuk menjadi kritikus sastra yang dapat merumuskan
tipologi dan karekter karya-karya sastra sesuai dengan nafas jamannya”. Pak Kadirun
mengucapkannya dengan serius.
“Mungkin ini yang bisa kita pelajari pada
pertemuan terakhir ini. Apa yang kita pelajari selama ini hanyalah cuplikan permulaan
dari kelahiran dan perkembangan aliran-aliran sastra. Kita belum sama sekali
membahas aliran-aliran sastra masa modern, yang boleh dikatakan hasil
perkembangan dan modifikasi dari aliran-aliran sastra sebelumnya. Apabila ada kekurangan semoga dimaafkan. Wassalam”. Pak Kadirun melangkah cepat
meninggalkan ruang kelas, tak satupun sesi pertanyaan dibuka. Tampak raut cemberut di muka siswa-siswa. Namun semuanya
melebur ketika selang beberapa detik terdengar suara keras pintu
dibanting, tepatnya di tolitet bawah tangga sebelah ruang kelas.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar