Diterjemahkan dari cerpen "Rihlatun Namlati"
karya Abdullah bin Ali Sa'd.
"هذه القصة مترجمة من قصة "رحلة النملة
التأليف عبد الله بن علي السعد
Rabi’
sering mendengar siapa pun yang lalai dan mendekati jalan itu, lantas ia hilang.
Namun kehidupan tidaklah berhenti dengan hilangnya satu nyawa bahkan hingga
banyak. Dan semut tidak memikirkan dirinya sendiri. Setiap hari kelompok semut
kembali dan berkurang sebagian anggotanya. Namun tidaklah menjadi persoalan,
karena selalu ada semut-semut lain yang dilahirkan
untuk menggantikan semut-semut yang hilang. Yang terpenting pada akhirnya
setiap semut menjalankan peranannya dalam kelompoknya.
Rabi’
berhenti untuk mengeringkan keringat dalam keceriaan, dan ia melihat kawanan
semut bergerak dengan giat. Cuacanya panas, namun angin dingin yang semilir
menepis rasa itu. Sebagaimana kebahagiaan dalam bekerja memotifasi kelompok semut untuk terus meningkatkan kinerja, dan mengatasi rintangan. Rabi’ kembali
pada lamunannya. Berapa banyak yang menyukai pekerjaan dan bergembira dengannya,
dan kehidupan yang teratur dalam kelompok terasa nilainya. Rabi’ berhenti kedua
kalinya. Ia mengangkat secuil gula dari atas bumi dan dengan semangat ia
bergerak ke tempat tinggalnya. Para semut saling berlomba untuk memberikan
lebih banyak pengumpulan makanan untuk musim dingin yang ektrem. Rabi’
mendengar seruan pimpinannya, memperingatkan kedekatan jarak mereka dari jalan
manusia. Ia hanya tersenyum tanpa menoleh. Ya, manusia memang berbahaya tapi
semut merupakan sesuatu yang berbeda. Betapa besar kecintaan pada kaumnya dan ia
membantu dengan pengorbanan untuk mereka. Rabi’ sampai pada tempat khusus untuk
menyimpan makanan dan ia meletakkan secuil gula lalu kembali dengan cepat. Hari
mulai siang dan bersama itu dengan cepat ia membawa lebih besar dari ukuran
yang ia mampu. Dalam dunia semut tak ada satu pun yang menyeru pada kemalasan. Oleh
karena itu dengan semangat mereka bebas bergerak ke sana kemari mencari secuil
gula atau daun-daun pohon, sayap belalang, atau apa pun yang bisa dimakan.
Tanpa
disadari Rabi semakin dekat dengan jalan raya, dimana kendaraan manusia
berlalu-lalang. Keheningan dipatahkan oleh suara kendaraan yang berlalu-lalang
dengan cepat. Di antara satu saat dan saat lainnya, tanah bergetar karena pantulan
kendaraan yang memotong jalan semut dan pengangkat debu-debu di atas mereka. Rabi’
sering mendengar, siapapun yang lalai dan mendekati jalan itu akan hilang. Namun
hidup tak akan berhenti dengan hilangnya satu bahkan banyak semut. Semut tidaklah
memikirkan dirinya sendiri, tiap harinya kelompok semut kembali dan berkurang sebagian
anggotanya. Namun hal itu tidaklah menjadi persoalan. Selalu ada semut-semut
lain yang dilahirkan untuk menggantikan semut-semut yang hilang. Pada akhirnya setiap
semut melaksanakan peranannya dalam kelompoknya.
Rabi’
mencium bau makanan. Bau itu samar menandakan ia tidaklah dekat dengannya. Namun
tidak ada yang mustahil dalam kamusnya. Ia akan pergi dengan cepat dan
mengambil potongan makanan yang jauh itu. Itu merupakan rejeki yang harus
membahagiakan semuanya. Tanah bergetar pelan menandakan di sana ada kendaraan
yang akan datang. Tapi mungkin ia akan pergi dengan cepat dan sampai pada
tujuannya sebelum sampainya kendaraan itu, kemudian ia akan kembali. Akhirnya Rabi’
mempercepat langkahnya dan menyeberang jalan dengan cepat. Waktu berjalan
sangat lamban. Dan tanah semakin bergetar menandakan sebuah kendaraan sudah dekat dengannya. Di sisi lain ia merasa jarak itu lebih jauh dari yang ia kira.
Ia merasakan ketakutan untuk pertama kali dalam hidupnya dan ia teringat pada
teman masa kecilnya, Samiir yang hilang dalam perjalanan kerja dan tidak pernah kembali ke rumahnya. Ketika itu semua mengatakan, hilangnya Samiir saat
berusaha melewati jalan itu.
Ia
terus mendekat ke tepi jalan dan kendaraan itu mendekat dengan cepat. Ia merasakan
waktu bertambah berat. Dan langkah kakinya semakin melambat. Tiba-tiba ia tidak
merasakan pijakan tanah di bawahnya. Dengan tekanan angin yang dihasilkan
cepatnya laju kendaran, ia merasa terbang karena kerasnya benturan Rabi’ dengan
karet roda kendaraan. Ia tetap tergantung di karet itu dengan keterbatasan tenaganya.
Lalu angin menggeleparkan Rabi’ tatkala kendaraan itu berbelok. Ia merasakan
capek, dan diam dalam ketidaksadaran.
Rabi’
tidak tahu sudah berapa lama waktu berjalan, dan ia masih belum sadar. Namun tatkala
ia mulai sadar fajar hampir terbit. Ia merasakan tulang belulangnya telah
remuk. Dan kepalanya terasa sakit. Bersama dengan itu ia mulai bergerak. Ia berhenti
dan mulai bergerak lagi berusaha mengetahui tempat ia berada. Ia berharap bisa
sampai pada tempat tinggalnya dan kaumnya. Udara membawakan bau semut yang
tidak biasa kepadanya. Namun pada akhirnya aroma semut juga. Itu artinya ada
kehidupan semut tak jauh darinya. Rabi’ terus mengikuti aroma itu hingga sangat
dekat dengannya, lalu ia merasakan detak jantungnya lebih cepat. Apakah mereka
akan mengetahuinya? Dan apa yang akan terjadi jika mereka menolak pertemuannya
dengan mereka. Pikirannya terhenti oleh suara yang datang dari sisi yang dekat.
Sebelum ia menoleh untuk menyatakan suara itu ia merasakan gerakan yang cepat
di sekitarnya lalu ia menoleh dengan cepat tapi sebuah pukulan kuat mendarat di
kepalanya, menghilangkan kesadarannya kedua kalinya. Maka ia terkapar pingsan dalam waktu yang lama.
Rabi’
bangun, ia kesakitan dan merasakan seretan yang sangat kuat. Ia terikat dengan
kuat. Dan di sekitarnya beberapa tentara semut berdiri menjaganya. Ia berusaha
bergerak namun tidak bisa. Seorang tentara mendekatinya dan tersenyum penuh
kebencian kemudian dia menampar wajah Rabi’ dengan kuat. Rasa letih tiba-tiba hilang
namun ia merasakan kegetiran dan hampir menangis, tapi ia menahannya dan dalam
diam ia melihat penjaganya. Ia mendengar suara yang menyuruh mereka melepaskan
ikatannya, maka dengan cepat tentara itu melepaskannya lalu berhentilah seekor
semut yang nampaknya ia adalah pemimpin pasukan tentara itu.
“Dengar
wahai tawanan, siapa namamu?”
“Namaku
Rabi’”
“Dari
mana kau datang?”
“Dari
lembah kuning”
“Jarak
yang jauh dari sini. Kenapa kau datang ke sini dan bagaimana kau sampai di
sini?”
“Aku
sampai di sini sewaktu melewati jalan, dan kendaraan manusia membawaku jauh
dari kaumku”
“Aku
harap aku bisa mempercayaimu. Tapi aku tahu, bahwa kau datang ke sini untuk
memata-matai kami”
“Tidak
benar. Semua ini karena sebuah kendaraan yang membawaku jauh dari kaumku”. Rabi’
menolak dengan cepat.
“Jangan
mengingkari kekurangajaran ini. Kau tawanan kami”
Rabi’
ingin menolaknya tapi ia tetap diam. Maka pemimpin semut itu berbicara lagi.
“Kamu
akan menjadi tawanan kami. Dan kamu akan bekerja mengumpulkan makanan” Kemudian
ia mengingatkannya dengan isyarat tangan, “Tentu dengan pengawasan. Dan usaha
apapun untuk melarikan diri, kami akan membunuh dan memakanmu”. Lalu ia tertawa
terbahak-bahak. “Paham?”
“Rabi’
menganggukkan kepalanya dalam kebisuan”
“Baik.
Sekarang pergilah ke halaman. Kau muda dan kuat. Banyak yang akan menantimu”.
Rabi’
keluar dengan penjagaan sedangkan letih meliputinya. Ia tidak berkata apa-apa, karena
ia merasa, berbicara dengan mereka tak akan membuahkan hasil. Mulailah kehidupan
Rabi’ yang baru. Ia merasakan kebiadaban di sekitarnya. Ia sangat terkejut. Masuk
akalkah terjadi kebiadaban di kerajaan semut tanpa ia ketahui? Namun ia
bukanlah satu-satunya tawanan mereka. Tapi tiba-tiba ia terkejut setelah
bertemu dengan teman seusianya Samiir yang juga menjadi tawanan di sana. Samiir
telah banyak berubah, ia menjadi semut yang kurus. Rabi’ merasakan bahwa
temannya itu berjalan meski tubuhnya kurus. Ia juga tidak lupa hari itu Samiir
terlalu lelah. Maka Rabi’ berkata pada pasukan semut untuk membebaskannya. Namun
mereka membalasnya dengan olok-olok dan hinaan. Ungkapan-ungkapan itu; “Yang
lemah tidak berhak hidup”, “Tak ada gunanya kami mengobatinya karena ia lemah”
dan ungkapan-ungkapan sejenisnya. Setiap Rabi’ berusaha untuk membebaskan
temannya, dengan cepat mereka membedakan perbedaan kehidupan tanpa belas
kasihan, ketika meninggalkannya. Dan dengan cepat Rabi’ mulai berubah tanpa ia
menyadarinya. Rabi’ diam dalam lamunan. Kesedihan
yang menyelimuti wajahnya menjadikannya tampak lebih tua, menjadi raut wajah
Rabi’.
“Wahai
tawanan!”
“Rabi’
menoleh tanpa menjawabnya”.
“Kenapa
kau tidak menjawab?”
“Apa
yang aku katakan?”
Pembesar
semut menampar telinganya hingga ia merasakan sakit. Dan suara dengung
dirasakannya berputar-putar. Kemudian semut itu berkata.
“Sepertinya
kau mulai mengingkari perintah”
“Perintah
apa? Aku belum bicara apa pun. Kenapa. Kenapa semua ini?”
Pembesar
semut marah dan mendekati Rabi’, lalu menjinjingkan dadanya. “Dengar wahai
tawanan, kau membuat aku mengendalikanmu”
Rabi’
memberanikan diri dan mejawabnya dengan tenang. “Aku adalah semut sepertimu. Kenapa
kau mengendalikanku?”
“Kamu
bukanlah sepertiku. Kau lemah, tak bernilai. Tapi aku kuat dan besar”
“Setiap
kita adalah semut pekerja wahai kawan. Apa beda antara kau dan aku?”
“Perbedaannya
adalah kau tawanan”
“Siapa
yang menawanku? Saudaraku? Dari kulitku sendiri?”
“Aku
bukanlah saudaramu. Kau musuhku. Kau datang keduniaku sebagai mata-mata”
“Tidak.
Cobalah keluar dari pemikiran ini. Aku datang ke sini karena sebuah peristiwa,
tak lebih dari itu. Dan aku menyukai hidup dalam ketenangan”.
“Tak
ada tempat bagimu, kecuali sebagai pembantu”
“Semut
tidak mengenal istilah ini. Kita telah belajar untuk hidup di tempat kita,
karena tempat kita. Tidak ada beda. Setiap kita pada akhirnya membantu umat
kita”
Tawa pembesar semut itu meninggi. Matanya mulai memerah. “Ini hanyalah falsafah”.
“Ini
adalah kenyataan. Kita bisa hidup dalam kedamaian dan kasih sayang. Dan saling
melengkapi antara satu dan lainnya”
“Kamu
tidak melengkapiku dalam apa pun. Dengar, aku peringatkan. Kalau kau lanjutkan,
kau akan kubunuh”.
“Pada
akhirnya kau saudaraku”
“Tidak.
Aku bukan saudaramu”
“Lalu
apa”
Pembesar
semut itu marah dan berteriak pada semut-semut lain. “Pukul dia!”. Ribuan tangan
mulai memukuli Rabi’. Ia tidak berusaha melawannya karena ia tak akan mampu. Ia
disibukkan dengan pikiran dunianya dan Samiir. Kemudian ruhnya mengalir dengan
tenang untuk bertemu dengan ruh-ruh temannya. Bersama dengan perjalanan itu,
diperintahkan kepada tentara semut-semut untuk membawanya pada penyimpanan
makan, sebagai persiapan musim dingin.
TAMAT
Haaaaaaaaaaaaaaaaaaa Rabi' matiiii :'(
BalasHapusSalam kenal. Saya follow yaa :)
Salam kenal juga, terimakasih sudah mampir.
BalasHapusizin menyimak
BalasHapus