Kamis, 22 April 2021

Tarjamah, Tafsir, dan Ta'wil

 A.  PENGERTIAN TERJEMAH, TAFSIR, DAN TA’WIL

1.      Terjemah

Arti “terjemah” menurut bahasa adalah salinan dari suatu bahasa kebahasa lain atau mengganti, menyalin, memindahkan kalimat dari suatu bahasa kebahasa lain. Secara terminologi kata ”terjemah” memiliki dua pengertian: 1) Terjemah harfiyah, yaitu mengalihkan lafadz-lafadz dari satu bahasa ke dalam lafadz-lafadz yang serupa dari bahasa lain sedemikian rupa sehingga susunan dan tertib bahasa kedua sesuai dengan susunan dan tertib bahasa pertama. 2) Terjemah tafsiriyah atau terjemah maknawiyah, yaitu menjelaskan makna pembicaraan dengan bahasa lain tanpa terikat dengan tertib kata-kata bahasa asal atau memperhatikan susunan kalimatnya.

Menurut Muhammad Husain al-Dzahabi, salah seorang pakar dan ahli ilmu Al-Qur’an dari Universitas Azhar, Kairo, Mesir, kata “terjemah” lazim digunakan untuk dua macam pengertian: 1) Mengalihkan atau memindahkan suatu pembicaraan dari suatu bahasa ke bahasa lainnya tanpa menerangkan makna dari bahasa asal yang diterjemahkan. 2) Menafsirkan suatu pembicaraan dengan menerangkan maksud yang terkandung di dalamnya dengan menggunakan bahasa yang lain.

 2.      Tafsir

Secara bahasa “tafsir” memiliki arti yang semakna dengan al-idhah (keterangan) dan al-tabyin (penjelasan).[1] Menurut al-Zarkasih, “tafsir adalah ilmu yang dikenal dengannya pemahaman terhadap kitab Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan menjelaskan maknanya, mengeluarkan hukum dan hikmahnya, dengan dibantu oleh ilmu bahasa, nahwu, sharah, bayan, ushul fiqih, qira’at, serta memerlukan pengetahuan sababun nuzul dan nasikh mansukh.”

Al-Zarqani juga mengemukakan definisi tafsir sebagai berikut. “Tafsir menurut istilah adalah ilmu yang membahas tentang al-Qur’an al-Karim dari segi petunjuknya (dalam memahami) maksud Allah SWT sesuai dengan kemampuan manusia,”

Obyek kajian tafsir secara umum adalah Al-Qur’an, sedangkan obyek kajian spesifiknya merupakan bagian tertentu dari Al-Qur’an yang meliputi pengertian lafadz dan maksud ungkapannya. Tafsir juga dapat dimaknai sebagai upaya maksimal yang dilakukan manusia untuk memahami maksud dari redaksi Al-Qur’an sebagaimana yang dikehendaki oleh pemilik redaksi tersebut. Oleh karena itu,tingkat kebenaran yang dihasilkan tafsir tidak bersifat mutlak. Sebuah penafsiran mungkin saja benar atau mungkin salah. Tidak ada ada manusia yang dapat mengetahui kebenaran tersebut kecuali Pencipta redaksinya sendiri.

3.      Ta’wil

Secara laughwi (etimologis) ta’wil berasal dari kata al-awl yang artinya kembali, atau dari kata al ma’al artinya tempat kembali, al-siyasah yang berarti mengatur. Secara terminologi Imam Al-Ghazali dalam Kitab Al-Mutashfa memberikan pengertian “Sesungguhnya takwil itu adalah ungkapan tentang pengambilan makna dari lafazd yang bersifat probabilitas yang didukung oleh dalil dan menjadikan arti yang lebih kuat dari makna yang ditujukan oleh lafazd zahir.”

Asy-Syathibi mengharuskan adanya dua syarat untuk melakukan penta’wilan, yaitu: (1) Makna yang dipilih sesuai dengan hakekat kebenaran yang diakui oleh para ahli dalam bidangnya (tidak bertentangan dengan syara’/akal sehat), (2) Makna yang dipilih sudah dikenal di kalangan masyarakat Arab klasik pada saat turunnya Alquran.

Menurut Ibnu Faris, sebagaimana dikutip dan dianalisis ole al-Zarkasyi, tafsir lebih mengacu kepada pengertian menampakkan dan menyingkap arti yang terkandung dalam sebuah lafadz. Sementara ta’wil memiliki arti memalingkan. Maksudnya ta’wil dapat dipahami sebagai akibat yang bisa dan mungkin dicapai oleh sebuah lafadz, sehingga diperbolehkan ia menjadi sangat jauh dari lafadz dan pengertian asalnya.

B.    TAFSIR BIL MA’TSUR dan TAFSIR BIR- RA’YI 

1.      Pengertian

Al-Qur’an, hadist Nabi, Tafsir bil ma’tsur adalah metode penafsiran dengan cara mengutip, atau mengambil rujukan pada kutipan sahabat serta tabi’in. Metode ini mengharuskan mufasir menelusuri shahih tidaknya riwayat yang digunakannya. Tafsir bir-ra’yi adalah metode penafsiran dengan cara ijtihad dan penyimpulan melalui  pemahaman sendiri serta penyimpulan yang hanya didasarkan pada ra’yu semata.

2.      Sejarah dan Perkembangan Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir bir-Ra’yi

Tafsir bil ma’tsur  telah ada sejak zaman sahabat, dan ada beberapa sahabat yang terkemuka dalam bidang ilmu tafsir yakni: Abu Bakr Ash Shiddiq, Umar al Faruq, Utsman Dzun Nurain (Utsman bin Affan), Ali bin Abi Thalib, Abdullah bin Mas’ud, Abdullah bin ‘Abbas, Ubay bin Ka’ab, Zaid bin Tsabit, Abu musa al Asy’ary, dan ‘Abdullah bin Zubair.

Pada zaman  ini tafsir bil ma’tsur dilakukan dengan cara menukil penafsiran dari Rasulullah SAW, atau dari sahabat oleh sahabat, serta dari sahabat oleh tabi’in dengan tata cara yang jelas periwayatannya, cara seperti ini biasanya dilakukan secara lisan. Setelah itu ada periode dimana penukilannya menggunakan penukilan pada zaman sahabat yang telah dibukukan dan dikodifikasikan, pada awalnya kodifikasi ini dimasukkan dalam kitab- kitab hadits, namun setelah tafsir menjadi disiplin ilmu tersendiri, maka ditulis dan terbitlah buku–buku yang memuat khusus tafsir bil ma’tsur lengkap dengan jalur sanad kepada nabi Muhammad Saw, para sahabat, tabi’in al tabi’in. Pada perkembangan selanjutnya, ada banyak tokoh yang mengkodifikasikan tafsir bil ma’tsur tanpa mengemukakan periwayatan sanadnya  dan hanya mengemukakan pendapat–pendapatnya sendiri serta tidak membedakan periwayatan yang shahih atau tidak. Karena adanya kecurigaan pemalsuan, muncullah studi–studi kritis yang berhasil menemukan dan menyingkap sebagian riwayat palsu sehingga para mufasir dapat berhati–hati.

Diantara kitab tafsir yang memuat tentang tafsir bil ma’tsur yakni :

-  Tafsir  Jami’ul Bayan ( Ibnu Jarir Ath Thabary)

-   Tafsir Al Bustan  (Abul Laits as Samarqandy)

-   Tafsir   Baqy Makhlad

-    Tafsir Ma’limut Tanzil (Al Baghawy)

-    Tafsir  Al – Qur- anul ‘Adhim ( Al Hafidh ibnu Katsir)

-    Tafsir Asbabun Nuzul (Alwahidy)

-    Tafsir An Naskh wal mansukh (Abu Ja’far An Nahas)

-    Tafsir Ad Durrul Mantsur fit Tafsir bil Ma’tsur (As Suyuthy)

-     Al jawahir al – Hassan fi tafsir al-qur’an (Abdurrahman Atsa’libi)

Pada perkembanganya tafsir bil ma’tsur juga mengelami perbedaan pendapat antar para periwayat, namun perbedaan itu hanya terletak pada aspek redaksional sehingga maknanya sama  hanya kata–kata yang berbeda. Perbedaan ini dapat diklasifikasikan dalam dua macam yaitu :

Pertama, seorang mufasir mengungkapkan maksud sebuah kata dengan redaksi yang berbeda dengan mufasir lain. Contoh pada kata as sirat al mustaqim sebagian menafsirkan dengan Qur’an sedang yang lain dengan islam, namun keduanya bermakna sama karena islam ialah mengikuti qur’an (Drs.Mudzakir AS,2011:484)

Kedua, masing mufasir menafsirkan kata–kata yang bersifat umum dan menyebutkan makna dari sekian banyak makna yang ada, contoh penafsiran tentang firman Allah yang berbunyi: “ Kemudian kitab itu kami wariskan kepada orang–orang yang kami pilih diantara hamba–hamba kami namun diantara mereka ada yang berbuat aniaya (zalim) terhadap diri sendiri, ada pula yang bersikap moderat (muqtasid) dan ada pula yang terdepan (sabiq) dalam berbuat kebajikan (fathir 35:32)  (Drs.Mudzakir AS,2011:485)

Dalam pengartian zalim, muqtasid dan sabiq ada musafir yang mengaitkan dengan sholat ada pula yang mengaitkannya dengan zakat sehingga terasa ada perbedaan namun dalam makna sesungguhnya masih menggambarkan hal yang sama. Perbedaan juga terkadang dikarenakan ada dua lafadz yang bermakna ganda, namun itu bukan masalah besar selama tidak menyimpang dari konteks yang asal.Tafsir bir-rayi ada setelah berakhir masa salaf sekitar abad 3 H dan peradaban islam semakin maju dan berkambang, sehingga  berkembanglah berbagai madzhab dan aliran di kalangan umat islam. Masing–masing golongan berusaha menyakinkan umat islam dalam rangka mengembangkan paham mereka. Didukung dengan banyaknya  para ahli tafsir yang  telah menguasai berbagai disiplin ilmu, maka pada proses penafsiran mereka cenderung memasukkan hasil pemikiran serta pembahasan tersendiri yang berbeda dengan penafsir lain. Contohnya ada yang cenderung pada ilmu balagh (imam al Zamakhsyari), pembahasan aspek hukum syariah (imam al- Qurtuby) karena individulisme seperti inilah banyak penafsir yang sampai mengesampingkan tafsir yang sesungguhnya karena sibuk memasukkan ide nya masing-masing. Tafsir bir–Ra’yi masih bisa diterima selama penafsir menjauhi lima hal berikut,

- Menjauhi sikap terlalu berani menduga–duga kehendak Allah didalam KalamNya, tanpa memiliki syarat penafsir.

- Memaksa diri memahami sesuatu yang hanya wewenang Allah untuk mengetahuinya

- Menghindari dorongan dan kepentingan hawa nafsu

- Menghindari tafsir yang ditulis untuk kepentingan madzhab

- Menghindari penafsiran pasti (qath’i)

Sehingga jika sudah menjauhi lima hal diatas maka mufasir dinilai berniat ikhlas untuk menafsirkan tanpa ada kepentingan terselubung karena apabila tafsirnya memihak kepentingan suatu madzhab atau golongan maka ia dianggap sebagai pencipta bid’ah, tafsirnya dianggap tercela dan ditolak. Seperti pada kasus dimana banyak penafsir dari golongan mu’tazilah yang memasukkan paham ke mu’tazilahannya yang bertumpu pada lima dasar yakni: tauhid, adil, all –wadu wa al –wa’id, al –manzilah bayanal manzilatayn serta amar ma’ruf nahi munkar. Selain mu’tazilah ada beberapa golongan pula yang melakukan hal yang sama. Dalam perkembangannya tafsir bir-ra’yi mengalami perkembangan yang pesat, namun dalam penerimaan nya di mata para ulama ada dua tanggapan yakni memperbolehkan dan melarang. 

Meski ada beberapa ulama yang memperbolehkan penafsiran dengan ijtihad yang berdasarkan Al- Qur’an dan sunnah rasul serta  kaedah yang dianggap mu’tabarat. Namun, para ulama salaf lebih suka diam daripada menafsirkan Al- qur’an. Dan tidak ada dalil yang kuat untuk pelarangan tafsir bir – ra’yi sebagaimana ditulis oleh Ibn Taymiyat: “ mereka senantiasa membicarakan apa–apa yang mereka ketahui dan mereka diam pada hal – hal yang tidak mereka ketahui. Inilah kewajiban setiap orang (lanjutnya), ia harus diam kalau tidak tahu ,dan sebaliknya harus menjawab jika ditanya sesuatu yang diketahuinya”, jadi diamnya ulam salaf bukan karena tidak mau menafsirkannya, bukan pula karena dilarang. Tapi, karena ke hati–hatian mereka supaya tidak masuk ke dalam apa yang disebut  takhmin dalam menafsirkan Al- qur’an. Karena ada dua pandangan dalam hukum tafsir bir – ra’yi, maka kiitab–kitab tafsir bir- ra’yi dibedakan jadi dua macam yakni yang Mahmud (diperbolehkan) dan yang Mazhmum (terlarang /tercela).

Contoh Kitab yang mahmud (diperbolehkan

- Tafsir anwarut Tanzil wa Asrarut Takwil (Al Baidhawy)

- Tafsir Irsyadul Aqlis Salim ( Abu Su’ud Al Imady)

- Tafsir Fathul Qadir (Al Imam as Ayaukany)

-  Tafsir Fathul Bayan (Siddiq hassan Khan)

-  Tafsir Ruhul Ma’ani (Syihabudin al Alusy)

-   Al-jami’ Liahkami Qur’an (muhammad bin Abi bakr)

-   Tafsir Al Jalalain (Jalaludin Muhammad AlMahally dan Jalaludin Muhammad A Sayuthy)

Contoh kitab yang Mazhmum:

- Tanjihul qur’an ‘ani Mathain’ ( abu hasan abdul jabar) dari golongan mu’tazilah

- Mir’atul Anwar wa Misykatul ashrar (Maula Abdul Latif Al-Kazarani) dari golongan Syi’ah

- Tafsir Hassan Al – Askari (Abu Musa ) dari golongan Syi’ah

- Himyanul Zad Ila Daril ma’ad (muhammad bin Yusuf) dari golongan Khawarij

- Gharar Al-Fawa’id wa Darar Al Qalaid (Abu Qasim Ali) dari golongan Mu’tazilah.

- Rahul Ma’ani (Syihabudin Al Alusi ) dari golongan khawarij

- Tafsir Athiyah bin Muhammad An-Nazwany Al- zayidi tafsir fi tafsir (Muhsin bin Muhammad) dari golongan Zayidiyah

3. Hukum  tafsir bil ma’tsur dan Bir- Ra’yi

Tafsir bil ma’tsur adalah tafsir yang harus diikuti dan dipedomani karena berdasar pada yang  shahih seperti Al – qur’an dan Hadits nabi, maka bisa digunakan agar tidak tergelincir dalam kesesatan pengetahuan dalam memahami kitab Allah. Diriwayatkan oleh ibnu Abbas, ia berkata : “tafsir itu ada empat macam ; tafsir yang yang dapat diketahui oleh orang arab melalui bahasa mereka, tafsir yang harus diketahui oleh setiap orang, tafsir yang hanya bisa diketahui para ulama dan tafsir yanga sama sekali tidak mungkin diketahui oleh siapapun selain Allah.

Dari yang dikatakan ibnu Abbas kita bisa tahu bahwa ada beberapa tafsir yang tiddak bisa dirtikan secara gamblang dan masih disembunyikan oleh Allah yang hanya bisa diuraikan oleh utusannya yakni Nabi Muhammad SAW, seperti dalam hal- hal seperti ayat – ayat yang mengandung perintah wajib,anjuran dan himbauan, larangan, fungsi – fungsi hak, hukum – hukum , batas – batas kewajiban, kadar keharusan bagi sebagian makhluk terhadapa sebagian lain dan hukum- hukum lain yang terkandung dalam ayat- ayat Al- qur’an yang tidak dapat diketahui kecuali dengan penjelasan Rassulullah. Maka dari itu tafsir Ma’tsur dianjurkan untuk dipedomani karena metode tafsir jenis ini merujuk pula pada Sunnah Nabi Muhammad SAW.

Tafsir Bir- Ra’yi adalah diperbolehkan apabila ada dasar yang shahih namun apabila  tidak ada maka tafsir jenis ini diharamkan atau tidak boleh dilakukan. Ada beberapa alasan yang melarang tafsir jenis ini  seperti. “dan jangan lah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya” (al – Isra’ [17] :36) (Drs.Mudzakir AS,2011:489)

katakanlah: ‘tuhanku hanya mengharamkan perbuatan keji, baik yang tampak maupun tersembunyi, perbuatan dosa dan melanggar hak manusia tanpa alasan yang benar ; (mengharamkan) kamu mempersekutukan dengan Allah sesuatu yang tidak ia turunkan hujjah mengenainya dan (mengharamkan ) kamu mengatakan terhadap Allah sesuatu yang tidak kamu ketahui’ ” (al – A’raf [7]:33) ((Drs.Mudzakir AS,2011:490)

Secara umum dapat dikatakan bahwa jenis metode ini bisa dibilang tidak aman untuk menafsirkan karna biasanya termasuki oleh ide – ide penafsir itu sendiri tanpa disandarkan pada bukti – bukti yang shahih, namun masih ada beberapa yang diperbolehkan asalkan memenuhi persyaratan tertentu, serta tidak memihak salah satu golongan atau madzhab apapun.

4.      Tokoh- Tokoh Tafsir Bil Ma’tsur dan Bil Ra’yi

Tafsir bil Ma’tsur memiliki beberapa tokoh – tokoh seperti

-  Ibnu jarir Ath thabary

-   Abul Laits as Samarqandy

-   Al Wahidy

-   Al Hafidh Ibnu katsir

-   Abdul haqq bin Ghalib

-   Abu Muhammad Al- Husain bin Mas’ud

-    Jalaludin Asuyuthi

-    Abdurrahman Atsa’libi

Tokoh–tokoh dalam tafsir bir-Ra’yi dibedakan jadi dua yakni yang tidak memihak pada golongan, yang tafsirnya mahmud yakni:

-  Muhammad bin Husain ibnu Al- Hasan

-  Muhammad bin Abi Bakr

-  Jalaludin Muhammad bin ahmad

-   Jalaludin abdurahman bin Abi Bakr

-   Nidhamuddin ibnu  hasan

-    Shihabudin As- Sayid

Tokoh – tokoh yang tafsirnya Mazhmuz yakni :

-   Maula Abdul Latif al- Kazarani  (dari golongan Syi’ah)

-   Muhammad bin Syah Murtadha (dari golongan Syi’ah)

-   Shaltan bin muhammad (dari golongan Syi’ah)

-   Abu  Hasan  Abdul Jabar bin Muhammad (dari golongan Mu’tazilah)

-   Abu Qasim Muhammad bin ‘Amr  bin Muhammad (dari golongan Mu’tazilah)

-   Abu Abdurrahman As Sulami (dari golongan Khawarij)

5. Kesimpulan

-  Tafsir bil Ma’tsur dan Tafsir Bir-ra’yi merupakan metode tafsir yang bertolak belakang, karena tafsir bil Ma’tsur disandarkan atau di rujuk pada   al – qur’an serta Hadits nabi yang sahih dan jelas sanadnya sedangkan  tafsir Bir- ra’yi metode tafsir yang hasil tafsirannya agak diragukan karena banyak yang termasuki oleh kepentongan madzhab dan golongan, namun masih ada yang diperbolehkan karena memiliki rujukan yang shahih dan tidak mengandung kepentingan golongan.

-  Tafsir bil Ma’tsur sudah ada sejak zaman sahabat  yang pada masa digunakan untuk memperkuat penafsira n dengan mengutip hadits dari rasulullah atau sesama sahabat

-  Tafsir Bir-ra’yi ada dan berkembang saat para penafsir juga menguasai ilmu di bidang lain serta memasuki golongan – golongan seperti mu’tazilah, Syiah , Khawarij,dll.

-  Buku–buku Tafsir dengan metode tafsir bil Ma’tsur sering dijadikan rujukan sedang tafsir bir-ra’yi perlu dipilih–pilih dulu.

C. PERBEDAAN TAFSIR DAN TAKWIL

Berikut adalah secara ringkas perbedaan tafsir dan takwil menurut para ulama tafsir.

 

TAFSIR

TAKWIL

1.       1

Tafsir besasal dari kata al-fasr yang berarti menjelaskan atau mengetahui maksud suatu kata yang sulit

Takwil berasal dari kata awala-ya’ulu-ta’wilan yang bermakna merenungkan, memperkirakan, atau menjelaskan

2.

Menjelaskan objek kosakata, baik hakiki maupun majas, menjelaskan dan menginformasikan dalil yang di maksud.

Menjelaskan dan menginformasikan hakikat yang di maksud, menjaga dan menghindarkan dari penghinaan terhadap perintah Allah.

3.

Menjelaskan makna yang dihasilkan dari ungkapan.

Menjelaskan makna yang dihasilkan melalui isyarat.

 

4.

Hal-hal yang berhubungan dengan riwayat.

Hal-hal yang berhubungan dengan dirayah (kepandaian) yang kemudian dikenal dengan medan ijtihad.

5.

Menerangkan maksud Allah dengan berpegang pada perkataan Nabi

Melihat dan menarjih makna kosakata dengan berpegang pada ijtihad.

6.

Bersifat khusus karena hanya berlaku untuk kalam Allah.

Bersifat umum karena berlaku untuk semua kalam.

7.

Menjelaskan objek topik suatu kosakata.

Menjelaskan makna yang dikehendaki kosakata.

8.

Menerangkan makna lafazh yang tak menerima selain dari satu arti.

Menetapkan makna yang dikehendaki suatu lafazh yang dapat menerima banyak makna karena didukung oleh dalil.

9.

Lebih umum dan lebih banyak digunakan untuk lafazh dan kosakata dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah dan kitab-kitab lainnya.

Lebih banyak dipergunakan makna dan kalimat dalam kitab-kitab yang diturunkan Allah saja

10.

Menetapkan apa yang dikehendaki ayat dan menetapkan seperti yang dikehendaki Allah.

Menyeleksi salah satu makna yang mungkin diterima oleh suatu ayat tanpa meyakinkan bahwa itulah yang dikehendaki Allah.

 Sementara itu, perbedaan antara tafsir dan takwil menurut ulama ushul fiqih adalah sebagai berikut.

No.

Tafsir

Takwil

1.

 

Berdasarkan pada dalil yang qath‟i.

 

Berdasarkan pada dalil yang zhanni.

 

2.       

Makna kata jelas dan tidak ada celah untuk menakwilkan.

 

Apabila suatu makna didasarkan pada dalil zhanni, makna yang dimaksud adalah takwil.

Kesimpulannya, tafsir adalah makna-makna dari ayat-ayat al-Qur’aan yang jelas dan gamblang dilalah-nya, sesuai dengan yang dikehendaki Allah. Pengertian lahiriyah dari ayat Al-Qur‟an yang pengertiannya secara tegas mengatakan maksud yang dikehendaki Allah Azza wa jala.  Sedangkan ta'wiil adalah makna-makna ayat yang samar yang masih membutuhkan pemikiran dan penggalian yang juga mempunyai banyak arti, di mana mufassir mengunggulkan sebagian arti saja yang lebih kuat dari segi pandangan dan pengambilan dalil serta kecenderungan kepada makna yang jelas dan lebih kuat. Pengertian-pengertian tersirat yang diistimbatkan (diproses) dari ayat-ayat Al-Qur‟an yang memerlukan perenungan dan perkiraan, serta merupakan sarana pembuka tabir.[2]

D. Syarat-Syarat Mufassir

1.    Shahihnya aqidah si mufassir.

Seorang yang ingin menafsirkan al-Qur’an haruslah seorang yang lurus aqidahnya. Seorang ateis dan mubtadi’ tidak bisa diterima tafsirnya terhadap al-Qur’an, karena yang mereka inginkan dari tafsir tersebut adalah fitnah bagi umat Islam dan ta’wil untuk mendukung kesesatan mereka.

2. Menguasai ilmu bahasa Arab.

Seorang yang akan menafsirkan al-Qur’an wajib menguasai ilmu bahasa Arab, karena bahasa Arab merupakan bahasanya al-Qur’an. Tak mungkin seseorang bisa memahami al-Qur’an, jika ia tak paham bahasa Arab. Di sinilah relevansinya perkataan Syaikhnya para ahli tafsir dari kalangan tabi’in, Imam Mujahid -sebagaimana dinukil oleh Dr. Muhammad ‘Ali al-Hasan-, “Tidak halal bagi seorang yang beriman kepada Allah dan Hari Akhir berbicara tentang Kitabullah jika ia bukan seorang yang ‘alim dalam bahasa Arab”. Maksud beliau, terlarang bagi seseorang yang tak menguasai bahasa Arab untuk menafsirkan al-Qur’an. Wallahu a’lam. Ilmu bahasa Arab memiliki beberapa cabang, dan yang terpenting di antaranya adalah:

 a)      Ilmu nahwu

Makna kalimat bahasa Arab bisa berubah karena perbedaan posisi i’rabnya. Bahkan, iman bisa menjadi kufur, dan kufur bisa menjadi iman, hanya karena perubahan i’rabnya. Menguasai ilmu nahwu akan menghindarkan seorang mufassir dari kekeliruan yang fatal dalam memahami al-Qur’an.

 b)      Ilmu sharaf

Dengan ilmu ini seseorang bisa memahami bentuk dan bangunan suatu kata. Dan jika seorang yang akan menafsirkan al-Qur’an tak memahami ilmu ini, ia akan terjatuh pada kesalahan dan bid’ah.

Az-Zamakhsyari dalam kitab tafsirnya -sebagaimana disebutkan Dr. Muhammad ‘Ali al-Hasan mengkritik orang yang menafsirkan kata imam dalam ayat:  مهمامإب سانأ لك اوعدن موي sebagai jamak dari kata umm (ibu). Beliau mengkritik hal ini dan menegaskan bahwa pernyataan tersebut tak dikenal dalam bahasa Arab. Beliau tegaskan bahwa bentuk jamak dari umm adalah ummahat, bukan imam.

 c)      Isytiqaq

Pengetahuan tentang isytiqaq ini penting bagi seorang mufassir. Hal ini karena perbedaan dalam menentukan akar suatu kata mengakibatkan perbedaan dalam memahami makna kata tersebut. Misalnya, kata ‘al-masih’ untuk Nabi ‘Isa ‘alaihis salam, apakah ia berasal dari kata ‘as-siyahah’ atau ‘al-mashu’. Jika ia berasal dari kata ‘as-siyahah’, maka penamaan ini menunjukkan banyaknya pengembaraan (untuk tujuan ibadah) yang dilakukan oleh beliau. Jika ia berasal dari kata ‘al-mashu’, maka ia menunjukkan bahwa Nabi ‘Isa dapat menyembuhkan penyakit pada seseorang dengan cara mengusapkan tangan pada si sakit dengan izin Allah ta’ala.

 d)      Ilmu balaghah

Ilmu balaghah memiliki tiga cabang, yaitu ilmu ma’ani, bayan dan badi’. Dengan ilmu ma’ani dapat diketahui keistimewaan susunansusunan kalimat dilihat dari segi maknanya. Dengan ilmu bayan dapat diketahui keistimewaan susunan-susunan kalimat ditinjau dari perbedaan bentuknya sesuai dengan jelas atau samarnya dalalah.

 Dengan ilmu badi’ dapat diketahui sisi-sisi keindahan suatu kalimat. Ilmu balaghah ini digunakan oleh mufassir untuk mengetahui i’jaz Qur’ani, kemukjizatan al-Qur’an. Bahasa al-Qur’an begitu indah dan menakjubkan, hingga ia mampu melemahkan setiap makhluk, baik manusia dan jin, yang ingin membuat yang serupa dengannya. Dan i’jaz Qur’ani ini hanya bisa dirasakan oleh yang menguasai ilmu balaghah. 

3.    Menguasai ilmu ushul fiqih.

Ilmu ini merupakan ilmu yang wajib dikuasai oleh seorang mujtahid. Ilmu ini juga wajib bagi mufassir yang ingin menggali hukum dari ayat-ayat al-Qur’an. Dengan ilmu ini, dapat diketahui bagaimana cara menggunakan dalil (dalam hal ini adalah al-Qur’an), yang dari dalil tersebut bisa diambil kesimpulan hukum tentang suatu perkara. Jadi, mengambil suatu kesimpulan hukum dari al-Qur’an (dan juga asSunnah) tidak bisa hanya dengan membaca satu-dua ayat al-Qur’an, kemudian langsung ambil kesimpulan hukum dari sana, apalagi jika ia hanya memahaminya dari terjemahan. Yang tak mengerti ushul fiqih, tidak usah bermain-main dengan al-Qur’an, mengira dirinya berdalil dengan al-Qur’an, padahal ternyata hanya menggunakan al-Qur’an untuk memenangkan hawa nafsunya, wal ‘iyaadzu billah.

4.   Menguasai ilmu ushuluddin.

Ilmu ini wajib dikuasai oleh setiap mufassir, agar ia tidak keliru dan tergelincir dalam aqidahnya. Dengan aqidah yang shahih, ia bisa memahami ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang alam semesta, manusia dan kehidupan dengan pemahaman yang benar dan lurus. Seorang mufassir juga wajib mengenal perkara-perkara yang menjadi ‘ushul i’tiqadiyyah’, seperti apa yang wajib bagi Allah dan apa yang mustahil, serta yang wajib bagi para Rasul dan yang mustahil bagi mereka. Abu Hayyan -sebagaimana disebutkan oleh Dr. Muhammad ‘Ali al-Hasan- menyatakan tentang ilmu ini: “Para ulama umat Islam dari seluruh kelompok telah menulis ilmu ini dalam banyak kitab, dan ia adalah ilmu yang sulit, yang jika tergelincir di dalamnya, wal ‘iyadzu billah, maka orang tersebut akan mendapatkan kebinasaan di dunia dan akhirat.”

5.   Menguasai ulumul Qur’an.

Untuk memahami al-Qur’an dengan benar, mau tidak mau seorang mufassir harus menguasai ulumul Qur’an. Di antara cabang ulumul Qur’an yang wajib dikuasai oleh seorang mufassir adalah:

a.    Ilmu qiraat, dengan ilmu ini dapat diketahui tatacara pengucapan lafazh-lafazh al-Qur’an dengan benar. Makna dan tafsir al-Qur’an bisa berbeda-beda jika lafazh-lafazh di dalamnya dibaca secara berbeda pula. Dan jika kita baca kitab-kitab tafsir mu’tabar, kita akan temukan banyak pembahasan terkait ilmu ini saat mufassir ingin menunjukkan makna atau tafsir yang paling tepat atas suatu lafazh atau ayat.

b. Ilmu asbabun nuzul, Sebagian ayat al-Qur’an diturunkan terkait peristiwa yang terjadi di masa turunnya ayat tersebut, sebagian lagi diturunkan untuk menjawab pertanyaan yang diajukan kepada Rasulullah. Untuk mengetahui makna yang benar atas suatu ayat, tentu kita harus mengetahui apa yang menyebabkan ayat itu diturunkan. Di sinilah pentingnya seorang mufassir menguasai ilmu asbabun nuzul.

c. Ilmu nasikh-mansukh, di masa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam masih hidup, kadang turun ayat al-Qur’an yang menyebutkan hukum suatu perbuatan, dan di masa berikutnya turun ayat yang lain lagi yang menghapus hukum dari ayat sebelumnya. Inilah pembahasan nasikh-mansukh. Sebagaimana dalam Hadits, dalam alQur’an pun ia ada. Jika seseorang tidak mengetahui nasikh-mansukh dalam al-Qur’an, bisa jadi ia menyimpulkan hukum dari suatu ayat al-Qur’an, padahal hukum dari ayat tersebut sudah mansukh oleh ayat yang lain.

d.  Ilmu qashashul Qur’an, Sebagaimana kita ketahui, banyak cerita dalam al-Qur’an, namun ia bukanlah seperti buku sejarah atau biografi yang memuat cerita tersebut secara runut. Al-Qur’an memuat cerita-cerita tersebut lebih sebagai pelajaran bagi umat Islam, sehingga pemuatan cerita-cerita tersebut kadang terpisahpisah di berbagai surah al-Qur’an. Seorang mufassir perlu mengetahui gambaran global dari masing-masing cerita tersebut, agar ia bisa menafsirkan penggalan-penggalan cerita di tiap surah secara tepat.

6.    Mengetahui hadits-hadits Nabi yang berisi tafsir terhadap ayatayat al-Qur’an.

Orang yang paling memahami al-Qur’an adalah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Jadi, agar seorang mufassir tidak menyimpang tafsirnya, ia wajib mengetahui hadits-hadits Nabi yang terkait dengan ayat yang ingin ia tafsirkan.

7.  Mengetahui tafsir shahabat Setelah Nabi.

Para shahabatlah yang paling mengetahui al-Qur’an, karena mereka hidup di masa turunnya al-Qur’an, hari-hari mereka dihabiskan dengan membersamai Rasul, sang penerima wahyu. Jadi, seorang mufassir wajib mengetahui tafsir para shahabat, dan menjadikannya sumber ketiga dalam penafsiran al-Qur’an setelah alQur’an itu sendiri dan Hadits Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

 [1] Abdul Wahid dan Muhammad Zaini. Pengantar ‘Ulumul Qur’an dan ‘Ulumul Hadits. 2016

[2] Rosihan Anwar, Ulum Qur‟an..., hlm. 214.

 

Kamis, 15 April 2021

Kemukjizatan Al-Qur'an

PENGETIAN I’JAZ AL-QUR’AN DAN MU’JIZAT

I’jaz berasal dari kata ‘ajaza yang berarti lemah atau melemahkan, kata ‘Ijaz Al-Qur’an mengandung arti: pengokohan al-Qur’an sebagai sesuatu yang mampu melemahkan berbagai tantangan untuk menciptakan karya sejenis. Dengan demikian, al-Qur’an sebagai mu’jizat bermakna bahwa al-Qur’an merupakan sesuatu yang mampu melemahkan tantangan menciptakan karya yang serupa dengannya.

Mu’jizat adalah suatu kejadian yang di luar dari kebiasaan disertai dengan tantangan, namun tantangan tersebut tidak mungkin dapat dipenuhi. Jadi, mu’jizat al-Qur’an adalah perkara yang menjadikan al-Qur’an melemahkan golongan yang memusuhi atau menantangnya. Sebagai bukti bahwa al-Qur’an adalah firman Allah bukan syi’ir atau sihir Nabi Muhammad saw, sebagaimana yang dituduhkan orang-orang kafir kepada beliau.

Sesuatu dapat dikatakan mu’jizat apabila memenuhhi beberapa persyaratan sbb:

1. Tidak ada seorangpun selain Allah yang dapat melaksanakannya

2. Di luar dari kebiasaan

3. Merupakn bukti kebenaran

4. Terjadi bersamaan dengan pengakuan seorang utusan Allah dan hanya terjadi pada

Rasul Allah, bukan manusia biasa.

Dalam hal ini al-Shuyuti membagi mukjizat menjadi dua macam, yaitu:

1. Mukjizat hissi, merupakan mukjizat yang dapat digapai melalui panca indra, yang ditujukan kepada manusia biasa yang tidak terbiasa menggunakan kecerdasan mereka. Misalnya, mukjizat Nabi Musa dengan tongkatnya yang ditujukan keepada Bani Israil.

2. Mukjizat ‘aqli, adalah mukjizat yang tidak mungkin dicapai melalui kekuatan panca indra, tetapi melalui kekuatan akal dan kecerdasan pikirannya.

a. Tujuan Ijaz Qur’an

I‟jaz merupakan kemampuan untuk menundukkan dan menunjukkan dirinya melebihi yang lainnya. Ketika istilah ini disematkan kepada Alquran, maka menuntut agar Kitab Suci yang dibawa oleh Rasulullah ini dapat menundukkan seluruh tulisan-tulisan yang pernah ada, sekaligus juga menobatkan Alquran menjadi Kitab paling mulia dan tidak terbantahkan. Adapun tujuan ijaz Qur’an dapat diuraikan sebagai berikut:

1. Membuktikan bahwa Nabi Muhammad SAW yang membawa mukjizat kitab Al Qur’an itu adalah benar-benar seorang Nabi/ Rasul Allah.

2. Membuktikan bahwa kitab Al Qur’an itu adalah benar-benar wahyu Allah SWT, bukan buatan Malaikat Jibril, dan juga bukan tulisan Nabi Muhammad.

3. Menunjukkan kelemahan mutu sastra dan balaghah bahasa manusia, karena terbukti pakar-pakar pujangga sastra dan seni bahasa Arab tidak ada yang mampu menandingi Al Qur’an.

 b. Sejarah Ijaz Qur’an

Mahmud Syakir menjelaskan istilah i’jaz Qur’an dan mu‟jizat Al Quran dengan menekankan perhatian kepada awal munculnya kedua istilah ini. Pertama, istilah i‟jaz Quran dan mu‟jizat Nabi tidak terdapat baik dalam Al Quran maupun hadis Rasul SAW. Bahkan istilah ini juga tidak terdapat pada perkatan sahabat, juga tidak muncul dalam ungkapan-ungkapan tabi‟in. Istilah ini mulai muncul pada abad ke-3, kemudian berkembang dengan sangat pesat pada abad-abad selanjutnya hingga masa kita sekarang ini. Maka dikatakannya bahwa kedua istilah ini merupakan kata yang muhdas (kata jadian) dan muwallad (istilah baru yang dimunculkan).

Kedua, kata lainnya yang semakna dan menyertai kemunculan kata i‟jaz adalah at-tahaddil. Kata ini juga merupakan kata yang muhdats dan muwallad.  Tidak terdapat baik di dalam Alquran mau pun hadis Rasulullah, juga tidak terdapat pada perkatan para sahabat dan tidak ditemukan dalam ungkapan-ungkapan tabi‟in. Selanjutnya, i‟jaz Alquran menjadi istilah yang popular digunakan untuk mengusung pembicaraan seputar keunggulan Alquran selaku firman Allah yang diwahyukan kepada Rasulullah saw.

Di mulai pada abad ke-3, Ulama dan sarjana-sarjana muslim telah banyak membahas persoalan i‟jaz Alquran. Ibn Sayyar an-Nazzam, seorang teolog Mu‟tazilah menegaskan adanya sarfah (pengalihan) dalam kemampuan manusia untuk tidak mampu menandingi bahasa yang dipergunakan oleh Alquran. Teori ini menyatakan bahwa manusia sebenarnya memiliki kemampuan untuk meniru dan mengimitasi Alquran, baik dari sisi substansi mau pun redaksionalnya. Hanya saja, kemudian Tuhan melakukan intervensi kepada manusia dengan mengalihkan kemampuan tersebut sehingga menjadikannya tidak mampu meniru Alquran meskipun satu ayat saja.

Teori sharfah merupakan tempat pijakan an-Nazzam dalam menjelaskan ijaz Alquran. Maka dengan demikian an-Nazzam memandang bahwa i‟jaz Alquran tidaklah berada pada keunggulan ungkapan, struktur kalimat, maupun gaya bertutur, akan tetapi berada pada posisinya sebagai bahasa yang bersumber dari Tuhan. Dengan demikian, Alquran sebagai teks tidaklah berbeda dengan teks lainnya, keunggulannya terletak pada isi (content) yang dibawa dalam ungkapan al-Qur’an tersebut, baik sesuatu yang gaib pada masa sekarang atau pun akan datang, yang tidak dapat diketahui oleh manusia. Sedangkan Ali ibn Isa ar-Rummani, seorang teolog yang juga beraliran

Mu’tazilah berpendapat bahwa i’jaz Alquran terletak pada dua hal yang tidak dapat dipisahkan dari Alquran itu sendiri. Keduanya yakni; (1) status Alquran sebagai bahasa Tuhan dan (2) struktur serta gaya tutur atau stilistik yang dimiliki oleh Alquran itu sendiri. Ditambahkannya juga, i’jaz Alquran terletak pada harmoni yang menakjubkan antara statusnya sebagai firman tuhan dan gaya tutur yang digunakan, serta aspek-aspek linguistik lainnya yang tersusun dengan cermat di dalam Alqur’an.

Abu Bakar al-Baqillani, seorang ulama yang anti terhadap Mu‟tazilah menegaskan menegaskan bahwa i’jaz Alquran terkandung di dalamnya, dan bukanlah I‟jaz itu muncul dari intervensi Allah terhadap manusia berupa sharfah atau tindakan untuk mengalihkan bangsa Arab agar tidak mampu membuat yang semisal dengan Alquran (melakukan imitasi terhadap Alquran). Meski pun ia tidak menafikan keunggulan Alquran dalam mengungkap berita-berita gaib, akan tetapi al-Baqillani lebih menyoroti bahwa i‟jaz Alquran lebih jelas terlihat dari sisi kebahasan dan susunan kata-katanya. Akan tetapi, dalam hal ini al-Baqillani masih dipandang belum tuntas untuk menjelaskannya sehingga terlihat ia hanya mengungkap keindahan bahasa Alquran

Macam-macam Ijazul Qur’an

Dalam sebuah buku yang berjudul “Al-I’jaz fi Al Qur’ani fi wujuhil muktasyifah” macam-macam ijaz yang terungkap antara lain ijaz balaghi (berita mengenai hal ghaib), ijaz tasyri ( perundang- ndangan), ijaz ilmi, ijaz lughowi (keindahan redaksi Al Qur’an), ijaz thibby ( kedokteran ), ijaz falaky ( astronomi ), dan terakhir ijaz thabi’i ( fisika ).

a. Ijaz Balaghi

Sebagian ulama mengatakan bahwa salah satu mukjizat Al Qur’an adalah berita ghaibnya. Salah satu contoh berita ghaibnya kisah Fir’aun yang mengejar Nabi Musa AS, hal ini diceritakan dalam Q.S Yunus:92.

b. Ijaz Lughowi

Menurut Quraish Shihab didalam bukunya, memandang segi kemukjizatan pada tiga hal, diantaranya segi keindahan dan ketelitian redaksi Al Qur’an. Dalam Al Qur’an sendiri banyak dijumpai contoh keseimbangan dan keserasian diantara kata-kata yang digunakan, keseimbangan jumlah bilangan kata dan antonim, keseimbangan kata dengan sinonim atau makna yang dikandungnya, keseimbangan antara jumlah kata dengan jumlah yang menunjukkan akibatnta.

c. Ijaz Ilmi

Di dalam Al Qur’an Allah mengumpulkan beberapa macam ilmu. Jumlah ayat-ayat ilmi dalam Al Qur’an mencapai sekitar 750 ayat yang mencakup berbagai cabang ilmu pengetahuan. Beberapa mukjizat tersebut secara global adalah :

1. Ilmu Astronomi

 Q.S Nuh ayat 38-40

 Q.S Nuh ayat 16

 Q.S Al An’am ayat 125

2. Ilmu Geologi

 Q.S An Nazi’at ayat 30

 Q.S Az Zumar ayat 5

 Q.S An Naba’ayat 7

 Q.S Ar Ra’du ayat 41

3. Ilmu Gronomi

 Q.S Al Baqarah ayat 256

 Q.S Al Hijr ayat 22

d. Ijaz Tasyri

Dalam sejarah kehidupanya, manusia telah banyak mengenal berbagai macam doktrin , pandangan hidup, sistem perundang-undangan yang bertujuan membangun hakikat kebahagiaan individu didalam masyarakat. Namun tidak satupun daripadanya yang dapat mencapai seperti yang dicapai Al Qur’an dalam kemukjizatan tasyri nya.

Diantaranya hukum-hukum ini adalah masalah hutang-piutang Q.S Al Baqarah ayat 282, tentang makanan yang halal dan Haram Q.S An Nisa ayat 29, tentang sumpah Q.S An Nahl ayat 94, tenyang perintah memelihara kehormatan wanita Q.S Al Ahzab ayat 59, dan perkawinan Q.S An Nisa ayat 22, dan masih banyak lagi.

Segi-segi Ijaz Qur’an

1. Ijaz Qur’an dalam segi kebahasaan

Al qur'an datang ke Arab pada masa jaya - jayanya suatu bahasa. Bahasa yang disajikan dalam al qur'an mampu mengungguli kesastraan masyarakat jahiliah pada waktu itu. Hingga ketika al qur'an datang hendak menantang para sastrawan - sastrawan sombong masyrakat sombong jahiliyah yang menganggap bahwa al qur'an sebuah karya nabi muhammad. Tapi semua itu tak ada satupun hasil dari masyarakat jahiliah tersebut untuk mengungguli bahasa dalam al-qur'an.

Contoh dari aspek kemukjizatan al qur'an dari segi bahasa adalah Majas dalam al qur'an. Majas adalah Sebuah gaya bahasa. Dalam agama islam majas masuk dalam bahasa ilmu bayan. Di antara contoh majas di dalam al qur'an (Q. S ibrahim:1)

 Artinya; Alif, laam raa. (ini adalah) kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji. (QS.Ibrahim:1)

Maksud dari kata لمت ظ ال dan نور ال dalam ayat tersebut, bukanlah bermakna gelap dan cahaya, sebagaimana makna yang ada dalam kamus, tetapi kesesatan dan petunjuk.

2. Ijaz Qur’an dalam segi peristiwa masalalu

Kemujizatan Al Qur‟an tentang peristiwa masalalu, dapat ditemukan pada kemampuan Al-Qur‟an mengungkap peristiwa pada masalalu. Misalnya saja tentang jasad fir'aun yang diselamatkan. Maksud kami tentang jasad fir'aun yang diselamatkan adalah ketika peristiwa Fir'aun mengejar nabi musa dan terjadilah tengelam nya fir'aun dilaut merah. Dalam tragedi tersebut al qur'an menyatakan bahwa tubuh fir'aun diselamatkan dalam artian tidak hancur, karena akan menjadi pelajaran umat manusia setelahnya. Allah Swt. Berfirman dalam. Q. S Yunus [10] : 90- 92 menyatakan bahwa.

Dan kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut. Mereka pun diikuti oleh Fir’aun dan tentaranya, karena mereka hendak menganiaya dan menindas (Bani Israil). Ketika Fir’aun telah hampir tenggelam, berkatalah dia, “Saya percaya bahwa tidak ada tuhan melainkan Tuhan yang disembah oleh Bani Israil dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada-Nya).”

(Allah menyambut ucapan Fir’aun ini dengan berfirman), “Apakah sekarang (baru kamu percaya) padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu dan hari ini Kami selamatkan badanmu, supaya kamu menjadi pelajaran bagi (generasi) yang akan datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami”.

Kejadian diatas tadi memunculkan bukti -bukti kebenaran akan tidak hancurnya jasad fir'aun setelah lewat dari 3000 tahun yang lalu. Dan ditahun itu jasad firaun ditemukan dengan keadaan tidak hancur. Sekarang mayat fir'aun bisa ditemui di musium kairo.

3. Ijaz Qur’an dalam segi peristiwa masa yang akan datang

Di dalam Al Qur‟an terdapat beberapa ayat yang menyatakan sesuatu yang akan datang. Diantaranya ialah ayat-ayat yang berbicara tentang kemenangan Kerajaan Bizantiun terhadap Kerajaan Persia, tentang kemenangan para sahabat nabi Muhammad dalam perang Badar dan tentang masuknya nabi dan para pengikutnya kedalam Masjidil Haram. Semua prediksi ini terbukti benar.

Tentang kemenangan Kerajaan Bizantiun terhadap Kerajaan Persia, dapat dilihat dalam Q.S Al-Rûm [30]:1-5, yang artinya:

Alif Lâm Mîm (1) telah dikalahkan bangsa Romawi (2) di negeri yang terdekat; dan mereka setelah dikalahkan itu akan menang (3) dalam beberapa tahun (antara tiga sampai sembilan tahun ). Bagi Allah ketetapan urusan sebelum dan sesudah (mereka menang), dan di hari (kemenangan ) itu orang-orang Mukmin bergembira (4) karena pertolongan Allah. Allah menolong siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Dia Mahaperkasa lagi Maha Penyayang (5)”.

Prediksi Al Qur‟an yang dipandang sebagai kebenaran Al Qur‟an tentang peristiwa yang akan datang, dapat dilihat dari kemenangan kembali Kerajaan Romawi dalam pertempuran melawan Kerajaan Persia. Pada tahun 602 M. Kisra II sebagai Kaisar Kearjaan Persia, tidak lama sebelum Nabi Muhammad dilantik menjadi rasul, menyerang Kerajaan Romawi di mana lascar Romawi digilas habis oleh laskar Persia. Namun setelah itu, dunia Kristen bangkit membantu Romawi dan hanya dalam waktu sembilan tahun dari kekalahannya, Romawi berhasil kembali menghancurkan Kerajaan Persia, yang mana kemenangan mutlak Romawi tercapai pada tahun 627 M. Setelah Kisra II dibunuh oleh anak kandungknya sendiri. Ayat tersebut turun pada tahun 616 M. ketika Rasulullah berhijrah ke Madinah, yaitu 7 tahun setelah sudah ramalan Alquran.

Tentang kemenangan umat Islam dalam perang Badar, Alquran surah Al-Qamar [54]: 44- 46 berikut, yang artinya :

Atau Apakah mereka mengatakan: "Kami adalah satu golongan yang bersatu yang pasti menang." Golongan itu pasti akan dikalahkan dan mereka akan mundur ke belakang. Sebenarnya hari kiamat Itulah hari yang dijanjikan kepada mereka dan kiamat itu lebih dahsyat dan lebih pahit.

Menurut Ibn „Abbâs dalam Haytû (1989:16), ayat ini telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad di Mekah tujuh tahun sebelum perang Badar terjadi . Pada masa turunnya wahyu, jumlah umat Islam sangat sedikit. Mereka diperlakukan secara kejam oleh kaum kafir. Mereka ditekan bukan saja dalam hal perekonomian, tetapi juga hal perlakuan fisik. Banyak di antara mereka yang dibaikot melakukan perdagangan; banyak pula yang diperlakukan secara kejam.

Bahkan banyak yang dibunuh secara sadis. Memperhatikan situasi ini, Nabi mengatakan kepada kaum kafir: “Sungguh-sungguh, saya akan datang untuk membunuh kalian“. Selanjutnya, Allah mewahyukan kepada Muhammad ayat tersebut di atas, Ibn Abî Hâtim memberikan informasi kepada kita bahwa „Ikrima melaporkan bahwa ketika ayat tersebut diwahyukan, „Umar berkata:

kelompok mana yang akan dikalahkan?” „Umar selajutnya ketika perang Badar terjadi, saya melihat nabi mengenakan terompah sambil membaca ayat tersebut.

Tentang masuknya Nabi dan sahabatnya ke Mekkah Adapun tentang masuknya nabi dan para sahabat ke Mekah Al Qur‟an surah Al-Fath [48]:27 menyebutkan, yang artinya:

Sesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya (yaitu) bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram, insya Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang dekat.

Ayat ini menginformasikan bahwa sebelum nabi berangkat ke Madinah untuk perjanjian Hudaibiyah pada pada tahun ke-6 Hijriah, ia telah bermimpi bahwa ia dan para sahabatnya, akan memasuki Mekah dengan aman. Ketika para sahabat mendengar hal ini, mereka sangat senang, dan percaya bahwa mereka akan mencapai Mekah pada tahun itu. Akan tetapi, ketika mereka kembali dari pembicaraan perdamaian Hudaibiyah antara nabi sebagai wakil dari kaum Muslimin, dan Suhayl ibn „Amr sebagai wakil dari kaum Quraisy, pejanjian tersebut menjadikan beberapa orang dari kaum Muslimin tidak senang. Oleh karena itu, „Umar mendatangi Abû Bakr dan yang lainnya untuk menanyakan alasan-alasan kesepakatan itu yang menurut dia, memuat persyaratan-persyaratan yang tidak disetujui oleh Islam dan kaum Muslimin .Abû Bakr kemudian berkata kepada: “Apakah nabi memberitahukan kamu bahwa kamu akan memasuki Mekah tahun ini ? „Umar menjawab, “Tidak”. Abû Bakr menjawab, Sungguh, kamu akan memasuki Mekah dan akan melakukan tawaf di sana. Sekarang kita mengetahui bahwa bulan Zulkaidah tahun itu, mimpi nabi masuk ke Mekah akhirnya menjadi kenyataan. Ketiga contoh kebenaran informasi Alquran tentang peristiwa yang akan terjadi pada masa yang akan datang, menunjukkan bahwa Alquran adalah wahyu dari Allah swt.

Sebagai kesimpulan dari tulisan ini dapat dikemukakan bahwa Alquran adalah kitab suci yang benar-benar merupakan wahyu dari Allah swt. Hal ini dapat dilihat dari tantangan Alquran terhadap orang- orang yang ingin menandingi struktur kebahasaan Alquran. Bahkan bukan saja dari aspek kebahasaan, Alquran juga sarat dengan informasi tentang peristiwa masa lampau, seperti jasad Fir‟aun yang diselamatkan oleh Allah sebagai tanda kemukjizatan Alquran bagi umat manusia di sepanjang. Dan peristiwa yang akan terjadi pada masa yang akan datang seperti kemenangan kekaisaran Bizantiun atas kekaisaran Persia; tentang kemenangan umat Islam dalam perang Badar, dan tentang masuknya nabi ke Mekah setelah melakukan perjanjian Hudaibiyah, untuk melakukan fath al-Makkah.