Beberapa hari lalu saya di kantor sendirian, sunyi, hanya kertas-kertas berserak dan buku-buku penuh debu berjajar di rak. Langit cerah, namun suasana nggak secerah itu. Apalagi mengingat tugas kuliah yang setengah rampung, langit yang cerah jadi semu. Tiba-tiba saya ingat perkenalan yang sederhana dengan dengan tiga orang gadis di bawah gerbang kampus, salah satu namanya Mahalasari. Ia bagian awak QLC cabang Panggul yang akan kuliah di UIN Malang. Akhirnya aku kiri sms, supaya dikirimi puisi, nah ia mengirimi puisi di bawah ini (yang saya kurung dobel).
Setelah aku baca, puisinya berupa sepercik rasa dan belum mengandung konflik tertentu.Puisinya bagus, penuh metafor dan diksi yang tegas. Kalau dibaca sudah cukup menyentil rasa pembaca, namun bagi saya, tertindih pertanyaan-pertanyaan tentang "apa" yang dirasakan Mahalasari tersebut. Maka saya iseng-iseng melengkapinya sehingga menjadi puisi yang membawa persoalan dalam kandungannya. Seperti di bawah ini:
Embun turun malam hari
Menempel di pipi wajah mungilMenceritakan dinginnya mimpi
Membekukan hidupnya nanti
Hidup yang beku tanpa ilmu
Berjongkok di gubuk pinggir kali kota
Menyeret tubuhnya yang kepanasan
Ke dalam lorong-lorong jembatan
((Sajak syair terpecah galau
Merajai detak suara sunyi
Hujan merintih,
Berjajar bagai pasukan senjata
Membumi damaikan mentari
Semua telah jauh mengembara dan berkelana
Seperti ziarahku tanpa kembang pembuka))
O, bagai langit tanpa siang
Wajah negeriku gelap gulita
Menggarami luka di tubuh senja
Hidup semakin jauh
Berkelana di mimpi-mimpi tuan tanah
Menjauhi rakyat yang tergeletak sunyi