Liburan tahun baru 2012 lalu saya pulang kampung. Sepanjang perjalanan pikiranku selalu bergelayut nggak sabar pingin melihat keponakanku yang masih berumur 3 tahun. Namanya Ummu Hasna Aura dipanggilnya Aura. Anaknya cerdas, umur 3 tahun sudah mempunyai perbendaharaan kata yang banyak. Dalam berkomunikasi ia juga bisa berdialog secara logis tentang hal-hal kecil, ada pun saat mendengar kata baru ia selalu bertanya. Ya, itu seklumit kalimat tentang Aura.
"Iwak peyek.. iwak peyek sego tiwul, Aura elek koyok telek, sampek matek Aura mentul" Badanku tersentak saat mendengar lirik lagu Sagita itu meluncur begitu lancarnya dari mulut kecil Aura. Oh my god, seorang anak imut yang bersih sudah bisa mengatakan perkataan yang saya pun nggak bisa berimajinasi secara sempurna dengan liriknya. Meski keluar dari mulut kecil dengan karakter suara jenaka, lirik sagita assololey tetap terasa pedas di dua telinga saya.
Usut punya usut, dia memperoleh perbendaharaan kalimat itu dari suara musik sagita yang sering diputar tetangga. Saat itu juga pikiranku berputar mencari jalan keluar untuk mengimbangi secercah noda di dunia kata-kata Aura.
Aku jadi teringat kaset VCD yang saya beli secara kebetulan saat jalan-jalan di Pasar Minggu di stadion Gajayana Malang. Kaset itu berisi sekumpulan tembang dolanan diiringi dengan tari kreasi anak-anak yang dibawakan oleh Sanggar Greget Semarang. Aura langsung aku gendong, aku hadapkan ke laptop dan kuputarkan video itu. “Mentok.. mentok.. tak kandani mung lakumu angisin-ngisini lha mbok ojo ngetok ono kandang wae enak-enak ngorok ora nyambut gawe.. mentok-mentok mung lakumu megal-megol gawe guyuuu”. Awalnya Aura nggak begitu respon dengan lagu itu, tapi ia tetap melihat lantaran gambar mentok di topi kostum penari. Itu dua bulan lalu, dan menjelang tahun baru aku pulang dengan segenap harap untuk mendengar Aura menyanyikan lagu mentok.
Sesampai di rumah aku tak sabar lagi untuk memperlihatkan tari-tarian baru yang sudah aku persiapkan di leptop yang aku copy dari salah satu teman jurusan Seni Tari Universitas Negeri Malang. Nah, itu dia si Aura kecil berjalan melanggak-lenggok manja. Langsung saja aku sambar, lalu aku dudukkan di depan leptop dan aku putarkan video Lomba Seri Tari kreasi anak-anak sanggar tari Kembang Sore Tulungagung. Oh, benar sekali apa kata ibu, Aura menyimaknya dengan seksama dan tentu dengan tangannya yang kecil hendak mengikuti gerak pada tarian itu.
Selama tiga hari di rumah tak jarang aku dengar sriwing-sriwing lagu tembang dolanan yang dinyanyikan Aura secara sadar. Dan yang lebih membuatku gemas dengan dia, secara kebetulan diam-diam saya amati Aura sedang menyanyi dengan gerakan tangan dan badan di depan cermin. Hehehe... Ia juga memutar-mutar tubuhnya yg kecil diiringi tembang dolanan yang keluar dari mulutnya yang kecil juga. “Aku duwe pitik, wulune blirik. Cucuk kuning jengger abang tarung mesti menang. Sopo wani karo aku musuh pitikku”. Hahaha
Budaya yang seharusnya diperuntukkan orang dewasa, saat ini bisa dikonsumsi anak-anak secara bebas. Seperti lagu-lagu dengan lirik jorok, tentang cinta-cintaan dan video dangdut yang menampilkan bagian besar anggota tubuh menjadi tontonan dan dengaran anak-anak sehari-hari. Di kota maupun di desa lagu dangdut koplo dengan lirik keras menjadi hiburan masyarakat di sela-sela aktifitas mereka. Kita sadar akan hal itu namun kita tidak sadar bagaimana pengaruhnya pada anak-anak di sekitar yang mau tidak mau ikut mendengarkannya.
Dalam perkembangan psikologis anak, anak usia 3 tahun berada di usia simbolis. Dimana mereka mulai mengenal sesuatu sebagai simbol yang bisa direpresentasikan. Anak sudah bisa mengenali suatu bunyi atau bau yang khas dengan arti yang khas. Simbol pada usia ini melebihi dari yang sesungguhnya, misalnya ketika anak memegang sebatang kayu, yang tercermin adalah sebuah pedang. Dari segi kata-kata sedemikian rupa. Saat mendengar kata-kata yang terucap akan tercipta arti dari kata-kata tersebut lalu akan menimbulkan kesan-kesan dan kejadian-kejadian dalam diri anak, menemukan hubungan-hubungan relasi sebab akibat. Dengan bertambah banyaknya cara berpikir, anak akan mengambil kesimpulan secara umum. Seperti halnya anak-anak terbiasa mendengarkan lagu-lagu jorok atau menonton tontonan orang dewasa hal itu akan menjadikannya biasa dengan hal itu, dan kebiasaan bagi mereka adalah pembenaran.
Menghentikan lagu-lagu berlirik keras di sekitar kita sepertinya tidak mungkin kita lakukan. Namun demikian kita bisa meminimalisir pengaruh itu dengan mengembalikan anak-anak pada dunianya. Upaya-upaya yang bisa kita lakukan diantaranya menyuapi jiwa mereka dengan kearifan dongeng-dongeng, memperdengarkan telinga mereka dengan lagu anak-anak atau tembang dolanan, membelikan mainan edukatif (permainan yang bersifat mendidik), dan lain sebagainya.
Dan kegemaran Aura akan lagu-lagu dolanan serta tari-tarian tradisional di pergantian tahun ini, menjadi Kado Tahun Baru paling istimewa bagi saya.
Ini dia Si Aura.