Seharusnya aku sudah meninggalkannya. Meninggalkannya memang
karena segala yang terjalin kini sudah terurai. Lalu aku menyembuhkan lukaku
sendiri, dan dia menyembuhkan lukanya. Karena kami tidak lagi di jalan yang
sama.
Setiap perjumpaan diakhiri dengan perpisahan. Sekitar sebulan lalu kami berjumpa
dan kini waktunya berpisah. Masa selama di dalam kebersamaan mulai saya kemasi,
untuk disimpan di dalam kotak kenangan. Suka duka di masa singkat itu tak
berarti lagi, melainkan sebagai pelajaran di kelak hari.
Seharusnya kami sudah mulai jauh-menjauhi. Aku mencari jalan
hidupku sendiri, dan ia mencari jalan hidupnya. Ibarat sebatang pohon, kami
adalah pohon yang ditumbangkan oleh tukang kayu menjadi dua bagian. Lalu aku
bisa saja menjadi almari dan ia menjadi meja atau kursi. Dan tentu kami tidak
bisa bersama lagi, kalau pun suatu saat nanti bertemu mungkin hanya mampu
bertegur sapa.
Mendung yang menjadi saksi kebersamaan kami pun sudah
mencair dan turun ke selokan dan sungai menuju ke lautan. Rumput-rumput kuning
yang menjadi saksi kebersamaan kami sudah musnah, tergeser oleh rerumputan
hijau yang tumbuh dengan angkuh. Debu-debu yang menjadi saksi kebersamaan kami,
sudah terseret arus hujan dan hanya menyisakan genangan. Seharusnya lengkap
sudah untuk sebuah akhiran.
Di saat seperti ini, dia menghubungiku lagi. Ia mengatakan
bahwa apa yang menjadi keputusan minggu lalu adalah hasil dari keputusan
sebelah pihak. Dia di posisi sangat tertekan. Di satu sisi ia sebagai anak yang
harus patuh pada orang tua, dan di sisi lain ia sebagai seorang remaja
mempunyai keinginan dan cita-cita, serta harapan-harapan yang disukainya
menurut kecenderungan hatinya sendiri.
Ia mengeluh dan mengaduh kepadaku. Air matanya mengucur,
senyumnya terkubur. Bagaimana mungkin bisa hidup dalam keluarga sebagai suami
istri dengan orang yang tidak dicintainya. Ia ingin mengungkapkan isi hatinya
kepada orang tua. Dia meminta pertimbangan-pertimbangan dariku, dan aku mulai
berpikir.
Semenjak ia mengatakan bahwa ibunya pernah bilang, “Kamu
bertemu dia (aku) sudah dewasa, dia tidak tau bagaimana kamu saat kecil. Sedang
aku, aku tau bagaimana saat kamu kecil, maka ikutilah nasehatku”. Sejak ia
menyampaikan kata itu,
harapanku untuk bersama dia sudah pupus. Ibunya menyetujui laki-laki lain yang
sudah sukses dari segi ekonomi. Bagiku itu adalah ungkapan paling puncak
sebagai permohonan orang tua kepada anaknya.
Ridho Tuhan terdapat di dalam ridho orang tua, dan kemurkaan
Tuhan ada di dalam kemurkaan orang tua. Sebagai pengasuh utama setiap anak,
orang tua mempunyai posisi penting dalam kehidupan anak. Menentang orang tua
hampir sama dengan menentang Tuhan. Hal inilah yang membuat setiap kata yang
diucapkan orang tua kepada anaknya menjadi kata-kata yang mujarab. Kutukan
maupun do’anya seakan selalu membayangi anak dalam kehidupannya. Maka
mengungkapkan isi hati yang bertentangan dengan kehendak orang tua haruslah
berhati-hati. Karena jika orang tua marah, marahlah Tuhan.
Pertama-tama yang saya lakukan adalah mendinginkan dan
melipurnya. Dari pernyataan-pernyataan sebelumnya saya bisa tau kalau dia
adalah seorang yang keras dengan pendiriannya, keras dengan
keinginan-keinginannya. Maka jika tidak diredakan terlebih dahulu, pertentangannya
dengan ibu bisa meledak menjadi sebuah pertempuran, dan hal ini bisa
membahayakan bagi kehidupannya kelak.
Saya memberikannya terlebih dahulu pengertian bahwa hidup
bersama siapa saja sama. Sama saya baik, sama laki-laki pilihan ibu juga baik.
Semua kebaikan itu sama. Sama-sama membahagiakan. Hanya saja perlu kebiasaan
dan pembiasaan. Cinta itu adalah anak kebudayaan, kata Pramoedya Ananta Toer,
ia bukan batu yang jatuh dari langit. Artinya bahwa cinta itu bisa tumbuh
karena kebiasaan dan interaksi budaya yang intens. Jika ia pun nantinya harus
hidup dengan pilihan ibu, maka mungkin sekali akan tumbuh cinta meski untuk
sekarang ini tidak ada rasa cinta sama sekali.
Di samping
memberikan pengertian itu aku merintih teriris-iris oleh kata-kataku sendiri.
Bukannya aku juga dalam gelora cinta padanya. Siapa yang tidak menginginkan
memiliki apa yang dicintainya dan yang disayanginya. Aku berpura-pura tegar
dihadapannya. Aku tersenyum bahkan tak jarang tertawa terbahak, namun itu semua
sebagai tangisan yang aku paksakan menjadi tawa. Aku menertawakan kengerian akan
keterpisahan dengan kekasihku, di depan kekasihku sendiri.
Setelah
memberikan pengertian itu aku berusaha mendorong dia untuk mengungkapkan isi
hatinya kepada ibunya. Dan dengan samar menolak keinginan ibunya. Melawan
dengan sehalus-halusnya perlawanan. Menolak dengan halus pewujudannya adalah
dia mengungkapkan isi hatinya dengan
menolak apa yang dikehendaki ibunya. Di saat-saat seperti itu pasti akan
terjadi perdebatan hebat. Maka tatkala ibunya mulai marah dan mengomel, saya
anjurkan untuk segera meninggalkannya tanpa mengeluarkan sepatah kata.
Dari
ceritanya aku bisa menangkap bahwa ibunya memilih lelaki itu tidak hanya karena
kemapanannya secara ekonomi, akan tetapi ada hal lain yang lebih besar. Apakah
hal itu. Hal itu membuat saya berpikir seribu kali. Mencermati setiap yang
terjadi mulai aku mengenalnya hingga saat ini.
Saya jadi
merasa bersalah ketika pertama kali kami bertemu di taman kota hingga larut
malam. Jalan bareng yang kami rencanakan berakhir sampai jam setengah sembilan,
kenyataannya kami pulang hingga jam setengah sepuluh malam. Sudah saya ingatkan
sebenarnya saat jarum jam menujukkan pukul setengah sembilan. Namun ia masih
ingin menikmati malam denganku, jam Sembilan juga aku ingatkan, namun lagi-lagi
ia menolak untuk segera kembali. Jam setengah sepuluh kami baru bisa sampai ke
rumah dia.
Karena saya
merasa bertanggungjawab mengajaknya keluar, maka saya pun malam itu
memperkenalkan diri dengan ibunya untuk pertama kalinya. Sebuah perkenalan di
waktu yang tidak tepat. Jam setengah sepuluh malam, dan dengan kondisi baru
pulang dari taman kota. Saya benar-benar tidak berpikir sampai di situ. Saya
terlalu terlena oleh gelora cinta yang bersinar terang hingga menyilaukan
segalanya.
Kesalahan
kedua adalah ketika saya mengajaknya keluar untuk berbelanja buku. Meski dengan
izin ibunya, saya tetap merasa bersalah. Saya terlalu berani dan sembrono.
Membawa pergi dia begitu saja, lalu mengembalikannya ke rumah, bukankah itu hal
yang tidak etis. Terlebih saat orang tuanya berada di rumah.
Adalah dua
kesalahan itu yang menurutku membuat ibunya mungkin tidak suka denganku dan
memilih laki-laki lain untuk dia. Saya sudah meminta maaf, tapi sepertinya
sudah terlambat. Saya sudah tidak mungkin silaturrahmi ke rumahnya, lantaran
saat-saat ini sedang masa rundingan antara keluarga dia dengan keluarga lelaki
pilihan ibunya. Saya hanya bisa meminta maaf dengan perantara dia, untuk
menyampaikannya kepada ibunya. Namun tetap tidak efisien karena suasana antara
mereka sedang memanas. Bahkan saya belum yakin dia benar-benar sudah
menyampaikan permintamaafan saya itu.
Semua sudah
terjadi, dan kecerobohan saya membawa segalanya berantakan. Saya terlalu
tersilaukan oleh gelora cinta, maka saya tidak lagi mengikuti hukum adat yang
masih berlaku dalam masyarakat yaitu papan empan. Saya seharusnya sadar diri
bahwa dengan posisi saya. Saya berada di keluarga yang baru saya kenal.
Seharusnya saya tidak berbuat melampaui batas. Seharusnya saya tahu dulu
bagaimana karakter keluarganya, untuk bisa bersikap dan berbuat sesuai yang
berlaku di dalam keluarga itu. Lagi-lagi etika dan norma.
Sebenarnya
aku dilahirkan di iklim keluarga yang normatif. Lalu aku disekolahkan juga di
kawasan normatif yang kental dengan etika dan norma. Hingga saat meneruskan ke
perguruan tinggipun saya tinggal di kawasan kental dengan norma. Tapi interaksiku
dan norma dengan waktu yang berpuluh tahun itu tidak memberikan pengaruh yang
besar tentang norma dalam diri saya. Norma membuat saya selalu tidak nyaman.
Norma selalu membuat saya menjadi pembohong. Tidak alami dan terkesan
dibuat-buat.
Karena saya
terlalu mengacuhkan norma, dan mengikuti kata hati saja, saya pun menjadi
mengerti bahwa norma dan etika sangat mempengaruhi hidup kita, terutama citra
kita dalam keluarga, terlebih dalam kehidupan masyarakat. Saya menyesal sekali berbuat yang demikian.
Menjadikan apa yang saya impikan dan hampir mendapatkannya, tapi kini menuai
kendala yang tidak bisa diremehkan. Ini adalah pengalaman yang berharga, dan
yang bisa kulakukan hanyalah berdo’a agar segala keputusan menjadi yang terbaik
bagi semua pihak.