Apakah langit masih biru? Kita duduk
saja di tepi lautan. Memandangi langit biru dengan bintil-bintil awan
yang terlihat tenang. Tapi wajahmu tetap hujan lantaran air mata
deras membasahi pipimu yang merah merona. Sekarang bulan April, seharusnya musim hujan sudah
berlalu.
Belum lama kita mengenal, tapi aku
sudah tau ketegaranmu. Caramu berbicara, caramu mengolah kata, aku
tahu sekali itu hanya bisa diselesaikan oleh orang-orang yang berjiwa
kekar. Sebelum kata terucap pun aku sudah tahu, dari jarak antara
kedua matamu, bahwa kamu adalah orang yang tegas dan berpegang teguh
pada prinsip-prinsip hidup, untuk mengatakan kurang bisa
bertoleransi.
“Aku semakin ragu dan tak yakin.”
Kalimat itulah yang membawa kita ke sisi dunia yang amat luas ini.
Yang mungkin bagimu hanya seluas harapan-harapan yang jauh untuk
tercapai. Bagiku kalimat itu adalah kesimpulan yang terburu-buru.
Kesimpulan yang bisa saja muncul karena terlalu menggebu untuk sebuah
harapan. Keraguan akan mengacaukan segalanya, mengakukan gerak dan
mempersendat langkah.
“Apakah dia mencintaiku?” Lagi-lagi
pertanyaan yang menodong dan mencoba memotong perjalanan alam yang
wajar. Masih satu minggu, sahabatku, bukankan itu terlalu buru-buru.
Cinta bisa datang kapan saja, tentu, cinta
secara wajar akan datang setelah sekian lama. Terlebih kamu belum
pernah bertemu. Belum pernah bertemu tapi kamu sudah mencintai,
menyembul sebuah pertanyaan dalam hati kecilku; apa itu benar cinta.
“Aku yakin, itu datang dari hatiku
yang terdalam.” Kata-katamu memang yakin. Namun, aku meragukan
hatimu seyakin itu. Membedakan hati dan nafsu sepeti kamu memisahkan
air dan kopi dari secangkir kopi yang tersaji. Bukankah
terkadang nafsu juga ikut campur dalam kebaikan. Seperti
keikutsertaannya dalam asmara.
“Ya, aku tahu dari pembicaraan itu,
entah apa yang membuat ia berbeda sekali dengan laki-laki lain yang
aku kenal selama ini. Juga dari ceritamu, siapa ia, bagaimana ia.”
Aku berusaha memahami jalan perasaanmu. Kata-kata memang bisa menjadi
jerat bagi siapa saja. Dalam pembicaraan apapun, satu kelemahan jika
kamu tidak mengetahui bagaimana raut mukanya. Karena ucapan yang
sempurna hanya bisa terjadi dengan gerak tubuh dan raut muka. Ya,
bolehlah kamu mencintainya, tentu tidak sedemikian dalam untuk waktu
yang singkat.
“Tapi lihatlah diriku saat ini. Aku
merasa bukan diriku seperti dulu lagi. Aku menjadi cengeng. Bahkan
untuk urusan remeh seperti ini. Lihatlah, lihatlah aku menangis untuk
macam rasa nggak jelas ini. Lihatlah.” Kamu berkata manja sekali.
Jelas bukan dirimu yang selama ini aku kenali. Kamu menjadi seperti
itik yang kehilangan induknya. Namun itu manusiawi. Di negeri china
ada seorang panglima perang yang tidak pernah menitikkan air mata,
melainkan karena seorang wanita yang dicintainya.
Ya, itu manusiawi. Kucurkan air matamu, sampai ditelan udara.
“Lantas, apa yang
harus aku lakukan?” Pertanyaan ini memaksaku menjadi dirimu. Akupun
berusaha menjadi dirimu dengan batas sifat dan keinginanmu yang aku
ketahui. Namun perasaan cinta, kujumputkan
saat aku baru mengenal gadis berpuluh tahun lalu. Lalu aku bayangkan
sebagaimana kisahmu saat ini. Maka tersimpul satu keputusan. Aku
harus tetap menghubunginya, meski dengan perasaan sedikit kecewa.
“Kenapa harus aku
yang memulainya. Aku ini wanita. Aku ini wanita, bukan laki-laki.
Tidak pantas untuk berlaku seperti itu. Dialah yang seharusnya
memulai. Aku ini wanita, tidak pantas untuk memulainya.” Kamu
berkata tidak terima. Ah, masih saja ada pembeda laik-laki dan
perempuan dalam kondisi saat ini. Buanglah jauh-jauh egoismemu itu.
Kedepankan keberhasilan harapanmu,
keberhasilan cintamu.
“Tidak. Aku tidak
akan melakukan hal itu. Aku tidak boleh merubah diriku untuk menjadi
itu. Di sisi lain, keberadaanku ini mustahil sekali untuk melakukan
hal itu. Atau aku akan terjungkal di lembah kehinaan.” Tidak, sama
sekali tidak merubah kamu sedikit pun. Ini hanyalah teknis
berkomunikasi. Seperti halnya saat kamu
berbicara dengan anak-anak, tentu tidak sama dengan saat kamu
berbicara dengan orang tua. Dan kalau kamu bilang tidak ingin
berubah, tetap pada jiwamu yang dulu, aku katakan bahwa sebenarnya
kamu berubah jauh dari yang dulu. Ya, saat ini kamu telah berubah.
Air matamu yang mengucur, keluhanmu, dan kekecewaan yang dalam sudah
mencabutmu dari sifat dan karakter aslimu. Kau sudah berubah
sekarang.
“Aku benci sekali dengan sikapnya.
Kenapa ia tidak menganggap keberadaanku, mengapa ia tidak
menghubungiku, menanyakan keadaanku, menanyakan kabarku.”
Mencintai. Ya, mencintai. Kau harus belajar mencintai. Cinta itu
penyatuan, sahabatku. Dan untuk menyatukan itu dirimu harus
pandai-pandai memberi. Berikanlah jiwamu padanya, dengan setulusnya.
Tentu kau sudah tahu akan ketulusan itu. Ia tidak akan mengharap
balasan.
“Apa barangkali ia tidak
mencintaiku?” Untuk mengetahui apakah ia mencintai atau tidak
diperlukan pengetahuan-pengetahuan lainnya. Meski ia tidak
memperhatikanmu saat ini, ia bukan berarti tidak menaruh hati padamu.
Kadang, wujud cinta sesorang tidak harus menyentuh cinta sertamerta.
Terlalu singkat untuk sebuah keputusan. Cinta bisa datang kapan saja,
dimana saja. Namun, kematangan cinta akan akan bisa tercapai dalam
jangka lama.
Tegarkan jiwamu, ingatlah para
laki-laki yang meminangmu tapi kau tolak dengan tegas, dengan kata
lugas. Ingatlah bahwa masih banyak laki-laki
dengan kualitas, yang tidak sembarangan
yang siap menerimamu. Kamu tidak perlu menangis sesenggukan seperti
ini. Kembalilah pada dirimu yang dulu, yang selalu tegar dengan
tantangan, yang tak pernah kenal dengan keputusasaan. Maka saat itu
langit tak biru lagi, lantaran dipanggang senja. Dan tanpa
kusadari, air matamu telah mengering.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar