Hidup di dunia ini sekali saja.
Sungguh merugi kalau tidak bahagia. Dan kebahagiaan itu ada di dalam diri kita.
“Lho, lantas di mana posisi Tuhan? Bukankah Tuhan itu yang membawa dan memberi
kebahagiaan bagi manusia?,” suatu ketika temanku bertanya. Ya, itu benar.
Bahkan Tuhan menyiapkan kesedihan dan kebahagian secara bersama-sama.
Kebahagian dan kesedihan ada di setiap hati manusia. Kalau kamu memilih
bahagia, tentu kamu harus memilih jalan yang benar.
Aku pun memilih jalan yang benar
tentang cinta. Semenjak suka pada wanita, aku selalu berusaha untuk tidak
menyakitinya. Berucap dengan ucapan apa adanya, tidak pernah menggunakan
perumpamaan-perumpamaan yang membubung ke langit tinggi. Atau kalimat-kalimat
manis yang dimaksudkan supaya seorang wanita tertarik padaku. Karena menurutku
itu semua adalah kemunafikan. Kenapa, saat di depan yang kita sayangi, suara
kita lantas berubah menjadi lirih. Dimerdu-merdukan, seakan kita wibawa, sedang
saat berbicara dengan orang di luar kepentingan kita, suara hanya biasa-biasa
saja. Bahkan terkesan acuh dan apatis.
Aku lebih suka mengubah isi daripada
bungkus. Ketika aku berbicara dengan seorang petani, aku pun membawa tema-tema
tentang bercocok tanam dan irigasi. Ketika aku berhadapan dengan polisi, aku berbicara
tentang keamanan, kriminal, dan sekitar itu. Begitu pula saat aku berada di
sisi orang yang aku sayangi, aku akan berbicara tentang harapan-harapan ke
depan, keinginan yang ingin dicapai, dan model keluarga yang didambakan.
Pembicaraan-pembicaraan itu dengan nada yang sama, tidak lebih halus antara
satu sama lainnya.
Di sisi lain, aku lebih suka
melakukan sesuatu ketimbang membicarakan sesuatu. Memberi kekasih bunga,
mengantar kuliah, mentraktir, bagiku itu lebih jujur ketimbang ucapan sayang,
rindu, madu, manis, cantik dan lainnya. Bukan berarti tak pernah berucap, hanya
saja dominasi perbuatan lebih banyak ketimbang ucapan.
Agak aneh memang ketika ada gagasan
bahwa bicara dapat mengubah hidup seseorang. Begitu juga ada teori kesantunan
berbahasa, yang mana lebih dititikberatkan pada perubahan nada dan intonasi
dalam percakapan saat kita menghadapi perubahan objek pembicara yang berbeda.
Bagaimana harus bicara dengan orang tua, bagaimana bicara dengan istri,
bagaimana bicara dengan tetangga, teman dan lain sebagainya dengan intonasi
yang berbeda-beda. Saya berbicara di manapun, dengan siapa pun, kapan pun,
dengan nada sama. Tidak halus juga tidak kasar, tapi perpaduan antara keduanya.
Kejujuran akan cintaku itu ternyata
membuahkan hasil yang luar biasa. Saya sekarang sudah punya seorang istri
cantik dan tiga anak. Anak pertama laki-laki, saya beri nama Sabit. Anak kedua
perempuan saya beri nama Putri. Dan anak ketiga laki-laki, saya beri nama
Rimbun. Pekerjaan saya juga mapan, menjadi dosen di sebuah universitas dan
mempunyai usaha kedai Sop Buah. Dua sumber rejeki itu lebih dari cukup untuk
sekadar menghidupi lima anggota keluarga kami. Bahkan masih bisa menyisihkan
untuk mendirikan pusat belajar masyarakat sekaligus pusat bermain anak-anak di
kampung kami.
Saya juga masih bisa menyempatkan
untuk mengunjungi tempat-tempat wisata pada akhir bulan. Bulan kali ini saya
dan keluarga mengunjungi Pantai Karanggongso di daerah Trenggalek. Pantai yang
saya anggap paling aman untuk bermain anak-anak. Karena tepi pantainya terdapat
perairan dangkal sekitar tiga ratus meter ke tengah laut. Pasirnya putih, dan
karang-karang tajam sangat jarang sekali. Ketiga anak kami bermain air, dan
yang paling besar, Sabit, selain bermain juga bertanggungjawab menjaga adik-adiknya.
Sedang saya dengan istri mengamati mereka dari kejauhan sambil duduk-duduk
santai di atas pasir dibayangi nyiur daun kelapa.
“Pa, lihatlah anak-anak kita yang
lucu-lucu itu, apa perlu ditambah lagi?” Istri saya tiba-tiba bertanya sembari
membelah buah semangka di atas tikar. Bayangan daun kelapa bergerak-gerak di
atasnya.
“Emm, mengalir saja. Seandainya
dikaruniai lagi, baik juga.” Saya menjawab diplomatif.
“Pa, apa anak-anak itu termasuk
kebahagiaan yang paling besar?”
“Ya, tentu donk.” Kami diam sejenak
dan memandang anak-anak kami yang sedang bermain air laut. Sesekali
teriakan-teriakan kecil meloncat-loncat di antara riak ombak.
“Kalau istri seperti aku ini?”
Tiba-tiba istriku mengarahkan pertanyaan tentangnya. Seperti anak-anak yang tak
mau kalah saja. Saya terhenyak sebentar. Aku pandang istriku, ia juga
memandangku dan tersenyum.
“Istri yang baik, dan anak-anak yang
baik adalah kebahagiaan yang besar.” Aku pun menjawabnya dengan tulus. Memang
karena keduanya merupakan anugerah yang tiada tandingannya.
Ia tertawa kacil, lalu mendekatiku
dan menyodorkan irisan-irisan semangka di atas piring. Warnanya merah sekali,
dengan biji-biji putih sebagai ciri khas semangka tanpa biji. Aku mengambil dan
mulai mengunyahnya. Mencecapnya dalam-dalam, merasakannya, apakah ada pahit di
tengah rasa manisnya. Karena, kalau ada pahitnya, itu kemungkinan besar rasa
manis buatan yang disuntikkan oleh petani buah, yang bisa memicu kangker.
“Pa, bagi papa apa yang menjadi
kebahagiaan terbesar dalam hidup ini?” istriku bertanya sambil mengunyah
semangka juga. Semangka yang ada di mulutku segera kutelan dan segera kulupakan
tentang pemanis buatan yang banyak disuntikkan petani.
“Istri yang cantik dan baik, dan
anak-anak yang lucu-lucu dan baik.”
Istriku tertawa seakan ini hanya
lelucon saja. Aku melanjutkan mengunyah semangka. Pandangan kami tertuju pada
anak-anak yang riang bermain ombak.
“Pa, laki-laki itu pandai menyimpan
rahasia.”
“Mmm, apa iya?” Aku menjawab
sekenanya.
“Dan setiap lelaki pasti punya
rahasia dalam hidupnya.” Ia melanjutkan kalimatnya. Aku terus mengunyah
semangka.
“Kalau rahasia terbesar dalam hidup
papa, apa?”
Aku berhenti mengunyah semangka.
Kurasakan pertanyaan itu tidak sekadar iseng belaka. Suasana menjadi kaku,
istriku diam begitu juga dengan aku.
“Ah, masa iya setiap lelaki
mempunyai rahasia. Terlebih laki-laki seperti aku ini. Semua sudah aku
ceritakan padamu saat kita kenal dulu. Tentang apa pun.” Aku menjawabnya dengan
sedikit membuat pertanyaannya seakan tidak penting untuk ditanyakan.
“Hatiku mengatakan bahwa papa
mempunyai rahasia yang besar, yang masih tersimpan saat ini. Sebagai lelaki
pada umumnya.” Ia meyakinkan bahwa memang aku harus menyampaikan sesuatu
untuknya.
Aku mencoba untuk tetap tenang.
Menikmati hijau air laut yang berdasar pasir putih di bagian paling tepi
daratan. Lalu berwarna kebiruan di bagian dalam. Sesekali kupandangi jauh titik
hilang lautan, dan kurasakan keluasan ciptaan Tuhan.
“Ayolah pa, apa rahasia terbesar
papa?” Ia berkata sembari merangkul pundakku. Memintanya dengan manja.
“Yang namanya rahasia itu, kan tidak
seharusnya untuk dibocorkan.” Aku menjawab sekenanya.
“Nah, itu ’kan, punya rahasia ’kan.
Ayolah, pa!” Jawabanku seperti menyudutkanku sendiri. Seperti senjata makan
tuan, aku pun tak bisa mengelak lagi.
“Biar tersimpan sajalah.” Aku
kehabisan kata-kata. Kalimatku itu telah mendakwa bahwa aku memang punya
rahasia yang hingga sekarang belum diketahuinya.
“Ayolah, pa!” Ia terus memaksa. Ya
seperti itulah istriku. Kemauannya tidak bisa ditangguhkan.
“Tapi mama harus janji tidak boleh
marah.” Aku mulai membuat kesepakatan.
“Ya, siap,” kalimatnya begitu
mantap.
Aku pun meraba-raba kembali masa
lalu, di mana aku masih muda dan perkasa. Pertama kali aku jatuh hati pada
seorang gadis di SMA. Namun pada cinta pertama itu aku menuai kegagalan. Dua
kali aku menyatakan cinta, dua kali juga aku ditolak. Nilai saat itu terjun
bebas. Dari peringkat lima besar menjadi peringkat dua puluh besar sekelas.
Cinta kedua tumbuh saat kuliah, di
mana aku sangat mengagumi seorang gadis kota. Wajahnya enerjik, tubuhnya
sintal, dan tangkas. Berbagai upaya aku berusaha mendekatinya, tapi lagi-lagi
aku belum berhasil menyentuh hatinya. Aku mundur dengan pelan, dan memulai
membangun cinta lagi begitu seterusnya.
Cintaku meloncat dari hati ke hati,
dari peristiwa ke peristiwa. Namun selalu gagal. Tak terhitung berapa banyaknya
gadis yang aku sukai. Dan tak terhitung pula berapa kali aku dicampakkan. Dan
setiap kegagalan aku mencari penyebabnya. Hingga berjilid-jilid buku tentang cinta
aku khatamkan, dan bermalam-malam aku berdiskusi dengan orang yang sudah
berpengalaman tentang itu. Namun aku tetap gagal juga.
Teman-teman selalu mengejekku.
Jomblo seumur hiduplah, jodoh sudah matilah, dan banyak lainnya. Namun ada
ejekan yang selalu membuatku bahagia, menurutnya aku ini dijaga oleh Tuhan,
dijaga dari perbuatan yang kurang baik sekali pun, seperti berpacaran. Tapi
ejekan itu pun diakhiri dengan hal yang tidak mengenakkan, yaitu dijaga Tuhan
sampai mati. Artinya aku pun tak bakal mendapatkan gadis mana pun sampai ajal
menjemputku.
Hingga suatu pagi yang basah, aku
terlalu menikmati bau tanah sisa hujan malam hari. Hening sekali, barangkali
burung-burung belum mengoceh lantaran masih menggigil kedinginan. Kuhirup udara
dalam-dalam. Kunikmati setiap lekuk pepohonan dari keremangan kabut pagi. Jalan
yang berupa tanah bercampur air membuat laju vespaku tidak stabil. Hingga aku
terpeleset dan menyenggol seorang gadis yang berjalan dari arah berlawanan.
Dari peristiwa itu aku mengenalnya. Ia adalah istriku yang sekarang ini, dan
dengannya aku dikaruniai 3 orang anak.
“Itu hanya masa lalu, ma. Dan saya
yakin setiap orang memiliki perjalanan asmara yang serupa,” aku menyudahi
sebuah rahasia pada istriku.
“Ooo... rahasia terbesar papa
ternyata aku bukan yang terutama.” Istriku berkata dengan nada kecewa. Raut
wajahnya juga tak bersahabat.
“Ma, tadi ’kan mama sudah
janji.....,” kata-kataku terhenti. Percuma, ia sudah ngeloyor pergi menuju
anak-anak dengan membawa irisan-irisan semangka di atas piring.
Aku pun kembali menghirup
dalam-dalam angin pantai Karanggongso. Kulihat lagi lautan yang luas, dengan
ombak kecil yang melempar sebuah batok kelapa ke tepi. Kemudian menariknya
kembali ke lautan, sambil kuingat-ingat lagi rahasia yang lebih besar yang
belum pernah kuceritakan kepada istriku maupun orang lain. Barangkali memang
laki-laki itu penyimpan rahasia sejati.***