Dahulu kala hiduplah seorang pangeran di sebuah kerajaan.
Pangeran itu sangat tegas dan disiplin. Ia tidak takut untuk menghukum penjahat
yang merugikan orang lain. Namun meskipun ia tegas dan disiplin, ia juga senang
untuk memberi pujian dan hadiah kepada orang yang berbuat kebaikan. Sikapnya
itulah yang membuat pangeran itu disegani seluruh keluarga istana dan rakyatnya.
Dikisahkan, sang pangeran mempunyai sahabat yang selalu
mengikutinya kemanapun ia pergi. Sahabat pangeran itu adalah seekor elang. Elang
itu selalu setia menemaninya. Saat dalam peperangan, elang itu membantu
pangeran memandu perjalanan pasukan dan mengintai musuh-musuhnya. Hingga setiap
peperangan, pangeran itu selalu mendapatkan kemenangan. Salah satu sebab
kemenangannya tak lain karena jasa elang sahabatnya itu.
Pada suatu hari, pangeran tersebut melakukan sebuah
perjalanan yang jauh. Jalan yang dilalui pangeran begitu sulit, sehingga ia
harus berjalan kaki. Ia harus melewati gunung yang tinggi, hutan yang lebat,
dan tebing-tebing yang curam. Dan seperti biasanya, elang pangeran ikut serta
bersamanya.
Sepanjang perjalanan, elang pangeran terbang berputar-putar
di angkasa, memandu perjalanan pangeran dan mengawasi jika akan terjadi bahaya.
Sesekali elang itu turun dan bertengger di pundak kanan sang pangeran.
Dalam perjalanannya, setelah berjalan lama, pangeran pun
merasa lelah. Ia berhenti sejenak untuk beristirahat. Lalu ia mengeluarkan
tempat air minumnya. Namun sayang sekali air minumnya telah habis, bahkan tidak
tersisa setetespun. Meskipun dalam keadaan telih dan haus, pangeran tetap
menampakkan kegagahannya. Ia tidak mengaduh dan mengeluh. Lalu ia segera
melanjutkan perjalanannya sambil mencari sumber air untuk diminum.
Berbukit-bukit dilewati, namun pangeran belum juga menemukan
air. Ia terus berjalan menyusuri hutan hingga ketika ia tiba di bawah tebing,
ia mendapati tetesan air dari resapan tanah dan bebatuan tebing itu. Maka ia
segera mengelurakan sebuah cawan kecil dari sakunya, yang biasa digunakannya
untuk minum. Lalu cawan tersebut ditadahkan pada tetesan air tersebut supaya
air tertampung di dalamnya.
“Tik, tik, tik..”. Tetesan air itu sangat lamban, sehingga
pangeran membutuhkan waktu lama untuk memenuhi cawannya. Dengan sabar dan tekun
pangeran menunggu cawannya hingga penuh. Setelah cawan tersebut penuh dengan
air, maka diangkatnya cawan tersebut, hendak diminum airnya.
Elang yang sebelumnya terbang berputar diangkasa tiba-tiba
terbang menukik dan cakarnya yang kuat menampik cawan sang pangeran hingga
terjatuh dan seluruh air dalam cawan itu tumpah ke tanah. Pangeran pun marah
dan geram pada elang. Matanya memerah.
“Wahai elang, aku kumpulkan tetes-tetes air ini dengan susah
payah. Namun, ketika aku ingin menikmatinya, kenapa engkau menampiknya hingga
tumpah di atas tanah?” Ucap pangeran dengan suara garang kepada elang itu.
Elang yang sudah terbang lagi ke angkasa hanya mencuit. Ia terbang
perputar-putar lagi di udara.
Pangeran pun mengambil cawan yang terjatuh di atas tanah
tersebut, dan mulai menadahkan kembali di bawah tetes-tetes air itu. Dengan
sabar dan tekun, pangeran menunggu tetes-tetes air hingga memenuhi cawan. Dan
setelah cawan itu penuh ia pun mengangkat cawan didekatkan ke mulutnya untuk
meminum air di dalamnya. Pada saat itu juga elang terbang menukik dan menampik
cawan itu hingga terjatuh ke tanah. Suluruh air dalam cawan itu pun tumpah di
atas tanah.
“Wahai elang, dengan suyah payah aku mengumpulkan air ini,
dan kau masih menampiknya. Kenapa kau menghalangi orang lain menikmati apa yang
diperolehnya dengan usahanya sendiri? Kau sudah membuat kesalahan besar. Ini
adalah peringatan terakhir bagimu. Jika kau masih menampiknya, aku penggal
kepalamu saat itu juga”. Pangeran berkata dengan keras. Mata pangeran memerah. Ia
sangat marah dengan apa yang dilakukan elang. Sedangkan elang hanya mencuit
panjang di udara.
Pangeran mengambil
lagi cawannya di atas tanah. Ia mulai dari awal lagi mengumpulkan air tetes
demi tetes. Dengan sabar dan tekun akhirnya cawannya terisi penuh dengan air.
Maka diangkatnya cawan itu untuk didekatkan dengan mulutnya. Bersama dengan itu
tangan kiri pangeran mencabut pedang di pinggangnya dan diacungkan ke udara
bersiap mencabik elang jika ia tetap menampik cawan itu.
Dan benar, elang itu menukik lagi dari angkasa menuju sang
pangeran. Dan dengan cakarnya yang kuat ia menampik cawan pangeran. Bahkan
tampikannya kini lebih keras hingga cawan itu terlempar jauh dari pangeran.
Maka pedang di tangan kiri pangeran pun langsung mengayun menyambar leher
elang. Saat itu juga kepala elang terpisah dari tubuhnya. Ia mati terkapar di
atas tanah.
Pangeran itu benar-benar membunuh elang sahabatnya. Ia marah
dan geram dengan apa yang dilakukan elang kepadanya. Rasa hausnya semakin
bertambah. Ia hendak mengambil cawan itu namun tidak menemukannya. Kuatnya
cakar elang, membuat cawan itu terlempar jauh darinya.
Karena pangeran tidak menemukan cawannya, akhirnya ia
memutuskan untuk menaiki tebing itu mencari sumber mata air yang meresap di
bawahnya. “Jika di bawah tebing ini terdapat resapan air, pasti di atas sana
ada sumber mata airnya”. Ucap pangeran dalam hati.
Maka dengan rasa letih dan haus bercampur dengan kemarahan,
pangeran itu menaiki tebing dengan melewati jalan yang sulit sekali.
diruntutnya resapan air itu untuk sampai pada sumber mata airnya. Setelah
berusaha dengan keras akhirnya sang pangeran sampai di atas tebing, dan benar,
ia menemukan sebuah danau kecil di sana. Ia pun tak sabar untuk mendekat dan
meminum airnya yang segar.
Setelah sampai di danau itu, pengeran sangat terkejut ketika
ia mendapati bangkai luar yang besar sekali di danau itu. Baunya busuknya
sangat menyengat hidung. Hal itu menandakan bahwa ular tersebut belum lama
mati. Dan yang lebih mengejutkan yaitu bahwa ular itu adalah ular yang sangat
berbisa. Racun dalam bisanya dapat membunuh manusia dengan cepat.
“Air di danau ini tentu tercemari dengan racun ular ini”.
Sang pangeran berkata dalam hati. Air matanya meleleh membasahi kedua pipinya.
Ia teringat sahabatnya yang telah menyelamatkan nyawanya. Yaitu seekor elang
yang selalu menemaninya dalam setiap perjalanannya. Yang selalu bersamanya di
kala suka dan duka.
“Wahai elang sahabatku yang malang, karena kemarahanku, aku
berbuat tanpa berpikir dengan teliti. Seharusnya aku mencari tahu terlebih
dahulu kenapa engkau selalu menampik air dalam cawan ketika aku akan meminumnya.
Ternyata air itu mengandung racun yang bisa membunuhku. Maafkanlah aku. Maafkan
aku sahabatku...”. Pangeran itu menyesali perbuatannya. Air matanya terus
mengalir bercucuran. Dan air mata itu adalah satu-satunya air mata yang
mengalir selama ia menjadi seorang pangeran. Karena selama menjadi pangeran, ia
belum pernah menangis. Sekali pun.
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar