Senin, 03 Desember 2012

Cinta di Awal Musim Hujan


Tubuhnya masih ceking seperti saat kami kuliah dulu. Rambutnya yang berlingkar-lingkar sekarang tak tampak lagi karena sekarang potongan rambutnya cepak. Gaya bicara, berjalan, dan menyeletuk, masih sama. Hanya rautnya lebih dewasa sekarang.

Jarak dua jam dari tempat dari tempatnya bukanlah suatu hal yang berat. Namun hujan deras barangkali cukup menguras tenaganya. Aku sendiri juga heran, di tahun ini hari ini adalah hari pertama turun hujan. Tepat saat sahabatku datang mengunjungiku.

Ia duduk di kursi ruang tamu. Menyruput teh hangat yang disediakan ibu. Basah rambutnya sesekali mengalir ke dahinya. Sedang aku duduk di kursi depannya, menunggu kabar apa yang dibawanya.

“Bagaimana kabarmu? Kabar Yuni? Kapan kalian menikah?”

Tiba-tiba ia memberondong pertanyaan dengan satu runtutan tema, yaitu hubunganku dengan Yuni, gadis terdekatku yang aku kenal setahun yang lalu.

“Kabar kita baik saja. Menikah! Haha.. Hal itu belum terpikirkan”. Aku menjawabnya ringan. Aku tahu sekali karakter Ubik, kadang-kadang dia memancing pertanyaan dengan pertanyaan. Artinya dia bertanya itu supaya aku ganti bertanya dengan hal yang sama kepadanya.

“Oh ya, bagaimana dengan kabar asmaramu?” Aku pun ganti bertanya kepadanya.

“Asmara apa?”

Nah, ia selalu mengelak untuk menjawab langsung. Tepat sekali seperti biasanya.

“Dengan Utha yang pernah kamu ceritakan dulu?”

“Kami hanya sepasang sahabat. Tak lebih dari itu.” Lalu ia menghela nafas panjang. Mengambil gelas teh, lalu meminum sedikit dan diletakkannya kembali ke atas meja.

“Sebenarnya ada lagi setelah itu. Aku mengenal seorang gadis baru, dan ternyata ia adalah satu sekolahan denganku.”

“Oh ya, dimana kalian saling kenal?”

“Di sebuah jalan. Ya, semuanya berawal dari sebuah jalan.”

Saya membetulkan posisi duduk saya. Bersiap mendengarkan cerita panjangnya.

“Semenjak dikenalkan seorang teman tentang bagaimana cara bermain badminton dengan baik, aku pun mulai menyukainya. Bermain badminton selain olah raga juga menuntut konsentrasi tinggi. Di tengah bergeraknya seluruh organ tubuh, konsentrasi dihadirkan untuk melemahkan musuh dengan memberi umpan bola yang sulit ditimpa lawan.

Dengan gemarnya bermain badminton, aku hampir setiap pagi berlatih di sebuah lapangan khusus. Dan suatu pagi, tanpa kusangka aku melihat seorang gadis dengan anak kecil yang menggenggam jari telunjuknya. Seketika aku hentikan permainan, dan kupandangi ia. Aku mengaguminya. Bagaimana ia berjalan, dan bagaimana ia memperlakukan anak itu. Dengan kasih sayangnya.

Di tengah kekaguman, lawan mainku mengatakan bahwa dia kenal dengan gadis itu. Aku pun bertanya tentangnya dan mencari tahu lebih banyak lagi di kemudian hari. Tanpa kusadari benih rasa suka saat itu tumbuh kembang dengan baik dalam hatiku. Dan aku semakin sadar bahwa perasaan suka itu tidak semata karena fisiknya saja, namun hati dan karakternya juga. Bukankah pernyataan orang lain terhadap seseorang itu lebih jujur?” Ia menoleh kepadaku.

“Iya. Benar. Tepat sekali”

Lalu ia mengambil gelas teh, dan meminumnya lagi sedikit.

“Benar, Rid. Aku benar menyukainya. Dan menurutku rasa sukaku itu tidak main-main. Tidak seperti dulu-dulu, kita sering menyuit-nyuiti cewek berbodi padat dan membicarakannya dengan gurauan. Kali itu aku benar-benar merasakan rasa suka yang sesungguhnya.”

Aku mengangguk-angguk mengiyakan. Sambil mengenang masa-masa kuliah dulu.

“Dia beberapa kali melewati lapangan itu, dan tentu permainanku terhenti untuk menikmati keindahan ciptaan Tuhan itu. Hingga suatu saat aku mendapatkan nomor telfonnya, Rid. Dan betapa gembiranya ketika aku menghubunginya, ternyata ia sudah tahu aku sebelumnya. Aku masih ingat pada saat itu tepat tanggal 18 Oktober 2012. Bukankah itu awal yang baik sekali. Bukankah pengenalan itu menjadi setiap awal mula keintiman?” Ia menoleh kepadaku. Aku hanya mengangguk-angguk mengiyakan.

“Kami pun berbincang-bincang dan dengan jarak dua minggu setelah itu aku mengajaknya keluar ke sebuah taman. Bukankah itu perkembangan yang baik sekali, Rid. Malam itu kami habiskan layaknya sepasang kekasih. Dengan gelora cinta baru kami menyelami diri kami masing-masing dan menukarkannya satu sama lain. Dia mengatakan banyak hal, dan itu sesuai dengan cerita-cerita orang dekatnya yang sempat aku tanyai sebelumnya. Dia mengatakan banyak hal yang menurutku seharusnya menjadi rahasianya. Dia mengatakannya dengan nyaman, Rid. Bukankah itu tanda kepercayaannya kepadaku. Malam itu juga aku menjadi orang yang ia percayai. Bukankah itu baik sekali, Rid?” Ia menoleh kepadaku. Dan itu memang benar.

“Kami jalani hari-hari berikutnya dengan mesra sekali. Ungkapan rindu, sayang, cinta, tidak lagi bisa aku tahan, Rid. Semua kata itu begitu saja saling masuk antara handphone kami. Itu merupakan perkembangan yang cepat. Dan kamu tahu saja, Rid, gerimis yang sempat turun membuat suasana hati kami semakin berbunga-bunga.

Secepat itu pula keluarganya mengenal diriku. Sepulang dari taman malam itu aku berkenalan dengan ibunya, dan hari-hari berikutnya aku juga sempat bersilaturrahmi ke rumahnya. Aku mengenal ayahnya, kakanya, adiknya, keponakannya, semua baik kepadaku. Aku semakin yakin dengan keadaan ini, Rid. Bukankah menikah itu selain mempersatukan dua manusia, juga mempersatukan dua keluarga, Rid.

Dan bulan itu, Rid, bulan dimana ia dilahirkan di bumi kita ini. Hal itu adalah moment terpenting setiap manusia, selain hari dimana manusia disahkan bersama pendamping hidupnya, dan hari dimana manusia dipanggil yang Kuasa. Aku pun mencari buku yang baik buat kado ulangtahunnya. Karena bagiku memberi buku itu adalah sebaik-baik pemberian. Meski wujud bukunya sudah hancur lemur, namun pengetahuan yang di dalamnya senantiasa kekal bermukim di dalam jiwanya.

Kedua kalinya aku mengajak ia keluar ialah di taman kota Kediri. Sebenarnya setiap aku melihat mall yang berdiri megah di tepinya, aku selalu mengutuk, karena mall itu berdiri di atas kawasan ruang hijau. Tapi kali itu benar-benar tidak menanggapi seonggok bangunan terkutuk itu. Apakah cinta sudah membutakan kepekaanku pada kepedulian sosial. Aku memaklumi saja, sebagai gelora cinta baru yang menggebu.

Ketika itu, ia menceritakan seluruh kehidupan keluarganya. Seluruh masalah yang dihadapi keluarganya. Tanpa tedeng apa pun. ia menceritakannya dengan jiwa yang tulus. Aku pun semakin mantap dengan kepercayaannya padaku. Aku sudah dipercaya, Rid. Dia sudah merasa nyaman di sisiku. Bukankah itu pertanda bahwa ia juga menyukaiku, Rid?” Ia menoleh kepadaku. Kali ini aku tidak mengangguk, tapi mencoba membayangkannya. Bisa jadi itu hanya perasaannya yang berlebihan.

Sebulan sudah berlalu, dan kami baik-baik saja. Akan tetapi, Rid. Setelah sebulan itu seseorang datang ke rumahnya dan menanyakan ia. Ia tidak suka pada dasarnya. Namun karena kemapanan hidupnya dari segi ekonomi, ibunya lebih condong ke seseorang itu. Dan kamu tentu sudah tahu, meski jaman kini sudah modern dengan keterbukaan, namun masih banyak pemaksaan kehendak. Sistem patriarkat masih banyak membunuh kemerdekaan seseorang.”

Ia berhenti sejenah, meneguk habis isi teh di dalam gelas. Aku bisa membaca kesedihan di wajahnya. Dan aku pun tak luput dari kesedihan itu.

“Meski dia tidak pernah mengtakan cinta padaku, tapi aku sudah tahu, kalau dia mencintaiku.” Ia melanjutkan ceritanya. “Aku tidak menyerah, Rid, karena menyerah itu tanda-tanda orang pengecut. Dengan lantang aku memberikan pengertian-pengertian cinta kepadanya. Aku jelaskan dimana kedudukan harta benda dalam kehidupan. Aku utarakan seluruh rencanaku bersamanya ke depan. Hanya itu, Rid, yang aku mampu. Karena dari segi ekonomi aku memang masih sebatang kara.

Kalau saja aku mau, aku bisa menampakkan kekayaan bapakku. Tapi itu sangat pengecut sekali, Rid. Sampai kapan pun aku tidak akan mengatakan itu hakku, kalau sesuatu itu memang bukan hakku, meski aku bisa saja memakainya kapan dan berapa saja. Aku tidak ingin menjadi pengecut, Rid.

Dan hari ini juga hubunganku dan dia berakhir. Dia tidak bisa mempertahankan cintanya dalam musyawarah keluarga. Dia tidak bisa mempertahankan cintanya, Rid. Uang memang tidak bisa membeli cinta, tapi ia mampu menginjak-injak cinta. Terakhir ia menghubungiku, ia mengatakan menangis semalam lantaran perbedaan ini. Saat itu juga, aku berpura-pura tegar. Aku berpura-pura hal itu wajar, karena ia harus bangkit lagi dan mulai membangun cinta dengan laki-laki itu. Aku tidak ingin menampakkan kesedihan di depannya. Dan kamu tentu lebih tahu, bagaimana berpisah dengan orang yang disayanginya, di saat cinta di puncak gelora.”

Tanpa kami sadari hujan deras yang turun kini menjadi kilauan senja yang menawan. Kilau senja memantul melalui pintu rumahku yang terbuka. Dari ruang tamu kami duduk tampak bintil-bintil air hujan yang menempel di daun-daun bagai emas gemerlapan. Jalan masih basah dengan genangan-genangan air di beberapa sisinya. Semoga saja kegundahan Ubik layaknya genangan itu, karena sebentar lagi juga akan mengering menjadi debu yang mudah terbang diterpa angin.

Ia pun segera bangkit, mengambil jaketnya yang masih memal. Aku mengikutinya dan mempersiapkan diriku juga. Kami akan menuju ke Blora, rumah sahabat kami satunya. Barangkali semua gundah Ubik tertumpah di sana.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar