Materi ini bersumber dari kitab Fathu Qorib.
Nikah secara
bahasa digunakan untuk mengungkapkan makna mengumpulkan, bersenggama, dan akad.
Dan secara syariah nikah adalah akad yang mengandung beberapa rukun dan syarat.
Hukum Nikah
Nikah
disunnahkan bagi orang yang membutuhkannya sebab keinginan kuat untuk melakukan wathi’
(seks) dan ia memiliki biaya seperti mas kawin dan nafkah. Jika tidak memiliki
biaya maka tidak disunahkan untuk menikah.
Nikah Empat Wanita Bagi Laki-Laki
Merdeka dan Dua Wanita Bagi Budak
Bagi laki-laki
merdeka diperbolehkan menikahi empat wanita merdeka, kecuali jika haknya hanya
satu saja seperti nikahnya lelaki idiot dan sesamanya, yaitu pernikahan yang tergantung
pada kebutuhan saja. Bagi seorang budak walaupun budak mudabbar, muba’adl,
mukatab, atau budak yang digantungkan kemerdekaannya dengan sebuah sifat,
diperkenankan hanya menikahi dua istri saja.
Memandang Lawan Jenis
Pandangan seorang lelaki pada wanita
terbagi menjadi tujuh macam:
Yang pertama,
pandangan seorang laki-laki, walaupun sudah tua renta dan tidak mampu lagi berhubungan
intim kepada wanita lain (bukan mahram dan bukan istri) tanpa ada keperluan
untuk memandangnya, maka hukumnya tidak diperbolehkan (haram). Jika
pandangannya karena ada keperluan seperti menjadi saksi atas wanita tersebut,
maka hukumnya diperbolehkan.
Yang kedua,
pandangan seorang laki-laki pada istri dan budak perempuannya. Maka diperbolehkan
melihat keduanya selain bagian kemaluan. Sedangkan bagian kemaluan, maka hukum
melihatnya adalah haram. Dan ini pendapat yang lemah. Menurut pendapat yang
paling shahih adalah diperbolehkan melihat bagian kemaluan akan tetapi disertai
hukum makruh.
Yang ketiga,
pandangan seorang laki-laki pada wanita-wanita mahramnya, baik sebab nasab
(karena keturunan), radla’(karena persusuan) ataupun pernikahan, atau
pada budak wanitanya yang telah dinikahkan dengan orang lain, maka
diperkenankan baginya memandang anggota badan selain anggota di antara pusar
dan lutut. Sedangkan melihat anggota di antara keduanya, hukumnya haram.
Yang keempat
adalah melihat wanita lain karena ingin dinikahi. Ketika seseorang ingin
menikahi seorang wanita, maka diperbolehkan melihat wajah dan kedua telapak
tangan luar dalam wanita tersebut, walaupun calon istri tersebut tidak memberi
izin melakukannya.
Menurut
tarjihnya imam an-Nawawi, ketika seorang lelaki hendak melamar budak wanita,
maka ia diperbolehkan melihat budak wanita tersebut bagian badan yang
diperkenankan untuk dilihat dari wanita merdeka.
Yang kelima adalah melihat karena untuk mengobati. Maka seorang dokter laki-laki diperbolehkan melihat pasien wanita lain pada bagian-bagian yang akan diobati hingga bagian farji (kemaluan) sekalipun. Hal itu dapat lakukan di depan mahram, suami, atau majikan pasien wanita tersebut. Dan memang tidak ada dokter wanita yang bisa mengobati pasien wanita tersebut.
Yang keenam
adalah memandang karena tujuan bersaksi atas seorang wanita. Maka seorang saksi
diperbolehkan melihat farji wanita lain ketika ia bersaksi atas perbutan
zina atau melahirkan yang dialami oleh wanita tersebut. Sehingga, jika ia
sengaja melihat dengan tujuan selain bersaksi, maka ia dihukumi fasiq
dan persaksiannya ditolak. Atau memandang karena untuk melakukan transaksi jual
beli atau yang lain dengan seorang wanita, maka baginya diperbolehkan memandang
pada wanita tersebut. Mushannif berkata, “tertentu hanya memandang
bagian wajahnya saja”.
Yang ketujuh
adalah memandang budak wanita ketika hendak membelinya. Maka baginya diperbolehkan
memandang bagian-bagian badan yang butuh untuk dipandang/ dibolak balik Sehingga
ia diperkenankan memandang bagian-bagian tubuh dan rambutnya, tidak bagian auratnya.
Syarat Nikah
Akad nikah menjadi
sah apabila memenuhi syarat-syarat perkawinan yaitu adanya wali nikah pihak
perempuan, adanya dua saksi laki-laki yang adil dan ijab kabul yakni serah
terima dari wali nikah dan mempelai laki-laki.
Akad nikah
tidak bisa sah kecuali dengan hal-hal tersebut. Akad nikah hukumnya tidak sah
kecuali disertai dengan wali yang adil. Dalam sebagian redaksi dengan bahasa,
“dengan seorang wali laki-laki”. Hal ini mengecualikan seorang wanita. Karena
sesungguhnya seorang wanita tidak bisa menikahkan dirinya sendiri atau orang
lain. Akad nikah juga tidak bisa sah kecuali dengan hadirnya dua orang saksi
yang adil.
Syarat Wali dan Saksi
Mushannif menjelaskan syarat masing-masing dari wali dan dua saksi di dalam
perkataan beliau. Seorang wali dan dua orang saksi membutuhkan enam syarat:
Pertama adalah Islam.
Sehingga wali seorang wanita tidak boleh orang kafir, kecuali permasalahan yang
dikecualikan oleh mushannif setelah ini. Kedua adalah baligh. Sehingga wali
seorang wanita tidak boleh anak kecil. Ketiga adalah berakal. Sehingga wali
seorang wanita tidak boleh orang gila, baik gilanya terus menerus atau
terputus-putus.
Keempat adalah
merdeka. Sehingga seorang wali tidak boleh berupa budak di dalam ijab (serah)
nikah. Seorang budak diperkenankan menjadi orang yang qabul (terima) di dalam
akad nikah. Kelima adalah laki-laki. Sehingga seorang wanita dan khuntsa tidak
bisa menjadi wali nikah. Keenam adalah adil. Sehingga seorang wali tidak boleh
fasiq.
Dari keterangan
di atas, mushannif mengecualikan permasalahan yang tercakup di dalam ungkapan
beliau, Hanya saja, sesungguhnya pernikahan wanita kafir dzimmi tidak
mengharuskan walinya beragama islam. Pernikahan seorang budak wanita tidak
mengharuskan majikkannya adil, sehingga hukumnya sah walaupun majikan yang menikahkannya
adalah orang fasiq.
Semua syarat
yang telah disebutkan di dalam wali juga disyaratkan di dalam dua saksi nikah. Adapun
seorang yang buta tidak sampai mencacatkan hak menjadi wali menurut pendapat paling
shahih.
Urutan Wali Nikah
Wali-wali yang
paling berhak menikahkan adalah ayah, lalu kakek yang menjadi ayahnya ayah,
kemudian ayahnya kakek dan seterusnya. Kakek yang lebih dekat dengan wanita
yang hendak dinikahkan harus didahulukan daripada kakek yang lebih jauh. Kemudian
saudara lelaki seayah seibu (kandung). Seandainya mushannif mengungkapkan, “asy
syaqiq (kandung)”, niscaya lebih ringkas.
Kemudian saudara lelaki seayah. Lalu anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah seibu walaupun hingga ke bawah. Kemudian anak laki-lakinya saudara laki-laki seayah walaupun hingga ke bawah. Kemudian paman dari jalur ayah yang seayah seibu (dengan ayah). Lalu paman dari jalur ayah yang seayah (dengan ayah).
Kemudian anak
laki-lakinya, maksudnya anak laki-laki masing-masing dari keduanya walaupun
hingga ke bawah sesuai dengan urutan di atas. Sehingga anak laki-laki paman
yang seayah seibu lebih didahulukan dari pada anak laki-laki paman yang seayah.
Jika ahli ashabah dari jalur nasab sudah tidak ada, maka yang berhak menikahkan
adalah majikan laki-laki yang telah memerdekakannya. Kemudian ahli ashabah
majikan tersebut sesuai dengan urutan di dalam masalah warisan.
Adapun majikan
wanita yang telah memerdekakan ketika ia masih hidup, maka yang berhak
menikahkan wanita yang telah ia merdekakan adalah orang yang berhak menikahkan
majikan tersebut sesuai dengan urutan yang telah dijelaskan di dalam urutan
wali dari jalur nasab.
Jika majikan
wanita yang telah memerdekakan tersebut telah meninggal dunia, maka yang
menikahkan wanita yang telah dimerdekakan olehnya adalah orang yang mendapat
waris wala’ dari majikan wanita tersebut, kemudian anak laki-lakinya, lalu cucu
laki-laki dari anak laki-lakinya. Kemudian seorang hakim berhak menikahkan
ketika wali dari jalur nasab dan wala’ sudah tidak ada.
Lamaran
Kemudian mushannif
beranjak menjelaskan permasalahan khitbah (melamar). Kata “al khitbah”
dengan terbaca kasrah huruf kha’nya. Khitbah adalah permintaan seorang
laki-laki yang melamar seorang wanita untuk menikah. Mushannif berkata, “tidak
diperkenankan melamar wanita yang sedang menjalankan iddah wafat, talak ba’in
dan talak roj’i, dengan bahasa sharih (terang-terangan).
Sharih adalah
bahasa yang secara tegas menunjukkan keinginan untuk meminang, seperti ucapan
seorang laki-laki pada wanita yang menjalankan iddah, “aku ingin menikahi kamu”.
Jika seorang wanita yang sedang iddah namun bukan iddah talak raj’i,
maka diperkenankan melamarnya dengan ta’ridl (bahasa sindiran), dan
menikahinya setelah iddahnya selesai.
Ta’ridl adalah ungkapan yang tidak secara tegas menunjukkan keinginan untuk menikahinya akan tetapi hanya ihtimal (mirip-mirip) saja, seperti ungkapan seorang lelaki yang ingin melamar pada seorang wanita, “banyak sekali laki-laki yang menyukaimu”.
Sedangkan
wanita yang terbebas dari hal-hal yang mencegah untuk menikah dan sebelumnya
tidak ada yang melamar, maka diperkenankan melamarnya dengan bahasa sindiran
dan bahasa terang-terangan.
Wanita Janda dan Perawan
Wanita terbagi
menjadi dua, wanita-wanita janda dan perawan. Wanita janda adalah wanita yang
keperawanannya telah hilang sebab wathi’ yang halal atau haram. Sedangkan
wanita perawan adalah sebaliknya.
Bagi seorang
ayah dan kakek -ketika sama sekali tidak ada ayah atau ayahnya tidak bisa
menjadi wali- diperkenankan meng-ijbar (memaksa) anak perawannya untuk menikah,
jika memang memenuhi syarat-syarat ijbar.
Yaitu calon
mempelai wanita belum pernah diwathi’ vaginanya, dan dinikahkan dengan lelaki
sepadan dengan mas kawin standar wanita tersebut yang diambilkan dari mata uang
daerah setempat. Sedangkan wanita janda tidak diperkenankan bagi walinya
menikahkan kecuali setelah wanita tersebut baligh dan memberi izin dengan
ucapan tidak dengan diam saja.
Wanita Haram (Muhrim)
Wanita mahram
atau muhrim adalah wanita yang haram dinikah karena adanya unsur kekerabatan
atau pernikahan atau sesusuan. Ini mahram selamanya. Adapun wanita mahram yang
bersifat sementara adalah dua wanita bersaudara hanya boleh dinikahi
salahsatunya dalam waktu yang sama. Wanita-wanita yang diharamkan, maksudnya
yang diharamkan untuk dinikahi dengan dalil Nash (Al Qur’an) ada empat belas.
Mahram Jalur Nasab
Yaitu tujuh
wanita sebab nasab. Mereka adalah ibu hingga ke atas. Dan anak perempuan hingga
ke bawah. Adapun anak wanita yang dihasilkan dari sperma zinanya seorang
laki-laki, maka bagi laki-laki tersebut dihalalkan menikahinya menurut pendapat
al-ashah, akan tetapi hukumnya makruh.
Baik wanita
yang dizinai atas keinginan sendiri ataupun tidak. Sedangkan bagi seorang
wanita maka tidak dihalalkan menikah dengan anaknya dari hasil zina. Ketiga,
saudara perempuan, baik seayah seibu, seayah saja atau seibu saja.
Keempat, bibik
dari jalur ibu, baik secara hakikat atau dengan perantara seperti bibiknya ayah
atau bibiknya ibu. Kelima, bibik dari jalur ayah, baik secara hakikat atau
dengan perantara seperti bibiknya ayah dari jalur ayah. Keenam, putrinya
saudara laki-laki dan cucu-cucu perempuannya dari anak laki-laki atau
perempuan. Ketujuh, putrinya saudara perempuan dan cucu-cucu perempuannya dari
anak laki-laki atau perempuan.
Mahram Karena Radha’ (Sesusuan)
Mushannif mengathafkan pada perkataan beliau di depan, “tujuh”, ungkapan beliau di sini, “dan dua wanita, maksudnya wanita-wanita mahram berdasarkan Nash Al Qur’an adalah dua wanita sebab radla’. Mereka adalah ibu yang menyusui dan saudara wanita dari radla’. Mushannif hanya menyebutkan dua wanita tersebut karena yang disebutkan di dalam Nash Al Qur’an hanya dua itu saja.
Jika tidak demikian, maka tujuh
wanita yang diharamkan sebab nasab juga diharamkan sebab radla’ sebagaimana
yang akan ditegaskan di dalam ungkapan matan.
Mahram karena Pernikahan
Dan
wanita-wanita mahram berdasarkan Nash Al Qur’an adalah empat wanita sebab
pernikahan. Mereka adalah ibunya istri walaupun ibunya yang seatas, baik dari
jalur nasab atau radla’. Baik suami sempat jima’ dengan si istri ataupun tidak.
Yang kedua dan
ketiga, rabibah (anak tiri), maksudnya putrinya sang istri ketika sang suami sempat
melakukan jima’ dengan ibunya rabibah tersebut. Dan istrinya ayah, walaupun
ayah seatasnya. Keempat, istrinya anak laki-laki walaupun hingga ke bawah.
Wanita Yang
Hanya Haram Dikumpulkan
Wanita-wanita
yang telah dijelaskan di atas adalah wanita yang haram dinikah untuk selamanya.
Dan ada satu wanita yang haram dinikah namun tidak untuk selamanya akan tetapi
dari sisi tidak boleh dikumpulkan saja. Dia adalah saudara perempuannya istri.
Sehingga bagi
seorang laki-laki tidak diperbolehkankan mengumpulkan -dalam pernikahan- antara
seorang wanita dengan saudara wanitanya sekaligus, baik yang seayah atau seibu,
atau di antara dua wanita tersebut terdapat hubungan nasab atau radla’,
walaupun saudara perempuan wanita yang dinikah itu rela untuk dimadu /
dikumpulkan.
Seorang
laki-laki juga tidak diperkenankan mengumpulkan antara seorang wanita dengan
bibik wanita tersebut dari jalur ayah, dan antara seorang wanita dengan
bibiknya dari jalur ibu. Sehingga, jika seorang laki-laki mengumpulkan antara wanita-wanita
yang haram dikumpulkan dengan satu akad untuk menikahi keduanya, maka akad
nikah keduanya batal.
Atau tidak
mengumpulkan keduanya dalam satu akad akan tetapi menikahi keduanya secara
berurutan, maka akad nikah yang kedua batal jika memang diketahui secara pasti
wanita yang diakad terlebih dahulu. Sehingga, jika tidak diketahui, maka akad
nikah keduanya menjadi batal.
Jika akad
wanita yang pertama diketahui namun kemudian lupa yang mana, maka laki-laki
tersebut dilarang mendekati keduanya. Dua wanita yang haram dikumpulkan dalam
satu pernikahan, maka juga haram dikumpulkan di dalam wathi’ dengan milku yamin
(kepemilikan budak).
Begitu juga
haram jika salah satunya menjadi istri dan yang lainnya dimiliki sebagai budak Jika
ia telah mewathi’ salah satu dari dua budak wanita yang ia miliki -yang haram
untuk dikumpulkan-, maka budak yang satunya haram untuk diwathi’, kecuali budak
wanita yang pertama telah haram baginya dengan salah satu jalan seperti menjual
atau menikahkannya dengan orang lain.
Mushannif
memberi isyarah pada batasan secara umum dengan ungkapan beliau, Wanita-wanita
yang haram dari jalur nasab juga haram dari jalur radla. Telah dijelaskan bahwa
sesungguhnya wanita yang haram dari jalur nasab ada tujuh orang, maka tujuh
orang tersebut juga haram dari jalur radla’
Talak dan
Khuluk
Talak secara
bahasa adalah melepas ikatan. Dan secara syara’ adalah nama perbuatan untuk
melepas ikatan pernikahan. Untuk terlaksananya talak, maka disyaratkan harus
dilakukan oleh suami yang mukallaf dan atas kemauan sendiri. Sedangkan orang
yang sedang mabuk, maka talak yang dilakukannya tetap sah karena sebagai
hukuman baginya.
Pembagian Talak
Talak ada dua
macam, talak sharih dan kinayah. Talak sharih adalah talak menggunakan bahasa
yang tidak mungkin diarahkan pada selain talak. Sedangkan talak kinayah adalah
talak menggunakan bahasa yang memungkinkan diarahkan pada selain talak.
Seandainya sang suami mengucapkan
bahasa talak yang sharih dan dia berkata, “aku tidak menghendaki bahasa
tersebut untuk mentalak”, maka kata-katanya ini tidak bisa diterima.
Talak Sharih
Talak sharih
ada tiga lafadz. Yaitu lafadz “talak” dan lafadz-lafadz yang dicetak dari
lafadz tersebut, seperti “saya mentalakmu”, “kamu orang yang tertalak”, dan
“kamu orang yang ditalak.” Lafadz “al firaq” dan lafadz “as sarah”, seperti
“faraqtuki”, “wa anti mufaraqatun”, “sarahtuki”, dan “anti musarrahatun.”
Di antara
bentuk kalimat talak yang sharih adalah khulu’ yang disertai dengan penyebutan
harta yang dijadikan sebagai iwadl. Begitu juga lafadz “al mufadah (tebusan).” Bentuk
talak yang sharih tidak butuh pada niat.
Dikecualikan
orang yang dipaksa melakukan talak, maka bentuk kalimat talak sharih yang ia
lakukan menjadi bentuk talak kinayah. Jika ia niat menjatuhkan talak, maka
jatuh talak. Dan jika tidak niat mentalak, maka tidak jatuh talak.
Talak Kinayah
Kinayah adalah
bentuk lafadz yang memungkinkan diarahkan pada talak dan juga pada selain
talak, dan butuh pada niat. Sehingga, jika lafadz kinayah tersebut diniati
untuk menjatuhkan talak, maka jatuh talak. Dan jika tidak niat menjatuhkan
talak, maka tidak jatuh talak.
Bentuk talak
kinayah adalah seperti, “anti bariyah khaliyah (engkau adalah wanita yang bebas
dan sepi)”, “susullah keluargamu”, dan bentuk-bentuk lain yang ada di dalam
kitab-kitab yang lebih luas penjelasannya.
Macam-Macam Wanita Dalam Talak
Wanita di dalam permasalahan talak
ada dua macam :
Satu macam adalah wanita yang bila ditalak, maka talaknya bisa berstatus
sunnah dan bisa berstatus bid’ah, mereka adalah wanita-wanita yang memiliki
(berusia) haidl. Yang dikehendaki mushannif dengan talak sunnah adalah talak
yang diperbolehkan, sedangkan talak bid’ah adalah talak yang haram.
Talak sunnah adalah talak yang dijatuhkan oleh sang suami pada
istri saat masa suci yang belum dijima’ pada masa suci tersebut. Dan talak
bid’ah adalah talak yang dijatuhkan oleh sang suami pada istri saat masa haidl
atau masa suci namun sudah melakukan jima’ pada masa suci tersebut.
Dan satu macam
lagi adalah wanita yang bila ditalak, maka talaknya tidak berstatus sunnah juga
tidak berstatus bid’ah. Mereka adalah empat wanita, yaitu wanita yang masih
kecil, wanita ayisah yaitu wanita yang sudah tidak mengeluarkan darah haidl lagi,
wanita hamil, wanita yang menerima khulu’, dan wanita yang belum dijima’ oleh
suaminya.
Hukum-Hukum Talak
Dengan
pertimbangan yang lain, talak terbagi menjadi talak wajib seperti talak yang
dilakukan oleh suami yang sumpah ila’. Talak sunnah seperti mentalak istri yang
tidak beres kelakukannya seperti berbudi jelek. Talak makruh seperti mentalak
istri yang baik keadaannya. Talak haram seperti talak bid’ah dan sudah
dijelaskan di depan.
Imam al
Haramain memberi isyarah pada bentuk talak mubah dengan contoh mentalak istri
yang tidak dicintai oleh suaminya dan hati sang suami tidak rela memberi nafkah
tanpa ada unsur bersenang-senang dengan istri tersebut.
Khuluk
Definisi Khulu’
Lafadz “al
khul’u’” dengan terbaca dommah huruf kha’nya yang diberi titik satu di atas, adalah
lafadz yang tercetak dari lafadz “al khal’u” dengan terbaca fathah huruf
kha’nya. Dan lafadz “al khal’u” bermakna mencopot. Secara syara’, khul’u adalah
perceraian dengan menggunakan ‘iwadl (imbalan) yang maksud (layak untuk
diinginkan). Maka mengecualikan khulu’ dengan ‘iwadl berupa darah dan
sesamanya.
Syarat Khulu’
Khulu’ hukumnya
sah dengan menggunakan ‘iwadl yang ma’lum dan mampu diserahkan. Sehingga, jika
khulu’ menggunakan ‘iwadl yang tidak ma’lum seperti seorang suami melakukan
khulu’ pada istrinya dengan ‘iwadl berupa pakaian yang tidak ditentukan, maka
sang istri tertalak ba’in dengan memberikan ganti mahar mitsil.
Konsekuensi Khuluk
Dengan khulu’ yang
sah, maka seorang wanita berhak atas dirinya sendiri. Dan sang suami tidak bisa
ruju’ pada wanita tersebut, baik ‘iwadl yang digunakan sah ataupun tidak. Dan
ungkapan mushannif, “kecuali dengan akad nikah yang baru” tidak tercantum di
kebanyakan redaksi.
Khulu’ boleh
dilakukan saat sang istri dalam keadaan suci dan dalam keadaan haidl, dan
khulu’ yang dilakukan ini tidaklah haram. Wanita yang telah dikhulu’ tidak bisa
ditalak. Berbeda dengan istri yang tertalak raj’i, maka bisa untuk ditalak.
Jenis Talak
Jenis talak
yang dijatuhkan suami pada istri ada dua yaitu talak tanjiz (munajjaz) dan
talak ta'liq (muallaq). Talak tanjiz adalah talak yang diucapkan secara
langsung seperti "Kamu aku cerai.” Sedangkan talak muallaq adalah talak
kondisional di mana suami menjatuhkan talak bersamaan dengan terjadinya sesuatu
di masa depan. Seperti, "Kalau kamu menemui mantan kamu, kamu aku
cerai," maka, cerai akan terjadi apabila istri melakukan larangan
tersebut.
Hak Talak Suami
Suami yang
merdeka memiliki hak talak tiga kali atas istrinya walaupun istrinya berstatus
budak. Dan suami yang berstatus budak hanya memiliki hak talak dua kali atas
istrinya, baik istrinya berstatus merdeka ataupun budak. Budak muba’adl,
mukatab, dan budak mudabbar itu sama dengan budak yang murni.
Istisna’
(Mengecualikan) Dalam Talak
Istisna’ dalam
talak hukumnya sah ketika istisna’ bersambung dengan talak yang diucapkan. Maksudnya
sang suami menyambung lafadz “mustasna (yang dikecualikan)” dengan lafadz
“mustasna minhu (yang diambil pengecualiannya)” dengan bentuk penyambungan
secara ‘urf, dengan arti kedua lafadz tersebut dianggap satu perkataan secara
‘urf.
Juga
disyaratkan suami harus niat mengecualikan sebelum selesai mengucapkan kalimat
talak. Dan tidak cukup mengucapkan pengecualian tanpa disertai niat untuk
mengecualikan. Dan juga disyaratkan yang dikecualikan (mustasna) tidak
menghabiskan jumlah yang diambil pengecualiannya (mustasna minhu). Sehingga,
jika menghabiskan seperti ucapan “engkau tertalak tiga kecuali tiga”, maka
pengecualian tersebut batal.
Ta’liq (Penggantungan) Talak / Talak
Kondisional
Sah menta’liq
talak dengan sifat dan syarat. Seperti kata-kata “jika engkau masuk rumah, maka
engkau tertalak”, maka sang istri menjadi tertalak ketika masuk rumah. Talak
tidak bisa jatuh kecuali terhadap istri. Kalau demikian, maka talak tidak bisa
jatuh -terhadap seorang wanita- sebelum menikah. Sehingga tidak sah mentalak
wanita lain -bukan istri- dengan bentuk talak secara langsug seperti ucapan
seorang laki-laki pada wanita tersebut, “aku mentalakmu.”
Dan juga tidak
dengan bentuk talak yang digantungkan seperti ucapan seorang laki-laki pada
wanita yang bukan istrinya, “jika aku menikah denganmu, maka engkau tertalak”,
atau “jika aku menikah dengan fulanah, maka ia tertalak.”
Orang-Orang
Yang Tidak Sah Menjatuhkan Talak
Ada empat orang
yang tidak bisa menjatuhkan talak, yaitu anak kecil, orang gila, yang semakna
dengan orang gila adalah orang epilepsi. Orang yang tidur dan orang yang
dipaksa menjatuhkan talak, maksudnya dengan tanpa alasan yang benar.
Sehingga, jika
pemaksaan tersebut di dasari dengan alasan yang benar, maka jatuh talak. Bentuk
pemaksaan dengan alasan yang benar seperti penjelasan sekelompok ulama’, adalah
pemaksaan talak yang dilakukan oleh seorang qadli terhadap suami yang melakukan
sumpah ila’ setelah melewati masa ila’.
Syarat-Syarat Pemaksaan
Syarat ikrah / paksaan adalah kemampuan al mukrih (orang yang memaksa), dengan terbaca kasrah huruf ra’nya, untuk membuktikan ancamannya terhadap al mukrah (orang yang dipaksa), dengan terbaca fathah huruf ra’nya, baik dengan mengandalkan kekuasaan atau kekuatan.
Lemahnya al
mukrah (orang yang dipaksa), dengan terbaca fathah huruf ra’nya, untuk melawan/ menghentikan al mukrih (orang yang memaksa), dengan terbaca kasrah huruf
ra’nya, baik dengan lari darinya, meminta tolong pada orang yang bisa
menyelamatkannya, atau cara-cara sesamanya.
Dan al mukrah
(orang yang dipaksa) mempunyai dugaan bahwa sesungguhnya jika ia tidak mau
melakukan apa yang dipaksakan padanya, maka al mukrih (orang yang memaksa) akan
membuktikan ancamannya. Pemaksaan bisa hasil dengan ancaman pukulan keras,
penjara, merusakkan harta atau sesamanya.
Ketika dari al
mukrah (orang yang dipaksa) nampak ada qarinah (petunjuk) bahwa ia melakukan
dengan keinginan sendiri, dengan contoh semisal seseorang dipaksa menjatuhkan
talak tiga namun kemudian dia menjatuhkan talak satu, maka talak yang ia
lakukan sah / jatuh.
Ketika ada
orang mukallaf menggantungkan talak dengan sifat dan sifat tersebut baru wujud
ketika orang tersebut tidak dalam keadaan mukallaf, maka sesungguhnya talak
yang dita’liq dengan sifat tersebut menjadi jatuh. Orang yang sedang mabuk
ketika menjatuhkan talak, maka talaknya sah seperti penjelasan di depan.
Rujuk
Lafadz “ar
raj’ah” dengan terbaca fathah huruf ra’nya. Ada keterangan bahwa ra’nya terbaca
kasrah. Raj’ah secara bahasa adalah kembali satu kali. Dan secara syara’ adalah
mengembalikan istri pada ikatan pernikahan saat masih menjalankan ‘iddah talak
selain talak ba’in dengan cara tertentu.
Dengan bahasa
“talak” mengecualikan wathi syubhat dan dhihar. Karena sesungguhnya halalnya
melakukan wathi dalam kedua permasalahan tersebut setelah hilangnya sesuatu
yang mencegah kehalalannya tidak bisa disebut ruju’. Ketika seseorang mentalak
istrinya satu atau dua kali, maka bagi dia diperkenankan ruju’ tanpa seizin
sang istri selama masa ‘iddahnya belum habis.
Cara Rujuk
Ruju’ yang
dilakukan oleh orang yang bisa bicara sudah bisa hasil dengan menggunakan
kata-kata, di antaranya adalah “raja’tuki (aku meruju’mu)” dan lafadz lafadz
yang ditasrif dari lafadz “raj’ah.” Menurut pendapat al ashah sesungguhnya
ucapan al murtaji’ (suami yang ruju’),”aku mengembalikanmu pada nikahku” dan,
“aku menahanmu pada nikahku” adalah dua bentuk kalimat ruju’ yang sharih. -menurut
al ashah- Sesungguhnya ucapan al murtaji’, “aku menikahimu”, atau, “aku
menikahimu” adalah dua bentuk kalimat ruju’ yang kinayah.
Syarat Orang Yang Rujuk
Syarat al murtaji’, jika ia tidak dalam keadaan ihram, adalah orang yang sah melakukan akad nikah sendiri. Kalau demikian maka ruju’nya orang yang mabuk hukumnya sah. Tidak sah ruju’nya orang murtad, anak kecil dan orang gila. Karena sesungguhnya masing-masing dari mereka bukan orang yang sah melakukan akad nikah sendiri.
Berbeda dengan orang
yang safih dan budak. Maka ruju’ yang dilakukan keduanya sah tanpa ada izin
dari wali dan majikan. Walaupun awal pernikahan keduanya membutuhkan /
tergantung pada izin wali dan majikannya. Jika ‘iddah wanita yang tertalak
raj’i telah selesai, maka bagi sang suami halal menikahinya dengan akad nikah
yang baru. Dan setelah akad nikah yang baru tersebut, maka sang istri hidup
bersama suaminya dengan memiliki hak talak yang masih tersisa. Baik wanita
tersebut sempat menikah dengan laki-laki lain ataupun tidak.
Talak Ba’in Kubra
Jika suami mentalak sang istri
dengan talak tiga, jika memang sang suami berstatus merdeka, atau talak dua
jika sang suami berstatus budak, baik menjatuhkan sebelum melakukan jima’ atau
setelahnya, maka wanita tersebut tidak halal bagi sang suami kecuali setelah
wujudnya lima syarat.
Yang pertama,
‘iddah wanita tersebut dari suami yang telah mentalak itu telah habis. Yang
kedua, wanita tersebut telah dinikahkan dengan laki-laki lain, dengan akad
nikah yang sah. Yang ketiga, suami yang lain tersebut telah men-dukhul dan
menjima’nya. Yaitu suami yang lain tersebut memasukkan hasyafah atau seukuran
hasyafah orang yang hasyafah-nya terpotong pada bagian vagina sang wanita,
tidak pada duburnya. Dengan syarat penisnya harus intisyar (berdiri), dan orang
yang memasukkan alat vitalnya termasuk orang yang memungkinkan melakukan jima’,
bukan anak kecil.
Yang ke empat,
wanita tersebut telah tertalak ba’in dari suami yang lain itu. Yang kelima,
‘iddahnya dari suami yang lain tersebut telah selesai.
Iddah
‘Iddah secara bahasa adalah kalimat isim dari
fi’il madli “i’tadda.” Dan secara
syara’ adalah penantian seorang perempuan dalam jangka waktu yang bisa
diketahui dalam rentan waktu tersebut bahwa kandungannya telah bersih, dengan
beberapa masa suci, beberapa bulan atau melahirkan kandungan.
Macam-Macam Mu’taddah (Wanita Yang Menjalankan
‘Iddah)
Wanita
mu’taddah ada dua macam, yaitu mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha (yang
ditinggal mati suami) dan mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha (yang tidak
ditinggal mati suami).
Wanita Iddah Bukan Karena
Ditinggal Mati (Mu’taddah Ghairu Mutawaffa ‘Anha Zaujuha)
Untuk mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha
jika dalam keadaan hamil, maka ‘iddahnya dengan melahirkan kandungan yang bisa
dihubungkan nasabnya pada suami yang memiliki ‘iddah tersebut. Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha itu
tidak dalam keadaan hamil dan ia termasuk golongan wanita yang memiliki /
memungkinkan haidl, maka ‘iddahnya adalah tiga kali aqra’, yaitu tiga kali suci.
Jika
ia tertalak saat dalam keadaan suci dengan arti setelah tertalak masih berada
dalam waktu suci, maka ‘iddahnya habis dengan mengalami haidl yang ketiga. Atau
tertalak saat dalam keadaan haidl atau nifas, maka ‘iddahnya habis dengan
mengalami haidl yang ke empat. Sedangkan
sisa masa haidlnya tidak terhitung masa suci.
Jika mu’taddah ghairu mutawaffa ‘anha zaujuha
tersebut masih kecil atau sudah besar dan sama sekali belum pernah haidl dan
belum mencapai usia ya’si (monupause), atau dia adalah wanita yang sedang
mengalami mutahayyirah (bingung akan haidl dan sucinya) atau sudah mencapai
usia monupause, maka ‘iddahnya adalah tiga bulan sesuai tanggal jika talaknya
bertepatan dengan awal bulan.
Sehingga,
jika ia tertalak di tengah bulan, maka ‘iddahnya adalah dua bulan setelahnya
sesuai dengan tanggal dan untuk jumlah bulan yang tidak utuh disempurnakan
menjadi tiga puluh hari dari bulan ke empat. Jika mu’taddah ghairu mutawaffa
‘anha zaujuha -yang telah disebutkan ini- mengalami haidl di saat menjalankan
‘iddah dengan penghitungan bulan, maka wajib bagi dia melakukan ‘iddah dengan
penghitungan masa suci.
Atau mengalami haidl setelah selesai menjalankan
‘iddah dengan penghitungan beberapa bulan, maka ia tidak wajib menjalankan
‘iddah lagi dengan penghitungan masa suci. Wanita yang tertalak sebelum
sempat dijima’, maka tidak ada kewajiban ‘iddah bagi wanita tersebut.
Baik sang suami sudah pernah berhubungan badan
dengannya selain pada bagian farji ataupun tidak.
Wanita yang menjalankan ‘iddah dan
hukum-hukumnya.
Wanita Talak Raj’i
Bagi wanita
yang menjalankan ‘’iddah talak raj’i maka wajib menetap di rumah yang menjadi
tempat saat ia tertalak jika memang layak baginya. Dan wajib diberi nafkah dan
pakaian kecuali ia nusuz sebelum tertalak atau di tengah-tengah pelaksaan
‘iddah. Sebagaimana wajib diberi nafkah, ia juga wajib diberi kebutuhan hidup
yang lain kecuali alat membersihkan badan.
Wanita Talak Ba’in
Bagi wanita yang tertalak ba’in wajib diberi tempat tinggal tidak wajib diberi nafkah kecuali ia dalam keadaan hamil. Maka wajib memberi nafkah padanya sebab kehamilan menurut pendapat ash shahih. Ada yang mengatakan sesungguhnya nafkah itu untuk kandungan.
Wanita Yang Ditinggal Mati Suami
Wajib bagi
mu’taddah mutawaffa ‘anha zaujuha untuk melakukan ihdad. Ihdad secara bahasa
diambil dari lafadz “al had”. Al had adalah bermakna mencegah. Ihdad secara
syara’ adalah mencegah diri dari berhias dengan tidak memakai pakaian yang
diwarna dengan warna yang ditujukan untuk berhias seperti pakaian yang berwarna
kuning atau merah.
Hukumnya mubah
memakai pakaian yang tidak berwarna dari bahan kapas, bulu, katun, sutra ulat,
dan pakaian berwarna yang tidak ditujukan untuk berhias. Dan mencegah diri dari
wewangian, maksudnya menggunakan wewangian di badan, pakaian, makanan, atau
celak yang tidak diharamkan.
Adapun celak
yang diharamkan seperti bercelak dengan itsmid yang tidak berbau wangi, maka
hukumnya haram -ditinjau dari barangnya-. Kecuali karena ada hajat seperti
sakit mata, maka diperkenankan menggunakannya bagi wanita yang sedang ‘iddah. Walaupun
demikian, namun dia harus menggunakannya di malam hari dan membersihkannya di
siang hari kecuali ada keadaan darurat yang menuntut untuk memakainya di siang
hari.
Bagi seorang
wanita -selain istri yang ditinggal- diperkenankan melakukan ihdad atas
kematian selain suaminya, baik kerabat atau lelaki lain selama tiga hari atau
kurang. Maka bagi dia haram melakukan ihdad lebih dari tiga hari jika memang
sengaja untuk ihdad. Sehingga, jika ia melakukannya lebih dari tiga hari tanpa
ada tujuan untuk melakukan ihdad, maka hal itu tidaklah haram.
Bagi mu’taddah
mutawaffa ‘anha zaujuha dan wanita yang tertalak ba’in wajib menetap di dalam
rumah. Maksudnya rumah yang menjadi tempat terjadinya perpisahan antara dia
dengan suaminya, jika rumah itu layak baginya. Bagi suami dan yang lain tidak
diperkenankan mengeluarkan wanita tersebut dari rumah tempat terjadinya
perpisahan.
Begitu juga
bagi wanita tersebut tidak diperkenankan keluar dari sana walaupun sang suami
rela. Kecuali karena ada hajat, maka bagi dia diperkenankan keluar rumah. Seperti
ia keluar di siang hari karena untuk membeli makanan, kain katun, menjual
tenunan atau kapas dan sesamanya.
Bagi wanita
tersebut diperkenankan keluar malam ke rumah tetangga perempuannya karena untuk
menenun, ngobrol dan sesamanya dengan syarat pulang dan bermalam di rumahnya
sendiri. Bagi dia juga diperkenankan keluar ketika khawatir pada dirinya,
anaknya dan sesamanya, yaitu permasalahan-permasalahan yang disebutkan di dalam
kitab-kitab yang panjang penjelasannya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar