Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitasnya
A. Pengertian Hadis Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa
jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan hadits yang diriwayatkan
oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan
sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung,
semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir. Dari redaksi lain
pengertian mutawatir adalah
مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمـَاعَةً
بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.
B.
Syarat-syarat hadis mutawatir
1. Hadits Mutawatir harus diriwayatkan oleh sejumlah besar perawi, dan
dapat diyakini bahwa mereka tidak mungkin sepakat untuk berdusta.
2. Adanya keseimbangan antara perawi pada thabaqat pertama dan thabaqat berikutnya.
3.
Berdasarkan tanggapan pancaindra : Harus benar-benar dari hasil pendengaran atau
penglihatan sendiri. Biasanya menggunakan lafadz: “Kami telah mendengar (سمعنا) atau “Kami telah melihat (راينا) Sekiranya berita itu merupakan hasil renungan,
pemikiran, atau rangkuman dari suatu peristiwa lain, atau hasil istinbath dari
dalil yang lain, maka tidak dapat dikatakan hadits mutawatir.
وَإِن تُطِعْ أَكْثَرَ مَن فِي الْأَرْضِ يُضِلُّوكَ عَن
سَبِيلِ اللَّهِ إِن يَتَّبِعُونَ إِلَّا الظَّنَّ وَإِنْ هُمْ إِلَّا يَخْرُصُونَ
"Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di
muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak
lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah
berdusta (terhadap Allah). (QS Al-An'am 6:116)1
C.
Macam-macam mutawatir
Hadits mutawatir ada tiga macam, yaitu :
1. Hadits Mutawatir Lafdzi
Hadits mutawatir Lafzhi, yaitu hadits yang diriwayatkan
dengan lafaz dan makna yang sama, serta kandungan hokum yang sama, contoh :
إنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ
كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَم دًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
Rasulullah
saw bersabda, “Barangsiapa yang sengaja berdusta atas namaku, maka
hendaklah dia bersiap-siap menduduki tempatnya di atas api neraka”
Menurut Abu Bakar al-Sairiy menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan secara marfu’ oleh 40 (empat puluh) sahabat. Ibnu al-Shalkah berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 62 (enam puluh dua) sahabat. Abu Qasim ibn Manduh berpendapat bahwa hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 80 (delapan puluh) sahabat Sebagian lagi mengatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 100 (seratus) bahkan AnNawawi menyatakan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh 200 (dua ratus) orang sahabat.
2.
Hadits Mutawatir Ma’nawi,
Hadits Mutawatir Ma’nawi, yaitu hadits mutawatir yang
berasal dari berbagai hadits yang diriwayatkan dengan lafaz yang berbeda-beda, tetapi jika
disimpulkan, mempunyai makna yang sama tetapi lafaznya tidak. Contoh hadits yang meriwayatkan
bahwa Nabu Muhammad SAW mengangkat tangannya ketika berdo’a. Contoh hadits
yang meriwayatkan
bahwa Rasul saw mengangkat tangannya ketika berdo’a.
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا
يَرْفَعُ يَدَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ دُعَائِهِ إِلَّا فِي الِاسْتِسْقَاءِ وَإِنَّهُ يَرْفَعُ
حَتَّى يُرَى بَيَاضُ إِبْطَيْهِ
Nabi saw tidak mengangkat kedua tangannya dalam doa-doa beliau, kecuali dalam shalat istisqa’ dan beliau mengangkat tangannya hingga tampak putih-putih kedua ketiaknya. (HR Bukhari). Hadits-hadits yang semakna dengan hadits tersebut banyak sekali, lebih dari 100 (seratus) hadits2
3.
Hadits Mutawatir ‘Amali.
Yakni amalan agama (ibadah) yang dikerjakan oleh Nabi Muhammad SAW, kemudian diikuti oleh para sahabat, kemudian diikuti lagi oleh Tabi’in, dan seterusnya, diikuti oleh generasi sampai sekarang 3. Contoh, hadits-hadits nabi tentang shalat dan jumlah rakaatnya, shalat id, shalat jenazah dan sebagainya. Kitab-kitab yang secara khusus memuat hadits-hadits mutawatir adalah sebagai berikut:
1. Al-Azhar Al-Mutanatsirah fi Al-Mutawatirah, yang dsusun oleh Imam Suyuthi. Muhammad ‘Ajaj Al-Khatib, kitab ini memuat 1513 hadits.
2. Nazhm Al-Mutanatsirah min Al- Hadits al Mutawatir yang disusun oleh Muhammad bin Ja’far Al-Kattani (w. 1345 H)4
D. Kedudukan Hadist Mutawatir
Para ulama sepakat bahwa hadis mutawatir itu merupakan hadis yang paling tinggi kedudukannya. Hadis mutawatir adalah hadis shahih yang diriwayatkan oleh orang banyak yang tidak mungkin berbohong. Masalahnya, para ulama berbeda dalam memahami "orang banyak" itu. 5Sebagian berpendapat jumlah "orang banyak" itu adalah dua orang, sebagian lagi mengatakan cukup empat orang, yang lain mengatakan lima orang. Pendapat lain mengatakan sepuluh orang. Ada pula yang mengatakan tujuh puluh orang (Periksa M. Taqiy al-Hakim, "Usul al-'Ammah li al-Fiqh al-Muqarin, h. 195).
Artinya, walaupun mereka sepakat akan kuatnya kedudukan hadis mutawatir namun mereka berbeda dalam menentukan syarat suatu hadis itu dikatakan mutawatir. Boleh jadi, ada satu hadis yang dipandang mutawatir oleh satu ulama, namun dipandang tidak mutawtir oleh ulama yang lain.
1. Hadis Ahad
a. Pengertian Hadis Ahad
Hadis Ahad adalah hadis yang jumlah rawinya tidak sampai pada jumlah mutawatir, tidak
memenuhi syarat mutawatir, dan tidak pula sampai pada derajat mutawatir. Adapun
menurut istilah ulama hadits, yang dimaksud dengan hadis ahad adalah:
المتواتر شَروط يجمع لم ما هو
“Hadis yang tidak memenuhi syarat-syarat hadits mutawatir.”
Para ulama cenderung mendefinisikan hadis ahad seperti di atas karena menurut
mereka dilihat dari jumlah perawinya, hadis dibagi menjadi dua, yaitu hadis mutawatir dan hadis ahad. Namun, bagi
ulama seperti ‘Ajjaj al-Khathib, membagi hadits ahad menjadi tiga, yaitu hadis mutawatir, masyhur. dan ahad yang mendefinisikan
hadis ahad dengan:
و أ الواحد رواه ما هو لإالمتواتر أو المشهور ط
شَروط فيه تتوفو لم مما فاكثر ثنان
“Hadis yang diriwayatkan oleh satu orang perawi, dua orang atau lebih yang jumlahnya tidak memenuhi syarat-syarat hadis masyhur atau hadis mutawatir.”
Berdasarkan definisi yang dikemukakan oleh ‘Ajjaj al-Khathib di atas, dipahami bahwa hadis ahad adalah hadis yang jumlah perawinya tidak mencapai jumlah perawi hadis mutawatir maupun hadis masyhur. Dalam tulisan ini, yang dipedomani adalah definisi yang dikemukakan oleh jumhur ulama hadis yang mengelompokkan hadis masyhur kepada hadis ahad.
2.
Pembagian Hadis Ahad
Para Muhadditsin memberikan nama-nama tertentu bagi hadis Ahad mengingat banyak-sedikitnya rawi-rawi yang berada pada tiap-tiap thabaqat dengan Hadis Masyhur, Hadis ‘Aziz, dan Hadis Gharib.
1) Hadis Masyhur
Secara bahasa, kata masyhur merupakan isim maf’ul dari kata syahara yang berarti mashur, terkenal, dan popular. Dengan demikian, hadis masyhur berarti hadis yang terkenal, meskipun tidak mempunyai sanad sama sekali, yang kemudian disebut masyhur ghairu isthilahi. Yang dimaksud dengan hadis masyhur adalah hadis yang diriwayatkan oleh tiga orang atau lebih, serta belum mencapai derajat mutawatir.
Hadis masyhur ghairu isthilahi dapat digolongkan menjadi:
a) Masyhur di kalangan ahli hadis, seperti hadis yang menerangkan bahwa Rasulullah saw. membaca doa kunut sesudah ruku’ selama satu bulan penuh dan berdoa atas golongan (kabilah) ri’il dan zakwan. Hadis ini diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Imam Muslim dan riwayat Sulaiman At-Taimi dari Abi Mijlas dari Anas.
b)
Masyhur di kalangan ulama ahli hadis, ulama-ulama lain, dan dikalangan orang umum,
seperti:
المسلم من سلم المسلمون من لسانه ويده (زواه البخارى و مسلم)
“Seorang muslim adalah orang yang menyelamatkan sesama muslim lainnya dari gangguan lidah dan tangannya.”6
c)
Masyhur di kalangan ulama ahli fikih, seperti:
نهى رسول الله صلى الله
عليه وسلم عن بيع الغرر (رواه مسلم)
“Dari Abu Hurairah r.a. ia berkata bahwa Rasulullah saw. Melarang jual
beli yang dalamnya terdapat unsur tipu daya.”7. Contoh lain,
yaitu:
ابغض الحلال عند الله
الطلاق
“Perkara halal yang dibenci Allah ialah thalak.”8
d)
Masyhur di kalangan ahli ushulfiqh:
اذا حكم ا لحاكم فا جتحد ثم اصا ب فله اجران وا ذ ا حكم الحاكم
فا جتحد فاخطأ فله ا جر (رواه مسلم)
“Apabila seorang hakim memutuskan suatu perkara kemudian ia berjihad dan ijtihadnya itu benar, maka dia memperoleh dua pahala (pahala ijtihad dan pahala kebenaran), dan apabila ijtihadnya itu salah,maka dia memperoleh satu pahala (pahala ijtihad).” (H.R. Muslim).9
e) Masyhur di kalangan ahli sufi:
كنت كنزامحفيّا فاحببت ان
اعرف فخلقت الخلق فبى عرفونى
“Aku pada mulanya adalah harta yang tersembunyi, kemudian Aku ingin dikenal, maka Ku-ciptakan makhluk dan melalui mereka pun kenal kepada-Ku.”10
f) Masyur di kalangan ulama-ulama Arab, seperti ungkapan:
"Kami
(orang-orang Arab) yang paling fasih mengucapkan huruf Dhad (ض) sebab
kami dari golongan orang Quraisy."11
g)
Masyhur dikalangan masyarakat awam, contohnya:
العجلة من الشيطان
“Tergesa-gesa itu perbuatan syetan.”12
Contoh
hadits masyhur yang dha’if adalah:
اطلبوا العلم
ولو بالصين.
“Tuntutlah ilmu, walaupun di negeri Cina”.
2) Hadis ‘Aziz
Hadis ‘Aziz itu ialah hadis yang diriwayatkan oleh dua orang, walaupun
dua orang rawi tersebut terdapat pada satu thabaqah saja. Kemudian setelah itu,
orang-orang pada meriwayatkannya. Menurut pengertian tersebut, yang dikatakan
hadis ‘Aziz itu, bukan saja yang hanya diriwayatkan oleh dua orang rawi pada
setiap thabaqah, yakni sejak dari thabaqah pertama sampai dengan thabaqah
terakhir harus terdiri dari dua-dua orang, sebagaimana yang di ta’rifkan oleh
sebagian Muhadditsin, melainkan selagi pada salah satu thabaqahnya (lapisannya)
saja di dapati dua orang rawi, maka sudah bisa dikatakan hadits ‘Aziz. Contoh
hadis Azis:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ
رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ
قَالَ : لاَ يُؤْمِنُ أَحَدُكُمْ
حَتَّى أَكُونَ أَحَبَّ إِلَيْهِ مِنْ وَالِدِهِ وَوَلَدِهِ
وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ.
"Bahwasanya Rasulullah saw bersabda, 'Tidak semmpurna iman salah seorang di antara kamu sekalian sehingga aku lebih disukai olehnya daripadaorangtuanya dan anaknya.”13
Hadis ini diriwayatkan dari Rasulullah oleh Anas bin Malik kemudian diriwayatkan kepada dua orang yaitu, qatadah dan Abdul Aziz bin suhaib, dari qatadah diriwayatkan pada dua orang, yaitu Syu’bah dan Husain al-Muallim. Dari Abdul Aziz diriwayatkan kepada dua orang yaitu Abdul Warits dan Ismail bin ‘Ulaiyyah, dari keempat orang rawi ini diriwayatkan pada generasi dibawahnya lebih banyak lagi yang akhirnya sampai pada Imam Bukhari dan Muslim
3)
Hadis Gharib
Menurut bahasa, kata gharib berarti menyendiri atau menjauh dari kerabatnya. Definisi ini menggambarkan bahwa hadis gharib diriwayatkan oleh satu orang periwayat, baik pada setiap tingkatan sanad, maupun pada sebagian tingakatannya saja. Adapun pengertian hadis gharib menurut para ahli sebagai berikut:
Ulama
ahli hadis dalam hubungan ini mendefinisikan hadis gharib sebagai berikut.
هو ما ينفرد بروايته راو
واحد.
“Yaitu hadis yang diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya.”14
Hadis
gharib itu terbagi menjadi dua, yaitu hadis gharib mutlak dan gharib nisbi.
Hadis gharib mutlak maksudnya adalah hadits yang yang diriwayatkan secara sendirian
pada tingkatan sahabat, sedangkan hadis gharib nisbi adalah hadis yang diriwayatkan
secara sendirian di tengah-tengah sanad, meskipun diriwayatkan oleh banyak
periwayat pada tingkatan sahabat.
Contoh
hadis gharib mutlak, antara lain adalah:
انّما الاعما ل بالنّيات
“Sesungguhnya seluruh amal itu bergantung pada niatnya (H.R. Bukhari dan Muslim).”15
Contoh hadis gharib nisbi adalah “Hadits yang diriwayatkan Malik dari azZuhri dari Annas ra, bahwasannya Nabi SAW memasuki kota Makkah dan di atas kepalanya al-mighfar (alat penututup kepala)”. (H.R. Bukhari dan Muslim). Hadis ini diriwayatkan Malik secara sendirian dari az-Zuhri.
c. Kedudukan Hadis Ahad
Bila hadis mutawatir dapat dipastikan sepenuhnya berasal dari Rasulullah SAW, maka tidak demikian halnya dengan hadis ahad. Hadis ahad tidak pasti berasal dari Rasulullah SAW, tetapi diduga (zanni) berasal dari beliau. Dengan ungkapan lain, bahwa hadis ahad mungkin benar berasal dari beliau. Karena hadis ahad itu tidak pasti (ghairuqat’Iataughairumaqtu’), tetapi diduga (zanni) berasal dari Rasulullah SAW, maka kedudukan hadis ahad, sebagai sumber atau sumber ajaran islam, berada di bawah kedudukan hadis mutawatir. Ini berarti bahwa bila suatu hadis, yang termasuk kelompok hadis ahad bertentangan isinya dengan hadis mutawatir’, maka hadis tersebut ditolak, dan dipandang sebagai hadis yang tidak berasal dari Rasulullah SAW.
Para imam berbeda pendapat kedudukan hadits ahad ini. Menurut Imam Hanafi (Abu Hanifah), jika rawinya orang-orang yang adil maka hanya dapat dijadikan hujjah pada bidang amaliyah, bukan pada bidang akidah dan ilmiah. Imam Malik berpendapat hadits ini dapat dipakai menetapkan hukum-hukum yang tidak dijumpai dalam AlQur’an dan harus didahulukan dari qias zhonni (tidak pasti).
Imam syafi’i menegaskan, hadis ini dapat dijadikan hujjah jika
rawinya memiliki empat syarat. Syarat-syarat tersebut yaitu:
1. Berakal
2. Dhobit (yakni
memiliki ingatan dan hafalan yang sempurna serta mampu menyampaikan hafalan itu
kapan saja dikehendaki)
3. Serta mendengar langsung dari Nabi Muhammad Saw; dan
4. Tidak menyalahi pendapat ulama hadits
1 Moh. Nor Sulaiman PL, Antologi Ilmu Hadist ,(Jakarta: Guang
Pesada Pres,2008),h. 30
2 Abdul Majid Khon, Ulumul Hadist, (Jakarta:Hamzah,2010),h.13
3 Ibid.,h. 14 (bila mengutip halaman yang berbeda)
4 Ibid.(bila mengutip halaman yang sama)
5 M. Syuhudi Ismail,Pengantar Ilmu Hadis,(Bandung:1994),h.138
6 Mahmud Thahan, Ilmu Hadits, Praktis (Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah, 2005) h. 27.
7 Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
h. 96.
8 Muhammad Alawi Al-Maliki, Ilmu Ushul Hadis (Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2006), h. 87.
9 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2002) Cet. Ke-III, h. 114.
10 Sohari Sahrani, Ulumul Hadits, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2010),
h. 97.
11 Munzier Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2002) Cet. Ke-III, h. 108.
12 Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis, (Bogor: Pustaka Thariqul
Izzah, 2005) h. 27.
13 Zeid B. Smeer, Ulumul Hadis Pengantar Studi Hadis Praktis,
(Malang: UIN Malang Press, 2008), h.45.
14 M. Agus Solahuddin dan Agus Suyadi, Ulumul Hadis (Bandung: Pustaka Setia, 2008), h. 137.
15 Mahmud Thahan, Ilmu Hadits Praktis (Bogor: Pustaka Thariqul Izzah, 2005) h. 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar