A. Deviasi
Dalam konteks pembicaraan bahasa sastra, penggunaan istilah deviasi
(deviation) yang disejajarkan dengan istilah penyimpangan adalah suatu hal yang
banyak dijumpai dalam berbagai literatur. Istilah deviasi menunjukkan pada
pengertian penggunaan bahasa yang menyimpang dari bahasa yang wajar dan baku
yang lazim dipergunakan, misalnya dalam penggunaan bahasa ilmiah. Pengertian
penyimpangan lazimnya memang dikaitkan,dibandingkan, dan dipertentangkan dengan
bahasa baku yang mempunyai ketentuan tertentu yang harus terpenuhi. Dengan
demikian, adanya penyimpangan ini yang menyangkutkan aspek-aspek tertentu
menjadi mudah dikenali. Bahasa baku sendiri untuk bahasa indonesia adalah
bahasa yang memenuhi aturan yang terdapat pada buku tuntunan tata bahasa baku
bahasa indonesia.
Pemilihan bentuk-bentuk deviasi kebahasaan dalam teks kesastraan
ada kaitannya dengan dampak psikologis yang diharapkan. Dalam kaitan ini leech
menegaskan bahwa deviasi merupakan fenomena linguistik memiliki dampak
psikologis yang penting bagi pembaca (atau pendengar) dan sering mendapat
perhatian penuh. Karena pembaca sering tampak lebih fokus pada sesuatu yang
menyimpang. Dampak psikologis inilah yang kemudian dikenal dengan istilah
foregrounding.
Banyak sekali permasalahan krnapa bahasa sastra ada atau lazim
terjadi penyimpangan.atau terjadi karena pengarang mnginginkan sesuatu yang
aneh-aneh atau bahkan dibuat sok aneh?. Bisa jadi bahasa sastra tampak agak
(aneh), tetapi itu tidak berarti pengarang bersikap anah-aneh atau lainnya.
Adanya penyimpangan dan terjadinya penyimpangan itu sebenarnya merupakan
konsekuensi logis ketika pengarang berusaha mengungkapkan sesuatu lewat bentuk
atau ungkapan yang batu,asli,dan orisional sebagai manifestasi tuntutan
kreativitas, penciptaan, dan khususnya penciptaan cara- cara pengungkapan lewat
bahasa.
Oleh karena itu, tuntutan itu akan menuntut pengarang untuk
mengeksplorasi berbagai kemungkinan penggunaan berbagai unsur kebahasaan, baik
dari aspek makna maupun struktur. Pada intinya sastra haruslah menemukan
ungkapan yang baru yang asli. Bahkan dikatakan bahwa unsur kebaharuan dan
keaslian merupakan suatu hal yang menentukan nilai keindahan sebuah karya
sastra dalam usaha eksplorasi bahasa untuk memperoleh hal-hal tersebut amatlah
mungkin pengarang sampai pada penggunaan berbagai bentuk penyimpangan bahasa.
Itulah kemudian dikenal dengan istilah deviasi. Jadi ada dan terjadinya deviasi
dalam bahasa sastra bukan merupakan tujuan atau sekedar ingin aneh, melainkan
sebagai efek dan konsekuensi logis terhadap adanya tuntutan kreativitas dan
kebaruan pengucapan dalam bentuk ungkapan- ungkapan tertentu.
Dalam usaha menciptakan ungkapan baru, selain mengalami penyimpangan,
ungkapan yang dihasilkan mungkin sekali terlihat lain dari pada yang lain, lain
dari yang biasanya, atau dikatanakan tidak lazim. Namun, sebenarnya istilah
tidak lazim itu tidak harus dalam pengertian menyimpang, melainkan bisa
diartikan belum pernah dipergunakan. Karakteristik inilah yang kaum formalisme
rusia disebut sebagai Deotomatisasi (Deautomatisation) atau Defamiliarisasi
(Defamiliarisation). Istilah ini yang diadaptasi dari kata bahasa inggris
yang dipahami sebagai penyimpangan dari cara-cara penuturan yang biasa, yang
otomatis,rutin,dan wajar. Artinya, menolak cara-cara penuturan yang telah biasa
atau menolak cara yang telah umum, karena sastra adalah sebuah penuturan dengan
cara yang khas. Untuk memperjelas mengenai deviasi. Ada sedikit contoh dalam
puisi khairil anwar yang berjudul "Sajak Putih".
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Dihitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senja
Sepi menyanyi, malam dalam doa tiba
Meriak muoa air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah...
Sebenarnya, seperti pada umumnya puisi-puisi yang lain, puisi
"Sajak Putih" itu "hanya" berbicara tentang cinta, yaitu
cinta suci seseorang sebagaimana disimbolkan lewat judul lagunya. Namun, jika
perasaan cinta itu hanya dikemukakan dengan cara-cara yang biasa, maka tidak menarik
perhatian, tidak puitis, dan tidak ada eksploitasi keindahan, dan efeknya juga
hanya biasa-biasa saja dan terasa kurang mengungkapkan sesuatu yang romantis.
Maka, perasaan cinta secinya itupun diungkapkan dengan cara tidak lazim, tidak
lazim menurut ukuran biasa, tetapi diungkapkan dengan selera keindahan. Jadi
larik-larik dalam puisi tersebut tampak jelas keasliannya. Dan aspek citraan
yang dipilih sangatlah kuat karena larik- larik tersebut terlihat menyimpang
dari tuturan yang wajar dan baku, bahkan sehari-hari pun tidak ada orang
mengungkapkan cinta dengan kata-kata seperti itu. Bahkan, struktur sintaksisnya
juga tidak lazim karena permutasian urutan kata dan baris. Dalam bahasa lazim,
dua larik pertama itu mungkin dituturkan dengan : " sore itu kau ada
didepanku dengan membelakangi pelangi" atau dengan "pada sore yang
indah itu kau berdiri didepanku sambil membelakangi pelangi".
Karakteristik deviasi bahasa sastra berasal dari kaum formalisme
rusia. Mereka berpendapat bahwa adanya penyimpangan dari sesuatu yang wajar
merupakan proses sastra yang mendasar. Penyimpangan dalam bahasa sastra itu
sendiri sebenarnya dapat dilihat secara sinkronik dan diakronik. Penyimpangan
sinkronik adalah penyimpangan dari bahasa sehari-hari, sedang penyimpangan diakronik
adalah oenyimpangan dari karya sastra sebelumnya. Selain itu, perlu juga
dipahami bahwa wujud penyimpangan itu dapat bermacam- macam, mulai dari
penyimpangan leksikal. Struktur, dialek, grafologi. Makna dan lain- lain.
Dan ketika mengeksplorasi bahasa untuk menghasilkan tuturan yang
indah sekaligusmeeakili diri dan perasaannya, pengarang sah- sah saja sengaja
menyimpangi aturan sistem bahasa. Namun, kebebasan itu bukannya tidak terbatas.
Keadaan itu disebabkan bahasa adalah sebuah sistrm tanda yang telah konvensi.
Kata-kata sudah memiliki makna tetentu sehingga tidak lagi benar- benar netral.
Maka, kalaupun terjadi penyimpangan, mesti masih ada benang- benang merah yang
menghubungkannya dengan aturan atau konvensi itu. Jadi jika terjadi
penyimpangan yang ekstrem sehingga struktut dan maknanya tidak dapat dipahami,
itu hanya berakibat karya sastra yang dihasilkan justru tidak terpahami juga.
Konsekuensinya adalah kehadiran karya sastra itu juga menjadi tidak bermakna,
tidak ada signifikansinya.
B. Foregrounding
Jika deviasi dimakna sebagai penyimpangan penggunaan aspek bahasa
dari bahasa yang wajar dan baku, foregrounding dimaknai sebagai pengedepanan,
pengaktualan, pementingan, atau penekanan. Ketika seseorang berbicara tentang
kedua istilah itu sebagai penciri bahasa sastra, ia tidak dapat melepaskan diri
dari tokoh- tokoh formalisme rusia yang meneorikannya seperti Jan Mukarovsky
dan Roman Jakobson.
Salah satu cara untuk memforegrounding-kan penuturan adalah lewat
penegasan berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan baik secara struktur, makna,
maupun tata cara penulisan.
Maka, dapat dikatakan bahwa deviasi itu merupakan cara untuk mengemukakan,
sedangkan foregrounding adalah dampak atau efek yang dihasilkan. Namun,
prinsipnya adalah bahwa adanya bentuk- bentuk penyimpangan itu mesti bermakna,
berfungsi, atau ada signifikansinya, dan tidak asal berbeda. Selain itu, juga
perlu ditambahkan bahwa wujud satuan foregrounding tidak harus berupa
penyimpangan. Foregrounding dapat juga dan banyak ditemukan lewat satuan-
satuan bahasa secara struktur tidak menyimpang.
Bentuk dan makna konvensional bahasa yang dideviasi, di simpangi,
lazimnya akan menjadi terlihat lebih jelas walau hal itu hanya berlaku bagi
seseorang yang mengenali bentuk dan maknanya yang baku. Oleh karena itu
terlihat lebih jelas, satuan bentuk dan makna itu boleh dikatakan menjadi
menonjol dan karenanya lebih terperhatikan, menjadi foregrounding. Pembaca
menjadi lebih terkesan, berhenti sejenak untuk memikirkan dan merasakan,
memperoleh sensasi yang berbeda, dan karenanya muatan makna yang disampaikan
juga menjadi lebih intensif dipahami. Bentuk- bentuk penuturan yang demikian,
sekali lagi, memiliki ciri literariness, ciri kelitereran, dan karenanya
mempunyai efek keindahan.
Pendayaan bahasa sastra lewat foregrounding antara lain terwujud
dalam penggunaan bentuk- bentuk paralelisme dan repetisi, namun dapat juga
lewat berbagai bentuk penyimpangan, pengubahan struktur, permutasian,
enjambemen, dll. Bentuk paralelisme dan repetisi itu sendiri belum tentu berupa
penyimpangan bahasa. Tidak berbeda hal nya dengan deviasi, foregrounding juga
tampan dalam satuan struktur, leksikal, semantis, dan grafologis. Namun, dalam
sebuah karya, hal itu tidak harus dimunculkan dan ditekankan bersama dan
sekaligus. Selain itu, perlu juga dikemukakan bahwa ada intensitas pendayaan
deviasi dan foregrounding dalam genre puisi dan fiksi. Karakteristik bahasa
sastra yang mngandung aspek deviasi dan foregrounding atau sifat
defamiliarisasi itu pada kenyataannya lebih ditunjukkan untuk bahasa puisi
walau itu tidak berarti tidakd apat ditemukan genre fiksi. Karena bentuknya
yang singkat padat, lebih banyak dibuat atraktif agar menarik perhatian dan
cara- cara yang ditempuh adalah lewat pendayaan deviasi dan foregrounding.
Contoh dalam puisi wujud foregrounding benyak dimunculkan lewat
bentuk- bentuk paralelismr dan repetisi terutama repetisi di awal larikvyang
berwujud anafora. Pengulangan leksikal di awal larik jelas untuk menekankan
pentingnya makna kata yang bersangkutan. Bait pertama puisi Emha Ainun Nadjib
yang berjudul "Kapak Ibrahim Hamba".
KAPAK IBRAHIM HAMBA
Dimana kapak ibrahim hamba
Dimana tongkat musa hamba
Dimana wajah yusuf hamba
Dimana dzikir zakaria hamba
Dimana hilang isa hamba
Dimana cahaya muhammad hamba
Takut, kekasih, hamba takut!
Pengulangan kata dimana di awal larik- larik puisi itu yang biasa
disebut anafora yang tampak dominan sehingga mau tidak mau itu pasti menarik
perhatian pembaca dan sekaligus mempertanyakan mengapanya karena diungkapkan
dengan cara yang tidak lazim. Larik- larik itu masih lebih ditekankan lagi
lewat pendayaan gaya paralelisme sehingga selain memperindah penuturan juga
mengindikasikan bahwa makna tiap larik itu sejajar. Semua berupa pencarian aku
(hamba) lirik tentang teladan- teladan atau mukjizat yang dimiliki oleh para
rosul agar juga menjadi miliknya. Jika kehilangan itu semua, aku lirik jelas
ketakutan, takut akan murka tuhan. Lewat pemformagroundingan bentuk-bentuk
foregrounding itu tidak harus berwujud deviasi bahasa.
C. Macam Deviasi
Tidak
berbeda halnya dengan analisis stilistika yang berdasarkan kajian tiap unsur
stile, kajian stilisitka juga dapat dilakukan berdasarkan bentuk-bentuk deviasi
tiap unsur stile. Berdasarkan kemunculan berbagai aspek Bahasa yang dideviasi
itu kemudian sebuah teks, sastra, puisi, dijelaskan tujuan dan fungsi
estetikanya. Intinya, keduanya sama-sama dapat dipakai untuk menjelaskan fungsi
keindahan sebuah stile.
Misalnya,
perulangan bunyi dalam puisi yang menghasilkan persajakan memiliki fungsi
estetis yang jelas karena mampu membangkitkan efek puitis. Namun, dilihat dari
sudut deviasi bunyi-bunyi yang bersajak tersebut belum tentu merupakan suatu
bentuk penyimpangan. Bentuk pengulangan bunyi itu adalah suatu wujud
foregrounding yang selain untuk memperindah bunyi juga untuk menarik perhatian,
dampak psikologis. Jadi, penjelasan tentang persajakan tersebut tampaknya lebih
tepat dilakukan lewat penjelasan fungsi bunyi dalam puisi seperti dibicarakan
didepan. Penggunaan
bentuk-bentuk deviasi. Bertujuan untuk memperoleh efek foregrounding, namun
foregrounding tidak harus diperoleh lewat deviasi.
Tentang
pemunculan Aspek Deviasi
Di atas telah ditunjukkan bahwa Leech (1991:37-40)
mengemukakkan adanya tiga level utama dalam Bahasa, yaitu realisasi bahasa,
bentuk, dan makna masing-masing dengan beberapa unsur di dalamnya. Ketika
seorang penyair mengreasikan stile sesuai dengan kebebasan yang dimilik
sebagaimana tercermin dalam lisensi puitis, kreasi itu akan mencangkup dan
melibatkan ketiga level utama Bahasa tersebut. Dalam kaitan ini lisensi puitis
dapat pula diartikan sebagai penggunaan dan sekaligus hadirnya deviasi Bahasa.
Berbagai aspek Bahasa yang dideviasikan tercakup ke dalam tiga level Bahasa
tersebut. Selanjutnya, Leech mengidentifikasi berbagai aspek deviasi yang
muncul dalam puisi berbahasa inggris. Ia menemukan delapan wujud deviasi, yaitu deviasi
leksikal, gramatikal, fonologi, grafologi, semantik, dialek, register dan
historis. Untuk itu, dibawah akan dibicarakan bentuk-bentuk kemunculan
kedelapan macam deviasi tersebut dalam puisi indonesia. Namun, sebelumnya perlu
dikemukakan hal-hal berikut.
Pertama, satu satuan bentuk bahasa tertentu
dapat ditafsirkan mengalami lebih dari satu jenis deviasi tergantung dari
kriteria yang dipakai. Misalnya, suatu bentuk leksikal dapat dipandang sebagai
deviasi leksikal jika memenuhi kriteria deviasi leksikal. Tetapi, bentuk itu
juga dapat dipandang mengalami deviasi gramatikal (struktur morfologi) jika
memenuhi kriteria deviasi struktur.
Kedua, kemunculan suatu bentuk deviasi perlu
dipertimbangkan efektivitas dan fungsinya dalam konteks teks yang bersangkutan.
Ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk maksud itu, yaitu sebagai
berikut.
a. Kemunculan
suatu bentuk deviasi dapat dinilai bermakna atau signifikan jika pengguna
bentuk itu lebih tepat dari pada bentuknya yang baku.
b. Kemunculan
suatu bentuk deviasi dapat dinilai bermakna atau signifikan jika bersama dengan
unsur puisi yang lain mendukung makna yang ingin disampaikan.
c. Kemunculan
suatu bentuk deviasi dapat dinilai bermakna atau signifikan jika penggunaan
bentuk deviasi itu mampu memberikan dampak psikologis kepada pembaca untuk
memberikan perhatian yang lebih baik.
d. Kemunculan
suatu bentuk deviasi dapat dinilai bermakna atau signifikan jika penggunaan
bentuk deviasi itu mempunyai fungsi estetis atau mampu memberikan dampak
keindahan.
1. Deviasi Leksikal
Deviasi Leksikal adalah suatu bentuk
penyimpangan yang terjadi pada aspek leksikal, kata, atau diksi. Suatu bentuk
leksikal dipandang sebagai bentuk deviasi jika bentuk itu mengalami
penyimpangan makna dari makna konvensional baku sebagaimana terlihat dalam
kamus. Munculnya bentuk deviasi itu antara lain ditandai oleh proses morfologi
yang masih problematis, kata bentukan baru, neologisme (Leech, 1991:42). Bentuk
(kata) tanpa makna atau tidak ada dalam kamus, dan lain-lain. Contoh deviasi
Leksikal dapat berupa “kata-kata” tanpa makna atau tidak temukan dalam kamus “kata-kata“ semacam itu bisa jadi merupakan ciptaan penyair untuk memperoleh
efek bunyi tertentu dan menghasilkan kesan atau dampak psikologis tertentu pada
pembaca. Contoh pada puisi Indonesia yang terkenal adalah puisi-puisi Sutardji
Calzoum Bachri dalam kumpulan puisi O Amuk, Kapak (1981) dan juga puisi-puisi
Ibrahim Sattah.
2. Deviasi
Fonologi
Deviasi Fonologis adalah bentuk penyimpangan Bahasa yang terdapat
pada aspek fonologi. Suatu bentuk fonologi dipandang sebagai bentuk deviasi
jika bentuk itu mengalami penyimpangan dari bunyi Bahasa yang wajar dan baku.
Pada awal mula semua bahasa di dunia ini berupa bunyi, lambing bunyi, system
bunyi. Baru setelah ditemukan system penulisan, kemudian dikenal adanya bahasa
tulis. Bahasa tulis tidak lain adalah system symbol untuk mewakili system bunyi
tersebut, maka bagaimanapun, bahasa lisan yang berupa bunyi tetap saja menjadi
yang utama.
Deviasi fonologis dapat berupa penggunaan bunyi-bunyi tertentu,
tetapi ia tidak memiliki makna konvensional seperti lazimnya bunyi Bahasa, atau
adanya penggantian fonem tertentu dalam sebuah kata sehingga terjadi perubahan
bunyi. Contoh, Deviasi fonologis yang lain yang mirip contoh tersebut adalah
juga munculnya deretan huruf tertentu, baik huruf-huruf yang sama atau berbeda,
namun deretan huruf itu tidak memiliki makna konvensional. Jika dibaca dengan
nada suara yang sesuai, bunyi-bunyi huruf tersebut dapat membangkitkan suasana
tertentu, misalnya suasana magis. Hal ini mirip dengan penggunaan tiruan bunyi
alam (onomatope) yang tidak jarang ditemukan dalam puisi. Penggunaan deretan
huruf yang dimaksud, misalnya ditemukan dalam puisi Angin Danau karya Sitor
Situmorang dengan judul “Borobudur Sehari”.
3. Deviasi
Gramatikal
Deviasi Gramatikal melibatkan dua aspek
struktur, yaitu struktur morfologi dan sintaksis.
Walau sama-sama aspek gramatikal, dalam berbagai pembicaraan tentang tata
bahasa, keduanya biasanya dibicarakan secara terpisah. Hal ini dapat dipahami
karena kedua struktur tersebut sebenarnya cukup kompleks permasalahannya. Walau
demikian, contoh kasus dalam teks-teks puisi, keduanya dapat ditemukan dalam
puisi atau bahkan dalam larik yang sama.
a. Deviasi
Morfologis
Deviasi
morfologis terkait dengan struktur morfologi, tata bentukan kata, dalam sebuah
bahasa. Suatu bentuk morfologi dipandang sebagai suatu bentuk deviasi jika
bentuk itu mengalami penyimpangan dari kaidah struktur morfologi yang baku.
Contoh deviasi morfologis yang terkait dengan penghilangan atau sebaliknya
penambahan bentuk afiksasi dapat dilihat pada puisi Khairil Anwar yang telah
berkali-kali dibicarakan sebelumnya, yaitu puisi “Isa“. Pada bait pertama puisi itu dapat dilihiat bentuk yang dimaksud.
- Itu
tubuh
mengucur darah
mengucur darah
Dalam Bahasa Indonesia terdapat bentuk kata
mengucur dan mengucurkan. Namun, dalam konteks struktur sintaksis larik puisi
itu, bentuk morfologi kata mengucur itu seharusnya adalah mengucurkan keadaan
ini disebabkan dalam struktur sintaksis larik itu, kata kerja mengucur mendapat
objek, yaitu darah. Deviasi morfologi bentuk mengucur dari yang seharusnya
mengucurkan tersebut tampak mempunyai dapat psikologis pembaca.
b. Deviasi
Sintaksis
Deviasi Sintaksis terkait dengan struktur
sintaksis, tata bentukan kalimat, dalam sebuah bahasa. Suatu bentuk struktur
sintaksis dipandang sebagai bentuk deviasi jika bentuk itu mengalami
penyimpangan dari kaidah struktur sintaksis bahasa yang baku. Dilihat dari
satuan bahasa yang terlihat, struktur sintasis yang besar dan komples dari pada
strutktur morfologis, maka kemungkinan terjadinya penyimpangan juga lebih
beragam dan komples. Deviasi sintaksis dapat berupa permutasi (pengembalikan
susunan) unsur kalimat, unsur kalimat tidak lengkap, struktur tidak gramatikal,
tidak kohesif, tidak koherensif dan lain-lain. Contoh. Dalam teks-teks puisi yang mengalami deviasi gramatikal,
deviasi struktue sintaksis dan morfologis ridak jarang ditemukan Bersama.
Misalnya, pada bait puisi “Isa” di atas yang berbunyi /menguncur darah/,
sebenarnya dapat juga dipandang sebagai sebuah bentuk deviasi sintaksis jika
bentuk mrngucur itu dianggap menyimpang karena penghilangan akhiran -kan, itu
adalah penyimpangan morfologis. Wujud penyimpangannya adalah permutasi unsur
kalimat yang berpola subjek-predikat sehingga menjadi predikat-objek. Kata mengucur adalah kata kerja intransitif,
maka tidak membutuhkan objek.
4. Deviasi
Semantis
Deviasi Semantis adalah bentuk penyimpangan Bahasa yang terdapat
pada semantic. Makna suatu penuturan dipandang sebagai bentuk deviasi jika
struktur sintaksis yang mengandung makna itu mengalami penyimpangan dari makna
konvensional sebagaiman yang terdapat di dalam kamus atau makna actual, makna
denotatif. Peengertian deviasi semantic mungkin tumpeng tindih dengan deviasi
leksikal, tetapi deviasi semantic lebih menunjuk pada penyimpangan makna pada
struktur sintaksis dan bukan sekedar kata seperti pada deviasi leksikal. Contoh
deviasi semantic sebetulnya secara tidak langsung sudah secara intensif
dibicarakan di depan pada pembicaraan tentang permajasan.
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda.
Makna keempat larik puisi itu jelas tidak
menunjuk makna konvensional- denotative seperti ditunjuk dalam kamus. Makna
larik-larik itu telah sengaja dibuat menyimpang dari makna tersebut.
5. Deviasi
Grafologis
Deviasi Grafologis adalah bentuk penyimpangan
Bahasa yang terdapat pada unsur ejaan dan tanda baca, grafologi. Suatu bentuk
penulisan dipandang sebagai bentuk deviasi grafologi jika penulisan itu
mengalami penyimpangan dari cara-cara penulisan yang konvensional dan baku.
Contoh, berbagai puisi yang dicontohkan untuk berbagai pembicaraan di atas,
pada umumnya juga mengandung unsur deviasi grafologis yang menyangkut penulisan
huruf, kata, tanda baca, atau gabungin diantaranya. Misalnya, bait pertama
puisi “Isa“ sebenarnya juga mengandung deviasi grafologis.
6. Deviasi Dialek
Deviasi Dialek adalah bentuk penyimpangan
Bahasa yang terdapat pada unsur dialek. Sebuah puisi dipandang memiliki
penyimpangan dialek jika puisi tersebut mengandung unsur dialek tertentu.
Dialek itu sendiri dapat dipahami sebagai adanya perbedaan variasi bahasa yang
disebabkan oleh penutur. Di pihak lain, penutur dapat berbeda-beda dilihat dari
asal geografis, lingkungan sosial, dan keduanya dapat memunculkan dialek yang
berbeda. Munculnya dialek karena faktor geografis disebut sebagai dialek regional,
sedang yang karena faktor sosial disebut faktor sosial. Contoh, Puisi-puisi
yang bernada dan bernuansa serius terlihat jarang memunculkan unsur dialek,
namun puisi-puisi yang bernadasantai dan humoris banyak memanfaatkan unsur ini.
Selain Darmanto Jatman, Linus Suryadi juga banyak memasukkan unsur dialek dalam
puisi-puisinya
7. Deviasi
Register
Deviasi Register adalah bentuk penyimpangan
bahasa yang terdapat pada unsur register. Register tidak lain adalah ragam
bahasa. Sebuah puisi dipandang memiliki penyimpangan register jika puisi
tersebut mengandung unsur register atau ragam bahasa lain di dalamya. Ragam bahasa itu dapat berwujud ragam ilmiah, ragam pers, ragam
surat, dan lain-lain termasuk ragam bahasa sastra.
Jadi, dalam pengertian ini diperjuangkannya berbagai ragam Bahasa lain selain
ragam Bahasa sastra ke dalam teks-teks sastra khususnya puisi. Contoh,
penggunaan bentuk dialog dalam puisi tidak sedikit dijumpai dalam puisi-puisi
Indonesia. Puisi “Marto
Klungsu dari Leiden” diatas juga menghadirkan dialog atau kata-kata Den Jeng
Gung , ayah Marto Klungsu, yang juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk
deviasi register.
8. Deviasi
Historis
Deviasi Historis adalah bentuk penyimpangan
Bahasa yang berwujud penggunaan kata-kata arkais. Kata arkais dapat diartikan
sebagai sesuatu hal yang berhubungan dengan masa dahulu atau berciri kuno, tua.
Dan arkais sendiri berasal dari bahasa yunani. Sebuah puisi atau teks
kesastraan pada umumnya memakai kata-kata yang umum dipakai pada masanya, masa
ketika puisi itu ditulis. Contoh. Penyair indonesia modern dikenal banyak mempergunakan kata-kata
arkais adalah Amir Hamzah. Dia juga dikenal amat piawai menggabungkan unsur
lama, kata-kata arkais, dengan unsur baru, kata-kata yang kini lazim dipakai.
Misalnya, dalam salah satu bait puisi “ Berdiri Aku” yang telah dicontohkan
sebelumnya, mengandung kata arkais sebagai berikut
Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
Kata leka pada
bait itu adalah contoh kata arkais yang berarti lengah atau lalai. Kata itu
kini sudah jarang dipegunakan dalam kegiatan berbahasa. Secara keseluruhan
puisi itu berisi deskripsi keadaan alam. Penggunaan kata arkais leka itu
tempaknya untuk memperkuat unsur persajakan, yaitu sajak alirasi.
Langkah
Kajian Aspek Deviasi
Sama halnya dengan langkah kajian unsur-unsur stile pada bab-bab
sebelumnya, berikut proses kajian aspek deviasi
A. Tujuan
kajian stilistika adalah untuk mengapresiasi keindahan teks-teks yang dikaji
baik beupa teks puisi, fiksi, atau yang lain. Keindahan sebuah teks tidak
jarang justru diperoleh lewat bentuk-bentuk penyimpangannya dari Bahasa yang
baku.
B. Identifikasi
berbagai aspek deviasi pada teks-teks yang telah ditetapkan dan diketahui
mengandung unsur deviasi. Identifikasi dilakukan terhadap berbagai bentuk
penyimpangan yang ditemukan yang semuanya berjumlah delapan buah.
C. Deskripsikan
hasil telaah-identifikasi langkah kedua yang sudah dilakukan pada aspek
deviasi. Langkah ini tidak berbeda halnya dengan penyajian data hasil kajian.
D. Jelaskan
dan tafsirkan fungsi bentuk-bentuk deviasi itu dalam perannya untuk
membangkitkan efek keindahan. Intinya perlu dijelaskan ketepatan atau
sebaliknya ketidaktepatan penggunaan berbagai bentuk deviasi atau peran
fungsionalnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Stilistika, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Susanto Agus, Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Unisma, agussusanto123451@gmail.com. 22 April 2020