Bagi para perantau, pulang kampung adalah hal yang paling berharga. Setelah berpisah bertahun-tahun, berjumpa dengan kerabat, sanak famili, dan tetangga, tak bisa ditawar lagi. Namun apa daya dengan Sinyo dan teman-temannya yang sudah bertahun-tahun tidak pulang kampung. Bagi mereka lebaran Idul Fitri adalah hal yang paling menguntungkan. Bukan karena pulang kampung, melainkan di Jakarta yang biasanya seperti padang tandus yang gersang, saat lebaran tiba menjadi mata air yang tak akan habis diteguk siapa saja.
Bagaimana tidak, bermacam-macam pekerjaan bertumpuk-tumpuk dan berbondong-bondong menghampiri mereka, dengan tips berlipat-lipat tentunya. Mulai dari pekerjaan babu hingga pekerjaan konglomerat. Sampai-sampai Sinyo beserta teman-temannya sering mengatakan, kerja satu minggu dengan gaji satu semester. Hmmm… benar-benar Jakarta terasa surga.
Di saat malam menjelang gerimis, maka seluruh ingatan hanya tergambar akan kampung halaman. Lagi-lagi warung kopilah sebagai penawar semua itu. Mereka bertiga, Sinyo, si wajah legam, dan si pipi lesung sedang bertengger di angkrik warkop bu Mesem. Ngomong-ngomong soal famili di desa, ketiganya kembali teringat pada tebakan-tebakan yang dulu dilontarkan eyang Kakung, seorang tua yang tak henti-henti bercerita tentang apa saja pada anak-anak, diantaranya adalah soal tebakan.
”Tuma ngguyu?” eyang kakung melontarkan satu tebakan setelah usai menceritakan kisah ande-ande lumut yang lebih tertarik dengan putri jelek dengan akhlak mulia ketimbang putri lainnya yang hanya cantik parasnya. Pada saat itu anak-anak hanya bengong, karena dipikir-pikirpun enggak sampai juga.
”Watu lima ditunggu cuyu” seperti biasa akhirnya eyang kakung sendirilah yang menjawabnya, lalu anak-anak tergelak tawa mereka sendiri.
”Wiwawite, lesmbodhonge, karwolase?”
Lagi-lagi anak-anak hanya terheran-heran dengan tebakan itu. Ditunggunya eyang Kakung untuk memberikan jawabannya.
”Uwi dawa wite, Tales ombo godhone, cikar dowo tilase.”
Kemudian si wajah legam yang masih bau kencur saat itu meraba-raba logika yang baru dijawab oleh eyang Kakung, Uwi panajang pohonnya, Tales lebar daunnya, dan gerobak sapi panjang jejaknya. Hmmm... lalu si wajah legam mengangguk-angguk mengerti.
”Nah, ini yang terakhir; Nyidhangtan tanberukbilma linaklitulitelinga?” Ucap eyang dengan bibirnya yang maju mundur saat mengucap Linaklitulitelinga.
”Waduh, susah banget sih, yang!” pipi lesung protes karena tebakan terlalu panjang.
”Nyai adhang ketan, ketan seberuk kambile lima, lali anak lali putu, silite mili lenga” eyang langsung menjawab saja.
”Ha! Apa maksudnya, eyang?” Sinyo bertanya penasaran.
”Hehehe... maksudnya, Nyai memasak ketan, ketan seciduk kok kelapanya lima, ya pasti kebanyakan dong. Dan semua ketan itu dimakan si Nyai karena dia lupa sama anak dan cucu. Nah, karena kebanyakan makan ketan dengan lima kelapa, makanya duburnya mengalir minyak. Hahahaha...”
Anak-anak masih diam saja meski eyang tertawa-tawa. ”Apa sih maksud eyang Kakung, nih”, mereka hanya berkata dalam hati. Dan suatu saat nanti, anak-anak itu dengan sendirinya akan mengerti juga, Sebagaimana malam ini Sinyo, wajah legam, dan si pipi lesung hanya tertawa kecil saja, sambil menikmati kopi hangatnya.