Tulisan ini adalah catatan dan dokumentasi kami dengan dua turis dari Belanda mengunjungi Goa Selomangleng tulungagung.
Marien Albertsboer dan Ida Albertsboer adalah dua orang kewarganegaraan Belanda yang sedang berkunjung ke Tulungagung pada 23 Nopember 2019 lalu. Mereka datang ke Indonesia untuk menghabiskan liburan, dan ke Tulungagung mengunjungi teman sekelasnya waktu kuliah di Leiden, yang sekarang menjadi dosen IAIN Tulungagung.
Mumpung mereka berada di kota yang sebagian besar saya hapal jalannya, maka saya tawarkan untuk mengunjungi beberapa tempat bersejarah di Tulungagung. Diantaranya, candi Gayatri, candi Sanggrahan, Goa Selomangleng, Situs Goa Pasir, dan candi Dadi. Namun karena keterbatasan waktu, untuk tujuan dua terakhir kami batalkan berkunjung ke sana.
Sebelum menuju Goa Selomangleng, kami sempatkan mampir ke candi Gayatri yang terletak di dusun Dadapan kecamatan Boyolangu Tulungagung. Kemudian kami lanjutkan ke candi Sanggrahan yang berjarak sekitar 4 km dari candi Gayatri. Sebelum masuk candi Sanggrahan, kami bertemu (sudah janjian sebelumnya) dengan dua anggota komunitas pecinta sejarah Asta Gayatri, yaitu mas Zakiyul Fuad Zen dan Mas Heru Susanto ketua Asta Gayatri. Kami sendiri rombongan berenam; Marien Albertsboer dan Ida Albertsboer yang berkebangsaan Belanda, Syaifudin Zuhri dosen antropologi IAIN Tulungagung, Rhomaida Alfa Aima dosen Bahasa Belanda IAIN Tulungagung, Hendra Afiyanto dosen Sejarah IAIN Tulungagung, dan saya sendiri.
Setelah kami mengunjungi dua tempat bersejarah tersebut kami menuju Goa Selomangleng, yang sekaligus akan menjadi ulasan utama dalam tulisan ini. Saya pribadi belum pernah ke Goa Selomangleng. Selama ini hanya mampu memendam rasa penasaran lantaran belum sempat untuk mengunjunginya. Dan hari itu adalah moment bagus untuk mengurai rasa penasaran, terlebih bersama para peminat sejarah pasti akan lebih banyak keterangan yang akan didapat. Maka ceritapun saya mulai.
Kami sampai di parkiran Wisata Goa Selomangleng sekitar pukul 11.00 WIB. Saat dimana matahari hampir di atas ubun-ubun. Menurut mas Heru, berkunjung ke Goa Selomangleng paling nyaman di pagi atau sore hari. Meskipun perjalanan setapak menuju Goa Selomangleng penuh dengan tumbuhan, namun saat musim kemarau datang banyak pohon meranggas.
Untuk sampai Goa Selomangleng kami harus berjalan sekitar 15 menit dari parkiran kendaraan. Dari jalan kampung, ada dua jalur yang bisa dilalui. Jalur utama berada di tepi (atas) sungai, dan jalur kedua berada di sungai itu sendiri. Rombongan kami melalui jalus sungai, karena lebih dekat. Pada musim penghujan, jalur sungai tidak bisa dilalui karena terdapat air di muaranya.
Sepuluh menit kemudian, setelah melewati beberapa cabang jalan setapak, kami memasuki kawasan yang berbeda, yaitu semacam altar yang cukup luas. Altar tersebut dilapisi rumput kering, dan di sisi paling jauh tampak sebuah batu besar dengan ceruk persegi panjang. Sampailah kami di kawasan Goa Selomangleng. Sebelum saya memasuki altar, saya sempatkan untuk memotret papan nama Goa Selomangleng yang sudah tampak tua untuk berdiri di pintu masuk kawasan goa.
Di samping pintu masuk terdapat bangunan kecil yang diperuntukkan bagi pengunjung yang ingin merebahkan badan, mengeringkan keringat, sebelum menikmati indahnya Goa Selomangleng. Sambil duduk di sana saya membayangkan beberapa ratus tahun yang lalu di saat area goa itu masih aktif dengan segala aktifitasnya. Kemudian menerka-nerka, kira-kira aktifitas apa saja yang dilakukan nenek moyang kita di tempat tersebut.
Seusai sejenak kami mengerlingkan keringat, kami mulai mendekati Goa Selomangleng. Bentuknya ceruk pahatan pada batuan gunung, sesuai dengan namanya, selo berarti batu dan mangkleng berarti miring. Memang faktanya ceruk goa tersebut berada di batuan gunung setengah miring. Nama itupun sebenarnya nama baru, sedang nama aslinya belum seorangpun yang tahu. Tepat di atas ceruk pertama, terdapat relief Kala sangat besar. Di sampingnya (sisi kiri) terdapat tangga setapak menuju atas Goa.
Rayuan Suprabha dengan diawasi oleh Arjuna, membuat Niwatakawaca membuka mulut atas kelemahannya, yaitu berada di ujung lidahnya. Setelah mendapat informasi maka Suprabha melarikan diri bersama Arjuna. Maka seketika itu Niwatakawaca marah dan menggerakkan pasukannaya untuk menyerang kerajaan Bathara Indra. Saat peperangan terjadi dengan mudah Arjuna melesatkan anak penahnya ke mulut Niwatakawaca dan mengenai ujung lidahnya, hingga merenggut nyawanya.
Setelah kahyangan memenangkan peperangan, Bathara Indra menghadiahi Arjuna bidadari yang paling cantik; Suprabha. Akhirnya Arjuna menikah dengan Suprabha dan hidup di kahyangan dengan bahagia.
Setelah kami mengunjungi dua tempat bersejarah tersebut kami menuju Goa Selomangleng, yang sekaligus akan menjadi ulasan utama dalam tulisan ini. Saya pribadi belum pernah ke Goa Selomangleng. Selama ini hanya mampu memendam rasa penasaran lantaran belum sempat untuk mengunjunginya. Dan hari itu adalah moment bagus untuk mengurai rasa penasaran, terlebih bersama para peminat sejarah pasti akan lebih banyak keterangan yang akan didapat. Maka ceritapun saya mulai.
Kami sampai di parkiran Wisata Goa Selomangleng sekitar pukul 11.00 WIB. Saat dimana matahari hampir di atas ubun-ubun. Menurut mas Heru, berkunjung ke Goa Selomangleng paling nyaman di pagi atau sore hari. Meskipun perjalanan setapak menuju Goa Selomangleng penuh dengan tumbuhan, namun saat musim kemarau datang banyak pohon meranggas.
Untuk sampai Goa Selomangleng kami harus berjalan sekitar 15 menit dari parkiran kendaraan. Dari jalan kampung, ada dua jalur yang bisa dilalui. Jalur utama berada di tepi (atas) sungai, dan jalur kedua berada di sungai itu sendiri. Rombongan kami melalui jalus sungai, karena lebih dekat. Pada musim penghujan, jalur sungai tidak bisa dilalui karena terdapat air di muaranya.
Terlihat papan nama Goa Selomangleng. Kami turun ke sungai yang menjadi jalur pertama.
Setelah melewati sungai sekitar 300 m, kami naik ke bibir sungai menyusuri jalan setapak. Kami memasuki perladangan yang seperti dibiarkan begitu saja oleh pemiliknya. Mungkin karena struktur tanah tidak begitu produktif di musim kemarau. Banyak pohonan tumbuh mengiringi perjalanan, namun sebagian besar dari mereka menyusutkan daunnya, menjadikan kami banyak menerima sinar matahari. Namun rasa panas itu tertutupi dengan bayang-bayang rasa penasaran akan keindahan Goa Selomangleng.
Kami melewati ladang penduduk sekitar.
Nameboard, tepat di samping jalan setapak sebelum memasuki area Goa.
Di samping pintu masuk terdapat bangunan kecil yang diperuntukkan bagi pengunjung yang ingin merebahkan badan, mengeringkan keringat, sebelum menikmati indahnya Goa Selomangleng. Sambil duduk di sana saya membayangkan beberapa ratus tahun yang lalu di saat area goa itu masih aktif dengan segala aktifitasnya. Kemudian menerka-nerka, kira-kira aktifitas apa saja yang dilakukan nenek moyang kita di tempat tersebut.
Dua turis sembari menyetabilkan nafas dari perjalanan, mereka mengagumi keindahan Goa Selomangleng.
Seusai sejenak kami mengerlingkan keringat, kami mulai mendekati Goa Selomangleng. Bentuknya ceruk pahatan pada batuan gunung, sesuai dengan namanya, selo berarti batu dan mangkleng berarti miring. Memang faktanya ceruk goa tersebut berada di batuan gunung setengah miring. Nama itupun sebenarnya nama baru, sedang nama aslinya belum seorangpun yang tahu. Tepat di atas ceruk pertama, terdapat relief Kala sangat besar. Di sampingnya (sisi kiri) terdapat tangga setapak menuju atas Goa.
Kami mulai mendekati Goa Selomangleng. Tampak rilief Kala tepat di atas ceruk goa.
Mengamati relief yang ada di dalam Goa, sembari mendengarkan keterangan dari mas Fuad dan mas Heru dari komunitas pecinta sejarah Asta Gayatri.
Mengamati relief yang ada di dalam Goa, sembari mendengarkan keterangan dari mas Fuad dan mas Heru dari komunitas pecinta sejarah Asta Gayatri.
Goa Selomangleng terdiri dari dua ceruk dalam batu. Ceruk pertama lebih besar daripada ceruk kedua, sekaligus posisinya lebih rendah dari tanah dibandingkan dengan ceruk yang kedua. Di dalam ceruk pertama terdapat relief kisah Arjunawiwaha, sedangkan ceruk kedua tanpa relief. Relief tersebut berbentuk seperti terbingkai terbagi menjadi bagian-bagian cerita yang saling menyambung antara satu dan lainnya.
Goa Selomangleng tampak dari arah Barat Daya.
Ketujuh bingkai relief tersebut menjadi tujuh fragmen cerita tentang Arjunawiwaha. Arjunawiwaha berarti pernikahan Arjuna. Cerita dimulai dari ketika kahyangan Bathara Indra berada dalam bahaya karena diancam oleh Raja para raksasa yaitu Niwatakawaca. Konon Niwatakawaca memiliki kekuatan yang tidak dapat dikalahkan oleh para dewa maupun raksasa lainnya. Ia hanya bisa dikalahkan oleh kesaktian manusia.
Pada saat itu juga Bathara Indra mendengar ada seorang sakti bernama Arjuna yang sedang melakukan tapa brata di gunung Indrakila. Bathara Indra kemudian menentukan pilihan kepada Arjuna untuk membantunya mengalahkan Niwatakawaca. Namun sebelum ia menentukan pilihan tersebut, ia menguji pertapaan Arjuna dengan mengutus tujuh bidadari untuk menggodanya.
Relief pertama, menggambarkan Bathara Indra sedang meminta tujuh Bidadari untuk menggoda Arjuna.
Bidadari turun dan menggoda Arjuna dengan segala cara, namun Arjuna tetap pada pertapaannya dan tidak goyah sedikitpun. Tujuh bidadari lalu kembali ke kayangan dan melaporkannya hal tersebut ke Bathara Indra. Bathara Indra masih ragu dan ingin meyakinkan hatinya. Lalu ia sendiri turun ke bumi menjelma sebagai seorang tua yang mengolok Arjuna dan menyinggung kesaktiannya. Akhirnya Arjuna menghentikan pertapaannya dan menyambut orang tua itu dengan hormat. Kemudian keduanya berdiskusi secara falsafi mengenai hakikat kekuasaan dan kenikmatan sejati. Setelah yakin akan kesaktian Arjuna, Bathara Indra kembali ke kahyangan.
Relief kedua; para bidadari turun ke bumi untuk menggoda Arjuna.
Relief ketiga, menggambarkan bagaimana bidadari-bidadari menggoda pertapaan Arjuna.
Relief keempat, dua bidadari sedang bercakap-cakap setelah gagal menggoda Arjuna.
Kabar kesaktian petapa Arjuna menyebar hingga sampai pada telinga Niwatakawaca. Ia geram dan menyuruh raksasa bernama Muka untuk membunuhnya. Muka berangkat dan setelah sampai pada gunung Indrakila ia tidak dapat menemukan pertapaan Arjuna. Ia marah dan merubah wujudnya sebagai seekor babi dan menghancurkan apa yang ada di sekitarnya. Mendengar kegaduhan, Arjuna keluar dari gua dengan membawa senjata. Pada saat itu juga Bathara Siwa turun dari kahyangan dan ingin menguji Arjuna.
Ketika Arjuna melihat kerusakan yang dilakukan babi, maka ia mengambil anak panah dan memasangnya pada busur, lalu dilesatkan menghujam Muka yang menjelma babi. Di saat yang sama Bathara Siwa yang berubah wujud menjadi seorang pemburu juga melesatkan anak panahnya ke babi sehingga dua anak panah itu bertemu dan melebur menjadi satu. Lalu mereka berdua bertengkar saling mendaku bahwa anak panahnya yang mengenai babi lebih dahulu. Setelah Arjuna merasa bahwa mengunggulkan diri bukanlah sifat yang bijak, dengan rendah hati ia mengakui kehebatan pemburu tersebut. Pemburu akhirnya kembali ke wujud semula yaitu Bathara Siwa. Karena kerendahan hati Arjuna, Bathara Siwa memberikan hadiah sepucuk panah Pasopati kepada Arjuna.
Relief kelima, Arjuna menuju kayangan bersama dua Aspara.
Tak berselang lama, Bathara Indra mengutus dua Aspara (setengah manusia setengah dewa) untuk meminta Arjuna menghadap ke kerajaannya. Arjunapun naik ke kahyangan. Sesampai di sana, Bathara Indra mengutarakan maksudnya dan menjelaskan bahwa Niwatakawaca hanya bisa dikalahkan oleh manusia. Selain itu untuk mengalahkan Niwatakawaca harus mengetahui titik kelemahannya terlebih dahulu. Maka Bathara Indra meminta bidadari yang bernama Suprabha untuk merayu dan mencari tahu kelemahan itu. Suprabha merupakan bidadari yang menjadi incaran Niwatakawaca. Suprabha didampingi Arjuna menuju ke kerajaan Niwatakawaca.
Rayuan Suprabha dengan diawasi oleh Arjuna, membuat Niwatakawaca membuka mulut atas kelemahannya, yaitu berada di ujung lidahnya. Setelah mendapat informasi maka Suprabha melarikan diri bersama Arjuna. Maka seketika itu Niwatakawaca marah dan menggerakkan pasukannaya untuk menyerang kerajaan Bathara Indra. Saat peperangan terjadi dengan mudah Arjuna melesatkan anak penahnya ke mulut Niwatakawaca dan mengenai ujung lidahnya, hingga merenggut nyawanya.
Setelah kahyangan memenangkan peperangan, Bathara Indra menghadiahi Arjuna bidadari yang paling cantik; Suprabha. Akhirnya Arjuna menikah dengan Suprabha dan hidup di kahyangan dengan bahagia.
Relief keenam, Arjuna menghadap Bathara Indra setelah mengalahkan Niwatakawaca.
Relief ketujuh, Arjuna dan Suprabha hidup bahagia di kahyangan.
Sebagaimana seseorang ketika menulis atau mengemukakan cerita, ia akan melakukan pemilihan bagian-bagian peristiwa yang ingin ditampilkan maupun yang disembunyikan, pemahat relief pada Goa Selomangleng juga demikian. Peristiwa-peristiwa yang dimunculkan dalam relief seperti hanya menekankan pada godaan tujuh bidadari pada Arjuna. Barangkali untuk konteks para resi saat itu perempuanlah halangan terberat dalam menjalani laku hidup.
Selain dua ceruk dan relief Kala di atasnya, apa bila kita naik ke atas sekitar 30 meter terdapat altar (batu datar). Di depan altar ada seperti batu bidang datar namun lebih kecil, yang menurut mas Heru kemungkinan dahulu tempat persegi yang tidak begitu besar tersebut tempat sebuah Arca.
Altar di bebatuan atas Goa. Banyak dugaan terkait fungsi tempat ini.
Kami mencoba menaiki sembari menikmati lereng gunung Budeg.
Kami berpose di atas altar dengan background gunung Budeg.
Mengenai aktifitas yang dilakukan di area Goa pada masa lalu, beberapa sumber berbeda pendapat. Ada yang mengatakan sebagai sarana pendidikann resi, ada yang mengatakan sebagai latihan olah jiwa, ada juga yang menduga sebagai tempat bertapa. Namun dari semua perbedaan tersebut semua sepakat bahwa situs Goa Selomangleng merupakan peninggalan purbakala yang indah dan menakjubkan, yang harus kita jaga dan lestarikan.
nice info... sangat bermanfaat.
BalasHapusTerimakasih, semoga terus bisa melestarikan budaya.
BalasHapus