Sarpan tiba-tiba menari-nari di
tengah jalan. Tubuhnya meliuk-liuk dilanjutkan ke tangan, leher, dan kepalanya.
Bersama dengan tarian itu, mulutnya juga tak henti-henti bernyayi dengan nada
yang aneh. Sebuah nada kebebasan, digetarkan dengan pita suaranya yang serak
lantaran usangnya usia.
“Pooooolisi guoblok. Poooolisi
kampret. Poooolisi anjing. Aku punya bukti. Aku punya bukti.. Pooolisi asu.
Pooooolisi bajing. Lawan aku kalau kau ingin mati”. Kata-kata itu mengalun dari
mulut Sarpan dengan bebas lepas.
Orang-orang yang bergerumbul
mengerubungi polisi melihat keheranan. Semua seperti ingin menari dan menyanyi
layaknya Sarpan itu. Polisi-polisi yang menyita STNK motor terus mencecar
pengendara dengan pertanyaan-pertanyaan yang menyudutkan. Dan terus mencecar
mereka seakan-akan polisi itu berusaha mengalihkan perhatian para pengendara
dari Sarpan.
Namun apalah daya. Gerakan-gerakan
dan alunan kata-kata Sarpan lebih menarik untuk mereka dengar dan lihat.
“Lampu tidak nyala, helm tidak standar”.
Polisi sudah berkata, tapi pengendara tidak menyimaknya malah pandangannya
menoleh ke Sarpan. “Maaf, pak. Anda kena tilang. Denda semua lima puluh ribu”.
“Oh iya. Oh, maaf. Kesalahan saya apa
pak?” Pengendara bertanya lagi karena tidak menyimak.
“Makanya dengarkan saya. Dia itu
orang sinting, jangan diperhatikan. Kamu tidak menyalakan lampu, dan helmmu ini
bukan helm SNI. Kamu kena tilang dua pelanggaran. Total seratus ribu. Mau titip
apa sidang?”
“Oh, anu mas, pak. Titip saja”.
Begitu mendengar kata sidang, pengendara itu langsung ketakutan. Dalam
bayangannya muncul dirinya sebagai pesakitan duduk di kursi tersangka. Dan di
hadapannya hakim-hakim dengan palu di tangan mereka. “Tapi ya jangan seratus
pak. Lima puiluh ribu ya pak?”.
“Kamu itu sudah melanggar, minta
diskon lagi. Sini, mana uangnya!”.
Pengendara itu mengambil satu lembar
lima puluh ribuan dari sakunya. Namun sebelum dikasihkan polisi uang tersebut
diam-diam disobek jadi dua. lalu satu sisi dilipat dan dikasihkan ke polisi. Oleh
polisi uang tersebut langsung dilemparkan ke dalam saku besar di belakang jok
mobil patroli. Di sana tampak berjubel uang tidak tertata dengan teratur.
Sarpan masih saja bernyanyi dan
menari. Ia memaki polisi dan juga pengendara yang ditahan STNKnya. Kata-kata
bodoh, goblok, dungu, badui, tidak henti-henti tumpah dari mulutnya yang renta.
Salah seorang polisi dari kawanan
polisi-polisi yang sedang beroperasi itu mendekati Sarpan dan hendak
menghardiknya. Namun usaha itu digagalkan oleh polisi lainnya yang manariknya
ke salah satu sisi jalan.
“Dia jangan diganggu. Hape di
tangannya itu ada rekaman pembicaraan dia dengan polisi tentang titipan sidang.
Kalau sampai kita ganggu, dia nanti malah membuncah dan persoalan ini akan
muncul ke permukaan. Biarkan saja dia ngoceh sendiri. Toh orang-orang
menganggapnya orang gila”. Mendengar penjelasan itu polisi mengangguk-angguk
mengerti, lalu ia melanjutkan eksekusi para pengendara yang melanggar aturan.
Begitulah kelakuan Sarpan setiap
kali ada operasi polisi kepada para pelanggar aturan. Dulu Sarpan dikenal
sebagai seorang yang disiplin. Disiplin dalam semua hal. Mulai tepat waktu,
menepati janji hingga makan sampai memotong kuku. Dia sampai seperti sebuah
robot yang dikendalikan waktu. Pada urusan mengendara juga sama. Dia selalu menyalakan
lampu, memakai helm, dan motornya juga lengkap dengan tanda rambu-rambu.
Namun semua itu berakhir. Ceritanya
berawal dari sebuah peristiwa. Begini kronologinya.
Suatu pagi, dia bersiap menuju ke pasar. Sebelum berangkat dilihatnya sebuah catatan di papan yang menempel di tembok kamarnya. Catatan itu tentang apa yang akan dilakukannya pada hari itu, beserta kelengkapan yang harus dibawanya. Sangat detail sekali. Misalnya dengan sub bab Mengendara Sepeda Motor, list yang tertera dibawahnya; dompet, sim, helm, pelindung dada, dan masker.
Setelah kesemuanya perlengkapan di
bawa, lantas ia hendak menaiki motornya yang meskipun Vespa tahun tua, namun
masih mengkilap. Dan sial, ketika bokongnya menyentuh jok Vespa, terasalah
sesuatu yang lembek dan berair. Setelah diraba dan dibau, ternyata dia
menduduki taik Lincung yang keluar dari dubur ayam.
Tanpa berpikir panjang ia langsung
ganti celana dan mengelap jok Vespanya. Lalu segera meluncur ke pasar. Bersama
hangatnya mentari, Sarpan menuju ke pasar dan menikmati udara yang cukup segar.
Setiba di tikungan, tiba-tiba dua orang polisi menghentikannya. Begitu juga
dengan motor lainnya ada beberapa yang dihentikan. Pertama yang ditanyakan
polisi itu adalah SIM dan STNK. Seketika itu tangan Sarpan merogoh sakunya. Dan
ia terkejut karena dompet, dimana SIM dan STNK tinggal di dalamnya, tidak ada
dalam saku.
Ia baru teringat kalau waktu ganti
celana, dompetnya tidak dipindah ke celananya yang baru dipakai. Sarpan pun
meminta maaf kepada polisi dan meminta izin untuk mengambil dompetnya yang
ketinggalan. Namun usaha itu tidak mendapatkan izin dari polisi yang
mencegatnya. Sanksi tilang langsung dijatuhkan dengan membayar denda seratus
ribu rupiah.
Lagi-lagi solusi titip sidang
menjadi jalan utama sebagai efisiensi pengurusan pelanggaran. Dengan titip
sidang, pelanggar tidak perlu bolak-balik menyelesaikan kasusnya. Saat itu juga
menjadi pilihan utama bagi Sarpan yang terjebak dengan keadaan. Untung saja ada
tetangga Sarpan yang lewat, sehingga dia bisa hutang uang untuk membayar denda
itu. setelah membayar denda, Sarpan pun bersama Vespanya bisa melenggang bebas.
Peristiwa itu menumbuhkan bibit
dendam pada polisi. Ketaatan dan rasa hormat pada penegak hukum yang selama ini
dipegang teguh, kini hancur lebur. Dan rasa dendam itu tidak cukup hilang dari
hari kehari, namun semakin bertambah tumbuh subur. Maka ia mulai mencari-cari
keburukan polisi. Mata dan telinganya dibuka lebar-lebar. Begitu juga dengan
otaknya. Analisisnya mulai saat itu dipertajam dengan membaca undang-undang dan
perangkat hukum lainnya.
Hasilnya sungguh luar biasa. Dia
menjadi tahu betapa kesalahan yang begitu banyak menjadi sebuah kebenaran
universal. Begitu sebaliknya, banyak kebenaran yang justru menjadi kesalahan.
Dia tahu, hampir semua truk yang ada di negaranya, semuanya melanggar batas
tonasi muatan. Dia juga tahu bahwa timbangan truk yang ada di beberapa jalan
itu tak lain hanyalah tukang palak yang dilegalkan. Dia juga menjadi tahu bahwa
tarikan-tarikan uang yang ada di kantor-kantor kepemerintahan, sebenarnya
adalah pungutan liar karena tidak memiliki kekuatan hukum.
Pengaspalan jalan, pembangunan
gorong-gorong, pembangunan fasilitas umum, pengadaan barang, semuanya jika
dikalkulasi secara perinci, maka semuanya penuh kebohongan belaka. Karena
semuanya tidak sesuai dengan anggaran yang disediakan. Proyek-proyek semacam
itu menjadi ajang mencari keuntungan pribadi oleh para penyamun berseragam.
Bahkan dalam wilayah religi yang seharusnya terbebas dari hal-hal seperti itu
malah menjadi makanan empuk bagi koloni-koloni pemerintah. Seperti pengadaan
al-Qur’an, pembangunan masjid, semuanya dipangkas habis.
Saat Sarpan sudah terbuka lebar,
jiwanya longgar, dan daya pikirnya hidup, dia mulai membuat onar di beberapa
kesempatan. Pertama kalinya saat dia membuat onar di operasi polisi terhadap
para pengendara motor.
Dia dengan sengaja mencopot plat
nomor motornya. Dia begitu saja melenggang di gerumbulan pemeriksaan kendaraan oleh
polisi. “Priiiit” suara semprit polisi menghentikannya dari laju motor.
Setelah Sarpan berhenti, polisi itu
memeriksa surat-surat motor beserta SIM pengendara. Setelah semua beres, maka
dilihatnya secara benar-benar motor Sarpan, dan mulai mencari kesalahan sekecil
apapun. Bahkan dalam banyak kasus, polisi sering menyalahkan sesuatu yang
benar. Dan ketika mata polisi melihat ketidakadaan plat nomor Sarpan, ia
langsung saja menjatuhi tilang dengan denda seratus ribu. Sarpan ketika itu
berusaha tenang dan menahan emosinya. Ditunggunya saat yang tepat untuk
menumpahkan kejengkelannya pada polisi.
“Ini, bapak pilih sidang atau titip
saja?”, ucap polisi sembari menulis di surat tilang.
“Apa pak?” Sarpan bergaya tidak
mendengar.
“Bapak pilih sidang, atau titip di
sini saja?” Polisi mengeraskan suaranya.
“Apa kamu bilang? Titip? Siapa yang
membuat aturan seperti ini? Mana undang-undangnya titip sidang? Hah mana? Nama
kamu siapa? Besok kita bertemu bersama provos?”
“Sebentar.. tenang. Tenang dulu
bapak. Maksud saya tadi ya ini, jika keluarga bapak ada yang polisi atau
militer, maka persoalannya selesai di sini saja. Santai aja pak, masak gitu aja
bekengkengan.”
“Santai, santai, aturan dari mana
itu?”.
“Keluarga bapak ada yang militer?”
“Iya. Kenapa?”
“Tenang dong pak. Tenang. Bapak
seharusnya bilang sedari tadi. Kalau cara bapak seperti ini itu mengadu domba
namanya. Kalau saya masuk sel, nanti anak istri saya makan apa?” Polisi itu
memelas. Namun Sarpan tersenyum lebar dalam hatinya. Tipu muslihatnya berhasil
melumpuhkan polisi.
Sarpan tidak selugu yang dulu.
Peristiwa itu tidak cukup sampaai di situ. Semua perbincangan dengan polisi
tersebut direkam secara lengkap dengan hape yang dikantongi di sakunya. Setiap
kali dia melanggar, dia mengeluarkan hapenya dan memperdengarkan rekamannya
kepada polisi. Dengan cara itu dia bisa bebas melenggang dengan seabrek
pelanggaran.
Dia juga pernah berteriak-teriak
protes, karena saat dikenai tilang, saat itu juga melaju di sisinya sebuat truk
gandeng dengan muatan melebihi batas, namun dibiarkan saja oleh polisi yang
ada. Semakin hari Sarpan semakin liar tak terkendali. Polisi, pejabat, selalu
dicaci maki secara frontal jika dia mempunyai bukti pelanggaran.
Suatu
hari presiden akan berkunjung ke daerahnya. Sarpan sudah bersiap dengan
kebebasannya untuk mengomel sepuasnya di hadapan presiden. Semua sudah
dipersiapkan, termasuk daftar kesalahan presiden yang begitu panjang.
Ditumpangkannya bokongnya di jok Vespa. Dan terasalah sesuatu yang lembek dan
berair. Ia segera ganti celana, karena taik Lincung yang keluar dari dubur
ayamnya mengenai celana. Ia lupa, bahwa ayamnya selalu membuat kesalahan,
dengan bertengger dan berak di atas motornya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar