Sabtu, 29 Agustus 2020

Kekerasan pada Anak di Rumah Selama Pandemi

Penyebaran Covid 19 pada awal tahun 2020 membuat banyak perubahan dalam hidup dan tata laku manusia. Pembatasan untuk beraktifitas di luar rumah dan psycal distanting menjadikan aktifitas pendidikan sekolah dialihkan ke rumah.  Sehingga fenomena ini memunculkan istilah belajar dari rumah, bekerja dari rumah, belanja dari rumah, dan banyak lainnya.

Pada bidang pendidikan, memindahkan aktifitas dari kelas ke rumah menjadikan persoalan tersendiri bagi masyarakat. Dalam pendidikan ada beberapa komponen yang harus ada sehingga aktifitas pembelajaran tersebut dapat berjalan sesuai dengan tujuan. Komponen tersebut di antaranya adalah teori pembelajaran, bahan ajar, dan media pembelajaran.

Bahan ajar berupa buku-buku dapat dengan mudah kita pindahkan ke rumah. Namun untuk media pembelajaran akan sangat sulit dilakukan, terutama karena media pembelajaran yang utama yang sekaligus terintegrasi di dalamnya teori pembelajaran adalah guru. Peran guru inilah yang akan sulit tergantikan ketika belajar dilakukan dari rumah.

Perpindahan belajar dari sekolah ke rumah ini menjadi beban berat bagi orang tua. Hal itu diperparah dengan kondisi ekonomi sebagian besar masyarakat menurun karena dampak virus Covid 19. Kondisi ekonomi keluarga ini yang akan merubah psikologi orang tua di saat harus memandu dan mendampingi anak belajar di rumah. Kondisi psikis orang tua yang terganggu akan menjadi lebih tempramental. 

Sehingga selama kurun waktu Covid 19 banyak kita jumpai kasus kekerasan anak oleh orang tua. Menurut Psikiater Terry E. Lawson, baik sengaja atau tidak sengaja dalam keseharian terdapat empat bentuk kekerasan yang telah dilakukan orang tua atau guru kepada anak.

Pertama, emotional abuse atau kekerasan yang bersifat emosional. Yaitu kekerasan yang terjadi dengan mengenyampingkan atau mengacuhkan permintaan anak dan keinginan anak yang sedang meminta perhatian. Seperti ketika anak lapar, meminta mainan, kemudian orang tua membiarkan atau mengabaikannya. Dalam pendampingan belajar, sering orang tua tidak memberikan hak-hak anak untuk bermain hanya karena dianggap malas belajar, pekerjaan tidak tuntas, yang sebenarnya itu akibat dari ketidakmampuan orang tua dalam mendampingi dan memotifasi belajar anak.

kedua, verbal abuse atau kekerasan yang terjadi pada ucapan dan kata-kata. Misalnya membentak, mengancam, menakut-nakuti. Ketika anak ramai dan aktif dikatakan anak nakal, ketika anak banyak bertanya dikatakan cerewet, dan cap-cap lainnya secara verbal yang diucapkan orang tua, termasuk membanding-bandingkan anak dengan temannya.

Ketiga, physical abuse atau kekerasan yang dilakukan dengan menyakiti fisik. Seperti mencubit, menonjok, memukul, melempar, dan hukuman fisik seperti push up, berlari, berdiri dengan satu kaki dan lain sebagainya. Dalam pendampingan belajar anak, orang tua sering mencubit dan memukul anak yang belum bisa menguasai materi.

Keempat, sexual abuse atau kekerasan yang dilakukan dengan melakukan tindakan yang mengarah pelecehan seksual seperti pencabulan, pemerkosaan, dan lain sebagainya. Kekerasan ini sangat mengkhawatirkan mengingat banyaknya kasus yang diberitakan media masa. Namun dalam pendampingan belajar dari rumah, tidak akan terjadi.

Dari sekian macam kekerasan, tidak ada satupun kekerasan yang dibenarkan. Semua tidak dapat ditolelir dan harus dihindari. Sayangnya banyak orang tua yang menganggap kekerasan merupakan salah satu metode pembelajaran dan bagian dari belajar. Sehingga ketika melakukan kekerasan, mereka merasa sudah mendidik dengan baik. Padahal kekerasan yang terus dilakukan lambat laun akan terekam dalam alam bawah sadar dan dilakukan anak di kemudian hari.

Orang tua harus diedukasi dan disadarkan akan bahaya kekerasan ini. Sehingga dapat dengan segera merubah sikap dan perlakuannya kepada anak. Tanpa kekerasan, anak akan lebih nyaman belajar di rumah. 

Namun terdapat satu hal yang tidak bisa dihindari, yaitu kesan anak terhadap orang tua. Orang tua yang setiap harinya ia diketahui oleh anak, yang secara detail sisi positif dan negatifnya sudah dikantongi anak melalui pengamatan seahri-hari, akan lebih meragukan bagi anak dari pada gurunya sebagai seorang yang paling sempurna di mata mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar