Tulisan ini akan menceritakan
tentang perjalanan kami bertujuh menuju Candi Dadi yang berada di dusun Mojo,
desa Wajak Kidul, kecamatan Boyolangu, kabupaten Tulungagung. Perjalanan kali ini dilakukan tujuh orang, diantaranya dengan mas Siwi Sang dari dewan kesenian kota Tulungagung beserta istri, Misbahus Surur dari dewan kesenian Trenggalek, serta empat teman lainnya. Perjalanan kami
mulai dari parkiran sepeda motor yang berada di rumah masyarakat di dusun Mojo,
sekitar jam delapan. Berbekal kamera Nikon D70 dan lensa Sigma Asperichal
28-80mm, saya mencoba menyusun kronologi perjalanan kami.
Di depan parkiran sepeda motor kami sempatkan
untuk mengambil gambar dengan background petunjuk arah menuju candi. Setelah
itu kami berjalan di gang kecil di sela-sela rumah warga. Saya yang baru kali
itu berkunjung penasaran dengan sambutan jalan yang sangat kecil dan terjepit
rumah warga. Lalu jalan kecil itu menyebrang sungai dengan jembatan bambu dan memasuki
kawasan papringan. Saya pun masih berjalan santai sambil mengamati apa-apa yang
menarik untuk difoto.
Foto dengan backgruond petunjuk arah menuju candi.
Awal perjalanan melewati jalan kecil di sela-sela rumah warga.
Melewati sungai dengan jembatan dari bambu.
Setelah keluar dari kawasan
papringan kami disambut dengan jalan yang meninggi dengan latar rumput liar dan
bebatuan besar berserakan tidak beraturan. Dingin pagi masih mewarnai
perjalanan kami saat itu. Suara kicauan burung-burung sedikit mencairkan
suasana jalan yang sepi. Selangkah demi selangkah kami terus saja menyusuri
jalan setapak yang terus meninggi. Tak jarang jalan setapak itu menelisik di
antara batu besar di kanan kirinya, dan kadang juga berkelok. Terus melangkah
menikmati pagi, tanpa kami sadari kami sudah berada lebih tinggi di atas
kawasan papringan yang telah kami lewati. Kalau menengok ke belakang, maka tampaklah
segerombolan pohon bambu (Orang-orang desa menyebutnya papringan).
Jalan berkelok di antara bebatuan.
Jalan setapak terus naik sepanjang
lereng bukit. Jalan setapak yang kami lewati selanjutnya merambat di lereng
bukit, diapit oleh dinding bukit di sisi kiri dan jurang sungai di sisi kanan.
Kami harus berhati-hati dalam memijakkan kaki. Karena jika pijakan terlalu ke kanan,
kaki bisa terpeleset, atau kemungkinan kedua jalan akan ambrol dan tentu tubuh
ini berguling-guling hingga dasar sungai. Pada saat itu jika kami arahkan mata
ini ke kanan, maka tampak hamparan luas area persawahan dan pemukiman warga di
kecamatan Boyolangu.
Jalan setapak di lereng perbukitan Walikukun.
Bukit yang kami lewati ini tak lain
adalah perbukitan Walikukun. Karena di sini memang ada banyak pohon
Walikukunnya. Setelah cukup lelah berjalan, kami beristirahat sejenak sambil
menikmati kecamatan Boyolangu dari ketinggian. Saya sempatkan memotret moment
tersebut. Setelah dirasa cukup beristirahat kami lanjutkan perjalanan.
Perjalanan kami berikutnya memasuki pepohonan dan rerumbukan. Daerah pesawahan
dan pemukiman penduduk tak lagi terlihat. Yang ada hanya pohon-pohon dan tumbuhan
liar di kanan kiri membatasi pandangan kami. Pada saat itu kami harus
berhati-hati, karena sebagian rerumbukan terdapat pohon berduri.
Dari setepak lereng bukit menuju pepohonan.
Setapak pepohonan diselingi dengan rerumbukan dan bebatuan.
Setelah melewati rerumbukan, jalan
terang lagi karena berada di lereng bukit. Kami sempatkan beristirahat sejenak dan menikmati pemandangan dari ketinggian. Lalu perjalanan kami lanjutkan dan tak lama kemudian kami dikejutkan dengan padang ilalang yang indah di
punggungan bukit yang cukup luas. Kamipun mengangkat tangan dan
merenggangkannya seakan ingin terbang. Angin yang semilir pun kami rasai
sebagai suasana baru. Setelah melewati lereng dan hutan, akhirnya kami bisa
sedikit mengeringkan keringat di tubuh. Di atas punggungan itu kalau kita
arahkan pandangan ke kiri, di sana tampak tebing curam di bawahnya pepohonan
dan perkampungan warga. Dan ketika kita arahkan ke kanan, tampak bukit lagi
yang tak kalah tinggi. Jika kita melihat ke depan, maka yang tampak hanya jalan
setapak yang semakin kecil menghilang tak berujung.
Dari pepohonan dan rerumbukan, kembali menyusuri lereng bukit.
Kami dikejutkan dengan adanya padang ilalang yang indah.
Tim Perjalanan seraca lengkap berfoto dengan latar Padang Ilalang yang indah.
Kami teruskan perjalanan melewati
lereng bukit diteruskan dengan tanjakan yang cukup panjang. Tanjakan tersebut
seakan meruntuhkan kebulatan tekad kami untuk sampai candi. Sepanjang tanjakan
beberapa kali kami berhenti untuk menghimpun tenaga lagi. Kondisi yang semakin
siang menjadikan tenaga terkuras. Air minum dalam botol keluar masuk tas untuk
membasahi tenggorakan kami.
Kamipun segera bangkit dan
meneruskan perjalanan. Mata berkunang-kunang dan nafas yang tersengal seakan
kami lupakan untuk segera sampai pada yang kami tuju. Tanjakan yang cukup
menjulang kami taklukkan dengan usaha keras. Dan jalan semakin kering dan
gersang. Mentari yang tadinya hangat menjadi semakin menyengat. Kamipun dengan
tergopoh-gopoh mempercepat langkah kaki. Dan tatkala mata melihat sebuah
susunan batu di puncak bukit, mulut kami tak mampu berkata-kata lagi. Kami
sudah sampai di candi Dadi.
Kami melangkah gontai, merasai pegal
kaki dengan kebahagiaan menatap candi. Kami perlambat langkah untuk tidak
segera melupakan usaha keras mencapai candi tersebut. Kami potret candi itu
dari kejauhan, sebagai tanda bahwa kami diujung kemenangan atas sebuah
perjalanan. Perjalanan selama 70 menit yang cukup melelahkan.
Saking bahagiannya, dengan menantang sinar matahari, saya potret candi Dadi.
Setelah kami mendekati candi, kami
mendengar suara serak sapu lidi. Ternyata itu adalah pak Andi, satu-satunya orang yang merawat candi
tersebut. Ia sedang membersihkan kawasan candi dari dedaunan yang gugur ditempa
angin. Kami pun segera bersalaman dengan beliau sebelum menggelar tikar dan
menikmati bekal.
Seketika sampai di candi kami
langsung membeber tikar lalu mengeluarkan singkong rebus dan langsung
menggigitnya, bersama dengan menunggu pak Andi yang sedang menyelesaikan menyapu.
Menunggunya untuk diinterogasi perihal candi. Rasa lelah masih menguntit di
sendi-sendi lutut dan pergelangan kaki. Namun saya sendiri segera bangkit untuk
memotret beberapa sisi candi, sebelum matahari menyulitkan pemotretan.
Menggelar tikar, menanggalkan lelah, dan menikmati singkong.
Menggigit singkong rebus berlatar candi Dadi.
Setelah pak Andi selesai menyapu, ia
kami ajak bergabung dan bercengkrama mengobrol seputar candi Dadi. Oh iya, pak
Andi sendiri adalah seorang yang dilimpahi untuk menjaga candi tersebut. Selain
itu ia juga salah satu petugas musium Wajakensis yang berada di Tulungagung. Candi Dadi terbuat dari susunan batu andesit. Menurutnya, nama candi Dadi berasal dari penamaan masyarakat sekitar secara
turun temurun, dan bukan nama dari istilah Arkeologi. Kata “Dadi” adalah dari
bahasa jawa yang artinya jadi. Nama candi Dadi sendiri dilatarbelakangi dari
bentuk candinya yang paling sempurna diantara keempat candi lain yang mempunyai
hubungan rangkaian cerita asal mula candi Dadi itu sendiri. Keempat candi itu
adalah candi Dadi, candi Gemali, candi Buto, dan candi Urung.
Konon, cerita dari masyarakat
tentang asal mula candi tersebut, yaitu bermula ketika salah seorang pangeran
melamar seorang putri dusun Kedungjalin. Lalu putri tersebut mau menerima
lamaran dengan syarat dibuatkan empat candi dalam satu malam. Pengeran pun
menyetujui persyaratan tersebut dan dimulailah pembuatannya. Maka ketika
keempat candi hampir jadi, dan waktu masih cukup, maka putri yang sejatinya
ingin menolak lamaran pangeran tersebut mencari akal untuk menggagalkan
pembuatan candi yaitu dengan menyuruh beberapa ibu desa membunyikan suara
lesung. Maka candi yang keempat pun belum selesai dibuat karena pangeran
mengira waktu sudah pagi. Candi yang keempat ini selanjutnya oleh masyarakat
dinamakan candi Urung, karena bentuknya yang tidak sempurna. Kata “Urung”
sendiri berasal dari bahasa jawa yang artinya Belum. Setelah pangeran tau tipu
muslihat itu, maka ia marah dan mengutuk para perempuan di desa itu, mereka
tidak akan mendapatkan jodoh melainkan setelah usianya menginjak tua. Menurut
pak Andi, memang benar bahwa sampai sekarang, mayoritas perempuan dusun Kedungjalin
bisa mendapatkan jodohnya di usia mulai tua.
Sedang penamaan candi Buto, karena
menurut masyarakat, dulu di atas candi tersebut terdapat sebuah arca besar yang
sekarang tidak kelihatan karena disembunyikan makhluk halus. Sedangkan nama
candi Gemali atau Lingga Gemali sendiri karena di sana terdapat lingga yang
mempunyai makna kesuburan lelaki. Hal itu memungkinkan karena
perempuan-perempuan dusun Kedungjalin menikah di usia tua.
Menurut pak Andi, banyak pendapat
mengenai fungsi candi Dadi pada masanya. Ada yang mengatakan untuk pendermaan,
ada yang mengatakan untuk pertapaan, ada juga yang mengatakan untuk pengabuan
(pembakaran mayat). Namun menurutnya, pendapat yang terakhir yang besar
kemungkinan kebenarannya. Karena upacara pengabuan pada masa lalu dilakukan
dengan melemparkan mayat dari menara yang dibangun tidak permanen. Biasanya
menara tersebut menggunakan rakitan bambu. Oleh sebab itulah candi Dadi tidak
mempunyai jalan masuk bahkan tak berpintu.
Mengenai fungsi candi pada saat ini,
menurut pak Andi, masih difungsikan untuk ritual oleh orang-orang. Orang-orang
yang ritual itu mayoritas berumur 40 lebih dan biasanya datang di malam hari.
Sedangkan pada saat-saat liburan, banyak juga dari kalangan remaja dan dewasa
yang berkunjung ke candi Dadi guna berwisata dan kunjungan situs sejarah. Candi
Dadi juga sering dijadikan wilayah penjelajahan pramuka, karena keelokan alam
sekitarnya.
Kami berdiskusi dengan Pak Andi (duduk paling kiri) perihal candi.
Pak Andi membuat peta buta mengenai posisi keempat candi.
Setelah kami mengobrol, lalu kami
menaiki candi tersebut dengan tangga bambu. Candi Dadi memang candi tunggal
yang tidak ada askes jalan maupun pintu untuk masuk. Setelah kami sampai di
atas candi, angin langsung menyambut dengan riang. Dari atas kita bisa melihat,
bahwa candi Dadi bagian bawah berbentuk persegi, lalu bagian atas segi delapan
dan di tengahnya terdapat sumuran. Menurut informasi, sisi candi sepanjang 14
meter, tinggi 6,5 meter, dan diameter sumuran 3,35 meter, serta kedalaman
sumuran sekitar 3,5 meter.
Dan yang aneh mengenai sumuran itu,
ketika hujan turun sederas apapun, di dalam sumuran tidak pernah menggenang
air. Air yang turun langsung meresap ke dalam. Sebagian masyarakat mempercayai
bahwa sumuran tersebut tersambung dengan pantai selatan. Sehingga air yang
jatuh langsung mengalir ke sana. Kalau saya lihat memang di dinding sumuran
tidak ada bekas genangan air. Jadi memang benar bahwa sumuran tersebut tidak
pernah menggenangkan air.
Menaiki candi dengan tangga bambu.
Mengenai wangsa atau waktu dibuatnya
candi Dadi masih menjadi misteri. Hal itu karena tidak ada penanggal pada
candi, dan belum ada serat maupun prasasti yang menyinggung keberadaan candi
tersebut. Ada yang mengatakan candi tersebut dibangun pada masa sebelum
Majapahit, yaitu pada masa kerajaan Kediri. Ada juga yang mengatakan dibangun
pada masa Majapahit.
Di atas candi kami sempatkan
mencabuti rumput yang tumbuh di sela-sela batu. Dan tanpa sadar saking asiknya
menikmati indahnya candi dan indahnya pemandangan daerah boyolangu dari
ketinggian, perut kami kemeletuk meminta isi. Lalu kami turun, dan membuka
bekal inti yaitu nasi mie dan telor ceplok masakan mbak Zakyzahra pengampu Pena
Ananda Tulungagung.
Di atas candi kami sempatkan mencabuti rumput yang tumbuh di sela-sela batu.
Kami berfoto di atas candi.
Setelah perut terisi, matahari tepat
berada di atas kepala. Waktu menunjukkan pukul setengah satu. Mau tidak mau,
dengan berat hati, kami harus turun meninggalkan candi yang menakjubkan
tersebut. Karena dalam rencana awal, selain mengunjungi candi Dadi, kami juga
akan mengunjungi situs Goa Pasir, goa Selomangleng, dan candi Sanggrahan. Pada
akhirnya kami pun turun di saat terik itu.
Saat pulang, setelah sampai pada padang ilalang, kami belok ke kanan.
Jalan menuruni padas bebatuan.
Pada saat turun kami tidak lagi
mengikuti jalan setapak yang kami lewati pada saat berangkat, namun ketika
sampai di padang ilalang punggungan bukit, kami berganti belok ke kanan, lalu
menyusuri jalan yang menurun hingga melewati sebuah makam. Di makam tercatat
nama Hyang Agung Cokro Kusumo. Mengenai nama tersebut, saya sendiri tidak tau
siapa dan apa perannya terkait dengan candi.
Bangunan makam Hyang Agung Cokro Kusumo.
Makam Hyang Agung Cokro Kusumo.
Setelah melewati makam tersebut,
jalanan menjadi mulus, karena sudah dicor dengan semen. Langkah kamipun semakin
nyaman dan lancar hingga perkampungan penduduk. Kami sampai di bawah dengan
rasa puas. Rasa pegal dan payah kami terbayarkan dengan keindahan candi Dadi
beserta keelokan alam sepanjang perjalanannya.
Berikut ini gambar yang saya ambil mengenai bentuk fisik candi dadi:
Candi Dadi dari depan.
Candi Dadi dari arah barat daya.
Candi Dadi dari arah timur laut.
Bebatuan kaki candi.
Kontur tubuh candi.
Sumuran candi. Di sana tampak bahwa bagian atas/atap candi berbentuk segi delapan.
Sumuran candi diameter 3,35 meter dengan kedalaman sekitar 3,5 meter.
Pojok atas atau tingkat atap candi.
Tingkat atap candi Dadi.
Pojok tingkat atap candi Dadi.
Salah satu sudut candi Dadi dari atas.
Titik temu antara tingkat atap candi yang berbentuk persegi dengan puncak atap candi yang bersisi segi delapan.
Puncak atap candi yang bersisi segi delapan.
Wohoooo! Menarik sekali artikel Candi Dadi ini. Sebagai penggemar arkeologi saya sangat mengapresiasi sekali usaha kalian untuk mengenalkan candi Dadi ke khalayak umum. Minimal saya lah, karena saya baru tahu ada candi yang berdiri utuh di puncak bukit, tanpa tangga masuk dengan lubang menganga besar di tengahnya. Itu yang makin bikin saya penasaran untuk singgah kemari...suatu saat nanti semoga...
BalasHapuscatatan perjalanan candi Dadi Tulungagung yang mengesankan mas Faiz. keren.
BalasHapusCandi Dadi memang patut dibanggakan, karena masih orisinil dan belum pernah dipugar.
BalasHapusmenarik, informatif
BalasHapusBentuknya unik ya, kira-kira ini candi jaman kerajaan apa?
BalasHapusEstimasi pada masa Hayam Wuruk, Majapahit.
BalasHapusKeren Pak Faizun. Semangat terus mengekplore sejarah Kab Tulungagung.
BalasHapus