Senin, 22 November 2021
Jamak dan Qashar
Senin, 21 Juni 2021
Mata yang Enak Dipandang Karya Ahmad Tohari
Di bawah matahari pukul satu siang, Mirta berdiri di seberang jalan depan stasiun. Sosok pengemis buta itu seperti patung kelaras pisang; kering, compang-camping dan gelisah. Mirta merekam lintang-pukang lalu lintas dengan kedua telinganya. Dengan cara itu pula Mirta mencoba menyelidik di mana Tarsa, penuntunnya, berada. Namun, Mirta segera sadar bahwa Tarsa memang sengaja meninggalkan dirinya di tempat yang terik dan sulit itu. Memanggang Mirta di atas aspal gili-gili adalah pemerasan dan kali ini untuk segelas es limun. Tadi pagi Tarsa sengaja membimbing Mirta sedemikian rupa sehingga kaki Mirta menginjak tahi anjing. Mirta boleh mendesis dan mengumpat sengit. Tapi Tarsa tertawa, bahkan mengancam akan mendorong Mirta ke dalam got kecuali Mirta mau memberi sebatang rokok. Sebelum itu, Tarsa menolak perintah Mirta agar ia berjalan agak lambat. Perintah itu baru dipenuhi setelah Mirta membelikannya lontong ketan.
Kamis, 17 Juni 2021
Pembagian Hadis dari Segi Kuantitas Sanad
Hadis Ditinjau dari Segi Kuantitasnya
A. Pengertian Hadis Mutawatir
Secara etimologi, kata mutawatir berarti : Mutatabi’ (beriringan tanpa
jarak). Dalam terminologi ilmu hadits, ia merupakan hadits yang diriwayatkan
oleh orang banyak, dan berdasarkan logika atau kebiasaan, mustahil mereka akan
sepakat untuk berdusta. Periwayatan seperti itu terus menerus berlangsung,
semenjak thabaqat yang pertama sampai thabaqat yang terakhir. Dari redaksi lain
pengertian mutawatir adalah
مـَا كَانَ عَنْ مَحْسُوْسٍ أَخْبَرَ بِهِ جَمـَاعَةً
بَلـَغُوْا فِى اْلكـَثْرَةِ مَبْلَغـًا تُحِيْلُ اْلعَادَةَ تَوَاطُؤُهُمْ عَلـَى اْلكَـذِبِ
Hadits yang berdasarkan pada panca indra (dilihat atau didengar) yang diberitakan oleh segolongan orang yang mencapai jumlah banyak yang mustahil menurut tradisi mereka sepakat berbohong.
Kamis, 10 Juni 2021
Ulumul Hadist dan Perkembangannya
Pada dasarnya Ulumul Hadis telah lahir sejak dimulainya periwayatan Hadis di dalam Islam, terutama setelah Rasul Saw. wafat, ketika umat merasakan perlunya menghimpun Hadis-Hadis Rasul dikarenakan adanya kekhawatiran Hadis-Hadis tersebut akan hilang atau lenyap. Para sahabat mulai giat melakukan pencatatan dan periwayatan Hadis, mereka mempergunakan kaidah-kaidah dan metode-metode tertentu dalam menerima Hadis, namun mereka belumlah menuliskan kaidah-kaidah tersebut.
Senin, 24 Mei 2021
Analisis Stilistika Puisi
Baca puisi di bawah ini, dan analisislah dengan pendekatan gaya bahasa...
أن أحبَّك يعني
(محمد السالم)
أن أحبَّك يعني
أن استيقظ في آخر الفجر
لأجعلك أول اسم في دعاء وتري
وأن أتحرى أوقات الاستجابة
لأتضرعَ لربِّ بأن يجْعلَكِ مِلكي!
***
أن أحبَّك يعني
أن أمارس الرياضة كلَّ يومي
فقط من أجل أن ينال إعجابك زَندي!
وأن أقلبَ صفحات الكتبِ
لِيروقَ لعقلِكِ فِكري!
Kamis, 20 Mei 2021
Hadis dan Kajiannya
A. Pengertian Hadis
Hadist mempunyai beberapa sinonim/muradif menurut
para pakar Ilmu Hadis, yaitu Sunah, Khabar, dan Atsar. Secara etimologi. Kata
‘Hadis’ (Hadits) berarti الجديد/الجدة (al-jadid/al-jiddah=baharu),
atau الخَبَرُ
وَالكَلاَم (al-khabar= berita,
pembicaraan, perkataan). Sebagaimana dalam QS. Al-Dhuha : 11
وَأَمَّا بِنِعْمَةِ رَبِّكَ فَحَدِّثْ
Artinya:Dan terhadap nikmat Rabbmu maka
hendaklah kamu menyebutnyebutnya (dengan bersyukur). (QS. 93:11)
Dari segi terminologi, banyak para ahli
Hadis muhadditsîn) memberikan definisi di antaranya Mahmud al-Thahân
mengemukakan :
مَاجَاءَ عَنِ النَّبِيِّ صلی الله عليه و سلم
سَوَاءُ كَانَ قَوْلًا أَوْ فِعْلًا أَوْتَقْرِيْرًا.
Artinya: Sesuatu yang datang
dari Nabi baik berupa perkataan atau perbuatan
atau persetujuan
Hadist merupakan sumber berita yang
datang dari Nabi saw dalam segala bentuk baik berupa perkataan, perbuatan,
maupun sikap persetujuan. Hadist mempunyai 3 komponen yakni:
1. Hadist
perkataan yang disebut dengan Hadist Qawli, misalnya
sabda beliau:
إذَا الْتَقَی المُسْلِمَانِ بِسَيْفَيْهِمَا فَا
لْقَا تِلُ وَالمَقْتُوْلْ فِي النَّارِ
jika dua orang muslim bertemu dengan
pedangnya, maka pembunuh dan yang terbunuh di dalam neraka...’(HR. Al-Bukhari)
2. Hadist perbuatan, disebut Hadist Fi’li misalnya
shalatnya beliau, haji, perang dan lain-lain.
3. Hadist persetujuan, disebut
Hadist Taqiri, yaitu suatu perbuatan atau perkataan di
antara para sahabat yang disetujui Nabi. Misalnya, Nabi diam ketika melihat
bahwa bibik Ibn Abbas menyuguhi beliau dalam satu nampan berisikan minyak
samin, mentega, dan daging binatang dhab (semacam biawak
tetapi bukan biawak). Beliau makan sebagian dari mentega dan minyak samin itu
dan tidak mengambil daging binatang Ddabb karena jijik.
Seandanya haram tentunya daging tersebut tidak disuguhkan kepada beliau. (HR.
Al-Bukhari).
Di antara ulama ada yang memasukkan
pada definisi Hadis Sifat (Washfî), Sejarah (Tarîkhî) dan Cita-cita (Hammî)
Rasul. Hadis sifat (Washfî), baik sifat pisik (khalqîyah) maupun
sifat perangai (khuluqîyah). Sifat pisik seperti tinggi badan Nabi yang tidak
terlalu tinggi dan tidak terlalu pendek kulit Nabi putih kemerahmerahan
bagaikan warna bunga mawar, berambut keriting, dan lain-lain. Sedang sifat
perangai mencakup akhlak beliau, misalnya sayang terhadap fakir miskin dan
lain-lain.
Sejarah hidup Rasul juga masuk ke dalam
Hadis baik sebelum menjadi Rasul maupun setelahnya. Menurut pendapat yang
kuat/râjih jika setelah menjadi Rasul wajarlah dimasukkan sebagai Sunah atau
Hadis tetapi sejarah yang terjadi sebelum menjadi Rasul, belumlah dimasukkan
Sunah kecuali jika diulang kembali atau dikatakan kembali setelah menjadi
Rasul.
Para ulama Syafi`îyah juga
memasukkan bagian dari Sunah apa yang dicita-citakan Rasul saw (Sunnah
Hammîyah) sekalipun baru rencana dan belum dilakukannya, karena beliau tidak
merencanakan sesuatu kecuali yang benar dan di cintai dalam agama, dituntut
dalam syari`at Islam, dan beliau diutus untuk menjelaskan syari`at Islam.
Seperti cita-cita beliau berpuasa hari tanggal 9 Muharram, rencana beliau
perintah para sahabat mengambil kayu untuk membakar rumah orang-orang munafik
yang tidak berjama’ah shalat Isya dan lain-lain. Sekalipun ini baru merupakan
cita-cita, tetapi telah diucapkan ucapan beliau itu Hadis qawlî yang pasti
benarnya dan alasan beliau belum mengamalkannya jelas, yakni berpulang ke
rahmat Allah.
Sunnah
Sunnah menurut bahasa
banyak artinya di antaranya السّيرةُ الْمُتْبَعَةُ suatu
perjalanan yang diikuti. misalnya
firman Allah saw dalam Surah al-Fatih/48:23:
سُنَّةَ اُللهِ
اُلَّتِی قَدْ خَلَتْ مِن قَبْل ۖ وَلَنْ تَجِدَ لِسُنَّةِ اللهِ تَبْدِيْلاً
Artinya
: Sebagai suatu sunnatullah yang telah berlaku sejak dahulu, kamu
sekali- kali tiada akan menemukan perubahan bagi sunnatullah itu. Sunah menurut
istilah, sebagai berikut :
أَقْوَالُ
النَّبِی صلی عليه وسلم وَأَفْعَالُهُ وَأَحْوَالُهُ
Artinya : Segala
perkataan Nabi saw, perbuatananya, dan segala tingklah lakunya.
Mayoritas ulama berpendapat
bahwa Sunah sinonim Hadis bersifat umum yaitu meliputi segala sesuatu yang datang
dari Nabi dalam bentuk apapun, baik berkaitan dengan hukum atau tidak. Tetapi
sebagian ulama membedakan bahwa Sunah terfokus pada perbuatan Nabi saja dan
yang dilakukan secara terus menerus.
Para ulama berbeda dalam
mendefinisikan Sunah, perbedaan itu lebih disebabkan karena perbedaan disiplin
ilmu yang mereka miliki atau yang mereka kuasai dan ini menunjukkan
keterbatasan pengetahuan manusia yang dibatasi pada bidangbidang tertentu.
Ulama Hadis melihat Nabi sebagai figur keteladanan yang baik (uswatun hasanah),
maka semua yang datang dari Nabi adalah Sunah. Ulama Ushul melihat pribadi Nabi
sebagai pembuat syari`at (syâri `), penjelas kaedah-kaedah kehidupan
masyarakat, dan pembuat dasar-dasar ijtihad. Ahli Fikih memandang segala
prilaku Nabi mengandung hukum lima yaitu wajib, haram, sunah, makruh, dan
mubah.
Khabar
Menurut bahasa, Khabar
diartikan = النَّبأ = berita. Dari segi istilah
muhadditsîn Khabar identik dengan Hadis, yaitu segala sesuatu yang disandarkan
kepada Nabi (baik secara marfû` atau mawqûf dan atau maqthu`) baik berupa
perkataan, perbuatan, persetujuan, dan sifat. Di
antara ulama memberikan definisi:
مَا جَاءَ عَنِ النَّبي صلی الله عليه وسلم وَعَنْ
غَيْرِهِ مَنْ أَصْحَابِهِ أَوْ تَا بَعَ التَّابِعِيْنَ أَلتَّابِعِيْن أَوْمَنْ
دُوْنَهُمْ
Artinya: Sesuatu
yang datang dari Nabi saw dan dari yang lain seperti dfari para sahabat, tabi`in
dan pengikut tabi`in atau orang-orang setelahnya.
Mayoritas ulama melihat
Hadis lebih khusus yang datang dari Nabi, sedang Khabar sesuatu yang datang
dari padanya dan dari yang lain, termasuk berita-berita umat dahulu, para Nabi,
dan lain-lain. termasuk berita-berita umat dahulu, para Nabi, dan lain-lain.
Misalnya Nabi Isa berkata : …, Nabi Ibrahim berkata : ….dan lain-lain, termasuk
Khabar bukan Hadis. Bahkan pergaulan di antara sesama kita sering terjadi
menanyakan khabar. Apa khabar ? Khabar lebih umum dari pada Hadis setiap Hadis
adalah Khabar dan tidak sebaliknya.
Atsar
Dari segi bahasa Atsar
diartikan البَقِيَّةُ
أَوْ بَقِيَّةُ الشَّئ peninggalan atau bekas sesuatu, maksudnya peninggalan
atau bekas Nabi karena Hadis itu peninggalan beliau. Atau diartikan= المِنْقُوْل(yang dipindahkan dari Nabi), seperti
kalimat: الدُّعَاءُ
المِأْثُوْرُdari kata atsar
artinya doa yang dipindahkan dari Nabi.
Menurut istilah ada dua
pendapat, pertama, Atsar sinonim Hadis. Kedua, Atsar adalah sesuatu yang disandarkan
kepada para sahabat (mawqûf) dan tabi`in (maqthû`) baik perkataan maupun
perbuatan. Sebagian ulama mendefinisikan :
مَا
جَاءَ عَنِ غَيْرِالنَّبِي صلی الله عليه وسلم مِنْ الصَّحَا بة أَو
التَّابِعِيْنَ أَوْ مَنْ دُوْنَهُمْ.
Artinya
: Sesuatu yang datang dari selain Nabi saw dan dari para
sahabat, tabi`in dan atau orang-orang setelahnya.
Sesuatu yang disadarkan
pada sahabat disebut berita mawqûf dan sesuatu yang datang dari tabi’in disebut
berita maqthu’. Menurut Ahli Hadis Atsar adalah sesuatu yang disandarkan kepada
Nabi saw (marfû`), para sahabat (mawqûf), dan ulama salaf. Sementara Fuqahâ
Khurrasan membedakannya Atsar adalah berita mawqûf sedang Khabar adalah berita
marfû`. Dengan demikian Atsar lebih umum dari pada Khabar, karena Atsar
adakalanya berita yang datang dari Nabi dan dari yang lain, sedangkan Khabar
adalah berita yang datang dari Nabi atau dari sahabat, sedangkan Atsar adalah
yang datang dari Nabi, sahabat, dan yang lain.
B. Struktur Hadis
Struktur Hadis terddiri
dari beberapa bagian yaitu sanad, matan dan mukharrij. Untuk memudahkan
definisi istilah-istilah tersebut, terlebih dahulu Saudara diajak memperhatikan
contoh struktur Hadis sebagai berikut :
حَدَّ ثَنَا
مًسَدَّ دَ حَدَّ ثَنَا عَبْدُ الْوَارِثِ عَنْ الجَعْدِ عَنْ أَبِی رَجَاءِ عَنْ
ابْنِ عَبَّاسٍ عَنْ النَّبِيِّ صلی الله عليه وسلم قَالَ مَنْ كَرِهَ
مِنْ أَمَيْرِهِ شَيْأً فَلْيَصِبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرجَ
مِنْ السُّلْطَأنِ شِبْرًا مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً (أخرجه البخاري)
Memberitakan kepada kami
Musaddad, memberitakan kepada kami Abd al-Wârits dari al-Ja`di dari Abi Rajâ’
dari Ibn Abbas dari Nabi saw bersabda : Barang siapa yang benci sesuatu dari
pimpinannya (amir) maka hendaklah sabar, sesungguhnya barang siapa yang keluar
dari penguasa (sultan) satu jengkal maka ia mati Jahiliayah‛. (HR. al-Bukhari)
Bagimana Anda melihat
contoh kerangka Hadis di atas ? Ada 3 bagian yang perlu
anda perhatikan yaitu kalimat-kalimat yang bergaris bawah, yakni :
1. Penyandaran
berita oleh «al-Bukhâri kepada Musaddad dari Abd al-Wârits dari al-Ja`di dari
Abi Rajâ’ dari Ibn Abbas dari Nabi‛ rangkaian penyandaran ini disebut : Sanad.
2. Isi berita yang
disampaikan Nabi : «Barang siapa yang benci sesuatu dari pimpinannya…» disebut
: Matan.
3. Sedang pembawa
periwayatan berita terakhir yang termuat dalam buku karyanya dan disampaikan
kepada kita yakni al-Bukhâri disebut : Pe-rawi atau Mukharrij. Artinya, orang
yang meriwayatkan Hadis dan disebutkan dalam kitab karyanya. Untuk memudahkan
pemahaman anda berikut ini
Sanad Hadis
Sanad menurut bahasa : ‚sesuatu
yang dijadikan sandaran, pegangan, dan pedoman. Dan menurut istilah ahli
Hadis ialah:
سِلْسِلَةُ
الرَجَالِ الْمُوْصَلَةِ اِلَی الْمَتْنِ
Artinya: Mata rantai para
periwayat Hadis yang menghubungkan sampai kepada matan Hadis
Sanad ini sangat penting
dalam Hadis, karena Hadis itu terdiri dari dua unsur yang secara integral tak
dapat dipisahkan satu dengan yang lain, yakni matan dan sanad. Hadis tidak
mungkin terjadi tanpa sanad, karena mayoritas Hadis pada masa Nabi tidak
tertulis sebagaimana Alquran dan diterima secara individu (âhâd) tidak secara
mutawâtir. Sanad disebut juga Musnad dan dari Musnad muncul pula Musnid. Musnad
sandaran berita dalam proses periwayatan Hadis atau diartikan orang yang
disandari dalam periwayatan. Sedang Musnid adalah orang yang menyandarkan
berita itu kepada orang lain. Arti Musnad berkembang memiliki 3 pengertian
:
1.
Hadis yang diterangkan Sanad-nya sampai kepada Nabi
saw, disebut Hadis
2.
Musnad sesuatu kitab Hadis yang pengarangnya
mengumpulkan segala Hadis yang diriwayatkan oleh seorang sahabat dalam satu bab
dan yang diriwayatkan oleh seorang sahabat lain dalam bab yang tersendiri pula,
seperti Musnad Imam Ahmad.
3.
Hadist yang sandarannya bersambung (muttashil)
kepada Nabi saw (marfu `).
Matan
Kata ‚matan‛ menurut
bahasa berarti; keras, kuat, sesuatu yang nampak dan yang asli. Dalam
perkembangannya karya penulisan seseorang ada disebut matan dan ada syarah.
Matan di sini dimaksudkan karya atau karangan asal seseorang yang pada umumnya
menggunakan bahasa yang universal, padat, dan singkat sedang syarah-nya dimaksudkan
penjelasan yang lebih terurai dan terperinci. Dimaksudkan dalam konteks Hadis,
Hadis sebagai matan kemudian diberikan syarah atau penjelasan yang luas oleh
para ulama, misalnya Shahîh al-Bukhârî di- syarah-kan oleh al-`Asqalânî dengan
nama Fath al-Bârî dan lain-lain.
Menurut istilah matan
adalah :
أَلْفَاظُ
الْحَدِيْثِ الَّتِی تَقُوْمُ بِهَا مَعَانِيْهِ
Artinya : Beberapa lafazh
Hadis yang membentuk beberapa makna
Matan Hadis ini sangat
penting karena yang menjadi topik kajian dan kandungan syariat Islam untuk
dijadikan petunjuk dalam beragama.
Mukharrij
Kharrij atau Periwayat
Hadis Kata Mukharrij isim fa`il (bentuk
pelaku) dari kata Takhrîj
atau istikhrâj dan ikhrâj yang dalam bahasa diartikan;
menampakkan, mengeluarkan dan menarik. Maksud Mukharrij di sini adalah adalah
seorang yang menyebutkan suatu Hadis dalam kitabnya dengan sanadnya. Dr. Abd
Al-Muhdî menyebutkan:
فَالْمَخْرَجُ
هُوَ ذَاكِرُ الرِّوَايَةِ كَالْبُخَارِي
Mukharrij adalah penyebut
periwayatan sepert al-Bukhari.
Misalnya jika suatu Hadis
mukharrij-nya al-Bukhari berarti Hadis tersebut dituturkan al-Bukhari dalam kitabnya
dengan sanadnya. Oleh karena itu biasanya pada akhir periwayatan suatu Hadis
disebutkan أخرجه البخاري Hadis
di-takhrîj oleh alBukhârî dan seterusnya. Atau untuk menyatakan perawi suatu
Hadis dikatakan dengan kata: رواه البخاری Hadis
diriwayatkan oleh al-Bukhârî.
Bagi perawi yang menghimpun
Hadis ke dalam suatu kitab tadwîn disebut dengan perawi dan disebut pula
Muddawin (orang yang menghimpun dan membukukan Hadis), demikian juga ia disebut
Mukharrij, karena ia yang menerangkan para perawi dalam sanad dan derajat Hadis
itu ke dalam bukunya.
Dari kata Mukharrij
keluarlah kata ‘Takhrîj‛ yang berarti menampakkan, mengeluarkan, menerbitkan,
meneyebutkan dan menumbuhkan. Maksudnya menampakkan sesuatu yang tidak nampak
atau sesuatu yang masih tersembunyi, atau tidak kelihatan dan masih samar.
Takhrij memerlukan tenaga dan pikiran seperti makna kata istikhraj
yang diartikan istinbâth yakni mengeluarkan hukum dari teks Hadis.
Senin, 10 Mei 2021
Deviasi dan Foregrounding
A. Deviasi
Dalam konteks pembicaraan bahasa sastra, penggunaan istilah deviasi (deviation) yang disejajarkan dengan istilah penyimpangan adalah suatu hal yang banyak dijumpai dalam berbagai literatur. Istilah deviasi menunjukkan pada pengertian penggunaan bahasa yang menyimpang dari bahasa yang wajar dan baku yang lazim dipergunakan, misalnya dalam penggunaan bahasa ilmiah. Pengertian penyimpangan lazimnya memang dikaitkan,dibandingkan, dan dipertentangkan dengan bahasa baku yang mempunyai ketentuan tertentu yang harus terpenuhi.[1] Dengan demikian, adanya penyimpangan ini yang menyangkutkan aspek-aspek tertentu menjadi mudah dikenali. Bahasa baku sendiri untuk bahasa indonesia adalah bahasa yang memenuhi aturan yang terdapat pada buku tuntunan tata bahasa baku bahasa indonesia.
Pemilihan bentuk-bentuk deviasi kebahasaan dalam teks kesastraan ada kaitannya dengan dampak psikologis yang diharapkan. Dalam kaitan ini leech menegaskan bahwa deviasi merupakan fenomena linguistik memiliki dampak psikologis yang penting bagi pembaca (atau pendengar) dan sering mendapat perhatian penuh. Karena pembaca sering tampak lebih fokus pada sesuatu yang menyimpang. Dampak psikologis inilah yang kemudian dikenal dengan istilah foregrounding.
Banyak sekali permasalahan krnapa bahasa sastra ada atau lazim terjadi penyimpangan.atau terjadi karena pengarang mnginginkan sesuatu yang aneh-aneh atau bahkan dibuat sok aneh?. Bisa jadi bahasa sastra tampak agak (aneh), tetapi itu tidak berarti pengarang bersikap anah-aneh atau lainnya. Adanya penyimpangan dan terjadinya penyimpangan itu sebenarnya merupakan konsekuensi logis ketika pengarang berusaha mengungkapkan sesuatu lewat bentuk atau ungkapan yang batu,asli,dan orisional sebagai manifestasi tuntutan kreativitas, penciptaan, dan khususnya penciptaan cara- cara pengungkapan lewat bahasa.
Oleh karena itu, tuntutan itu akan menuntut pengarang untuk mengeksplorasi berbagai kemungkinan penggunaan berbagai unsur kebahasaan, baik dari aspek makna maupun struktur. Pada intinya sastra haruslah menemukan ungkapan yang baru yang asli. Bahkan dikatakan bahwa unsur kebaharuan dan keaslian merupakan suatu hal yang menentukan nilai keindahan sebuah karya sastra dalam usaha eksplorasi bahasa untuk memperoleh hal-hal tersebut amatlah mungkin pengarang sampai pada penggunaan berbagai bentuk penyimpangan bahasa. Itulah kemudian dikenal dengan istilah deviasi. Jadi ada dan terjadinya deviasi dalam bahasa sastra bukan merupakan tujuan atau sekedar ingin aneh, melainkan sebagai efek dan konsekuensi logis terhadap adanya tuntutan kreativitas dan kebaruan pengucapan dalam bentuk ungkapan- ungkapan tertentu.
Dalam usaha menciptakan ungkapan baru, selain mengalami penyimpangan, ungkapan yang dihasilkan mungkin sekali terlihat lain dari pada yang lain, lain dari yang biasanya, atau dikatanakan tidak lazim. Namun, sebenarnya istilah tidak lazim itu tidak harus dalam pengertian menyimpang, melainkan bisa diartikan belum pernah dipergunakan. Karakteristik inilah yang kaum formalisme rusia disebut sebagai Deotomatisasi (Deautomatisation) atau Defamiliarisasi (Defamiliarisation). Istilah ini yang diadaptasi dari kata bahasa inggris yang dipahami sebagai penyimpangan dari cara-cara penuturan yang biasa, yang otomatis,rutin,dan wajar. Artinya, menolak cara-cara penuturan yang telah biasa atau menolak cara yang telah umum, karena sastra adalah sebuah penuturan dengan cara yang khas. Untuk memperjelas mengenai deviasi. Ada sedikit contoh dalam puisi khairil anwar yang berjudul "Sajak Putih".
SAJAK PUTIH
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Dihitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senja
Sepi menyanyi, malam dalam doa tiba
Meriak muoa air kolam jiwa
Dan dalam dadaku memerdu lagu
Menarik menari seluruh aku
Hidup dari hidupku, pintu terbuka
Selama matamu bagiku menengadah
Selama kau darah mengalir dari luka
Antara kita mati datang tidak membelah...
Sebenarnya, seperti pada umumnya puisi-puisi yang lain, puisi "Sajak Putih" itu "hanya" berbicara tentang cinta, yaitu cinta suci seseorang sebagaimana disimbolkan lewat judul lagunya. Namun, jika perasaan cinta itu hanya dikemukakan dengan cara-cara yang biasa, maka tidak menarik perhatian, tidak puitis, dan tidak ada eksploitasi keindahan, dan efeknya juga hanya biasa-biasa saja dan terasa kurang mengungkapkan sesuatu yang romantis. Maka, perasaan cinta secinya itupun diungkapkan dengan cara tidak lazim, tidak lazim menurut ukuran biasa, tetapi diungkapkan dengan selera keindahan. Jadi larik-larik dalam puisi tersebut tampak jelas keasliannya. Dan aspek citraan yang dipilih sangatlah kuat karena larik- larik tersebut terlihat menyimpang dari tuturan yang wajar dan baku, bahkan sehari-hari pun tidak ada orang mengungkapkan cinta dengan kata-kata seperti itu. Bahkan, struktur sintaksisnya juga tidak lazim karena permutasian urutan kata dan baris. Dalam bahasa lazim, dua larik pertama itu mungkin dituturkan dengan : " sore itu kau ada didepanku dengan membelakangi pelangi" atau dengan "pada sore yang indah itu kau berdiri didepanku sambil membelakangi pelangi".
Karakteristik deviasi bahasa sastra berasal dari kaum formalisme rusia. Mereka berpendapat bahwa adanya penyimpangan dari sesuatu yang wajar merupakan proses sastra yang mendasar. Penyimpangan dalam bahasa sastra itu sendiri sebenarnya dapat dilihat secara sinkronik dan diakronik. Penyimpangan sinkronik adalah penyimpangan dari bahasa sehari-hari, sedang penyimpangan diakronik adalah oenyimpangan dari karya sastra sebelumnya. Selain itu, perlu juga dipahami bahwa wujud penyimpangan itu dapat bermacam- macam, mulai dari penyimpangan leksikal. Struktur, dialek, grafologi. Makna dan lain- lain.
Dan ketika mengeksplorasi bahasa untuk menghasilkan tuturan yang indah sekaligusmeeakili diri dan perasaannya, pengarang sah- sah saja sengaja menyimpangi aturan sistem bahasa. Namun, kebebasan itu bukannya tidak terbatas. Keadaan itu disebabkan bahasa adalah sebuah sistrm tanda yang telah konvensi. Kata-kata sudah memiliki makna tetentu sehingga tidak lagi benar- benar netral. Maka, kalaupun terjadi penyimpangan, mesti masih ada benang- benang merah yang menghubungkannya dengan aturan atau konvensi itu. Jadi jika terjadi penyimpangan yang ekstrem sehingga struktut dan maknanya tidak dapat dipahami, itu hanya berakibat karya sastra yang dihasilkan justru tidak terpahami juga. Konsekuensinya adalah kehadiran karya sastra itu juga menjadi tidak bermakna, tidak ada signifikansinya.
B. Foregrounding
Jika deviasi dimakna sebagai penyimpangan penggunaan aspek bahasa dari bahasa yang wajar dan baku, foregrounding dimaknai sebagai pengedepanan, pengaktualan, pementingan, atau penekanan. Ketika seseorang berbicara tentang kedua istilah itu sebagai penciri bahasa sastra, ia tidak dapat melepaskan diri dari tokoh- tokoh formalisme rusia yang meneorikannya seperti Jan Mukarovsky dan Roman Jakobson.
Salah satu cara untuk memforegrounding-kan penuturan adalah lewat penegasan berbagai bentuk penyimpangan kebahasaan baik secara struktur, makna, maupun tata cara penulisan.[2] Maka, dapat dikatakan bahwa deviasi itu merupakan cara untuk mengemukakan, sedangkan foregrounding adalah dampak atau efek yang dihasilkan. Namun, prinsipnya adalah bahwa adanya bentuk- bentuk penyimpangan itu mesti bermakna, berfungsi, atau ada signifikansinya, dan tidak asal berbeda. Selain itu, juga perlu ditambahkan bahwa wujud satuan foregrounding tidak harus berupa penyimpangan. Foregrounding dapat juga dan banyak ditemukan lewat satuan- satuan bahasa secara struktur tidak menyimpang.
Bentuk dan makna konvensional bahasa yang dideviasi, di simpangi, lazimnya akan menjadi terlihat lebih jelas walau hal itu hanya berlaku bagi seseorang yang mengenali bentuk dan maknanya yang baku. Oleh karena itu terlihat lebih jelas, satuan bentuk dan makna itu boleh dikatakan menjadi menonjol dan karenanya lebih terperhatikan, menjadi foregrounding. Pembaca menjadi lebih terkesan, berhenti sejenak untuk memikirkan dan merasakan, memperoleh sensasi yang berbeda, dan karenanya muatan makna yang disampaikan juga menjadi lebih intensif dipahami. Bentuk- bentuk penuturan yang demikian, sekali lagi, memiliki ciri literariness, ciri kelitereran, dan karenanya mempunyai efek keindahan.
Pendayaan bahasa sastra lewat foregrounding antara lain terwujud dalam penggunaan bentuk- bentuk paralelisme dan repetisi, namun dapat juga lewat berbagai bentuk penyimpangan, pengubahan struktur, permutasian, enjambemen, dll. Bentuk paralelisme dan repetisi itu sendiri belum tentu berupa penyimpangan bahasa. Tidak berbeda hal nya dengan deviasi, foregrounding juga tampan dalam satuan struktur, leksikal, semantis, dan grafologis. Namun, dalam sebuah karya, hal itu tidak harus dimunculkan dan ditekankan bersama dan sekaligus. Selain itu, perlu juga dikemukakan bahwa ada intensitas pendayaan deviasi dan foregrounding dalam genre puisi dan fiksi. Karakteristik bahasa sastra yang mngandung aspek deviasi dan foregrounding atau sifat defamiliarisasi itu pada kenyataannya lebih ditunjukkan untuk bahasa puisi walau itu tidak berarti tidakd apat ditemukan genre fiksi. Karena bentuknya yang singkat padat, lebih banyak dibuat atraktif agar menarik perhatian dan cara- cara yang ditempuh adalah lewat pendayaan deviasi dan foregrounding.
Contoh dalam puisi wujud foregrounding benyak dimunculkan lewat bentuk- bentuk paralelismr dan repetisi terutama repetisi di awal larikvyang berwujud anafora. Pengulangan leksikal di awal larik jelas untuk menekankan pentingnya makna kata yang bersangkutan. Bait pertama puisi Emha Ainun Nadjib yang berjudul "Kapak Ibrahim Hamba".
KAPAK IBRAHIM HAMBA
Dimana kapak ibrahim hamba
Dimana tongkat musa hamba
Dimana wajah yusuf hamba
Dimana dzikir zakaria hamba
Dimana hilang isa hamba
Dimana cahaya muhammad hamba
Takut, kekasih, hamba takut!
Pengulangan kata dimana di awal larik- larik puisi itu yang biasa disebut anafora yang tampak dominan sehingga mau tidak mau itu pasti menarik perhatian pembaca dan sekaligus mempertanyakan mengapanya karena diungkapkan dengan cara yang tidak lazim. Larik- larik itu masih lebih ditekankan lagi lewat pendayaan gaya paralelisme sehingga selain memperindah penuturan juga mengindikasikan bahwa makna tiap larik itu sejajar. Semua berupa pencarian aku (hamba) lirik tentang teladan- teladan atau mukjizat yang dimiliki oleh para rosul agar juga menjadi miliknya. Jika kehilangan itu semua, aku lirik jelas ketakutan, takut akan murka tuhan. Lewat pemformagroundingan bentuk-bentuk foregrounding itu tidak harus berwujud deviasi bahasa.
C. Macam Deviasi
Tidak berbeda halnya dengan analisis stilistika yang berdasarkan kajian tiap unsur stile, kajian stilisitka juga dapat dilakukan berdasarkan bentuk-bentuk deviasi tiap unsur stile. Berdasarkan kemunculan berbagai aspek Bahasa yang dideviasi itu kemudian sebuah teks, sastra, puisi, dijelaskan tujuan dan fungsi estetikanya. Intinya, keduanya sama-sama dapat dipakai untuk menjelaskan fungsi keindahan sebuah stile.
Misalnya, perulangan bunyi dalam puisi yang menghasilkan persajakan memiliki fungsi estetis yang jelas karena mampu membangkitkan efek puitis. Namun, dilihat dari sudut deviasi bunyi-bunyi yang bersajak tersebut belum tentu merupakan suatu bentuk penyimpangan. Bentuk pengulangan bunyi itu adalah suatu wujud foregrounding yang selain untuk memperindah bunyi juga untuk menarik perhatian, dampak psikologis. Jadi, penjelasan tentang persajakan tersebut tampaknya lebih tepat dilakukan lewat penjelasan fungsi bunyi dalam puisi seperti dibicarakan didepan. Penggunaan bentuk-bentuk deviasi. Bertujuan untuk memperoleh efek foregrounding, namun foregrounding tidak harus diperoleh lewat deviasi.
Tentang pemunculan Aspek Deviasi
Di atas telah ditunjukkan bahwa Leech (1991:37-40) mengemukakkan adanya tiga level utama dalam Bahasa, yaitu realisasi bahasa, bentuk, dan makna masing-masing dengan beberapa unsur di dalamnya. Ketika seorang penyair mengreasikan stile sesuai dengan kebebasan yang dimilik sebagaimana tercermin dalam lisensi puitis, kreasi itu akan mencangkup dan melibatkan ketiga level utama Bahasa tersebut. Dalam kaitan ini lisensi puitis dapat pula diartikan sebagai penggunaan dan sekaligus hadirnya deviasi Bahasa. Berbagai aspek Bahasa yang dideviasikan tercakup ke dalam tiga level Bahasa tersebut. Selanjutnya, Leech mengidentifikasi berbagai aspek deviasi yang muncul dalam puisi berbahasa inggris. Ia menemukan delapan wujud deviasi, yaitu deviasi leksikal, gramatikal, fonologi, grafologi, semantik, dialek, register dan historis. Untuk itu, dibawah akan dibicarakan bentuk-bentuk kemunculan kedelapan macam deviasi tersebut dalam puisi indonesia. Namun, sebelumnya perlu dikemukakan hal-hal berikut.
Pertama, satu satuan bentuk bahasa tertentu dapat ditafsirkan mengalami lebih dari satu jenis deviasi tergantung dari kriteria yang dipakai. Misalnya, suatu bentuk leksikal dapat dipandang sebagai deviasi leksikal jika memenuhi kriteria deviasi leksikal. Tetapi, bentuk itu juga dapat dipandang mengalami deviasi gramatikal (struktur morfologi) jika memenuhi kriteria deviasi struktur.
Kedua, kemunculan suatu bentuk deviasi perlu dipertimbangkan efektivitas dan fungsinya dalam konteks teks yang bersangkutan. Ada beberapa kriteria yang dapat dipakai untuk maksud itu, yaitu sebagai berikut.
a. Kemunculan suatu bentuk deviasi dapat dinilai bermakna atau signifikan jika pengguna bentuk itu lebih tepat dari pada bentuknya yang baku.
b. Kemunculan suatu bentuk deviasi dapat dinilai bermakna atau signifikan jika bersama dengan unsur puisi yang lain mendukung makna yang ingin disampaikan.
c. Kemunculan suatu bentuk deviasi dapat dinilai bermakna atau signifikan jika penggunaan bentuk deviasi itu mampu memberikan dampak psikologis kepada pembaca untuk memberikan perhatian yang lebih baik.
d. Kemunculan suatu bentuk deviasi dapat dinilai bermakna atau signifikan jika penggunaan bentuk deviasi itu mempunyai fungsi estetis atau mampu memberikan dampak keindahan.
1. Deviasi Leksikal
Deviasi Leksikal adalah suatu bentuk penyimpangan yang terjadi pada aspek leksikal, kata, atau diksi. Suatu bentuk leksikal dipandang sebagai bentuk deviasi jika bentuk itu mengalami penyimpangan makna dari makna konvensional baku sebagaimana terlihat dalam kamus. Munculnya bentuk deviasi itu antara lain ditandai oleh proses morfologi yang masih problematis, kata bentukan baru, neologisme (Leech, 1991:42). Bentuk (kata) tanpa makna atau tidak ada dalam kamus, dan lain-lain. Contoh deviasi Leksikal dapat berupa “kata-kata” tanpa makna atau tidak temukan dalam kamus “kata-kata“ semacam itu bisa jadi merupakan ciptaan penyair untuk memperoleh efek bunyi tertentu dan menghasilkan kesan atau dampak psikologis tertentu pada pembaca. Contoh pada puisi Indonesia yang terkenal adalah puisi-puisi Sutardji Calzoum Bachri dalam kumpulan puisi O Amuk, Kapak (1981) dan juga puisi-puisi Ibrahim Sattah.
2. Deviasi Fonologi
Deviasi Fonologis adalah bentuk penyimpangan Bahasa yang terdapat pada aspek fonologi. Suatu bentuk fonologi dipandang sebagai bentuk deviasi jika bentuk itu mengalami penyimpangan dari bunyi Bahasa yang wajar dan baku. Pada awal mula semua bahasa di dunia ini berupa bunyi, lambing bunyi, system bunyi. Baru setelah ditemukan system penulisan, kemudian dikenal adanya bahasa tulis. Bahasa tulis tidak lain adalah system symbol untuk mewakili system bunyi tersebut, maka bagaimanapun, bahasa lisan yang berupa bunyi tetap saja menjadi yang utama.
Deviasi fonologis dapat berupa penggunaan bunyi-bunyi tertentu, tetapi ia tidak memiliki makna konvensional seperti lazimnya bunyi Bahasa, atau adanya penggantian fonem tertentu dalam sebuah kata sehingga terjadi perubahan bunyi. Contoh, Deviasi fonologis yang lain yang mirip contoh tersebut adalah juga munculnya deretan huruf tertentu, baik huruf-huruf yang sama atau berbeda, namun deretan huruf itu tidak memiliki makna konvensional. Jika dibaca dengan nada suara yang sesuai, bunyi-bunyi huruf tersebut dapat membangkitkan suasana tertentu, misalnya suasana magis. Hal ini mirip dengan penggunaan tiruan bunyi alam (onomatope) yang tidak jarang ditemukan dalam puisi. Penggunaan deretan huruf yang dimaksud, misalnya ditemukan dalam puisi Angin Danau karya Sitor Situmorang dengan judul “Borobudur Sehari”.
3. Deviasi Gramatikal
Deviasi Gramatikal melibatkan dua aspek struktur, yaitu struktur morfologi dan sintaksis.[3] Walau sama-sama aspek gramatikal, dalam berbagai pembicaraan tentang tata bahasa, keduanya biasanya dibicarakan secara terpisah. Hal ini dapat dipahami karena kedua struktur tersebut sebenarnya cukup kompleks permasalahannya. Walau demikian, contoh kasus dalam teks-teks puisi, keduanya dapat ditemukan dalam puisi atau bahkan dalam larik yang sama.
a. Deviasi Morfologis
Deviasi morfologis terkait dengan struktur morfologi, tata bentukan kata, dalam sebuah bahasa. Suatu bentuk morfologi dipandang sebagai suatu bentuk deviasi jika bentuk itu mengalami penyimpangan dari kaidah struktur morfologi yang baku. Contoh deviasi morfologis yang terkait dengan penghilangan atau sebaliknya penambahan bentuk afiksasi dapat dilihat pada puisi Khairil Anwar yang telah berkali-kali dibicarakan sebelumnya, yaitu puisi “Isa“. Pada bait pertama puisi itu dapat dilihiat bentuk yang dimaksud.
- Itu tubuh
mengucur darah
mengucur darah
Dalam Bahasa Indonesia terdapat bentuk kata mengucur dan mengucurkan. Namun, dalam konteks struktur sintaksis larik puisi itu, bentuk morfologi kata mengucur itu seharusnya adalah mengucurkan keadaan ini disebabkan dalam struktur sintaksis larik itu, kata kerja mengucur mendapat objek, yaitu darah. Deviasi morfologi bentuk mengucur dari yang seharusnya mengucurkan tersebut tampak mempunyai dapat psikologis pembaca.
b. Deviasi Sintaksis
Deviasi Sintaksis terkait dengan struktur sintaksis, tata bentukan kalimat, dalam sebuah bahasa. Suatu bentuk struktur sintaksis dipandang sebagai bentuk deviasi jika bentuk itu mengalami penyimpangan dari kaidah struktur sintaksis bahasa yang baku. Dilihat dari satuan bahasa yang terlihat, struktur sintasis yang besar dan komples dari pada strutktur morfologis, maka kemungkinan terjadinya penyimpangan juga lebih beragam dan komples. Deviasi sintaksis dapat berupa permutasi (pengembalikan susunan) unsur kalimat, unsur kalimat tidak lengkap, struktur tidak gramatikal, tidak kohesif, tidak koherensif dan lain-lain. Contoh. Dalam teks-teks puisi yang mengalami deviasi gramatikal, deviasi struktue sintaksis dan morfologis ridak jarang ditemukan Bersama. Misalnya, pada bait puisi “Isa” di atas yang berbunyi /menguncur darah/, sebenarnya dapat juga dipandang sebagai sebuah bentuk deviasi sintaksis jika bentuk mrngucur itu dianggap menyimpang karena penghilangan akhiran -kan, itu adalah penyimpangan morfologis. Wujud penyimpangannya adalah permutasi unsur kalimat yang berpola subjek-predikat sehingga menjadi predikat-objek. Kata mengucur adalah kata kerja intransitif, maka tidak membutuhkan objek.
4. Deviasi Semantis
Deviasi Semantis adalah bentuk penyimpangan Bahasa yang terdapat pada semantic. Makna suatu penuturan dipandang sebagai bentuk deviasi jika struktur sintaksis yang mengandung makna itu mengalami penyimpangan dari makna konvensional sebagaiman yang terdapat di dalam kamus atau makna actual, makna denotatif. Peengertian deviasi semantic mungkin tumpeng tindih dengan deviasi leksikal, tetapi deviasi semantic lebih menunjuk pada penyimpangan makna pada struktur sintaksis dan bukan sekedar kata seperti pada deviasi leksikal. Contoh deviasi semantic sebetulnya secara tidak langsung sudah secara intensif dibicarakan di depan pada pembicaraan tentang permajasan.
Bersandar pada tari warna pelangi
Kau depanku bertudung sutra senja
Di hitam matamu kembang mawar dan melati
Harum rambutmu mengalun bergelut senda.
Makna keempat larik puisi itu jelas tidak menunjuk makna konvensional- denotative seperti ditunjuk dalam kamus. Makna larik-larik itu telah sengaja dibuat menyimpang dari makna tersebut.
5. Deviasi Grafologis
Deviasi Grafologis adalah bentuk penyimpangan Bahasa yang terdapat pada unsur ejaan dan tanda baca, grafologi. Suatu bentuk penulisan dipandang sebagai bentuk deviasi grafologi jika penulisan itu mengalami penyimpangan dari cara-cara penulisan yang konvensional dan baku. Contoh, berbagai puisi yang dicontohkan untuk berbagai pembicaraan di atas, pada umumnya juga mengandung unsur deviasi grafologis yang menyangkut penulisan huruf, kata, tanda baca, atau gabungin diantaranya. Misalnya, bait pertama puisi “Isa“ sebenarnya juga mengandung deviasi grafologis.
6. Deviasi Dialek
Deviasi Dialek adalah bentuk penyimpangan Bahasa yang terdapat pada unsur dialek. Sebuah puisi dipandang memiliki penyimpangan dialek jika puisi tersebut mengandung unsur dialek tertentu. Dialek itu sendiri dapat dipahami sebagai adanya perbedaan variasi bahasa yang disebabkan oleh penutur. Di pihak lain, penutur dapat berbeda-beda dilihat dari asal geografis, lingkungan sosial, dan keduanya dapat memunculkan dialek yang berbeda. Munculnya dialek karena faktor geografis disebut sebagai dialek regional, sedang yang karena faktor sosial disebut faktor sosial. Contoh, Puisi-puisi yang bernada dan bernuansa serius terlihat jarang memunculkan unsur dialek, namun puisi-puisi yang bernadasantai dan humoris banyak memanfaatkan unsur ini. Selain Darmanto Jatman, Linus Suryadi juga banyak memasukkan unsur dialek dalam puisi-puisinya
Deviasi Register adalah bentuk penyimpangan bahasa yang terdapat pada unsur register. Register tidak lain adalah ragam bahasa. Sebuah puisi dipandang memiliki penyimpangan register jika puisi tersebut mengandung unsur register atau ragam bahasa lain di dalamya. Ragam bahasa itu dapat berwujud ragam ilmiah, ragam pers, ragam surat, dan lain-lain termasuk ragam bahasa sastra.[4] Jadi, dalam pengertian ini diperjuangkannya berbagai ragam Bahasa lain selain ragam Bahasa sastra ke dalam teks-teks sastra khususnya puisi. Contoh, penggunaan bentuk dialog dalam puisi tidak sedikit dijumpai dalam puisi-puisi Indonesia. Puisi “Marto Klungsu dari Leiden” diatas juga menghadirkan dialog atau kata-kata Den Jeng Gung , ayah Marto Klungsu, yang juga dapat dipandang sebagai suatu bentuk deviasi register.
8. Deviasi Historis
Deviasi Historis adalah bentuk penyimpangan Bahasa yang berwujud penggunaan kata-kata arkais. Kata arkais dapat diartikan sebagai sesuatu hal yang berhubungan dengan masa dahulu atau berciri kuno, tua. Dan arkais sendiri berasal dari bahasa yunani. Sebuah puisi atau teks kesastraan pada umumnya memakai kata-kata yang umum dipakai pada masanya, masa ketika puisi itu ditulis. Contoh. Penyair indonesia modern dikenal banyak mempergunakan kata-kata arkais adalah Amir Hamzah. Dia juga dikenal amat piawai menggabungkan unsur lama, kata-kata arkais, dengan unsur baru, kata-kata yang kini lazim dipakai. Misalnya, dalam salah satu bait puisi “ Berdiri Aku” yang telah dicontohkan sebelumnya, mengandung kata arkais sebagai berikut
Benang raja mencelup ujung
Naik marak mengerak corak
Elang leka sayap tergulung
Dimabuk warna berarak-arak
Kata leka pada bait itu adalah contoh kata arkais yang berarti lengah atau lalai. Kata itu kini sudah jarang dipegunakan dalam kegiatan berbahasa. Secara keseluruhan puisi itu berisi deskripsi keadaan alam. Penggunaan kata arkais leka itu tempaknya untuk memperkuat unsur persajakan, yaitu sajak alirasi.
Langkah Kajian Aspek Deviasi
Sama halnya dengan langkah kajian unsur-unsur stile pada bab-bab sebelumnya, berikut proses kajian aspek deviasi
A. Tujuan kajian stilistika adalah untuk mengapresiasi keindahan teks-teks yang dikaji baik beupa teks puisi, fiksi, atau yang lain. Keindahan sebuah teks tidak jarang justru diperoleh lewat bentuk-bentuk penyimpangannya dari Bahasa yang baku.
B. Identifikasi berbagai aspek deviasi pada teks-teks yang telah ditetapkan dan diketahui mengandung unsur deviasi. Identifikasi dilakukan terhadap berbagai bentuk penyimpangan yang ditemukan yang semuanya berjumlah delapan buah.
C. Deskripsikan hasil telaah-identifikasi langkah kedua yang sudah dilakukan pada aspek deviasi. Langkah ini tidak berbeda halnya dengan penyajian data hasil kajian.
D. Jelaskan dan tafsirkan fungsi bentuk-bentuk deviasi itu dalam perannya untuk membangkitkan efek keindahan. Intinya perlu dijelaskan ketepatan atau sebaliknya ketidaktepatan penggunaan berbagai bentuk deviasi atau peran fungsionalnya.
[1] Burhan Nurgiyantoro, “Stilistika”, (Yogyakarta:
Gadjah Mada University Press, 2014), hlm. 289
[2] Ibid hal. 296
[3] Ibid hal. 310
[4] Agus Susanto, “Deviasi
dan Foregrounding dalam kumpulan puisi tidak ada New York hari ini karya Aan
Mansyur dan 99 Untuk Tuhanku Karya Emha Ainun Nadjib”,
Nosi, Vol. 5, No. 4, 2017, hlm. 10
DAFTAR PUSTAKA
Nurgiyantoro, Burhan. 2014. Stilistika, Yogyakarta: Gadjah Mada University Press
Susanto Agus, Mahasiswa Magister Pendidikan Bahasa Indonesia Pascasarjana Unisma, agussusanto123451@gmail.com. 22 April 2020