Senin, 26 Oktober 2020

Wudhu', Mandi Wajib, dan Tayamum.

Sebelum kita melaksanakan sholat, terdapat beberapa hal yang harus terpenuhi sehingga sholat kita dapat dilaksanakan dengan sah. Hal-hal yang harus dipenuhi disebut juga syarat sah sholat. Salah satu dari syarat sah sholat ada lima, salah satunya adalah suci dari hadas kecil maupun hadats besar.

Untuk menyucikan diri dari hadas kecil dapat dilakukan dengan berwudhu, sedangkan untuk menyucikan dari hadats besar dengan mandi. Wudhu adalah menggunakan air pada bagian tertentu diawali dengan niat. Dalam wudhu juga terdapat syarat sah wudhu sebagaimana sarat sah pada sholat. Syarat sah wudhu sama dengan sarat sahnya mandi, yaitu ada lima; (1) Air Mutlak, (2) mengalirnya air di bagian tubuh yang dibasuh, (3) pada anggota tubuh yang dibasuh tidak ada sesuatu yang dapat merubah air, seperti minyak, (4) pada anggota tubuh yang dibasuh tidak ada penghalang bagi air, (5) masuk waktu, bagi orang yang berhadast terus menerus.

Adapun fardhu wudu atau rukun wudhu ada enam:

1. Niat. Niat wudhu dilakukan dengan bersamaan ketika membasuh wajah.

2. Membasuh wajah. Membasuh wajah dilakukan mulai dari tumbuhnya rambut sampai habisnya bagian janggut.

3. Membasuh dua tangan dari telapak sampai siku.

4. Membasuh sebagian kepala. 

5. Membasuh kaki sampai mata kaki.

6. Tertib atau berurutan.

Sunnah Wudhu:

1. Membaca basmalah

2. Membasuh kedua telapak tangan

3. Bersiwak

4. Berkumur dan memasukkan air ke hidung dan mengeluarkannya.

5. Membasuh seluruh bagian kepala.

6. Membasuh dua telinga.

7. Menyela jenggot yang tebal.

8. Menyela jari-jari tangan dan jari-jari kaki.

9. Mengulangi basuhan tiga kali.

10. Menghadap kiblat

Hal-hal yang membatalkan wudhu:

1. Keluarnya sesuatu dari dua lubang, dubur dan qubul.

2. Hilangnya akal

3. Memegang kemaluan.

4. Menyentuh lawan jenis yang bukan muhrim

Untuk menyucikan diri dari hadast besar dilakukan dengan mandi wajib. Istilah mandi wajib untuk membedakan mandi selain yang diwajibkan, seperti mandi pada pagi dan sore setiap hari. Mandi secara bahasa adalah mengalirkan air ke seluruh anggota badan. Menurut syariat, mandi adalah mengalirkan air ke seluruh anggota badan dengan niat.

Yang mewajibkan mandi wajib ada 4:

1. Keluar mani

2. Masuknya dzakar ke farji 

3. Haid

4. Nifas

Rukun Mandi wajib ada dua:

1. Niat menghilangkan hadast besar

2. Mengalirkan air ke seluruh tubuh

Ketika mandi wajib disunnahkan:

1. Membaca basmalah

2. Membersihkan kotoran

3. Berkumur menghirup air dan mengeluarkannya lalu berwudhu

4. Membasuh seluruh tubuh tiga kali

5. Menghadap kiblat

Untuk menyucikan diri dari hadas besar maupun kecil boleh dengan tayamum dengan syarat:

1. Tidak ada air

2. Takut dari hal yang membahayakan penggunaan air

3. Menggunakan debu yang suci

Rukun tayamum adalah;

1. Niat agar dibolehkan melaksanakan sholat fardhu beserta memindahkan debu

2. Mengusap wajah

3. Mengusap dua tangan

Seandainya orang yakin akan adanya air di akhir waktu sholat, lebih baik ia menunggunya. Apabila yakin tidak akan ada air maka boleh langsung bertayamum atau emeprcepat tayamum. Jika penggunaan air pada sebagian anggota wudhu terhalangi maka wajib baginya bertayamum dan membasuh sebagian yang ain yang dapat dikenai air. Untuk mandi besar, jika terdapat halangan untuk terkena air, maka wajib menggantinya dengan tayamum.

Senin, 19 Oktober 2020

Najis dan Hadast

 Perbedaan Najis dan Hadast

Dalam istilah bersuci (thaharah), kita sering kali mengenal dua istilah, yakni hadats dan najis. Dua istilah ini memiliki implikasi yang berbeda sehingga kita harus mampu membedakan antara dua istilah ini. Untuk membedakan keduanya, kita perlu mengetahui ciri dari masing-masing istilah najis maupun hadats.

Perbedaan keduanya bisa dilihat dari dua hal. Pertama, ditinjau dari segi hakikatnya. Kedua, ditinjau dari segi implikasi dan hukum fikihnya. Adapun perbedaan antara hadats dan najis ditinjau dari segi hakikatnya, najis adalah perkara yang zhahir dan bisa dilihat, seperti air kencing, darah, dan lain sebagainya. Sedangkan hadats adalah perkara maknawi yang ada di dalam jasad dan tidak dapat dilihat oleh panca indra.

Adapun perbedaan secara implikasi dan hukum fikihnya, bisa dilihat dari beberapa hal: Pertama, dari segi niatnya. Niat menjadi syarat untuk menghilangkan hadats. Sedangkan untuk menghilangkan najis, tidak dibutuhkan niat.

Kedua, air. Dalam menghilangkan hadats, air juga menjadi syarat. Sedangkan untuk menghilangkan najis, tidak harus dengan air. Istinja’ misalkan, bisa dilakukan dengan menggunakan batu.

Ketiga, penghilangan najis diharuskan untuk membersihkan mahal (tempat) najis sampai hilang ain (zat) najisnya. Sedangkan untuk hadats, cukup membasuh seluruh anggota badan jika hadats besar, dan cukup membasuh anggota wudhu (berwudhu) jika hadats kecil.

Keempat, menghilangkan hadas tidak perlu membeda-bedakan dan tartib. Misalnya, ketika dalam satu waktu kita kentut, kemudian buang air kecil dan buang air besar, maka tidak harus menghilangkan hadats tersebut satu per satu, melainkan langsung sekaligus. Ini berbeda dengan najis. Jika dalam satu waktu di tangan kita terkena kotoran binatang, setelah itu kaki dan muka, maka kita harus membersihkannya satu per satu.

Kelima, berkaitan dengan pengganti dari menghilangkan hadats dan najis. Jika hadats, maka menghilangkannya bisa digantikan dengan tayamum. Sedangkan najis, tidak bisa digantikan dengan tayamum. Namun pendapat ulama Hanabilah mengatakan bahwa membersihkan najis bisa diganti dengan tayamum.

Najis

Najis menurut bahasa adalah sesuatu yang menjijikkan, sedangkan menurut istilah adalah sesuatu yang haram seperti perkara yang berwujud cair (darah, muntah muntahan dan nanah), setiap perkara yang keluar dari dubur dan qubul kecuali mani. Untuk melakukan kaifiat mencuci benda yang kena najis, terlebih dahulu akan diterangkan bahwa najis terbagi atas tiga bagian: 

1) Najis mukhaffafah adalah najis ringan. Misalnya kencing bayi Iaki-Iaki yang belum memakan makanan selain air susu ibu. Cara menyucikannya yaitu dengan memercikkan air pada najis. Adapun kencing bayi perempuan yang belum memakan apa-apa selain ASI, cara menyucikannya dibasuh sampai air mengalir di atas benda yang kena najis itu, dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya, sebagaimana mencuci kencing orang dewasa.

2) Najis mugholadzoh yaitu najis berat, seperti babi dan air liur anjing. Benda yang terkena najis ini hendaklah dibasuh tujuh kali, satu kali di antaranya dibasuh (digosok) dengan tanah.

3) Najis Mutawasithah adalah najis sedang, yaitu najis yang lain daripada kedua macam yang di atas. Najis ini dibagi menjadi dua bagian:

a) Najis hukmiah yaitu yang kita yakini adanya, tetapi tidak nyata zat, bau, rasa, dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya telah hilang. Cara
mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air di atas benda yang kena itu.

b) Najis ‘ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa, dan baunya, kecuali warna atau bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Cara mencuci najis ini hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, warna, dan baunya.

Hadast

Hadast terbagi menjadi dua yaitu:

1. Hadast kecil, adalah hadast yang dapat disucikan dengan berwudhu. Hadas kecil mencangkup keluarnya sesuatu dari dua jalan (dubur dan kubul), hilangnya kesadaran karena mabuk, gila atau pingsan, tidur nyenyak,kecuali tidur sambil duduk, menyentuh kemaluan dan dubur dengan telapak tangan. Berikut penyebab hadas kecil.

1) Keluarnya sesuatu lewat kemaluan, maksudnya yaitu segala sesuatu yang keluar baik dari bagian depan maupun belakang. Hal itu bisa saja mencangkup air kencing, air mani dan lain-lain. Namun tak hanya itu, dapat pula berupa benda padat seperti kotoran, batu ginjal, cacing atau yang lainnya.


2) Tidur, maksudnya yaitu tidur yang membatalkan wudhu adalah tidur yang membuat hilangnya kesadaran seseorang, termasuk juga tidur dengan berbaring atau bersandar kecuali pada tubuhnya sendiri tidak termasuk membatalkan wudhu.


3) Hilang akal, yaitu dapat berupa mabuk atau sakit. Seseorang yang hilang akal karena meminum khamar dan hilang akalnya, maka batal pula wudhunya, sama halnya dengan orang yang kesurupan maupun memiliki penyakit ayan yang mewajibkan mereka berwudhu kembali.

4) Menyentuh kemaluan, sesuai dengan sabda Rasulullah SAW : “siapa yang menyentuh kemaluannya maka harus berwudhu”. (HR. Ahmad dan At- Tirmizy), jadi segala tindakan yang masuk kedalam kriteria menyentuh kemaluan mengakibatkan batalnya wudhu, baik menyentuh kemaluan sendiri maupun kemaluan orang lain.

2. Hadast besar, adalah hadast yang dapat disucikan dengan mandi besar.

Hadas besar mancangkup air mani, haid (menstruasi), nifas (mengeluarkan darah sesudah bersalin), dan wiladah atau melahirkan.

 

Air mani, seseorang diwajibkan mandi jika keluarnya air mani itu karena syahwat atau dorongan gejolak nafsu baik keluar dengan sengaja ataupun tidak sengaja.


Haid atau menstruasi merupakan suatu kejadian alamiah yang terjadi pada seseorang wanita dan bersifat rutin tiap bulannya. Sesuai dengan sabda Rasulullah SAW : “haid itu adalah kotoran”, oleh sebab itu hendaklah kamu menjauhkan diri dari wanita di waktu haid dan janganlah kamu mendekati mereka sebelum mereka suci. Apabila mereka telah suci maka campurilah mereka itu di tempat yang di perintahkan Allah SWT kepadamu. Sesungguhnya Allah SWT menyukai orang-orang yang tobat dan menyukai orang yang mensucikan diri”. (QS. Al-Baqarah : 222)


Nifas yaitu keluarnya darah dari kemaluan sesorang wanita setelah melahirkan. Nifas itu mewajibkan mandi wajib meskipun bayi yang dilahirkan dalam keadaan mati. Begitu darah sudah berhenti sesudah melahirkan atau persalinan maka wajib hukumnya atas wanita itu mandi wajib.


Melahirkan, bagi seorang wanita yang melahirkan baik bayinya dalam keadaan hidup atau meninggal wajib hukumnya untuk melaksanakan mandi wajib, bahkan meski saat melahirkan tidak ada darah yang keluar.


Thaharah (Bersuci)

Thaharah menurut bahasa artinya “bersih” Sedangkan menurut istilah syara’ thaharah adalah bersih dari hadas dan najis. Selain itu thaharah dapat juga diartikan mengerjakan pekerjaan yang membolehkan shalat, berupa wudhu, mandi, tayamum dan menghilangkan najis.

Thaharah atau bersuci menurut pembagiannya dapat dibedakan menjadi dua yaitu:

1. Thaharah lahiriah/jasmani

Thaharah lahiriah adalah membersihkan diri secara fisik dari najis. Termasuk di dalamnya membersihkan tempat tinggal dan lingkungan dari kotoran dan najis. Membersihkan diri dari najis adalah membersihkan badan, pakaian, atau tempat yang terdapat kotoran sampai hilang rasa, bau, dan warnanya.

2. Thaharah batiniyah/rohani

Thaharah batiniah adalah membersihkan diri dari dosa dan perbuatan maksiat, seperti iri dengki, sombong, mengambil hak orang lain, dan lain sebagainya. Cara membersihkannya dengan taubat dan memohon ampun serta tidak mengulanginya lagi.

Alat untuk thaharah

Alat atau media utama untuk bersuci adalah air. Selain itu debu, benda-benda yang kering juga dapat digunakan sebagai sarana untuk bersuci. Para ahli fikih membegi air menjadi 4 macam:

1. Air suci dan mensucikan. Disebut juga dengan air mutlak atau thahur.

2. Air yang makruh yaitu air musyammas. Dari kata Syams yang berarti matahari. Maksudnya air yang panas terkena sengat sinar matahari yang berada di wadah yang ikut bereaksi ketika airnya terpanaskan. Namun dasar hadits yang digunakan dipermasalahkan oleh sebagian ulama Syafi’iyah seperti An-Nawawi dalam Al-Majmu’.

3. Air suci tapi tidak meyucikan yaitu air musta’mal dan air yang air berubah karena tercampur dengan barang suci. Air musta’mal adalah air bekas orang lain menggunakannya untuk mengangkat hadats seperti berwudhu atau mandi janabah. Namun bila wudhu atau mandinya bukan karena kecampuran barang suci

4. Air najis yaitu air kurang 2 qullah yang terkena najis atau, air mencapai 2 qullah terkena najis dan berubah. Adapun ukuran dua qullah adalah 500 (lima ratus) kati baghdad menurut pendapat yang paling sahih. Konversi volume 2 qullah di zaman modern ini ada banyak versi. Ada yang menyebut 216 liter (Dr. Syifa’ binti Hasan Hitou hal. 20). Ada juga yang menyebut 270 liter (dr. Wahbah Az-zuhaili, AlFiqhul Islami wa Adillatuhu, jilid 1 hal. 75).

Air yang bisa digunakan untuk bersuci.

Air yang dapat dibuat untuk bersuci  - bisa dibuat bersuci maksudnya sah untuk digunakan berwudhu atau mandi janabah. Sedangkan untuk menghilangkan najis, ada pembahasan tersendiri-, ada 7 (tujuh) yaitu :

1. air langit (hujan)
2. air laut
3. air sungai
4. air sumur
5. air mata air
6. air salju
7. air embun

Macam-macam Thaharah

1. Istinja

Buang hajat merupakan kebutuhan sehari-hari manusia, baik buang air besar maupun buang air kecil, mungkin dalam sehari lebih dari sekali mereka membuang hajat. Buang hajat yang lancar merupakan tanda kesehatan tubuh, tersendatnya buang hajat adalah indikasi adanya ketidakberesan pada tubuh. Agama Islam selalu memperhatikan hal-hal besar ataupun kecil dalam kehidupan manusia. Termasuk buang hajat dan istinja, bila selesai buang hajat, kita wajib ber-istinja, yaitu menghilangkan bekas kotoran yang keluar dari salah satu lubang kemaluan, baik dubur (anus) maupun kubul (vagina dan penis).

Untuk menghilangkan kotoran tersebut, diutamakan menggunakan air yang suci. Apabila tidak ada air, bilas menggunakan batu. Dalam hadis telah ditentukan bahwa untuk menghilangkan najis pertama-tama dengan menggunakan air, kemudian yang basah dikeringkan dengan sesuatu yang kering dan suci.

Istinja secara bahasa berarti terlepas atau selamat, sedangkan menurut pengertian syariat adalah bersuci setelah buang air besar atau buang air kecil. Secara legkapnya, istinja adalah menghilangkan sesuatu yang keluar dari kubul atau dubur dengan menggunakan air suci lagi mensucikan atau batu yang suci atau benda-benda lain yang memiliki fungsi sama dengan air dan batu. Selain istinja, ada lagi istilah istijmar, yaitu menghilangkan najis dengan batu atau sejenisnya. Istinja dan istijmar, adalah cara bersuci yang diajarkan syariat Islam kepada orang yang telah buang hajat. Dan hukum istinja adalah wajib bagi setiap orang yang baru buang air besar ataupun buang air kecil, dengan air atau media lainnya. Istinja yang baik adalah dengan air, bilas pula dengan batu.

Untuk ber istijmar, batu dapat diganti dengan benda keras apapun asal tidak haram dan punya sifat bisa menghilangkan najis. Pada zaman sekarang, kamar-kamar kecil biasanya menyediakan fasilitas tisu khusus untuk menghilangkan najis. Dengan menggunakannya, kita dapat menghilangkan kotoran dan menjaga kebersihan tangan. Sebab, tisu memiliki kesamaan fungsi dengan batu dalam konteks sebagai alat istinja.

Adapun adab dalam membuah hajat buang air kecil (BAK) dan buang air besar (BAB), hendaknya tidak menghadap kiblat dan tidak membelakanginya apabila dalam tempat terbuka19. Kencing atau BAB hendaknya tidak dilakukan di air yang diam, di bawah pohon yang berbuah, di jalan, di tempat bernaung, di batu. Dan hendaknya tidak berbicara saat kencing dan tidak menghadap matahari dan bulan dan tidak membelakangi keduanya.

Rabu, 14 Oktober 2020

Materi Bahasa Arab Pariwisata

:Di bawah ini adalah ungkapan yang diucapkan ketika seseorang berkenalan dengan orang baru

التعارف

 + مَرْحَبًا
- اَهْلًا وَسَهْلًا
+ مَا اسْمُكَ؟ 
- اِسْمِي مُحَمَّدٌ فَائِزُوْنَ
+ مَا اسْمُكِ؟ 
- اِسْمِي عِفَّة
+ مِنْ أَيْنَ أَنْتَ؟ 
- أنا من اندونيسيا
+ مِنْ أَيْنَ أَنْتِ؟ 
- أنا من اندونيسيا
+ اَيُّ لُغَةٍ تَتَكَلَّمُ؟ 
- اَتَكَلَّمُ بِاللُّغَةِ اْلاِنْدُوْنِيْسِيَّةِ وَقَلِيْلًا مِنَ الْعَرَبِيَّةِ
+ اَيُّ لُغَةٍ تَتَكَلَّمِيْنَ؟
- اَتَكَلَّمُ بِاللُّغَةِ اْلاِنْدُوْنِيْسِيَّةِ وَقَلِيْلًا مِنَ الْعَرَبِيَّةِ
+ مَاذَا تَعْمَلُ؟ 
- أَنَا طَالِبُ فِي جَامِعَةِ تُوْلُونْجْ اَكُونْجْ الاِسْلَامِيَّةِ الْحُكُوْمِيَّةِ
+ مَاذَا تَعْمَلِيْنَ؟
- أنا دَلِيْلُ السَّائِحِ
+ تَشَرَّفْتُ بِمَعْرِفَتِكَ
- وَأَنَا اَيْضًا
+ اِلَى اللِّقَاء
- مَعَ السَّلَامَةِ

تعريف الأخت والصديقة
مريم      : السَّلَامُ عَلَيْكُم
عفة      : وَعَلَيْكُمُ السَّلَام
مريم      : هَذِهِ أُخْتِيْ. هِيَ مُحَاسِبَةٌ
عفة      : أَهْلًا وَسَهْلًا
مريم      : هَذِهِ صَدِيْقَتِيْ. هِيَ مُدِيْرَةٌ
الأخت  : أَهْلًا وَسَهْلًا.
مريم      : مَعَ السَّلَامَةِ
عفة      : مَعَ السَّلَامَةِ
  
الأسئلة الإستعابية
1-   مَا مِهْنَةُ الْأَخِ؟ .................................................
2-   مَا مِهْنَةُ الصَّدِيْقِ؟ ..............................................
3-   مَا مِهْنَةُ الْأُخْتِ؟ ...............................................
4-   هَلْ خَلِيْل مُحَاسِبٌ؟ .............................................
5-   هَلْ عِفَّةُ مُدِيْرَةٌ؟ ................................................

المعالجة النحوية
هَذَا أَخِي. هُوَ مُحَاسِبٌ.                      هَذِهِ أُخْتِيْ. هِيَ مُحَاسِبَةٌ.
هَذَا صَدِيْقِيْ. هُوَ مُدِيْرٌ.                      هَذِهِ صَدِيْقَتِيْ. هِيَ مُدِيْرَةٌ.
كُلُّ اِسْمٍ يَدُلُّ عَلَى ذَكَرٍ يُسَمَّى اِسْمٌ مٌذَكَّرٌ.
كُلُّ اِسْمٍ يَدُلُّ عَلَى أُنْثَى يُسَمَّى اِسْمٌ مُؤَنَّثٌ. لِلْاِسْمِ الْمُؤَنَّثِ عَلَامَةٌ مِنْ عَلَامَاتِ تَأْنِيْثِهَا وَهِيَ التَّاءُ الْمَرْبُوْطَةُ الْمُتَحَرِّكَةُ.
تدريب 1
 اَكْمِلْ مَا يَأْتِيْ:
1-     هَذَا ............                    6- هُوَ .............             
2-     هَذِهِ ............                   7- أَنْتَ ............
3-     ذَلِكَ ...........                    8- أَنْتِ ............
4-     تِلْكَ ...........                    9- هَذِهِ ............
5-     هِيَ ............                   10- ذَلِكَ ..........
تدريب 2
اَكْمِلْ مَا يَأْتِيْ:
1-    ...... مُحَاسِبٌ                 6- ....... مُدِيْرٌ
2-    ...... مُدِيْرَةٌ                   7- ....... مُوَظَّفَةٌ
3-    ...... مُوَظَّفٌ                  8- ....... سِكْرِتِيْرٌ
4-    ...... مُعَلِّمٌ                    9- ....... مُوَظَّفَةٌ
5-    ...... سِكْرِتِيْرَةٌ                10- ...... مُحَاسِبَةٌ
تدريب 3
أُكْتُبْ سُؤَالًا لِكُلِّ جَوَابٍ فِيْمَا يَأْتِيْ:
1-    ...................................؟ هُوَ مُوَظَّفٌ
2-    ...................................؟ لَا، بَلْ هُوَ مُعَلِّمٌ
3-    ...................................؟ هِيَ مُدِيْرَةٌ
4-    ...................................؟ نَعَمْ، هِيَ مُحَاسِبَةٌ
5-    ...................................؟ هَذَا أَخِيْ


Senin, 12 Oktober 2020

Pengertian Fikih Ibadah dan Ruang Lingkupnya

Pengertian Fiqh Ibadah

Ibadah berasal dari kata arab عبادة dan bentuk jamaknya عبادات yang berarti pengabdian, penghambaan, ketundukan dan kepatuhan. Dari akar kata yang sama kita kenal dengan istilah al-‘abd (hamba, budak) yang menghimpin makna kekurangan, kehinaan dan kerendahan.[1]

Ibadah juga bisa diartikan dengan taat yang artinya patuh, tunduk dengan setunduk-tunduknya, artinya mengkuti semua perintah Allah Swt dan menjauhi semua larangan yang dikehendaki oleh Allah Swt. Karena makna asli ibadah adalah menghamba, dapat pula diartikan sebagai bentuk perbuatan yang menghambakan diri sepenuhnya kepada Allah Swt. Dalam kitab Al-Hidayah jilid ke-satu dikatakan makna ibadah adalah :

العبادة هي التقرّب الى الله تعالى بإِمتثالِ اوامرهِ واجْتشنابِ نوهيهِ والعمالُ بما أذَن بهِ الشرعُ

Artinya :

“Ibadah adalah mendekatkan diri kepada Allah Swt. Dengan cara melaksanakan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya, serta beramal sesuai izin dari pembuat syariat (Al-Hakim, Allah)”.

Konsep ibadah menurut Abdul Wahab adalah konsep tentang seluruh perbuatan lahiriah maupun batiniah, jasmani dan rohani yang dicintai dan diridhoi oleh Allah Swt. Ibadah juga diartikan sebagai hubungan manusia dengan yang diyakini kebesaran dan kekuasaannya. Artinya, jika yang diyakini kebesarannya adalah Allah, maka menghambakan diri kepada Allah. Dalam surat Al-Fatihah ayat 5 Allah Swt berfirman :

إِيَّاكَ نَعْبُدُ وإِيَّاكَ نَسْتَعِينُ -٥-

Artinya :”Hanya kepada engkaulah kami menyembah, dan hanya kepada Engkaulah kami mohon pertolongan. (Al-Fatihah : 5)[2]

Dari sisi keagamaan, ibadah adalah ketundukan atau penghambaan diri kepada Allah, Tuhan yang maha Esa. Ibadah meliputi semua bentuk perbuatan manusia di dunia, yang dilakukan dengan niat mengabdi dan menghamba hanya kepada Allah Swt. Semua tindakan orang mukmin yang dilandasi dengan niat yang tulus untuk mencapai ridho Allah Swt dipandang sebagai badah. Sesuia dengan Firman Allah Swt:

وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَالْإِنسَ إِلَّا لِيَعْبُدُونِ -٥٦-

Artinya: ”Tidaklah kuciptakan jin dan manusia melainkan untuk mengabdi kepadaKu. (al-Dza-riyat: 56)[3]

Beberapa pendapat mengenai ibadah adalah sebagai berikut:

1. Ulama tauhid mengartikan ibadah dengan beberapa pengertian yaitu:

a. Ibadah dapat diartikan sebagai tujuan kehidupan manusia sebagai bentuk dan cara manusia berterimakasih kepada pencipta.

b. Ibadah diartikan sebagai bentuk mengesakan Allah, dan tidak ada sesuatu yang menyerupainya, sehingga kepada Allah beribadah. Sebagaimana terdapat dalam surat An-Nahl ayat 36:

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَّسُولاً أَنِ اعْبُدُواْ اللّهَ وَاجْتَنِبُواْ الطَّاغُوتَ فَمِنْهُم مَّنْ هَدَى اللّهُ وَمِنْهُم مَّنْ حَقَّتْ عَلَيْهِ الضَّلالَةُ فَسِيرُواْ فِي الأَرْضِ فَانظُرُواْ كَيْفَ كَانَ عَاقِبَةُ الْمُكَذِّبِينَ ٣٦-

Artinya : “Dan sungguh, Kami telah mengutus seorang Rasul untuk setiap umat (untuk menyerukan), “Sembahlah Allah, dan jauhilah thaghut.” kemudian di antara mereka ada yang diberi petunjuk oleh Allah dan ada pula yang tetap dalam kesesatan. Maka berjalanlah kamu di bumi dan perhatikanlah bagaimana kesudahan orang yang mendustakan (Rasul-rasul)”.(QS. An-Nahl :36)

c. Ibadah diartikan sebagai upaya menjauhkan diri dari perbuatan syirik, sebagaimana firman Allah Swt. Dalam surat Al-Isra’ ayat 23:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُواْ إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَاناً

Artinya : ”Dan tuhan telah memerintahkan agar kamu jangan menyembah selain dia dan hendaklah berbuat baik kepada ibu bapak”. (QS. Al-Isra’ :23)

d. Ibadah artinya membedakan kehidupan ilahiah dengan penganut agama selain Islam dan dengan orang-orang musyrik, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Kafirun ayat 3 :

وَلَا أَنتُمْ عَابِدُونَ مَا أَعْبُدُ -٣-

Artinya :”Dan kamu bukan penyembah apa yang aku sembah”. (QS. Al-Kfirun :3)

2. Ulama akhlak Hasbi Ash-Shidiqie mengartikan ibadah sebagai berikut :

a. Melaksanakan semua perintah Allah Swt. dalam praktik ibadah jasmaniah dan rohaniah dengan berpegang teguh pada syariat islam yang benar.

b. Ibadah diartikan sebagai pencarian harta duniawi yang halal.

3. Ulama tasawuf mengartikan ibadah sebagai berikut :

a. Ketundukan mutlak kepada Allah dan menjauhkan diri dari ketundukan pada hawa nafsu.

b. Ibadah diartikan perbuatan yang menepati janji, menjaga perbuatan yang melewati batas-batas syari’at Allah dan bersabar menghadapi musibah.

c. Beribadah berarti mengharapkan keridhaan Allah, mengharapkan pahalanya dan menghindarkan diri dari siksanya.

d. Ibadah diartikan sebagai upaya mewujudkan kemuliaan rohani yang diciptakan dalam keadaan suci.

e. Ibadah dalam arti menjalankan  kewajiban karena Allah berhak disembah, tanpa ada pamrih sedikitpun.

4. Pengertian menurut fuqaha (ahli fikih).

Para fuqaha mengartikan ibadah sebagai berikut :

a. Ketaatan hamba Allah yang  mukallaf yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan mengharap pahala-Nya di akhirat.

b. Ibadah adalah melaksanakan segala hak Allah.

Dari pengertian-pengertian dia atas, dapat disimpulkan bahwa makna ibadah adalah ketundukan manusia kepada Allah yang dilaksanakan atas dasar keimanan yang kuat dengan melaksanakan semua perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya dengan tujuan mengharapkan keridaan Allah, pahala surga dan ampunannya.

Dengan demikian pengertian fiqh ibadah adalah pemahaman ulama terhadap nash-nash yang berkaitan dengan ibadah hamba Allah dengan segala bentuk hukumnya, yang mempermudah pelaksanakan ibadah, baik yang bersifat perintah, larangan maupun pilihan-pilihan yang disajikan oleh Allah dan Rasulullah Saw.[4]

Ibadah juga dapat berupa ucapan (lafzhiyyah) atau tindakan (‘amaliyyah). Ibadah lafal adalah rangkaian kalimat dan dzikir yang diucapkan dengan lidah. Sedangkan ibadah amal adalah seperti rukuk dan sujud dalam shalat, wukuf di padang arafah dan tawaf.[5]

Ruang lingkup fikih ibadah

Sebagaimana yang telah dijelaskan bahwa semua kehidupan hamba Allah yang dilaksanakan dengan niat mengharap keridhaan Allah Swt. bernilai ibadah. Hanya saja ada ibadah yang sifatnya langsung berhubungan dengan Allah tanpa ada perantara yang merupakan bagian dari ritual formal atau hablum min Allah dan ada ibadah yang secara tidak langsung, yakni semua yang berkaitan dengan masalah muamalah, yang disebut dengan hablum min annas (hubungan antar manusia).

Secara umum, bentuk ibadah kepada Allah dibagi menjadi dua yaitu;  Ibadah mahdhah dan Ibadah ghoiru mahdhah. Ibadah mahdhah adalah ibadah yang perintah dan larangannya sudah jelas secara dzahir dan tidak memerlukan penambahan atau pengurangan. Ibadah ini ditetapkan oleh dalil-dalil yang kuat (qad’i ad-dilalah), misalnya perintah shalat, zakat, puasa, ibadah haji dan bersuci dari hadas kecil dan besar.[6]

1. Shalat

Secara etimologi berarti doa, rahmat dan istighfar (meminta ampun).[7] Menurut syara artinya bentuk ibadah yang terdiri atas perkataan dan perbuatan yang dimulai dengan takbir dan diakhiri dengan salam. Firman Allah Swt  :

وَأَقِمِ الصَّلَاةَ إِنَّ الصَّلَاةَ تَنْهَى عَنِ الْفَحْشَاء وَالْمُنكَرِ-٤٥-

Artinya :

“Dan laksanakanlah shalat. Sesungguhnya shalat itu mencegah dari (perbuatan) keji dan mungkar”. (QS. Al-‘Ankabut :45)[8]

2. Puasa

Secara bahasa puasa adalah menahan dari segala sesuatu, dari makan, minum, nafsu dan lain sebagainya. Secara istilah yaitu menahan diri dari segala sesuatu yang membatalkannya, mulai dari terbitnya fajar sampai terbenmnya matahari dengan niat dan beberapa syarat. Firman Allah Swt :

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ –١٨٣-

Artinya :

“Wahai orang-orang yang beriman! Diwajibkan atas kamu berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang sebelum kamu agar kamu bertakwa”. (QS.Al-Baqarah :183)[9]

3. Zakat

Secara bahasa zakat artinya membersihkan. Sedangkan secara istilah agama islam adalah kadar harta yang tertentu yang di berikan kepada yang berhak menerimanya, dengan beberapa syarat. Firman Allah Swt :

إِنَّ الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ وَأَقَامُواْ الصَّلاَةَ وَآتَوُاْ الزَّكَاةَ لَهُمْ أَجْرُهُمْ عِندَ رَبِّهِمْ وَلاَ خَوْفٌ عَلَيْهِمْ وَلاَ هُمْ يَحْزَنُونَ -٢٧٧-

Artinya :

“Sungguh, orang-orang yang beriman, mengerjakan kebajikan, melaksanakan shalat dan menunaikan zakat, mereka mendapat pahala di sisi Tuhan-nya. Tidak ada rasa takut pada mereka dan mereka tidak bersedih hati” (QS. Al-Baqarah :277)[10]

4. Haji

Haji asal maknanya adalah  menyengaja sesuatu.sedangkan menurut syara’ adalah sengaja mengunjungi baitullah untuk melakukan beberapa amal ibadah dengan syarat-syarat tertentu. Firman Allah :

وَلِلّهِ عَلَى النَّاسِ حِجُّ الْبَيْتِ مَنِ اسْتَطَاعَ إِلَيْهِ سَبِيلاً –٩٧-

Artinya : “Mengerjakan haji adalah kewajiban manusia terhadap Allah, yaitu (bagi) orang yang snggup mengadakan diri kejalan Allahh. (QS. AL-Baqarah : 970)[11]

5. Thaharah (Bersuci)

Thaharah secara bahasa adalah bersih dari kotoran, sedangkan menurut istilah adalah menghilangkan hadats, najis atau perbuatan yang searti dengan keduanya. Seperti mandi, wudhu dan tayamum. Allah berfirman :

إِنَّ اللّهَ يُحِبُّ التَّوَّابِينَ وَيُحِبُّ الْمُتَطَهِّرِينَ -٢٢٢

Artinya: “Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertaubat dan yang mensucikan diri”. (QS. Al-Baqarah: 222)[12]

Ibadah ghairu mahdhoh adalah ibadah yang cara pelakanaannya dapat direkayasa oleh manusia, artinya bentuknya dapat beragam dan mengikuti situasi dan kondisi, tetapi subtansi ibadahnya tetap terjaga. Misalnya, perintah melaksanakan perdagangan dengan cara yang halal dan bersih, larangan perdagangan yang gharar, mengandung unsur penipuan dan sebagainya.

Ibadah merupakan bentuk pengakuan ang hakiki dari hamba Allah bahwa dirinya adalah alam yang akan binasa, dirinya tiada berarti, dirinya lemah, dirinya kotor dan tidak berdaya upaya. Oleh karena itu, beribadah kepada Allah merupakan upaya agar Allah memberikan kekuatan-Nya, melimpahkan rahmat, melimpahkan kasih sayangnya serta membersihkan jiwa yang kotor.

3. Macam-Macam Fiqih Ibadah

Beberapa macam-macam ibadah dilihat dari berbagai tinjauan, antara lain:

1. Dilihat dari segi umum dan khusus, ibadah dibagi menjadi dua:

a. Ibadah umum ialah ibadah yang mencakup semua aspek ialah kehidupan.
b. Ibadah khusus ialah ibadah yang macam dan cara melaksanakannya ditentukan dalam syara’. Ibadah khusus inilah yang bersifat khusus dan mutlak. Contohnya, bersuci untuk mengerjakan shalat di lakukan menggunakan air.[13]

2. Dilihat dari tatacara melaksanakannya, ibadah dibagi menjadi lima:

a. Ibadah badaniyyah (dzatiyyah), seperti: shalat.
b. Ibadah maaliyah, seperti: zakat.
c. Ibadah ijtima’iyyah, seperti: haji, shalat berjamaah, shalat idul fitri, idul adha dan shalat jum’ah.
d. Ibadah ijabiyah, seperti: tawaf.
e. Ibadah salbiyah, seperti : meninggalkan segala sesuatu ang diharamkan ketika sedang berikhram.

 3. Dilihat dari niat melaksanakannya, ibadah dapat dibagi menjadi dua:

a. Ibadah hakiki, yakni ibadah yang dilakukan sepenuh-penuhnya untuk ibadah semata. Misalnya, berdo’a kepada Allah Swt. ibadah hakiki bersifat ghair ma’qulatil-ma’na, artinya maknanya tidak fahami secara ma’qul, tidak jelas maksud dan hikmahnya. Semua perbuatan dimaksudkan hanya semata-mata ta’abudi, sebagai bentuk memperbudak diri hanya kepada Allah.

b. Ibadah sifati artinya yang memperbuatannya memiliki nilai-nilai ibadah. Ibadah seperti ini jelas sifat-sifatnya atau ma’qulatul ma’na. Semua urusan ibadah sosial atau bernilai duniawi yang mengandung unsur ukrawi, dalam pelaksanaannya, memiliki hukum asal mubah dan tidak mutlak harus dilaksanakan.

Dengan dua macam ibadah tersebut, ibadah itu berhubungan secara langsung dengan Allah, artinya, tidak ada satupun ibadah yang keluar dari komunikasi hamba dengan Allah. Adapun tekniknya ada dua macam yaitu:

1. Ibadah yang pelaksanaannya langsung dengan Allah, seperti shalat, puasa, haji, dan berdo’a.

2. Ibadah yang dilaksanakan secara tidak langsung, melainkan hubungan manusia dengan manusia lainnya, seperti zakat, menuntut ilmu, inbfaq, sedekah dan lain sebagainya.

Adapun syarat-syarat diterimanya ibadah adalah sebagai berikut :

a. Ikhlas, yakni dilaksanakan dengan mengharapkan keridhaan Allah Swt., hanya pamrih atas nama Allah dan karena perinahnya.

b. Ibadah dilaksanakan sesuai syari’at islam yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah.

 _______________

[1] Yunasril Ali, Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah, (Jakarta : Zaman, 2012).,15
[2] Hasan Ridwan, FIQH IBADAH, (Bandung : Pustaka Setia, 2009)., 62-64
[3] Yunasril Ali, Buku Induk Rahasia dan Makna Ibadah, (Jakarta : Zaman, 2012).,15
[4] Hasan Ridwan, FIQH IBADAH, (Bandung : Pustaka Setia, 2009).,64-69
[5] Tosun Bayrak dkk, Energi Ibadah, (Jakarta : PT SERAMBI ILMU SEMESTA, 2007).,15
[6] Hasan Ridwan, FIQH IBADAH, (Bandung : Pustaka Setia, 2009).,70-71
[7] Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2003).,46
[8] SULAIMAN RASJID, FIQH ISLAM, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2014).,53
[9] Ibid.,222
[10] SULAIMAN RASJID, FIQH ISLAM, (Bandung : Sinar Baru Algensindo, 2014).,192
[11]Ibid.,247
[12] Tean Mustahik 2005, FIQIH PRAKTIS AL-BADI’AH, (Jombang : Pustaka Al-Muhibbin, 2010).,1-2
[13] Ahmad Azhar Basyir, Falsafah Ibadah dalam Islam, (Yogyakarta : UII Press, 2003).,15-16