Kami
berhamburan ke lautan setelah di depan kami terhampar pasir hitam bercampur
buih ombak pantai. Angin yang bertiup bebas membias daun-daun pohon kelapa di
tepian pasir. Jika ditatapkan mata lurus ke selatan, maka yang ada hanyalah
paduan biru tua laut dan biru muda langit. Dan hanya sesekali tampak layar
perahu para nelayan di titik temu keduanya.
Kalau
pandangan diarahkan ke timur, maka tampak ratusan kapal berlabuh di dermaga.
Kapal-kapal tersebut seperti tertidur nyenyak. Karena memang kapal-kapal itu
akan terbangun dan menembus gelap di malam harinya, bersama nelayan merayuk isi
lautan. Lalu pulang di saat fajar menggores bintang-bintang.
Di
pagi harinya hiruk pikuk pelelangan ikan di sebelah dermaga menyambut setiap
kapal yang datang. Dan barangkali sangat sedikit yang menyambut kepulangan para
nelayan. Karena pada saat itu ialah ikan yang menjadi tema setiap berpincangan.
Di pelelangan itulah keberuntungan orang-orang ditentukan. Nasib mereka
dirayakan, meski kadang dihujat ketidakpuasan. Yaitu pelelangan ikan pantai
Prigi.
Namun
sore itu kami hanyalah beberapa gelintir orang yang menikmati senja di
sepanjang pantainya. Ombak yang tidak begitu tinggi memecah kesunyian. Melempar
dan menarik cangkang buah kelapa dengan lidah buihnya. Kami menceburkan diri,
berguling-guling bersama pecahan ombak di tepi, berlemparan pasir hitam, dan
berkejaran melepas kepenatan.
Rudi
dan Herman yang jago berenang, mereka mulai menjauh ke tengah lautan. Di
kedalaman sedada mereka mengambang mengikuti goyangan gelombang. Sambil
melambaikan tangan ke kami yang bermain di tepi, kemudian mengacungkan dua
jempolnya menandakan kenikmatan yang mereka lakukan. Lalu mereka berdua
bergandengan tangan, menikmati alunan gelombang yang datang silih berganti.
Di
tengah kancak keceriaan, tiba-tiba suara teriakan minta pertolongan terlontar
dari arah tengah lautan. Rudi dan Herman, oh ya Tuhan, mereka
melambai-lambaikan tangannya dengan jeritan memekik meminta pertolongan. Aku
yang tidak mampu berenang langsung panik, lalu berteriak memanggil teman-teman
yang masih asyik dengan keceriaan mereka.
Ramadani
berlari ke tengah lautan. Namun apa daya, berkali-kali gelombang menghempaskannya
ke tepi. Teman-teman perempuan yang ada hanyalah menambah kepanikan di saat
itu. Mereka menjerit-jerit, histeris, dan hanya memanggil-manggil nama Herman
dan Rudi. Ramadhani berusaha keras berenang menuju mereka berdua. Sedang aku
hanyalah seonggok cangkang kelapa yang ragu-ragu untuk menuruni lautan. Di saat
itu aku mencaci maki diriku sendiri yang tak becus berenang.
Aku
hanya menjadi penonton dari semua itu. Aku pandangi sekitar pantai, tak ada
seorang pun. Aku ingin sekali menonjok ombak lautan di depanku. Namun apalah
daya. Di depanku seorang sahabatku berjuang menyelamatkan sahabatku yang
lainnya dengan mati-matian. Namun aku hanya mengutuki diri sendiri yang tak
bisa berbuat apa-apa.
Setelah
Ramadani sampai kepada mereka berdua, ia pegangi tangan mereka. Namun sayang
sekali ombak yang tak mau mengerti terus menggempur mereka bertiga. Teriakan,
jeritan, terus mengambang di sekitaran pantai. Tak lama kemudian sebuah perahu
kecil mendekat, dengan uluran tangan seorang nelayan di atasnya, Rudi menaiki
perahu itu dan langsung tergelepar di atasnya.
Aku
gemetaran, kemana Ramadani dan Herman. Kemana mereka berdua. Apakah di telan
lautan. Tak lama kemudian Ramadani muncul dan ke atas perahu yang belum juga
bergegas. Lalu perahu tersebut menepi menurunkan Rudi. Dia menggigil gemetaran
tak mampu berkata sepatah pun. Kami melarikannya ke puskesmas terdekat. Sedang
Ramadani kembali ke lautan, mencari Herman yang terlepas dari pegangan.
Setelah
itu aku kembali lagi ke pantai, Ramadani menyusuri laut itu menggunakan perahu
nelayan. Sedang kami yang berada di tepi pantai, menyisir setiap bibir pantai,
barangkali Herman terbawa ombak ke tepi. Kami memanggil-manggil nama Herman.
Tapi hanya suara gelombang lautan yang menyahutnya.
Senja
sudah turun, warna laut keemasan. Berkilauan mengejek mata. Namun keberadaan
Herman masih menjadi misteri. Pencarian menggunakan perahu terpaksa dihentikan,
karena hari sudah petang. Ramadani turun dari perahu dengan wajah lesu.
“Maaf,
saya tidak mampu menahan gelombang, hingga genggaman Herman terlepas”. Katanya.
“Sudahlah.
Kamu sudah berhasil menyelamatkan Rudi. Itu sudah baik. Dan juga Herman
barangkali terdampar di sepanjang pantai ini, setelah sholat Magrib kita
menyisir pantai lagi”. Aku berkata dengan kecut, karena aku tidak dapat
melakukan apa-apa.
Beberapa
nelayan mendatangi kami, menanyakan keadaan kami dan kronologi tenggelamnya
Herman. Namun mereka menanggapinya dengan santai, seakan tidak ada hal besar
yang sedang terjadi. Dan yang paling membuat resah hati tatkala salah satu dari
mereka mengatakan, bahwa jasad Herman akan muncul ke permukaan laut tiga hari
ke depan. Dari mana mereka tahu Herman sudah mati. Sejak kapan mereka menjadi
Tuhan yang bisa menentukan apa yang akan terjadi. Bulsit.
Kami
masih optimis dengan keberadaan Herman. Setelah sholat Magrib, kami menyisir
pantai lagi. Dengan berbekal senter kami memecah debur ombak. Dari satu langkah
ke langkah lainnya kami hanya menjumbai buih yang menjulur-julur di atas pasir.
Dan sama sekali tidak menemukan tanda-tanda keberadaan Herman.
Kawan-kawan
dari rumah berdatangan, termasuk keluarga Herman. Dan petugas SAR yang kami
hubungi sejak sore tadi belum juga nampak batang hidungnya.
“Tolong
ini disebarkan ke laut dengan membaca fatihah 77 kali” seorang kawan
menyodorkan bungkusan kecil kepadaku. “Lalu ini, sebarkan di empat arah dari
tenggelamnya Herman. Setiap arah dibacakan alfatihah 77 kali.” Ia berucap lagi
sambil menyodorkan bungkusan yang lain.
“Apa
ini” aku bertanya penasaran.
“Itu
garam dan bunga tujuh warna. Tadi saya bertanya ke orang yang dituakan, bahwa
Herman sebenarnyalah tidak tenggelam. Namun ia dibawa oleh penguasa lautan.”
“Oh
ya, artinya Herman masih hidup?”
“Iya,
bisa jadi” ia menjawab dengan yakin. Aku pun menjadi sedikit berharap hal itu
benar.
Lalu
aku dan kawan lainnya menyebar bunga-bunga itu ke lautan, dan menaburkan garam
ke empat arah dengan membaca Fatihah seperti yang dikatakan. Setelah selesai
kami mendapatkan saran lagi untuk mencari Herman ke semak-semak dan rawa-rawa
di kawasan pantai. Menurutnya, Herman dibawa oleh makhluk jin atau dedemit yang
menguasai kawasan pantai. Kami pun melakukannya. Kawasan pantai yang penuh
dengan pepohonan dan rawa itu kami geledah dengan memukul-mukul benda yang
terdengar nyaring. Dengan seperti itu bisa jadi makhluk yang menyembunyikan
Herman akan melepasnya.
Usaha
demi usaha kami lakukan. Setiap perkataan orang mengenai pantai itu kami
laksanakan. Namun hasilnya tetap kosong. Tak satu pun kami dapatkan tanda
keberadaan Herman.
Tak
lama kemudian SAR datang dengan dua mobil. Lalu mereka bergegas sibuk
menyiapkan sesuatu. Aku berharap perahu karet sudah bisa dioperasikan malam
ini. Dan aku akan ikut menyisir lautan, ikut mengamati isi laut dengan perahu
itu. Tapi kelompok SAR hanya memberi penerangan kami, bahkan mereka hanya
menanya kronolgi kejadian, setelah itu tidak ada aksi. Hanya mirip semacam
pendataan saja.
Tatkala
pagi hari, ombak masih bergemuruh. Beberapa rekan perempuan masih sembab
matanya. Dan famili Herman masih sejadinya manangis memandangi lautan. Beberapa
diantaranya melakukan ritual-ritual tradisional. Seperti menyebar garam di
sepanjang bibir pantai, melarungkan sesajian ke laut, dan pencarian menggunakan
kentongan di rawa-rawa dan hutan sekitar. Namun hasilnya tetap kosong.
***
Tangis
memecah kesunyian, tatkala seorang nelayan menemukan sesosok manusia terdampar
di pantai Cengkarong tiga hari kemudian. Kami pun bergegas ke pantai yang tak
jauh dari Prigi tersebut. Bergegas dengan harapan yang tidak menentu.
Herman
masih mengenakan celana levis, dan baju hem merah, dan ikat pinggang, serta
seutas tali gelang di lengan kirinya. Ya, seperti Herman tiga hari yang lalu.
Hanya saja sekarang kedua matanya tertutup, dan tampak agak gemuk. Lalu kami
masukkan ia ke dalam tas mayat yang disediakan oleh SAR. Barangkali itulah
tatap muka terakhir antara aku dengan Herman, sahabat lamaku.
“Penguasa
laut benar-benar mengambil ruhnya. Hanya jasadnya kini dikembalikan” celetuk
seorang nelayan.
Menurut
mereka, selama tiga hari itu Herman masih dalam penyeleksian perekrutan
prajurit oleh kerajaan pantai. Jika dia lolos dan disukai penguasa lautan, maka
hanya jasadnyalah yang dikembalikan, sedang jika tidak, maka ia akan
dikembalikan jasad berserta ruhnya. Itu artinya ia selamat.
***
Itu
cerita beberapa tahun lalu. Herman sudah tiada, namun ketika aku melihat
fotonya, canda dan cara tertawanya masih seperti terdengar di telinga. Seakan
ia masih ada, dan tidak pergi kemana-mana. Hanya doaku seusai sholatlah sebagai
obat rinduku padanya. Berdoa kepada Tuhan, supaya diberikan ampunan dan
kemudahan baginya.
Tak
sengaja aku menata almari buku usang masa SMA. Salah satu buku terjatuh dari
almari karena tekanan dari buku-buku yang lain. Aku mengambilnya, lalu
membukanya. Di sana kudapati tulisan yang mengingatkan pada suatu kejadian.
Hukum arcimedes, yaitu benda akan terapung jika massa jenis benda lebih kecil
daripada masa jenis zat cair.
Hal
itu mengingatkanku pada Herman yang tiga hari baru mengambang setelah
tenggelam. Yang mana menurut para nelayan tiga hari tersebut dalam genggaman
penguasa lautan, dan hal itu sempat membuatku pervaya. Namun semua itu hanyalah
rekaan. Karena sebenarnya jasad Herman yang membesar menyebabkan volume
tubuhnya menjadi lebih besar. Untuk menggembungkan tubuhnya membutuhkan waktu
selama tiga hari. Hal itu membuat masa jenis tubuhnya menjadi lebih kecil dari
masa jenis air. Lalu akan muncullah tubuh Herman terapung di lautan.
Aku
teringat respon beberapa nelayan dan Petugas SAR yang biasa-biasa saja dengan
kejadian itu. Barangkali mereka meyakini mitos tentang penguasa laut dan
dedemit di sekitaran pantai itu. Lalu kami melakukan pencarian dengan hal-hal
yang tidak berguna, jauh dari kenyataan. Kami menyebar bunga dan garam, membaca
ayat-ayat Al-Quran untuk membujuk penguasa lautan. Yang yang lebih
mengherankan, kami mencari sesuatu yang hilang di dalam lautan dengan
mencarinya di antara pepohonan hutan. Kami yang panik tidak bisa berpikir
sehat. Oh ya Tuhan.
Maka
yang terjadi hanyalah berpasrah dan menunggu keputusan, apakah dikembalikan
jasad beserta ruhnya atau hanya jasad semata. Saya membayangkan, jika petugas
SAR atau pun nelayan memahami teori fisika itu, maka bisa jadi mereka akan
berupaya melakukan pencarian, dan meskipun Herman tak bisa terselamatkan namun
kami dari pihak kerabat dan keluarga tidak harus menunggu selama tiga hari
dalam ketidakpastian. Menunggu Herman muncul di permukaan air. Ya, hanya
menunggu. Dalam ketidakpastian.