Senin, 10 Mei 2021

Deviasi dan Foregrounding

 A. Deviasi

Dalam konteks pembicaraan bahasa sastra, penggunaan istilah deviasi (deviation) yang disejajarkan dengan istilah penyimpangan adalah suatu hal yang banyak dijumpai dalam berbagai literatur. Istilah deviasi menunjukkan pada pengertian penggunaan bahasa yang menyimpang dari bahasa yang wajar dan baku yang lazim dipergunakan, misalnya dalam penggunaan bahasa ilmiah. Pengertian penyimpangan lazimnya memang dikaitkan,dibandingkan, dan dipertentangkan dengan bahasa baku yang mempunyai ketentuan tertentu yang harus terpenuhi.[1] Dengan demikian, adanya penyimpangan ini yang menyangkutkan aspek-aspek tertentu menjadi mudah dikenali. Bahasa baku sendiri untuk bahasa indonesia adalah bahasa yang memenuhi aturan yang terdapat pada buku tuntunan tata bahasa baku bahasa indonesia.

Pemilihan bentuk-bentuk deviasi kebahasaan dalam teks kesastraan ada kaitannya dengan dampak psikologis yang diharapkan. Dalam kaitan ini leech menegaskan bahwa deviasi merupakan fenomena linguistik memiliki dampak psikologis yang penting bagi pembaca (atau pendengar) dan sering mendapat perhatian penuh. Karena pembaca sering tampak lebih fokus pada sesuatu yang menyimpang. Dampak psikologis inilah yang kemudian dikenal dengan istilah foregrounding.

Banyak sekali permasalahan krnapa bahasa sastra ada atau lazim terjadi penyimpangan.atau terjadi karena pengarang mnginginkan sesuatu yang aneh-aneh atau bahkan dibuat sok aneh?. Bisa jadi bahasa sastra tampak agak (aneh), tetapi itu tidak berarti pengarang bersikap anah-aneh atau lainnya. Adanya penyimpangan dan terjadinya penyimpangan itu sebenarnya merupakan konsekuensi logis ketika pengarang berusaha mengungkapkan sesuatu lewat bentuk atau ungkapan yang batu,asli,dan orisional sebagai manifestasi tuntutan kreativitas, penciptaan, dan khususnya penciptaan cara- cara pengungkapan lewat bahasa.

Oleh karena itu, tuntutan itu akan menuntut pengarang untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan penggunaan berbagai unsur kebahasaan, baik dari aspek makna maupun struktur. Pada intinya sastra haruslah menemukan ungkapan yang baru yang asli. Bahkan dikatakan bahwa unsur kebaharuan dan keaslian merupakan suatu hal yang menentukan nilai keindahan sebuah karya sastra dalam usaha eksplorasi bahasa untuk memperoleh hal-hal tersebut amatlah mungkin pengarang sampai pada penggunaan berbagai bentuk penyimpangan bahasa. Itulah kemudian dikenal dengan istilah deviasi. Jadi ada dan terjadinya deviasi dalam bahasa sastra bukan merupakan tujuan atau sekedar ingin aneh, melainkan sebagai efek dan konsekuensi logis terhadap adanya tuntutan kreativitas dan kebaruan pengucapan dalam bentuk ungkapan- ungkapan tertentu.

Dalam usaha menciptakan ungkapan baru, selain mengalami penyimpangan, ungkapan yang dihasilkan mungkin sekali terlihat lain dari pada yang lain, lain dari yang biasanya, atau dikatanakan tidak lazim. Namun, sebenarnya istilah tidak lazim itu tidak harus dalam pengertian menyimpang, melainkan bisa diartikan belum pernah dipergunakan. Karakteristik inilah yang kaum formalisme rusia disebut sebagai Deotomatisasi (Deautomatisation) atau Defamiliarisasi (Defamiliarisation). Istilah ini yang diadaptasi dari kata bahasa inggris yang dipahami sebagai penyimpangan dari cara-cara penuturan yang biasa, yang otomatis,rutin,dan wajar. Artinya, menolak cara-cara penuturan yang telah biasa atau menolak cara yang telah umum, karena sastra adalah sebuah penuturan dengan cara yang khas. Untuk memperjelas mengenai deviasi. Ada sedikit contoh dalam puisi khairil anwar yang berjudul "Sajak Putih".

SAJAK PUTIH

Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Dihitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senja


Sepi menyanyi, malam dalam doa tiba

Meriak muoa air kolam jiwa

Dan dalam dadaku memerdu lagu

Menarik menari seluruh aku


Hidup dari hidupku, pintu terbuka

Selama matamu bagiku menengadah

Selama kau darah mengalir dari luka

Antara kita mati datang tidak membelah...

Sebenarnya, seperti pada umumnya puisi-puisi yang lain, puisi "Sajak Putih" itu "hanya" berbicara tentang cinta, yaitu cinta suci seseorang sebagaimana disimbolkan lewat judul lagunya. Namun, jika perasaan cinta itu hanya dikemukakan dengan cara-cara yang biasa, maka tidak menarik perhatian, tidak puitis, dan tidak ada eksploitasi keindahan, dan efeknya juga hanya biasa-biasa saja dan terasa kurang mengungkapkan sesuatu yang romantis. Maka, perasaan cinta secinya itupun diungkapkan dengan cara tidak lazim, tidak lazim menurut ukuran biasa, tetapi diungkapkan dengan selera keindahan. Jadi larik-larik dalam puisi tersebut tampak jelas keasliannya. Dan aspek citraan yang dipilih sangatlah kuat karena larik- larik tersebut terlihat menyimpang dari tuturan yang wajar dan baku, bahkan sehari-hari pun tidak ada orang mengungkapkan cinta dengan kata-kata seperti itu. Bahkan, struktur sintaksisnya juga tidak lazim karena permutasian urutan kata dan baris. Dalam bahasa lazim, dua larik pertama itu mungkin dituturkan dengan : " sore itu kau ada didepanku dengan membelakangi pelangi" atau dengan "pada sore yang indah itu kau berdiri didepanku sambil membelakangi pelangi".

Karakteristik deviasi bahasa sastra berasal dari kaum formalisme rusia. Mereka berpendapat bahwa adanya penyimpangan dari sesuatu yang wajar merupakan proses sastra yang mendasar. Penyimpangan dalam bahasa sastra itu sendiri sebenarnya dapat dilihat secara sinkronik dan diakronik. Penyimpangan sinkronik adalah penyimpangan dari bahasa sehari-hari, sedang penyimpangan diakronik adalah oenyimpangan dari karya sastra sebelumnya. Selain itu, perlu juga dipahami bahwa wujud penyimpangan itu dapat bermacam- macam, mulai dari penyimpangan leksikal. Struktur, dialek, grafologi. Makna dan lain- lain.

Dan ketika mengeksplorasi bahasa untuk menghasilkan tuturan yang indah sekaligusmeeakili diri dan perasaannya, pengarang sah- sah saja sengaja menyimpangi aturan sistem bahasa. Namun, kebebasan itu bukannya tidak terbatas. Keadaan itu disebabkan bahasa adalah sebuah sistrm tanda yang telah konvensi. Kata-kata sudah memiliki makna tetentu sehingga tidak lagi benar- benar netral. Maka, kalaupun terjadi penyimpangan, mesti masih ada benang- benang merah yang menghubungkannya dengan aturan atau konvensi itu. Jadi jika terjadi penyimpangan yang ekstrem sehingga struktut dan maknanya tidak dapat dipahami, itu hanya berakibat karya sastra yang dihasilkan justru tidak terpahami juga. Konsekuensinya adalah kehadiran karya sastra itu juga menjadi tidak bermakna, tidak ada signifikansinya.

B. Foregrounding

Jika deviasi dimakna sebagai penyimpangan penggunaan aspek bahasa dari bahasa yang wajar dan baku, foregrounding dimaknai sebagai pengedepanan, pengaktualan, pementingan, atau penekanan. Ketika seseorang berbicara tentang kedua istilah itu sebagai penciri bahasa sastra, ia tidak dapat melepaskan diri dari tokoh- tokoh formalisme rusia yang meneorikannya seperti Jan Mukarovsky dan Roman Jakobson.

Salah satu cara untuk memforegrounding-kan penuturan adalah lewat penegasan berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan baik secara struktur, makna, maupun tata cara penulisan.[2] Maka, dapat dikatakan bahwa deviasi itu merupakan cara untuk mengemukakan, sedangkan foregrounding adalah dampak atau efek yang dihasilkan. Namun, prinsipnya adalah bahwa adanya bentuk- bentuk penyimpangan itu mesti bermakna, berfungsi, atau ada signifikansinya, dan tidak asal berbeda. Selain itu, juga perlu ditambahkan bahwa wujud satuan foregrounding tidak harus berupa penyimpangan. Foregrounding dapat juga dan banyak ditemukan lewat satuan- satuan bahasa secara struktur tidak menyimpang.

Bentuk dan makna konvensional bahasa yang dideviasi, di simpangi, lazimnya akan menjadi terlihat lebih jelas walau hal itu hanya berlaku bagi seseorang yang mengenali bentuk dan maknanya yang baku. Oleh karena itu terlihat lebih jelas, satuan bentuk dan makna itu boleh dikatakan menjadi menonjol dan karenanya lebih terperhatikan, menjadi foregrounding. Pembaca menjadi lebih terkesan, berhenti sejenak untuk memikirkan dan merasakan, memperoleh sensasi yang berbeda, dan karenanya muatan makna yang disampaikan juga menjadi lebih intensif dipahami. Bentuk- bentuk penuturan yang demikian, sekali lagi, memiliki ciri literariness, ciri kelitereran, dan karenanya mempunyai efek keindahan.

Pendayaan bahasa sastra lewat foregrounding antara lain terwujud dalam penggunaan bentuk- bentuk paralelisme dan repetisi, namun dapat juga lewat berbagai bentuk penyimpangan, pengubahan struktur, permutasian, enjambemen, dll. Bentuk paralelisme dan repetisi itu sendiri belum tentu berupa penyimpangan bahasa. Tidak berbeda hal nya dengan deviasi, foregrounding juga tampan dalam satuan struktur, leksikal, semantis, dan grafologis. Namun, dalam sebuah karya, hal itu tidak harus dimunculkan dan ditekankan bersama dan sekaligus. Selain itu, perlu juga dikemukakan bahwa ada intensitas pendayaan deviasi dan foregrounding dalam genre puisi dan fiksi. Karakteristik bahasa sastra yang mngandung aspek deviasi dan foregrounding atau sifat defamiliarisasi itu pada kenyataannya lebih ditunjukkan untuk bahasa puisi walau itu tidak berarti tidakd apat ditemukan genre fiksi. Karena bentuknya yang singkat padat, lebih banyak dibuat atraktif agar menarik perhatian dan cara- cara yang ditempuh adalah lewat pendayaan deviasi dan foregrounding.

Contoh dalam puisi wujud foregrounding benyak dimunculkan lewat bentuk- bentuk paralelismr dan repetisi terutama repetisi di awal larikvyang berwujud anafora. Pengulangan leksikal di awal larik jelas untuk menekankan pentingnya makna kata yang bersangkutan. Bait pertama puisi Emha Ainun Nadjib yang berjudul "Kapak Ibrahim Hamba".

KAPAK IBRAHIM HAMBA

Dimana kapak ibrahim hamba

Dimana tongkat musa hamba

Dimana wajah yusuf hamba

Dimana dzikir zakaria hamba

Dimana hilang isa hamba

Dimana cahaya muhammad hamba

Takut, kekasih, hamba takut!

Pengulangan kata dimana di awal larik- larik puisi itu yang biasa disebut anafora yang tampak dominan sehingga mau tidak mau itu pasti menarik perhatian pembaca dan sekaligus mempertanyakan mengapanya karena diungkapkan dengan cara yang tidak lazim. Larik- larik itu masih lebih ditekankan lagi lewat pendayaan gaya paralelisme sehingga selain memperindah penuturan juga mengindikasikan bahwa makna tiap larik itu sejajar. Semua berupa pencarian aku (hamba) lirik tentang teladan- teladan atau mukjizat yang dimiliki oleh para rosul agar juga menjadi miliknya. Jika kehilangan itu semua, aku lirik jelas ketakutan, takut akan murka tuhan. Lewat pemformagroundingan bentuk-bentuk foregrounding itu tidak harus berwujud deviasi bahasa.

C. Macam Deviasi

Tidak berbeda halnya dengan analisis stilistika yang berdasarkan kajian tiap unsur stile, kajian stilisitka juga dapat dilakukan berdasarkan bentuk-bentuk deviasi tiap unsur stile. Berdasarkan kemunculan berbagai aspek Bahasa yang dideviasi itu kemudian sebuah teks, sastra, puisi, dijelaskan tujuan dan fungsi estetikanya. Intinya, keduanya sama-sama dapat dipakai untuk menjelaskan fungsi keindahan sebuah stile.

Misalnya, perulangan bunyi dalam puisi yang menghasilkan persajakan memiliki fungsi estetis yang jelas karena mampu membangkitkan efek puitis. Namun, dilihat dari sudut deviasi bunyi-bunyi yang bersajak tersebut belum tentu merupakan suatu bentuk penyimpangan. Bentuk pengulangan bunyi itu adalah suatu wujud foregrounding yang selain untuk memperindah bunyi juga untuk menarik perhatian, dampak psikologis. Jadi, penjelasan tentang persajakan tersebut tampaknya lebih tepat dilakukan lewat penjelasan fungsi bunyi dalam puisi seperti dibicarakan didepan. Penggunaan bentuk-bentuk deviasi. Bertujuan untuk memperoleh efek foregrounding, namun foregrounding tidak harus diperoleh lewat deviasi.

Tentang pemunculan Aspek Deviasi

Di atas telah ditunjukkan bahwa Leech (1991:37-40) mengemukakkan adanya tiga level utama dalam Bahasa, yaitu realisasi bahasa, bentuk, dan makna masing-masing dengan beberapa unsur di dalamnya. Ketika seorang penyair mengreasikan stile sesuai dengan kebebasan yang dimilik sebagaimana tercermin dalam lisensi puitis, kreasi itu akan mencangkup dan melibatkan ketiga level utama Bahasa tersebut. Dalam kaitan ini lisensi puitis dapat pula diartikan sebagai penggunaan dan sekaligus hadirnya deviasi Bahasa. Berbagai aspek Bahasa yang dideviasikan tercakup ke dalam tiga level Bahasa tersebut. Selanjutnya, Leech mengidentifikasi berbagai aspek deviasi yang muncul dalam puisi berbahasa inggris. Ia menemukan delapan wujud deviasi, yaitu deviasi leksikal, gramatikal, fonologi, grafologi, semantik, dialek, register dan historis. Untuk itu, dibawah akan dibicarakan bentuk-bentuk kemunculan kedelapan macam deviasi tersebut dalam puisi indonesia. Namun, sebelumnya perlu dikemukakan hal-hal berikut.

Pertama, satu satuan bentuk bahasa tertentu dapat ditafsirkan mengalami lebih dari satu jenis deviasi tergantung dari kriteria yang dipakai. Misalnya, suatu bentuk leksikal dapat dipandang sebagai deviasi leksikal jika memenuhi kriteria deviasi leksikal. Tetapi, bentuk itu juga dapat dipandang mengalami deviasi gramatikal (struktur morfologi) jika memenuhi kriteria deviasi struktur.

Kedua, kemunculan suatu bentuk deviasi perlu dipertimbangkan efektivitas dan fungsinya dalam konteks teks yang bersangkutan. Ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk maksud itu, yaitu sebagai berikut.

a.  Kemunculan suatu bentuk deviasi dapat dinilai bermakna atau signifikan jika pengguna bentuk itu lebih tepat dari pada bentuknya yang baku.

b.  Kemunculan suatu bentuk deviasi dapat dinilai bermakna atau signifikan jika bersama dengan unsur puisi yang lain mendukung makna yang ingin disampaikan.

c.   Kemunculan suatu bentuk deviasi dapat dinilai bermakna atau signifikan jika penggunaan bentuk deviasi itu mampu memberikan dampak psikologis kepada pembaca untuk memberikan perhatian yang lebih baik.

d.  Kemunculan suatu bentuk deviasi dapat dinilai bermakna atau signifikan jika penggunaan bentuk deviasi itu mempunyai fungsi estetis atau mampu memberikan dampak keindahan.

1. Deviasi Leksikal

Deviasi Leksikal adalah suatu bentuk penyimpangan yang terjadi pada aspek leksikal, kata, atau diksi. Suatu bentuk leksikal dipandang sebagai bentuk deviasi jika bentuk itu mengalami penyimpangan makna dari makna konvensional baku sebagaimana terlihat dalam kamus. Munculnya bentuk deviasi itu antara lain ditandai oleh proses morfologi yang masih problematis, kata bentukan baru, neologisme (Leech, 1991:42). Bentuk (kata) tanpa makna atau tidak ada dalam kamus, dan lain-lain. Contoh deviasi Leksikal dapat berupa “kata-kata” tanpa makna atau tidak temukan dalam kamus “kata-kata“ semacam itu bisa jadi merupakan ciptaan penyair untuk memperoleh efek bunyi tertentu dan menghasilkan kesan atau dampak psikologis tertentu pada pembaca. Contoh pada puisi Indonesia yang terkenal adalah puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri dalam kumpulan puisi O Amuk, Kapak (1981) dan juga puisi-puisi Ibrahim Sattah.

2. Deviasi Fonologi

Deviasi Fonologis adalah bentuk penyimpangan Bahasa yang terdapat pada aspek fonologi. Suatu bentuk fonologi dipandang sebagai bentuk deviasi jika bentuk itu mengalami penyimpangan dari bunyi Bahasa yang wajar dan baku. Pada awal mula semua bahasa di dunia ini berupa bunyi, lambing bunyi, system bunyi. Baru setelah ditemukan system penulisan, kemudian dikenal adanya bahasa tulis. Bahasa tulis tidak lain adalah system symbol untuk mewakili system bunyi tersebut, maka bagaimanapun, bahasa lisan yang berupa bunyi tetap saja menjadi yang utama.

Deviasi fonologis dapat berupa penggunaan bunyi-bunyi tertentu, tetapi ia tidak memiliki makna konvensional seperti lazimnya bunyi Bahasa, atau adanya penggantian fonem tertentu dalam sebuah kata sehingga terjadi perubahan bunyi. Contoh, Deviasi fonologis yang lain yang mirip contoh tersebut adalah juga munculnya deretan huruf tertentu, baik huruf-huruf yang sama atau berbeda, namun deretan huruf itu tidak memiliki makna konvensional. Jika dibaca dengan nada suara yang sesuai, bunyi-bunyi huruf tersebut dapat membangkitkan suasana tertentu, misalnya suasana magis. Hal ini mirip dengan penggunaan tiruan bunyi alam (onomatope) yang tidak jarang ditemukan dalam puisi. Penggunaan deretan huruf yang dimaksud, misalnya ditemukan dalam puisi Angin Danau karya Sitor Situmorang dengan judul “Borobudur Sehari”.

3. Deviasi Gramatikal

Deviasi Gramatikal melibatkan dua aspek struktur, yaitu struktur morfologi dan sintaksis.[3] Walau sama-sama aspek gramatikal, dalam berbagai pembicaraan tentang tata bahasa, keduanya biasanya dibicarakan secara terpisah. Hal ini dapat dipahami karena kedua struktur tersebut sebenarnya cukup kompleks permasalahannya. Walau demikian, contoh kasus dalam teks-teks puisi, keduanya dapat ditemukan dalam puisi atau bahkan dalam larik yang sama.

a.       Deviasi Morfologis

Deviasi morfologis terkait dengan struktur morfologi, tata bentukan kata, dalam sebuah bahasa. Suatu bentuk morfologi dipandang sebagai suatu bentuk deviasi jika bentuk itu mengalami penyimpangan dari kaidah struktur morfologi yang baku. Contoh deviasi morfologis yang terkait dengan penghilangan atau sebaliknya penambahan bentuk afiksasi dapat dilihat pada puisi Khairil Anwar yang telah berkali-kali dibicarakan sebelumnya, yaitu puisi “Isa“. Pada bait pertama puisi itu dapat dilihiat bentuk yang dimaksud.

- Itu tubuh

mengucur darah

mengucur darah

Dalam Bahasa Indonesia terdapat bentuk kata mengucur dan mengucurkan. Namun, dalam konteks struktur sintaksis larik puisi itu, bentuk morfologi kata mengucur itu seharusnya adalah mengucurkan keadaan ini disebabkan dalam struktur sintaksis larik itu, kata kerja mengucur mendapat objek, yaitu darah. Deviasi morfologi bentuk mengucur dari yang seharusnya mengucurkan tersebut tampak mempunyai dapat psikologis pembaca.

b.      Deviasi Sintaksis

Deviasi Sintaksis terkait dengan struktur sintaksis, tata bentukan kalimat, dalam sebuah bahasa. Suatu bentuk struktur sintaksis dipandang sebagai bentuk deviasi jika bentuk itu mengalami penyimpangan dari kaidah struktur sintaksis bahasa yang baku. Dilihat dari satuan bahasa yang terlihat, struktur sintasis yang besar dan komples dari pada strutktur morfologis, maka kemungkinan terjadinya penyimpangan juga lebih beragam dan komples. Deviasi sintaksis dapat berupa permutasi (pengembalikan susunan) unsur kalimat, unsur kalimat tidak lengkap, struktur tidak gramatikal, tidak kohesif, tidak koherensif dan lain-lain. Contoh. Dalam teks-teks puisi yang mengalami deviasi gramatikal, deviasi struktue sintaksis dan morfologis ridak jarang ditemukan Bersama. Misalnya, pada bait puisi “Isa” di atas yang berbunyi /menguncur darah/, sebenarnya dapat juga dipandang sebagai sebuah bentuk deviasi sintaksis jika bentuk mrngucur itu dianggap menyimpang karena penghilangan akhiran -kan, itu adalah penyimpangan morfologis. Wujud penyimpangannya adalah permutasi unsur kalimat yang berpola subjek-predikat sehingga menjadi predikat-objek. Kata mengucur adalah kata kerja intransitif, maka tidak membutuhkan objek. 

4.  Deviasi Semantis

Deviasi Semantis adalah bentuk penyimpangan Bahasa yang terdapat pada semantic. Makna suatu penuturan dipandang sebagai bentuk deviasi jika struktur sintaksis yang mengandung makna itu mengalami penyimpangan dari makna konvensional sebagaiman yang terdapat di dalam kamus atau makna actual, makna denotatif. Peengertian deviasi semantic mungkin tumpeng tindih dengan deviasi leksikal, tetapi deviasi semantic lebih menunjuk pada penyimpangan makna pada struktur sintaksis dan bukan sekedar kata seperti pada deviasi leksikal. Contoh deviasi semantic sebetulnya secara tidak langsung sudah secara intensif dibicarakan di depan pada pembicaraan tentang permajasan.

Bersandar pada tari warna pelangi

Kau depanku bertudung sutra senja

Di hitam matamu kembang mawar dan melati

Harum rambutmu mengalun bergelut senda.

Makna keempat larik puisi itu jelas tidak menunjuk makna konvensional- denotative seperti ditunjuk dalam kamus. Makna larik-larik itu telah sengaja dibuat menyimpang dari makna tersebut.

5. Deviasi Grafologis

Deviasi Grafologis adalah bentuk penyimpangan Bahasa yang terdapat pada unsur ejaan dan tanda baca, grafologi. Suatu bentuk penulisan dipandang sebagai bentuk deviasi grafologi jika penulisan itu mengalami penyimpangan dari cara-cara penulisan yang konvensional dan baku. Contoh, berbagai puisi yang dicontohkan untuk berbagai pembicaraan di atas, pada umumnya juga mengandung unsur deviasi grafologis yang menyangkut penulisan huruf, kata, tanda baca, atau gabungin diantaranya. Misalnya, bait pertama puisi “Isa“ sebenarnya juga mengandung deviasi grafologis.

6. Deviasi Dialek

Deviasi Dialek adalah bentuk penyimpangan Bahasa yang terdapat pada unsur dialek. Sebuah puisi dipandang memiliki penyimpangan dialek jika puisi tersebut mengandung unsur dialek tertentu. Dialek itu sendiri dapat dipahami sebagai adanya perbedaan variasi bahasa yang disebabkan oleh penutur. Di pihak lain, penutur dapat berbeda-beda dilihat dari asal geografis, lingkungan sosial, dan keduanya dapat memunculkan dialek yang berbeda. Munculnya dialek karena faktor geografis disebut sebagai dialek regional, sedang yang karena faktor sosial disebut faktor sosial. Contoh, Puisi-puisi yang bernada dan bernuansa serius terlihat jarang memunculkan unsur dialek, namun puisi-puisi yang bernadasantai dan humoris banyak memanfaatkan unsur ini. Selain Darmanto Jatman, Linus Suryadi juga banyak memasukkan unsur dialek dalam puisi-puisinya

7.      Deviasi Register

Deviasi Register adalah bentuk penyimpangan bahasa yang terdapat pada unsur register. Register tidak lain adalah ragam bahasa. Sebuah puisi dipandang memiliki penyimpangan register jika puisi tersebut mengandung unsur register atau ragam bahasa lain di dalamya. Ragam bahasa itu dapat berwujud ragam ilmiah, ragam pers, ragam surat, dan lain-lain termasuk ragam bahasa sastra.[4] Jadi, dalam pengertian ini diperjuangkannya berbagai ragam Bahasa lain selain ragam Bahasa sastra ke dalam teks-teks sastra khususnya puisi. Contoh, penggunaan bentuk dialog dalam puisi tidak sedikit dijumpai dalam puisi-puisi Indonesia. Puisi “Marto Klungsu dari Leiden” diatas juga menghadirkan dialog atau kata-kata Den Jeng Gung , ayah Marto Klungsu, yang juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk deviasi register.

8. Deviasi Historis

Deviasi Historis adalah bentuk penyimpangan Bahasa yang berwujud penggunaan kata-kata arkais. Kata arkais dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang berhubungan dengan masa dahulu atau berciri kuno, tua. Dan arkais sendiri berasal dari bahasa yunani. Sebuah puisi atau teks kesastraan pada umumnya memakai kata-kata yang umum dipakai pada masanya, masa ketika puisi itu ditulis.  Contoh. Penyair indonesia modern dikenal banyak mempergunakan kata-kata arkais adalah Amir Hamzah. Dia juga dikenal amat piawai menggabungkan unsur lama, kata-kata arkais, dengan unsur baru, kata-kata yang kini lazim dipakai. Misalnya, dalam salah satu bait puisi “ Berdiri Aku” yang telah dicontohkan sebelumnya, mengandung kata arkais sebagai berikut

Benang raja mencelup ujung

Naik marak mengerak corak

Elang leka sayap tergulung

Dimabuk warna berarak-arak

Kata leka pada bait itu adalah contoh kata arkais yang berarti lengah atau lalai. Kata itu kini sudah jarang dipegunakan dalam kegiatan berbahasa. Secara keseluruhan puisi itu berisi deskripsi keadaan alam. Penggunaan kata arkais leka itu tempaknya untuk memperkuat unsur persajakan, yaitu sajak alirasi.

 Langkah Kajian Aspek Deviasi

Sama halnya dengan langkah kajian unsur-unsur stile pada bab-bab sebelumnya, berikut proses kajian aspek deviasi

A.  Tujuan kajian stilistika adalah untuk mengapresiasi keindahan teks-teks yang dikaji baik beupa teks puisi, fiksi, atau yang lain. Keindahan sebuah teks tidak jarang justru diperoleh lewat bentuk-bentuk penyimpangannya dari Bahasa yang baku.

B.  Identifikasi berbagai aspek deviasi pada teks-teks yang telah ditetapkan dan diketahui mengandung unsur deviasi. Identifikasi dilakukan terhadap berbagai bentuk penyimpangan yang ditemukan yang semuanya berjumlah delapan buah.

C. Deskripsikan hasil telaah-identifikasi langkah kedua yang sudah dilakukan pada aspek deviasi. Langkah ini tidak berbeda halnya dengan penyajian data hasil kajian.

D. Jelaskan dan tafsirkan fungsi bentuk-bentuk deviasi itu dalam perannya untuk membangkitkan efek keindahan. Intinya perlu dijelaskan ketepatan atau sebaliknya ketidaktepatan penggunaan berbagai bentuk deviasi atau peran fungsionalnya.

 


[1] Burhan Nurgiyantoro, “Stilistika”, (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2014), hlm. 289

[2] Ibid hal. 296

[3] Ibid hal. 310

[4] Agus Susanto, “Deviasi dan Foregrounding dalam kumpulan puisi tidak ada New York hari ini karya Aan Mansyur dan 99 Untuk Tuhanku Karya Emha Ainun Nadjib”, Nosi, Vol. 5, No. 4, 2017, hlm. 10


DAFTAR PUSTAKA

Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Stilistika, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press

Susanto Agus, Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Unisma, agussusanto123451@gmail.com. 22 April 2020


Tidak ada komentar:

Posting Komentar