Kamu tahu,
betapa lama aku kucel sendiri. Kecil hati adalah penyakit yang kejam menikam-nikam.
Terlebih menjangkiti orang seperti aku ini, orang yang punya
keinginan-keinginan besar dan yang selalu berambisi untuk menjadi yang terbaik.
Tapi apalah daya, banyak keinginan dan harapan begitu saja hangus lantaran hati
yang kecil, tak mampu menghadapi rintangan yang kecil sekali pun. Ibarat jembut
jagung aku adalah jembut yang kering lantaran jagung terlalu tua.
Helai-perhelai berontokan di tanah terkulai.
Aku sebagai
orang yang tidak menerima apa adanya selalu berusaha untuk mengobati penyakit
kronis itu. Buku-buku biografi tokoh-tokoh besar, buku tentang peperangan,
pembunuhan, bahkan cerita-cerita paling sadis, sudah aku baca hingga tak
tersisa selembar pun. Namun semua itu tak menyisakan sedikit pun kecuali
hafalan tentang teori-teori dan tambahan pengetahuan belaka. Buat apa
berpengetahuan kalau hati tetap kucel begini!
Kekecilan hati,
kata orang, disebabkan karena minimnya pengetahuan dan pendidikan. Aku banyak
tahu, bahkan lebih banyak dari pada orang-orang yang berhati besar yang ada di
sekitarku. Menurutku pengetahuan saja tidak cukup, bahkan di beberapa
kesempatan pengetahuan menjadi pemicu ketakutan dan kecil hati. Seorang yang
tau tentang penyakitnya, misalnya, akan lebih takut untuk memakan makanan
tertentu yang dianggapnya sebagai pemicu kekambuhan. Apakah masih kita percayai
bahwa ketidaktahuan menyebabkan ketakutan. Mungkin ada benarnya dalam beberapa
kasus, tapi tidak selalu seperti itu.
Aku bahkan
sempat berpikiran, jangan-jangan ketahuanku akan penyakit kecil hati itu yang
membuatku semakin terpuruk di pojok keterasingan. Sebagai orang yang dikarunia
akal, aku menggunakannya dengan sebaik-baiknya, untuk mencari obat atas
penyakit itu. Minimal, ketika pengetahuan akan penyakit itu membuatku semakin
kecil, pengetahuan jugalah yang akan mengobatinya.
Konsultasi
dengan pakar-pakar psikologis juga sudah saya lakukan. Saran merka selalu sama,
yaitu supaya aku tidak membenci diri sendiri dan berpikiran positif atas semua
hal, semua yang terjadi.
“Saya sudah
menyayangi diri saya, dok”. Ucapku saat berkonsultasi. “Saya membelikan pakaian
sesuai dengan apa yang saya sukai. Saya memandikannya dua kali sehari. Saya
melindunginya dengan jaket saat dingin, dan dengan deodoran saat kepanasan.”
“Ya, itu baik.
Tapi tidak hanya secara fisik, melainkan secara kualitas dan kemampuan yang ada
di dalam diri Anda.” Dokter itu berucap dengan nada rendah.
“Saya pun
mencintai kemampuan-kemampuan yang ada di dalam diri saya, dok. Saya juga
mencitai kualitas saya. Bahkan saking cintanya saya selalu berusaha untuk
keluar dari penyakit pelik ini. Saya selalu berusaha untuk menjadi yang lebih
baik, dok.”
“Karena kamu
selalu menginginkan yang lebih baik, dan belum tercapi, maka kamu membenci
dirimu sendiri.” Dokter mengatakan itu.
Saya menjadi
bingung. Bukankah orang yang benci dengan dirinya adalah orang-orang yang
berputus asa. Aku tidak pernah berputus asa. Bahkan sesalu mencari jalan
terbaik untuk menyelesaikan segala persoalan yang menimpaku.
“Berpositif
thinking juga membantu memperbesar hati”. Kata dokter itu.
“Berprasangka
baik maksudnya?”
“Ya.” Kata
dokter meyakinkan.
“Tapi, dok.
Saya hidup di lingkungan yang hancur dari semua segi, dok. Para pedagang di
lingkungan saya suka mengibuli pembelinya. Para pemerintah suka mengutil uang
rakyatnya. Para pendidik menjadikan sekolah sebagai ajang perampasan. Militer
yang seharusnya memberikan rasa aman, sekarang banyak menghasut dan menciptakan
permusuhan antar warga, bahkan para pemuka dan tokoh agama tidak segan untuk
berbuat serong dari Tuhannya.” Dalam hati aku mengucapkan para dokter suka
menarik tarif tinggi pada pasiennya. Dalam hati. “Apa saya juga harus berbaik
sangka dengan mereka?”
“Ya, itu baik
untuk memperbesar hati kamu.”
“Tapi dok,
dimana letak benang merah antara berprasangka baik dengan besar hati?”
“Kalau Anda
berprasangka baik itu artinya Anda berpikiran positif. Memandang setiap sesuatu
dengan kebahagiaan dan keceriaan. Setelah hati Anda terbiasa bahagia, hati Anda
akan membesar.”
Aku seperti
menjadi gila saat mendengar kalimat itu. Bagaimana mungkin kita berbaik sangka
dengan para bajing dan para rampok. Bagaimana bisa kita berbahagia dan berceria
dengan kondisi lingkungan seperti itu. Ditaruh mana logikanya, ditaruh mana
otaknya. Mulai saat itu aku tidak datang lagi ke psikiater. Menurutku dia tidak
bisa memahami persoalanku. Kalaupun bisa memahami, dia tidak tahu bagaimana
pemecahannya.
Aku lalu
mencari obat kecil hatiku dengan caraku sendiri. Membaca, mencermati
orang-orang yang berhati besar, bertukar pikiran, diskusi dan banyak lainnya. Hati
besar akan tercapai saat kamu terbebas dari belenggu, ada seorang yang bilang
begitu. Ketika jiwamu bebas kamu akan menjadi pemberani dan dengan keberanian
hatimu akan besar. Kebebasan, apa itu kebebasan, apa kaitannya dengan berhati
besar.
Aku amati
perilaku para pemilik rumah-rumah mewah di perumahan elit. Saat jogging
pagi-pagi diam-diam aku perhatikan tingkah laku mereka. Barangkali kebebasan
himpitan ekonomi akan bisa menjadikan hati besar. Namun jarang sekali aku
melihat aktifitas mereka. Yang ada hanyalah para pembantu yang menyirami
tanaman, memotong rumput, dan belanja di penjual sayur keliling. Sesekali
pemilik rumah tampak menghidupkan mobil, lalu pergi dengannya. Seperti itu
setiap dua minggu sekali saat aku jogging aku mengamatinya. Artinya aku tidak
bisa mengambil pelajaran dari pengamatan itu.
Maka aku harus
mengamati orang-orang yang masih dalam perjuangan, dan mereka adalah para pedagang
kaki lima di pasar. Apakah orang yang terhimpit ekonomi benar-benar tidak
berjiwa besar. Aku pun pergi ke pasar, berjalan kaki mengamati perilaku mereka.
Mereka hanya duduk-duduk menunggu pembeli, ada yang berjuang dengan kata-kata
untuk menarik pembeli. Aku pun jadi bertanya-tanya, apakah hati mereka kucel
dan kecil. Apa tantangan terbesar yang mereka hadapi. Ingatanku kembali pada
para pemilik rumah mewah. Apakah hati mereka besar. Apa tantangan-tantangan
yang sudah mereka hadapi. Aku teringat juga saat perjalanan ke pasar yang
melewati sebuah jembatan yang di bawahnya ada tenda-tenda dengan penghuni
manusia. Apakah mereka juga berhati besar. Tantangan apa yang sedang mereka
hadapi. Aku hampir menemukan titik persamaan. Berhati besar. Siapa sebenarnya
orang yang berhati besar itu. Seberapa besar tantangan yang mereka hadapi
sehingga bisa dikatakan berhati besar.
Pikiranku terus
bergelayut. Sampai aku hampir terperosok lubang selokan yang menganga di
sepanjang tepi jalan pasar. Aku kembali pada ingatan-ingatan dari buku biografi
para tokoh-tokoh yang berhati besar. Apa yang mereka hadapi sehingga
orang-orang menyebutnya berhati besar. Apa karena mereka berani melawan yang
lebih besar. Atau mereka berani melakukan hal-hal yang diluar kemampuan orang
pada umumnya. Apakah kebebasan benar-benar menjadikan orang berhati besar.
Hingga aku
melihat orang gila di tengah-tengah pasar. Dia seorang laki-laki yang bertubuh
kekar. Dengan bertelanjang dada menari-nari dan menyanyi-nyanyi lantang tanpa
menghiraukan sekitar. Sesekali kaki kanannya diangkat dan kaki kirinya meloncat
kecil. Diikuti kedua tanggnya meliuk-liuk di menyamping kanan dan kiri sehingga
menjadikan badannya kadang mendoyong ke kanan dan kiri mengimbangi liukan
tangannya.
Tentu itu
sebuah kebebasan sebebas bebasnya, pikirku. Aku lihat wajahnya tak ada tekanan
sedikit pun. Kebebasannya dalam melakukan apa saja yang menjadi keinginannya.
Apakah kebebasan yang seperti itu bisa memicu kebesaran hati, ketakutan yang
membelengguku selama ini. Apakah kebebasan akan tercapai dengan melepas segala
kemaluan. Karena rasa malu sungguh membuat kita tidak leluasa berbuat sesuatu,
sesuatu yang kecil dan remeh pun. Ya, pikirku.
Aku pun segera
mencari pusat keramaian di pasar itu, hingga aku menemukan titik temu antara dua
jalan pintu keluar pasar. Di situ ramai dengan orang-orang yang berlalu lalang
atau pun berbelanja. Dengan keyakinan dan kebebasan yang baru aku dapatkan, aku
melepas satu persatu kancing di bajuku. Setelah telanjang dada, aku masih belum
terima, maka aku lepas celana hingga hanya celana dalam yang melekat di
tubuhku. Aku mulai mengangkat tangan dan kaki untuk menari. Lalu berteriak dan
meracau apa pun yang ingin kukatakan. Tak terima hanya dengan itu, aku meloncat
bergerak abstrak meliuk, membungkuk melemparkan tubuhku ke tiang listrik, ke
gundukan sampah di depan kios. Aku pun merasakan kebebasan yang sepenuhnya.
Kurasakan hatiku menjadi besar dan kian membesar.
Aku pun semakin
hilang kendali. Aku melonjak-lonjak, berteriak mengomel dengan keras. Tanganku
bergerak tak beraturan sekuat aku menjangkaunya. Aku memegang udara,
melemparkannya dan menendangnya. Aku semakin merasakan kebebasan tak terhingga.
Orang-orang
yang berlalu lalang semakin banyak yang berhenti dan melihat kebebasanku.
Semakin lama semakin banyak, membentuk setengah lingkaran mengitariku. Aku tak
peduli, aku menikmati kebebasanku. Hingga akhirnya aku kelelahan, kebebasanku
seperti menguap. Tubuhku terasa berat. Kakiku tak mampu menyangga beban, aku
pun roboh tersimpuh. Lalu aku bangkit, mencoba merasakan kebebasan yang
tersisa. Tanganku kulentangkan, kuambil nafas dalam-dalam lalu kuhembuskan.
Kupandangi orang-orang yang melihatku. Mereka bertepuk tangan dan tersenyum.
Lalu satu persatu melemparkan uang di kardus bekas di sampingku yang kebetulan
tergeletak terbuka. Lalu mereka membubarkan diri meninggalkanku sendiri. Dan
aku masih merasakan kebebasan itu, meski hatiku belum tentu masih besar.