Soeharto, entah angin apa yang mempertemukan kita
di bangku kayu.
Lalu kita bernyanyi bersama. Merasai kelakar remaja. Tanpa cinta.
Tak satu pun waktu menggelak kata cinta dari bibirmu,
Lalu kita bernyanyi bersama. Merasai kelakar remaja. Tanpa cinta.
Tak satu pun waktu menggelak kata cinta dari bibirmu,
selain lagu-lagu yang
kita nyanyikan. Atau barangkali lagu-lagu itulah
suara cintamu. Pada siapa? engkau juga tak pernah mengatakannya.
Dan saat kita bernyanyi, kutumpahkan amarahku pada Tuhan.
Karena satu ciptaanNya yang selalu di mataku,
suara cintamu. Pada siapa? engkau juga tak pernah mengatakannya.
Dan saat kita bernyanyi, kutumpahkan amarahku pada Tuhan.
Karena satu ciptaanNya yang selalu di mataku,
berlalu
seperti parit di sisi pondok kita.
Mengalir pelan, menyereti butiran-butiran rinduku. Dan kau tau saja,
saat kemarau tiba, butiran itu menjadi debu berterbangan di angkasa.
Mengalir pelan, menyereti butiran-butiran rinduku. Dan kau tau saja,
saat kemarau tiba, butiran itu menjadi debu berterbangan di angkasa.
Saat itulah aku berusaha menjadi awan, dengan segala ketegaran.
Namun hujan mengirimku kembali. dan kau tahu,
parit itu telah tiada.
Tak tahu lagi harus kepada siapa aku merindu.
Aku pun rebah di tepi daun dengan segala sepi.
Tak tahu lagi harus kepada siapa aku merindu.
Aku pun rebah di tepi daun dengan segala sepi.
Itu Sepuluh tahun lalu.
Kini kita bertemu. Senyummu tetap sama. Membawa rasa iba.
"Apa kau masih sering bernyanyi?" kubertanya padamu.
Dan tetap ku tak tahu, apakah kata cinta dengan seutuh ruhnya
pernah benar-benar mengalir dari bibirmu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar