Entah bagaimana awal kami bertemu, yang paling
saya ingat adalah pertemuan pertama dengan Habib Hidayat. Dulu, tujuh tahun
yang lalu ketika kami tinggal di Asrama UIN Malang, di sore hari sewaktu pulang
dari kampus, tiba-tiba seseorang nyelonong menyalami aku, lalu memohon dengan
melas sekali meminjam uang sebesar 15 ribu. Ya itulah awal pertemuanku dengan
Habib Hidayat.
Kemudian adalah Riza Multazam Luthfi, awal mula
bertemu saya tidak begitu ingat. Yang jelas, di semester tiga kami mencintai
seorang gadis yang sama.
Dan yang menggelikan kami pernah menraktir gadis itu
di waktu yang sama pula. Kami bersaing dengan sehat dan sportif, namun ending
cerita, kami berdua ditolak juga. Hanya saja aku yang lebih lama bertahan
mendekati gadis itu.
Dua orang tersebut adalah orang-orang yang
menurutku memiliki karakter kuat, dan perjalanan hidup yang khas. Habib
misalnya, dalam perjalanan hidupnya ia selalu mengalir, dilahirkan dari
keluarga buruh tani membuat hidupnya selalu tidak terduga.
Dari sekolah hingga
lulus kuliah, dia tidak dibiayai oleh orang tuanya tapi ada saja rejeki yang
membuatnya bertahan hingga selesai kuliah. Pada titik nol rejeki dia pernah
empat hari tidak makan nasi, tapi hanya minum air putih. Itu pun air kran dari
tandon asrama UIN Malang. Dia juga banyak mengalami peristiwa-peristiwa ajaib dalam
hidupnya yang unik. Ia selalu pasrah dan tawakkal kepada Allah Subhanahu wa
ta’ala.
Sedang Riza adalah pekerja keras. Sifat kerja
kerasnya membuat saya geleng-geleng kepala. Di awal-awal kuliah dia menjadi
pedagang kaki lima di kampusnya sendiri, UIN Malang. Barang-barang yang
dijualnya adalah pin, gelang, jepit rambut, dan assesoris lainnya. Setiap jam
kosong, ia menggelar tikar di depan kampus dan menunggu dagangannya. Yang tak
lupa ketinggalan ialah ia sambil menunggu dagangan, ia selalu membaca buku. Ia
tidak peduli dengan penampilannya. Kuliah dengan sepeda balap di sana-sini
karatan, gearnya kering tidak pernah diolesi pelumas. Dan mode bajunya jadul
banget, seperti tahun 70an.
Pada tanggal 4 November kemarin saya
berkesempatan untuk mengunjungi rumahnya Riza di bojonegoro, lalu kami berdua
mengunjungi rumahnya Habib di Blora Jawa Tengah. Saya berangkat dari Nganjuk
sendiri berbekal satu kamera poket digital dan banyak berharap mendapatkan
gambar yang bagus selama perjalanan. Karena perjalanan ke Bojonegoro dan ke
Blora melewati hutan jati yang tak terkira luasnya.
Bepergian sendirian berbekal kamera cukup sulit
mengoperasikan kamera. Dan saat itulah saya merasakan pentingnya tripot sebagai
pelengkap kamera. Sejak keberangkatan saya selalu memikirkan bagaimana saya
mencari angle yang baik dengan tanpa tripot. AKhirnya ketika saya mulai
memasuki hutan Rejoso dan melewati sebuah sungai kecil dengan pagar jembatan
saya berhenti, lalu meletakkan kamera di atas beton pagar jembatan dan mencoba
membidik satu gambar. Hasilnya cukup bagus.
Foto1. Memasuki hutan Rejoso
mencoba eksyen dengan bantuan tripot beton pagar jembatan.
Perjalanan
saya lanjutkan, menikmati perjanan dengan kanan-kiri pohon jati, semak belukar,
sungguh nikmat rasanya. Berkali-kali saya hirup udara dalam-dalam dan
menghembuskannya pelan-pelan merasakan alam menyatu dengan diri saya. Namun tak
selang beberapa menit saya melewati hutan gundul, saya pun berhenti dan
mengucapkan duka kepada batang-batang sisa penebangan liar. Saya tak melihat
seorang pun di situ, akhirnya saya mencari tempat berteduh, yaitu sebuah guduk
yang berada di tengah gundulnya hutan. Di gubuk itu saya duduk sebentar dan
mendapatkan batang pohon untuk kujadikan tripot alam.
Foto 2. Berteduh dari hutan gundul.
Seusai menyaksikan kekejaman manusia pada alam, saya melanjutkan perlanan memasuki pepohonan lebat saya pelankan laju vespa, saya pandangi daun-daun hijau yang membayangiku. Kutatap landai antara bukit satu dan lainnya, jalan yang naik turun dan berbelok-belok membuat perjalanan semakin tak terasa.
Tanpa
sengaja sebuah ketika menoleh ke kiri aku melihat gubuk di atas gundukan yang
menarit untuk berfoto. Saya pun mengerem dan mengunjungi gubuk itu. Saya
melihat posisi gubuk di atas bukit yang tak memungkinkan mendapatkan tripot
dari alam. Maka aku panggil beberapa anak di seberang jalan untuk memotretkan.
Ketiga anak itu datang dan secara singkat aku ajari bagaimana berfoto. Dan
dengan itu aku bisa mendapatkan beberapa foto yang bagus di gubuk itu.
foto4. Dengan salah satu
anak.
Setelah
sampai pada tepi jalan yang datar, saya menjumpai sekuteris lain yang
mengendarai vespa otopet, yang tak lama kemuadian ia berhenti dan aku pun
berhenti juga untuk melepas sedikit lelah. Kami berkenalan dan berbincang
seputar acara-acara reuni para skuteris. Ia dari Kediri menuju ke rembang
dengan vespa itu. Satu vespa sejuta saudara, dan saya baru saja mendapatkan
saudara baru saat itu. Setelah dirasa cukup, kami lanjutkan perjalanan.
foto 6. Ngobrol sesama penyuka Vespa.
foto 7. melanjutkan perjalanan.
Di
percabangan antara arah ke Dander dan Sugihwaras kami berpisah aku meneruskan
perjalanan ke Kebalen tempatnya Riza. Sedangkan kenalan baru belok ke kiri ke
arah Rembang. Sampai di sebuah desa kecil Tiba-tiba hujan lebat turun, saya
terpaksa berteduh di warung kecil dan memesan teh hangat.
Foto 8. Berteduh di kedai kecil
Setelah
hujan reda, saya melanjutkan perjalanan hingga sampailah di rumah Reza, di
Kebalen Bojonegoro. Waktu yang ideal jarak antara Nganjuk ke Bojonegoro 2 jam,
saya habiskan selama 4,5 jam. Ya, tak lain karena saya begitu menikmati
perjalanan itu.
Setelah
istirahat satu jam, pada jam 5 sore saya dan reza meluncur ke Blora dengan
motor bebek Revo. Sayang sekali vespa tidak diajak, karena sok belakang bengkok
dan jika dikendarai berdua maka menggoser roda belakang. Selama ke Blora hujan,
dan kondisi tidak memungkinkan mengeluarkan kamera. Dan yang lebih menyebalkan
lampu motor riza mati diketahui saat hari sudah gelap. Akhirnya kami hanya bisa
membuntuti truk yang menuju ke Blora hingga kami sampai ke rumah habib pukul
21.30.
Pagi-pagi
di rumah Habib, kami bercengkerama, berbincang ke sana-kemari mengenang masa
lalu, menceritakan kondisi masa kini, dan mengungkapkan apa yang ingin kami
capai di kelak hari. Kami menuju ke tengah hutan yang menjadi sawah, bersama
embun pagi kami menikmati kehangatan persahabatan.
Foto13. Aku, Habib, dan Riza.
Di siang hari, kami mengunjungi padepokan Sikep
Samin, yaitu pusat orang-orang yang melakukan “Laku samin” di desa Kelopo Duwur
Blora. Di sana kami bergabung dengan tamu dari Purwokerto. Diskusi
dipimpin oleh tures (Garis keturunan) samin yang posisinya sebagai buyut yaitu
pak Lasio. Diskusi di pendopo yang semilir anginnya itu berbicara mengenai
sejarah, tokoh, dan laku samin.
Banyak sekali pelajaran yang kami ambil dari diskusi itu. Samin bukanlah ajaran atau agama, bukan juga kepercayaan. Samin adalah laku, yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kasih sayang. Prinsip yang diterapkan oleh orang-orang samin adalah mereka tidak akan melihat kejelekan orang lain sebelum ia mampu melihat pribadinya sendiri.
Banyak sekali pelajaran yang kami ambil dari diskusi itu. Samin bukanlah ajaran atau agama, bukan juga kepercayaan. Samin adalah laku, yang menjunjung tinggi kebersamaan dan kasih sayang. Prinsip yang diterapkan oleh orang-orang samin adalah mereka tidak akan melihat kejelekan orang lain sebelum ia mampu melihat pribadinya sendiri.
Foto15. Di padepokan Sikep Samin di kelopo duwur Blora.
Foto16. Pak Lasio tures buyut keturunan Kyai Pangkrek.
Pada
pukul satu siang kami meluncur kembali ke Bojonegoro, dan saya langsung kembali
ke Nganjuk. Karena mamburu waktu kami tak sempat mengeluarkan kamera, di lain
karena hujan turun di beberapa tempat.