Senin, 22 April 2019

Lirik dan Makna Lagu Demokrasi karya Sujiwo Tejo

Banyak lagu-lagu gubahan Sujiwo Tejo yang unik dan estetik. Hal tersebut lantaran beberapa sebab. Pertama, nada yang khas. Kedua, penggabungan alat-alat musik modern dan klasik yang saling beriring berpilin membentuk irama. Dan ketiga, lirik-liriknya yang sangat dalam.

Salah satu dari sekian banyak lagu Sujiwo Tejo yang saya sukai, adalah Demokrasi. Lagu tersebut dinyanyikan dua orang (duet) dengan lirik berbentuk dialog. Nadanya serasa paduan antara tembang dolanan dan gending Jawa. Musiknya paduan antara primitif dan modern, dan yang paling asyik di tengah-tengah menjelang reff mulai terdengar iringan koor yang bertenaga gerak serentak teatrikal.

Lalu mengenai lirik, untuk memahaminya kita harus duduk di tepi waktu, menyendiri, dan berkontemplasi. Terlebih bagi yang tidak tahu menahu tentang bahasa Jawa. Bagi penutur jawa pun juga belum bisa dipastikan dapat memahami liriknya, sebab pada lagu ini Sujiwo Tejo menggunakan dua kasta bahasa Jawa; Krama Inggil dan Ngoko. Karma Inggil sebagai bahasa sudah sangat jarang digunakan saat ini. 

Alangkah baiknya selain kita menikmati ramuan nada dari presiden Jancukers kita juga memahami keindahan liriknya. Kita mulai dari judul; Demokrasi. Demokrasi yang kita kenal saat ini berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga oleh Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Apakah lagu demokrasi juga berisikan tentang demokrasi sebagai sistem kepemerintahan tersebut? Mari kita simak liriknya;

Demokrasi
Duh bocah ayu tutwuri o lagu kang mau
Kawula nuwun punapa kang mekaten
E laa la kok beda
Pundi to kang benten
Bedane suarane pungkasane kowe ora ngene

Coba baleni nulad lagu kang mau kae
Kawula nuwun punapa kang mekaten
ee.. lha mekso beda
pundi to pundi to engkang taksih benten
suarane pungkasane kowe ora ngene

Sepisan baleni lagu kang pungkasan
Kawula nuwun punapa kang ngaten
E tobil jebule koe mekso beda
Kawula nuwun engkang benten sinten
Sliramu kang beda


Ee lha kae neng awang-awang keh mega-mega
Yen tak sawang beda-beda suara ora ala malah becik, najan kowe beda
Kulo nyuwun duka
Ora usah nyuwun duka

Coba baleni lagu kang pungkasan
Kawula nuwun punapa kang ngaten

Rama…
Kok tambah dawa
Nuwun sewu
Neng kapenak, ya kui penake wong kang bedo panemu
Benten pamanggih

Duh Bocah bagus tutwuri o lagu kang mau
Kawulo nuwun punopo kang mekaten
E laa la kok bedho
Pundi to kang benten
Bedane suarane pungkase kowe ora ngene

Coba balene nulad lagu kang mau kae
Kawulo nuwun punopo kang mekaten
Ee. lha mekso bedo
Pundi to pundi to engkang taksih benten
Suarane pungkasane kowe ora ngene

Sepisan baleni lagu kang pungkasan
Kawulo nuwun punopo kang ngaten
E tobil jebule koe mekso bedo
Kawulo nuwon engkang benten sinten
Sliramu kang bedo

Lagu Demokrasi dinyanyikan duet antara laki-laki dan perempuan. Jika dilihat dari bahasa yang digunakan salah satu menggunakan bahasa Ngoko dan satu yang lain bahasa Krama Inggil. Dalam budaya jawa, Krama Inggil adalah bahasa yang digunakan oleh orang yang lebih rendah kepada orang yang lebih tinggi, adapun bahasa Ngoko berlaku sebaliknya atau antar penutur setara. Rendah tinggi dalam penggunakan dua bahasa tersebut dapat berupa rendah tinggi usia, kedudukan (strata sosial), dan jauh dekatnya kekerabatan.

L: Duh bocah ayu tutwuri o lagu kang mau
P: Kawula nuwun punapa kang mekaten
L: E laa la kok beda
P: Pundi to kang benten
L: Bedane suarane pungkasane kowe ora ngene

Lagu dibuka dengan pernyataan lelaki (L) yang menganjurkan untuk mengikuti lagunya. Hal tersebut terdapat pada, Duh Bocah ayu tutwuri o lagu kang mau/Hai anak cantik ikutilah lagu yang tadi. Penggunaan kata bocah (anak) memungkinkan dialog dalam lirik terjadi antara anak dengan bapak, atau dimungkinkan juga antara seorang guru dengan murid. Perempuan (P) menjawab, Kawula nuwun punapa kang mekaten/saya mohon maaf, apakah yang seperti ini? Dalam jawaban, murid itu seakan berusaha untuk menirukan lagu yang disampaikan guru. Kata nuwun merupakan idiom dari nuwun sewu yang memiliki makna mohon maaf (karena akan mengutarakan sesuatu). Namun yang terjadi, E laa.. lha kok beda/lho lha kok berbeda, menurut guru apa yang ditirukan murid berbeda dengan apa yang dicontohkan. Murid pun menanyakan letak perbedaannya dengan, Pundi to kang benten/mana yang berbeda?. Maka guru pun menjawab, Bedane suarane pungkasane kowe ora ngene/bedanya di suara, pada akhirnya kamu tidak begini (sebagaimana yang saya inginkan). Menurut guru perbedaan di suara.

Bisa kita rasakan bahwa latar setting lagu ini adalah dalam sebuah proses pembelajaran. Di mana  guru memberikan contoh lagu, kemudian murid menirukan. Pembelajaran terkendala karena guru menginginkan murid menirukan secara persis apa yang dicontohkannya, namun apalah daya hasilnya tetap berbeda. Dalam lagu ini  Mbah Sujiwo mengaburkan tentang lagu apa yang diminta untuk menirukan muridnya tersebut.

L: Coba balene nulad lagu kang mau kae
P: Kawulo nuwun punopo kang mekaten
L: Ee. lha mekso bedo
P: Pundi to pundi to engkang taksih benten
L: Suarane pungkasane kowe ora ngene

Belum puas dengan hasil peniruan murid maka guru meminta mengulanginya lagi, Coba baleni nulad lagu kang mau kae/Coba ulangi mengikuti lagu yang tadi. Maka murid pun mengiyakan perintah dan mencoba mengulangi lagi, Kawula nuwun punapa kang mekaten/mohon maaf, apakah yang seperti ini? Namun lagi-lagi menurut guru peniruan tersebut belumlah sama bahkan seakan dipaksakan untuk berbeda, ee.. lha mekso beda/lho memaksa berbeda. Lalu murid bertanya keheranan dengan mengungkapkan kata tanya, pundi to pundi to engkang taksih benten/mana lho mana yang masih berbeda?, dan perbedaan tetap pada suara sebagaimana sebelumnya, suarane pungkasane kowe ora ngene.

L: Sepisan baleni lagu kang pungkasan
P: Kawula nuwun punapa kang ngaten
L: E tobil jebule koe mekso beda
P: Kawula nuwun engkang benten sinten
L: Sliramu kang beda

Masih puas dengan perbedaan, gurupun meminta murid untuk mengulangi lagunya sekali lagi, Sepisan baleni lagu kang pungkasan/sekali lagi ulangi lagu (untuk) yang terakhir kali. Murid menirukan sekali lagi dan meminta pendapat guru, Kawula nuwun punapa kang ngaten/mohon maaf, apakah yang seperti ini? Akan tetapi bagi guru usaha murid menirukan lagu tetaplah tidak sesuai yang ia inginkan. Hingga akhirnya (karena jengkel) ia melontarkan kata serapah “Tobil”. Tobil dalam bahasa jawa bermakna anak kadal. E Tobil jebule koe mekso beda/e Tobil, ternyata kamu memaksa berbeda. Mendengar kata serapah tersebut, murid kemudian bertanya mencoba membalikkan fakta dengan logika rasional, Kawula nuwun engkang benten sinten/mohon maaf, yang berbeda siapa? Pertanyaan tersebut merupakan ungkapan yang mendasar secara filosofis. Sebenarnya yang berbeda itu suara murid, atau sebaliknya, yang berbeda adalah suara gurunya? Karena sejatinya suara adalah bawaan lahir yang berbeda satu dengan lainnya dan memiliki jutaan keragaman di alam ini.

Pertanyaan yang menohok, sekaligus menusuk sampai dalam sanubari, mengubah subjek menjadi objek, karena memang secara hakikat perbedaan antara manusia itu tidak saling mengawali dan mengakhiri, namun perbedaan di antara mereka muncul secara bersama sejak manusia lahir di dunia. Dengan intonasi menyesal dan pasrah guru pun menjawab, Sliramu kang beda/dirimu yang berbeda.

L: Ee lha kae neng awang-awang keh mega-mega. Yen tak sawang beda-beda suara ora ala malah becik, najan kowe beda
P: Kulo nyuwun duka
L: Ora usah nyuwun duka


Akhirnya sang guru -pada bait berikutnya- menyadari bahwa perbedaan tersebut bukanlah hal yang buruk akan tetapi sebaliknya, perbedaan adalah kebaikan yang dianugerahkan Tuhan. Keindahan dalam perbedaan itu dikiaskan dengan iring-iringan mendung di langit. Ee lha kae neng awang-awang keh mega-mega/lha itu di angkasa banyak awan. Yen tak sawang beda-beda suara ora ala malah becik, najan kowe beda/Saat aku cermati suara yang berbeda-beda bukanlah cela bahkan itu menjadi lebih bagus, meski kamu berbeda. Sadar dengan apa yang dilakukan, murid minta untuk dimarahi oleh guru, Kulo nyuwun duka/Marahlah kepada saya (karena lancang). Guru pun langsung menyahut, Ora usah nyuwun duka/tidak perlu marah, karena sejatinya perbedaan adalah anugerah.

L: Coba baleni lagu kang pungkasan
P: Kawula nuwun punapa kang ngaten


Sesudah mengetahui bahwa suara murid tidak bisa sama, dan menyadari indahnya perbedaan, guru tetap meminta murid untuk mengulangi lagi lagunya. Coba baleni lagu kang pungkasan/coba ulangi lagi yang terakhir. Maka dari sini kita bisa mengetahui bahwa perbedaan itu merupakan kenikmatan, sehingga meskipun guru mengetahui bahwa suara tidak akan sama, namun iya meminta murid untuk mengulanginya. Kawula nuwun punapa kang ngaten/maaf, apa yang seperti ini. murid pun mengulangi lagunya. Ini sekaligus sebagai wujud rekonstruksi paradigma bahwa meski berbeda tetaplah menyanyi. Karena berbeda itu indah.

P: Rama…
L: Kok tambah dawa
P: Nuwun sewu
L: Neng kapenak, ya kui penake wong kang bedo panemu
P: Benten pamanggih

Menyadari bahwa suaranya pasti berbeda dengan apa yang dicontohkan, murid mengaduh dan mencoba bersandar, dengan mengatakan; rama../bapak.. dengan harapan guru mengomentari dan memberi masukan. Akan tetapi bagi guru persoalan perbedaan itu sudah cukup gamblang dan jelas; perbedaan merupakan jati diri manusia, sifat yang selalu melekat erat di sepanjang hayat. kok tambah dawa/kok semakin panjang (persoalannya)? Maka mempersoalkan perbedaan berlarut-larut adalah kesia-siaan. Sebagai murid yang takdzim ia memohon maaf, nuwun sewu/mohon maaf. Untuk mengatakan bahwa itu bukan kesalahan dan tidak ada yang perlu dimaafkan, guru menyatakan bahwa ternyata perbedaan itu bukanlah hal yang perlu dipersoalkan, guru mengungkapkan dengan, Neng kapenak, ya kui penake wong kang bedo panemu/tapi (perbedaan itu) sebuah kenikmatan, yaitu kenikmatan orang yang berbeda pendapat. Dari perbedaan lagu yang dilatarbelakangi perbedaan suara, maka guru mengembangkan hipotesanya bahwa perbedaan dalam ide dan gagasan juga merupakan sebuah kenikmatan. Murid juga menguatkan hal itu dengan menirukan kata-kata gurunya, dengan bahasa yang lebih tinggi dan lebih sopan (bahasa Krama Inggil), Benten pamanggih/berbeda pendapat.

Untuk menghindari bias gender, pada lantunan berikutnya Sujiwo Tejo membalik vokal antara laki-laki dengan perempuan. Sehingga pada baris pertama pada bait, objek diganti bocah bagus (Duh bocah bagus tutwuri o lagu kang mau/wahai anak tampan, tirukan lagu yang tadi) dengan isi suara vokal perempuan.

Demikian keindahan makna lirik lagu Demokrasi karya Sujiwo Tejo yang menyatakan perbedaan menyimpan hikmah keindahan. Perbedaan bukan untuk diperdebatkan dan dipertentangan, namun ia dapat menjadi pemersatu manusia. Pemilihan istilah suara sebagai ukuran perbedaan antar sesama, merupakan diksi yang tidak kurang dan tidak berlebih. Suara manusia secara denotatif (makna sebenarnya) adalah sesuatu yang fitrah yang secara indrawi dapat dengan mudah diidentifikasi perbedaannya, karena setiap suara manusia memiliki karakter yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dari segi konotatif (makna kias), suara memiliki arti lebih dari sekedar bunyi. Ia merupakan ungkapan dari rasa, ide, dan gagasan hasil pergumulan jiwa dan pikiran manusia. Suara adalah intisari dari buah peradaban manusia, yaitu bahasa. Dalam hal ini jauh lebih beragam dan bermacam perbedaan.

Apabila kita hubungkan dengan judul Demokrasi, maka makna lirik lagu ini menyentuh ruh demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, lagu ini mengungkapkan prinsip utama demokrasi, yaitu menghargai setiap perbedaan manusia. Oleh karena itu demokrasi selalu memberi ruang untuk kebebasan asasi manusia dengan segala keterbatasannya. Semoga bermanfaat.

5 komentar: