Banyak lagu-lagu gubahan Sujiwo Tejo yang unik
dan estetik. Hal tersebut lantaran beberapa sebab. Pertama, nada yang khas. Kedua, penggabungan alat-alat musik
modern dan klasik yang saling beriring berpilin membentuk irama. Dan ketiga, lirik-liriknya yang sangat dalam.
Salah satu dari sekian banyak lagu Sujiwo Tejo
yang saya sukai, adalah Demokrasi. Lagu tersebut dinyanyikan dua orang (duet)
dengan lirik berbentuk dialog. Nadanya serasa paduan antara tembang dolanan dan
gending Jawa. Musiknya paduan antara primitif dan modern, dan yang paling asyik
di tengah-tengah menjelang reff mulai terdengar iringan koor yang bertenaga
gerak serentak teatrikal.
Lalu mengenai lirik, untuk memahaminya kita
harus duduk di tepi waktu, menyendiri, dan berkontemplasi. Terlebih bagi yang tidak
tahu menahu tentang bahasa Jawa. Bagi penutur jawa pun juga belum bisa
dipastikan dapat memahami liriknya, sebab pada lagu ini Sujiwo Tejo menggunakan
dua kasta bahasa Jawa; Krama Inggil dan Ngoko. Karma Inggil sebagai bahasa
sudah sangat jarang digunakan saat ini.
Alangkah baiknya selain kita menikmati ramuan nada dari presiden Jancukers kita juga memahami keindahan liriknya. Kita mulai dari judul; Demokrasi. Demokrasi yang kita kenal saat ini berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga oleh Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Alangkah baiknya selain kita menikmati ramuan nada dari presiden Jancukers kita juga memahami keindahan liriknya. Kita mulai dari judul; Demokrasi. Demokrasi yang kita kenal saat ini berasal dari dua kata, yaitu demos yang berarti rakyat dan kratos yang berarti pemerintahan. Sehingga oleh Abraham Lincoln mengatakan bahwa demokrasi adalah sistem pemerintahan yang diselenggarakan dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Apakah lagu demokrasi juga berisikan tentang
demokrasi sebagai sistem kepemerintahan tersebut? Mari kita simak liriknya;
Demokrasi
Duh bocah ayu tutwuri o lagu kang mau
Kawula nuwun punapa kang mekaten
E laa la kok beda
Pundi to kang benten
Bedane suarane pungkasane kowe ora ngene
Duh bocah ayu tutwuri o lagu kang mau
Kawula nuwun punapa kang mekaten
E laa la kok beda
Pundi to kang benten
Bedane suarane pungkasane kowe ora ngene
Coba baleni nulad lagu kang mau kae
Kawula nuwun punapa kang mekaten
ee.. lha mekso beda
pundi to pundi to engkang taksih benten
suarane pungkasane kowe ora ngene
Sepisan baleni lagu kang pungkasan
Kawula nuwun punapa kang ngaten
E tobil jebule koe mekso beda
Kawula nuwun engkang benten sinten
Sliramu kang beda
Ee lha kae neng awang-awang keh mega-mega
Yen tak sawang beda-beda suara ora ala malah
becik, najan kowe beda
Kulo nyuwun duka
Kulo nyuwun duka
Ora usah nyuwun duka
Coba baleni lagu kang pungkasan
Kawula nuwun punapa kang ngaten
Kawula nuwun punapa kang ngaten
Rama…
Kok
tambah dawa
Nuwun
sewu
Neng
kapenak, ya kui penake wong kang bedo panemu
Benten
pamanggih
Duh Bocah bagus tutwuri o lagu kang mau
Kawulo nuwun punopo kang mekaten
E laa la kok bedho
Pundi to kang benten
Bedane suarane pungkase kowe ora ngene
Coba balene nulad lagu kang mau kae
Kawulo nuwun punopo kang mekaten
Ee. lha mekso bedo
Pundi to pundi to engkang taksih benten
Suarane pungkasane kowe ora ngene
Sepisan baleni lagu kang pungkasan
Kawulo nuwun punopo kang ngaten
E tobil jebule koe mekso bedo
Kawulo nuwon engkang benten sinten
Sliramu kang bedo
Lagu Demokrasi dinyanyikan duet antara
laki-laki dan perempuan. Jika dilihat dari bahasa yang digunakan salah satu
menggunakan bahasa Ngoko dan satu yang lain bahasa Krama Inggil. Dalam budaya
jawa, Krama Inggil adalah bahasa yang digunakan oleh orang yang lebih rendah kepada
orang yang lebih tinggi, adapun bahasa Ngoko berlaku sebaliknya atau antar penutur setara. Rendah
tinggi dalam penggunakan dua bahasa tersebut dapat berupa rendah tinggi usia,
kedudukan (strata sosial), dan jauh dekatnya kekerabatan.
L: Duh bocah ayu tutwuri o lagu kang mau
P: Kawula nuwun punapa kang mekaten
L: E laa la kok beda
P: Pundi to kang benten
L: Bedane suarane pungkasane kowe ora ngene
P: Kawula nuwun punapa kang mekaten
L: E laa la kok beda
P: Pundi to kang benten
L: Bedane suarane pungkasane kowe ora ngene
Lagu dibuka dengan pernyataan lelaki (L) yang
menganjurkan untuk mengikuti lagunya. Hal tersebut terdapat pada, Duh
Bocah ayu tutwuri o lagu kang mau/Hai anak cantik ikutilah lagu yang tadi.
Penggunaan kata bocah (anak) memungkinkan dialog dalam lirik terjadi antara
anak dengan bapak, atau dimungkinkan juga antara seorang guru dengan murid.
Perempuan (P) menjawab, Kawula nuwun punapa kang mekaten/saya mohon
maaf, apakah yang seperti ini? Dalam jawaban, murid itu seakan
berusaha untuk menirukan lagu yang disampaikan guru. Kata nuwun merupakan idiom
dari nuwun sewu yang memiliki makna mohon maaf (karena akan mengutarakan sesuatu). Namun yang terjadi, E laa.. lha kok beda/lho
lha kok berbeda, menurut guru apa yang ditirukan murid berbeda dengan apa yang dicontohkan. Murid pun menanyakan letak perbedaannya dengan, Pundi to kang
benten/mana yang berbeda?. Maka guru pun menjawab, Bedane suarane
pungkasane kowe ora ngene/bedanya di suara, pada akhirnya kamu tidak begini (sebagaimana yang saya inginkan). Menurut
guru perbedaan di suara.
Bisa kita rasakan bahwa latar setting lagu ini
adalah dalam sebuah proses pembelajaran. Di mana guru memberikan
contoh lagu, kemudian murid menirukan. Pembelajaran terkendala karena guru
menginginkan murid menirukan secara persis apa yang dicontohkannya, namun
apalah daya hasilnya tetap berbeda. Dalam lagu ini Mbah Sujiwo mengaburkan tentang lagu apa yang diminta untuk menirukan muridnya tersebut.
L: Coba balene nulad lagu kang mau kae
P: Kawulo nuwun punopo kang mekaten
L: Ee. lha mekso bedo
P: Pundi to pundi to engkang taksih benten
P: Kawulo nuwun punopo kang mekaten
L: Ee. lha mekso bedo
P: Pundi to pundi to engkang taksih benten
L: Suarane pungkasane kowe ora ngene
Belum puas dengan hasil peniruan murid maka guru
meminta mengulanginya lagi, Coba baleni nulad lagu kang mau kae/Coba
ulangi mengikuti lagu yang tadi. Maka murid pun mengiyakan perintah
dan mencoba mengulangi lagi, Kawula nuwun punapa kang mekaten/mohon
maaf, apakah yang seperti ini? Namun lagi-lagi menurut guru peniruan
tersebut belumlah sama bahkan seakan dipaksakan untuk berbeda, ee.. lha
mekso beda/lho memaksa berbeda. Lalu murid bertanya
keheranan dengan mengungkapkan kata tanya, pundi to pundi to engkang taksih benten/mana lho mana yang masih
berbeda?, dan perbedaan tetap
pada suara sebagaimana sebelumnya, suarane pungkasane kowe ora ngene.
L: Sepisan baleni lagu kang pungkasan
P: Kawula nuwun punapa kang ngaten
L: E tobil jebule koe mekso beda
P: Kawula nuwun engkang benten sinten
L: Sliramu kang beda
P: Kawula nuwun punapa kang ngaten
L: E tobil jebule koe mekso beda
P: Kawula nuwun engkang benten sinten
L: Sliramu kang beda
Masih puas dengan perbedaan, gurupun meminta
murid untuk mengulangi lagunya sekali lagi, Sepisan baleni lagu kang
pungkasan/sekali lagi ulangi lagu (untuk) yang terakhir kali. Murid
menirukan sekali lagi dan meminta pendapat guru, Kawula nuwun punapa
kang ngaten/mohon maaf, apakah yang seperti ini? Akan tetapi bagi guru
usaha murid menirukan lagu tetaplah tidak sesuai yang ia inginkan.
Hingga akhirnya (karena jengkel) ia melontarkan kata serapah “Tobil”. Tobil
dalam bahasa jawa bermakna anak kadal. E Tobil jebule koe mekso beda/e Tobil, ternyata kamu memaksa berbeda. Mendengar kata serapah tersebut, murid kemudian bertanya mencoba membalikkan fakta dengan logika rasional, Kawula
nuwun engkang benten sinten/mohon maaf, yang berbeda siapa? Pertanyaan
tersebut merupakan ungkapan yang mendasar secara filosofis. Sebenarnya yang
berbeda itu suara murid, atau sebaliknya, yang berbeda adalah suara gurunya? Karena sejatinya suara adalah bawaan lahir yang berbeda satu dengan lainnya dan memiliki jutaan keragaman di alam ini.
Pertanyaan yang menohok, sekaligus menusuk sampai dalam sanubari, mengubah subjek menjadi objek, karena memang secara hakikat perbedaan antara manusia itu tidak saling mengawali dan mengakhiri, namun perbedaan di antara mereka muncul secara bersama sejak manusia lahir di dunia. Dengan intonasi menyesal dan pasrah guru pun menjawab, Sliramu kang beda/dirimu yang berbeda.
Pertanyaan yang menohok, sekaligus menusuk sampai dalam sanubari, mengubah subjek menjadi objek, karena memang secara hakikat perbedaan antara manusia itu tidak saling mengawali dan mengakhiri, namun perbedaan di antara mereka muncul secara bersama sejak manusia lahir di dunia. Dengan intonasi menyesal dan pasrah guru pun menjawab, Sliramu kang beda/dirimu yang berbeda.
L: Ee lha kae neng awang-awang keh mega-mega. Yen tak sawang beda-beda suara ora ala malah becik, najan kowe beda
P: Kulo nyuwun duka
P: Kulo nyuwun duka
L: Ora usah nyuwun duka
Akhirnya sang guru -pada bait berikutnya- menyadari bahwa perbedaan tersebut bukanlah hal yang buruk akan tetapi sebaliknya,
perbedaan adalah kebaikan yang dianugerahkan Tuhan. Keindahan dalam perbedaan itu dikiaskan dengan
iring-iringan mendung di langit. Ee lha kae neng awang-awang keh
mega-mega/lha itu di angkasa banyak awan. Yen tak sawang beda-beda suara ora ala malah becik, najan kowe beda/Saat aku cermati suara yang berbeda-beda
bukanlah cela bahkan itu menjadi lebih bagus, meski kamu berbeda. Sadar dengan apa yang dilakukan, murid minta untuk dimarahi oleh guru, Kulo nyuwun duka/Marahlah kepada saya (karena lancang). Guru
pun langsung menyahut, Ora usah nyuwun duka/tidak perlu marah, karena
sejatinya perbedaan adalah anugerah.
L: Coba baleni lagu kang pungkasan
P: Kawula nuwun punapa kang ngaten
Sesudah mengetahui bahwa suara murid tidak bisa sama, dan menyadari indahnya perbedaan, guru tetap meminta murid untuk mengulangi lagi lagunya. Coba baleni lagu kang pungkasan/coba ulangi lagi yang terakhir. Maka dari sini kita bisa mengetahui bahwa perbedaan itu merupakan kenikmatan, sehingga meskipun guru mengetahui bahwa suara tidak akan sama, namun iya meminta murid untuk mengulanginya. Kawula nuwun punapa kang ngaten/maaf, apa yang seperti ini. murid pun mengulangi lagunya. Ini sekaligus sebagai wujud rekonstruksi paradigma bahwa meski berbeda tetaplah menyanyi. Karena berbeda itu indah.
P: Rama…
L: Kok tambah dawa
P: Nuwun sewu
L: Neng kapenak, ya kui penake wong kang bedo panemu
P: Benten pamanggih
Menyadari bahwa suaranya pasti berbeda dengan apa yang dicontohkan, murid mengaduh dan
mencoba bersandar, dengan mengatakan; rama../bapak.. dengan harapan guru mengomentari dan memberi masukan. Akan tetapi bagi guru
persoalan perbedaan itu sudah cukup gamblang dan jelas; perbedaan merupakan
jati diri manusia, sifat yang selalu melekat erat di sepanjang hayat. kok
tambah dawa/kok semakin panjang (persoalannya)? Maka mempersoalkan
perbedaan berlarut-larut adalah kesia-siaan. Sebagai murid yang takdzim ia
memohon maaf, nuwun sewu/mohon maaf. Untuk mengatakan bahwa
itu bukan kesalahan dan tidak ada yang perlu dimaafkan, guru menyatakan bahwa
ternyata perbedaan itu bukanlah hal yang perlu dipersoalkan, guru
mengungkapkan dengan, Neng kapenak, ya kui penake wong kang bedo panemu/tapi
(perbedaan itu) sebuah kenikmatan, yaitu kenikmatan orang yang berbeda
pendapat. Dari perbedaan lagu yang dilatarbelakangi perbedaan suara,
maka guru mengembangkan hipotesanya bahwa perbedaan dalam ide dan gagasan juga merupakan sebuah kenikmatan. Murid juga menguatkan hal itu dengan menirukan
kata-kata gurunya, dengan bahasa yang lebih tinggi dan lebih sopan (bahasa Krama Inggil), Benten
pamanggih/berbeda pendapat.
Untuk menghindari bias gender, pada lantunan berikutnya Sujiwo
Tejo membalik vokal antara laki-laki dengan perempuan. Sehingga pada baris
pertama pada bait, objek diganti bocah bagus (Duh
bocah bagus tutwuri o lagu kang mau/wahai anak tampan, tirukan lagu yang tadi) dengan
isi suara vokal perempuan.
Demikian keindahan makna lirik lagu Demokrasi
karya Sujiwo Tejo yang menyatakan perbedaan menyimpan hikmah keindahan.
Perbedaan bukan untuk diperdebatkan dan dipertentangan, namun ia dapat menjadi
pemersatu manusia. Pemilihan istilah suara sebagai ukuran perbedaan antar
sesama, merupakan diksi yang tidak kurang dan tidak berlebih. Suara manusia
secara denotatif (makna sebenarnya) adalah sesuatu yang fitrah yang secara
indrawi dapat dengan mudah diidentifikasi perbedaannya, karena setiap suara
manusia memiliki karakter yang berbeda antara satu dengan lainnya. Dari segi
konotatif (makna kias), suara memiliki arti lebih dari sekedar bunyi. Ia
merupakan ungkapan dari rasa, ide, dan gagasan hasil pergumulan jiwa dan pikiran
manusia. Suara adalah intisari dari buah peradaban manusia, yaitu bahasa. Dalam hal ini jauh
lebih beragam dan bermacam perbedaan.
Apabila kita hubungkan dengan judul Demokrasi, maka makna lirik lagu ini menyentuh ruh demokrasi itu sendiri. Dengan kata lain, lagu ini mengungkapkan prinsip utama demokrasi, yaitu menghargai setiap perbedaan manusia. Oleh karena itu demokrasi selalu memberi ruang untuk kebebasan asasi manusia dengan segala keterbatasannya. Semoga bermanfaat.
wah makasih sharingnya
BalasHapusSama-sama.. salam kenal.
BalasHapusMantap jiwaa
BalasHapusSalam Jancokers..
BalasHapus๐๐๐
BalasHapus