(صل على النبي محمد شافع الخلق)
(في اليوم يوما)
(صل على النبي محمد شافع الخلق)
(في اليوم يوما)
(يا ربنا، يا ربنا، واغفر لنا ذنوبنا)
(تقبل دعائنا، يا رحمن، يا رحيم)
"Lihat kebunku, penuh dengan bunga. Ada yang putih dan ada yang
merah. Setiap hari kusiram semua. Mawar, Melati, semuanya indah”. Pagi itu
Maharani bernyanyi riang gembira sambil menyirami bunga-bunga di depan
rumahnya.
Maharani adalah gadis kecil yang duduk di Sekolah Dasar kelas lima. Ia tinggal berdua bersama neneknya di tepi hutan yang lebat. Rumahnya beratapkan ijuk dan didingnya dari anyaman bambu. Di depan rumahnya terdapat pot-pot kecil yang berisi bermacam-macam bunga.
Saat liburan sekolah tiba, teman-teman Maharani berlibur ke tempat-tempat wisata. Ada juga yang pergi ke rumah saudaranya di kota. Temannya yang masih di rumah hanya Anita. Tapi sungguh menyebalkan, Anita tidak bisa diajak bermain karena ia membantu ibunya mengasuh adiknya yang masih kecil.
Maharanipun berpikir sejenak, apa yang akan dilakukannya untuk mengisi liburan ini. Saat dia berpikir, tiba-tiba Sinyo dan teman-teman laki-lakinya lewat dengan membawa layang-layang di kedua tangan mereka. Mereka saling bernyanyi dan bersiul bahagia. “Kuambil buluh sebatang, kupotong sama panjang, kuraut dan kutimbang dengan benang, kujadikan layang-layang. Bermain... bermain.. bermain layang-layang. Bermain kubawa ke tanah lapang. Hati gembira dan riang”.
“Hai Sinyo, Adi, dan Ridwan, kalian mau kemana?” tanya Maharani.
“Kami mau bermain layang-layang. Ada apa Maharani?”
“Aku boleh ikut?”
“Ha.. ikut. Hahaha... kamu kan perempuan. Perempuan itu tidak boleh bermain layang-layang”. Ucap Adi.
“Siapa yang bilang perempuan tidak boleh bermain layang-layang?” Tanya Maharani
“Nanti kulitmu jadi hitam terkena sinar matahari, Maharani”. Jawab Sinyo
“Kenapa harus takut kulit hitam? Aku juga jago bermain layang-layang”.
Sinyo dan teman-temannya tidak bisa menolak keinginan Maharani. Maharani itu perempuan yang tangkas dan tegas. Ia selalu berusaha dengan sungguh-sungguh untuk mencapai apa yang diinginkannya.
“Oh iya, apa kamu sudah mempunyai layang-layang, Maharani?” tanya Ridwan.
Maharanipun hanya terdiam, karena ia tidak mempunyai layang-layang apalagi benang untuk menerbangkannya.
“Kalau begitu kamu beli layang-layang dulu, Maharani. Besok baru bermain bersama kami”. Ucap Sinyo .
Dengan terpaksa Maharani mengurungkan niatnya. Lalu ia menemui nenek dan meminta uang untuk membeli layang-layang. Namun sayang sekali neneknya saat itu tidak mempunyai cukup uang untuk membeli layang-layang.
“Namun, untuk membeli kertas cukup kan nek?” tanya Maharani.
“Iya. Cukup, sayang”. Jawab nenek.
Lalu Maharani teringat ia pernah melihat temannya membuat layang-layang. Sekarang ia hanya perlu benang dan bambu, dan tentu ia akan menggunakan benang neneknya yang biasa digunakan untuk menambal baju.
Setelah Maharani mendapat izin neneknya menggunakan benang tersebut, dengan semangat ia pergi ke hutan dekat rumahnya untuk mencari bambu. Kemudian bambu itu dipotong sama panjang, diraut, dan diikat ujung-ujungnya sehingga menjadi kerangka layang-layang. Kemudian diberi kertas, dan jadilah sebuah layang-layang yang indah.
Hari berikutnya Maharani sangat bahagia sekali karena ia dapat menerbangkan layang-layang bersama teman-temannya. Lebih hebat lagi, layang-layang Maharani terbang paling tinggi di antara layang-layang lainnya.
Di tengah-tengah kegembiraannya, tiba-tiba angin bertiup kencang. Layang-layang Maharani yang terlalu tinggi tidak kuat menahan tiupan angin itu. Layang-layang itu putus dan terbang. Teman-teman Maharani tidak bisa berbuat apa-apa. Layang-layang itu tidak mungkin diburu dan ditangkap lagi. Maharani marah sekali. Layang-layang kesayangannya kini hilang dibawa angin. Ia pulang dengan hati sedih.
“Nek, maafkan Maharani. Benang nenek terbawa angin bersama layang-layang Maharani”, Maharani meminta maaf kepada neneknya.
“Tidak apa-apa, sayang. Besok bisa beli layang-layang lagi”, lalu Maharani mencium pipi nenek.
“Oh ya, nenek masih punya satu kilo biji jagung. Besok kita jual ke pasar untuk membeli benang”. Mendengar hal itu Maharani sangat senang. Ia mencium pipi nenek lagi.
“Tapi harus menunggu kering dahulu, karena sekarang masih dijemur di atas atap rumah”.
“Baik, Nek. Saya akan menunggu biji-biji jagung itu kering untuk dijual ke pasar” Maharani berkata dengan wajah ceria.
Tak lama kemudian tiba-tiba angin berhembus kencang. Jagung di dalam talam itu jatuh dari atap rumah. Biji-biji jagung tercecer di tanah dan langsung dimakan ayam hingga tak tersisa. Ketika mengetahui itu, Maharani sangat marah.
“Awas, kau angin! Aku akan meminta ganti atas perbuatanmu ini!” Maharani berkata dengan geram.
Nenek juga ikut bersedih melihat Cucu yang disayanginya tidak bisa membeli benang lagi, karena biji-biji jagungnya ditumpahkan angin. Tak lama kemudian, ia teringat pohon pisang di kebun. Pohon itu sudah berbuah dan hampir matang.
“Buah pisang itu dua hari lagi pasti matang dan bisa dijual ke pasar untuk membeli benang dan layang-layang, nak”. Nenek berkata kepada Maharani.
“Nenek baik sekali. Aku sayang nenek”, Maharani senang sekali, ia akan segera mempunyai layang-layang.
Waktu terus berjalan. Hingga pada malam harinya, hujan rintik-rintik turun dari langit. Tiba-tiba angin kencang datang lagi. Maharani segera berlindung dalam selimutnya yang hangat. Ia akan tidur terlelap malam ini, karena dua hari lagi ia akan mengetam buah pisang di kebun. Lalu buah itu dijual ke pasar untuk membeli benang serta layang-layang. Ia ingin cepat-cepat bermain layang-layang lagi dengan teman-temannya.
Pagi harinya saat Maharani berkunjung ke kebun, ia melihat banyak ranting pepohonan yang patah. Dan kaget sekali setelah melihat pohon pisangnya roboh ke tanah. Buahnya pun tidak bisa matang dan tidak bisa dijual ke pasar.
“Ini pasti karena angin tadi malam”, pikirnya.
“Awas angin! Aku akan meminta ganti rugi atas semua yang kau lakukan! Tunggulah besok! Aku akan mencarimu sampai ketemu”. Maharani berkata jengkel sekali.
Benar. Keesokan paginya Maharani berpamitan kepada neneknya untuk mencari kayu di hutan. Sebenarnya ia tidak hanya mencari kayu, tapi juga akan mencari Raja Angin untuk meminta ganti rugi atas layang-layang yang telah diputuskannya, biji-biji jagung yang ditumpahkannya, dan pohon pisang yang dirobohkannya. Dengan berbekal tongkat, ia memulai perjalanannya dengan berdo’a.
Langkah demi langkah ia berjalan ke tengah hutan. Hari pun semakin terang. Di hutan tetap terasa sejuk karena banyak pohon-pohon besar. Burung-burung saling bernyanyi di atas ranting pepohonan. Tekad Maharani sudah kuat. Ia menyusuri sungai, mendaki gunung, melewati kebun, melewati semak-semak. Bunga-bunga bermekaran di tepi jalan seakan saling mengucapkan salam kepadanya.
Setelah Maharani bekerja keras, berusaha dengan sungguh-sungguh, dan berjalan jauh ke dalam hutan, ia pun menemukan apa yang dicarinya. Dia adalah Raja Angin. Seekor ular raksasa. Ia sebesar pasawat, dan sepanjang kereta api. Si Raja Angin melingkar di sebuah pohon yang besar dan rindang. Matanya bulat bercahaya. Mulutnya besar sekali, sampai seekor gajah pun bisa ditelan.
“Raja Angin! Ayo bangun!” Maharani membangunkan Raja Angin yang sedang tidur nyenyak.
Raja Angin menggeliat. Tanah di sekitarnya bergetar hebat. Rupanya ada yang mengganggu tidur nyenyaknya. Maharani tetap berdiri tegap di depan Raja Angin. Ia bukan seorang penakut.
“Huaaaaah. Siapa yang mengganggu tidur siangku?”. Raja Angin berkata sambil menguap.
“Aku Maharani”. Maharani berkata dengan lantang.
“Hmmmmm” Raja Angin mendengus ketika tahu yang membangungkannya adalah seorang anak kecil dengan tongkat di tangannya.
“Hai anak kecil. Ada apa kau ke sini?” Raja Angin berkata dengan serak dan berat.
“Karena tiupanmu terlalu kencang kencang. Layang-layangku putus dan hilang. Kau juga menumpahkan biji-biji jagung nenek. Kau juga merobohkan pohon pisang di kebun. Aku minta ganti rugi padamu!”. Maharani berkata lantang di depan Raja Angin. Ia sama selaki tidak takut.
“Haa… haa.. haa…” Raja Angin tertawa terbahak-bahak. “Anak kecil, kau berani sekali meminta ganti rugi kepadaku. Apa kau tidak takut aku makan? Semua orang di desa takut kepadaku. Haa.. haa.. haa…” Raja Angin menakuti Maharani.
Raja Angin membuka mulutnya lebar-lebar. Tampak giginya sebesar sepatu. Lidahnya menjulur, bagaikan cambuk. Erangannya menggetarkan daun-daun di sekitar. Maharani tetap berdiri dengan gagah berani.
Tak lama kemudian Raja Angin mengangkat kepalanya lalu menerkam tubuh Maharani yang kecil. Dengan cepat Maharani menghindarinya. Diangkatnya lagi kepalanya dan menerkam tubuh Maharani, namun gagal lagi.
Di saat itu Maharani mengangkat tongkat ke perut Raja Angin. Tongkat itu ditusuk-tusukkan ke perutnya. Raja Angin menggeram kegelian. Maharani terus menusuk-nusukkan tongkatnya.
“Hua.. hua.. hua.. ampun. Ampun Maharani. Lepaskan tongkatmu. Aku akan mengganti semua barangmu yang hilang karena perbuatanku. Ampun Maharani, hentikan tongkatmu”. Raja Angin tak kuat menahan kegelian di perutnya. Maharani yang baik hati segera melepaskan tongkatnya dari perut Raja Angin. Raja Angin meminta maaf atas semua yang dilakukannya.
Di ekor Raja Angin ada sebuah bungkusan kain. Bungkusan itu diberikan kepada Maharani sebagai ganti barang-barang yang telah hilang dan rusak karena ulah Raja Angin. Lalu Maharani pulang dan tidak lupa mengucapkan terima kasih kepada Raja Angin.
Seletah sampai rumah, bungkusan itu dibuka bersama nenek. Isinya emas dan berlian. Emas dan berlian itu sebagian dibagikan kepada fakir miskin. Dan tak lupa, ia membeli layang-layang dan bermain lagi bersama teman-temannya.