Di
sebuah hutan yang lebat hidup sepasang elang. Kedua elang itu bebas hidup di
alam. Mereka terbang mengitari hutan, mengepakkan sayapnya di atas tebing, dan
jika sudah lelah mereka bertengger di pucuk-pucuk pohon yang tinggi.
Di pagi hari mereka terbang tinggi. Lalu
berputar-putar di udara. Di atas udara yang tinggi itu matanya selalu mengawasi
daratan. Mereka mencari ular, tikus, dan ayam untuk dijadikan makanan. Cakarnya
yang kekar siap mencengkram, dan paruhnya yang runcing siap mengoyak daging hewan-hewan
kecil tersebut. Ketika melihat mangsanya di daratan, sayap elang itu menekuk
dan terbang menukik menghampirinya.
Kedua elang itu sejatinya adalah
suami istri. Mereka saling berbagi dan saling menyayangi. Mereka hidup berpindah-pindah
dari satu pohon ke pohon lain. Hingga pada saat elang betina akan bertelur,
maka mereka mencari pohon yang paling tinggi di antara pohon-pohon di hutan
itu. Di pucuk pohon itu mereka membuat sarang untuk bertelur elang betina.
Mereka berdua mencari serpihan-serpihan batang dedaunan dan merajutnya menjadi
sebuah sarang yang bagus.
Setelah sarang yang dibuat sudah
sempurna, elang betina bertelur di atasnya dua butir. Semenjak itu mereka
berdua bergantian menjaga telurnya. Ketika elang jantan berburu, maka elang
betina mengerami telurnya. Begitu juga ketika elang betina berburu, elang
jantan berganti mengerami dan menjaga telur elang betina. Mereka berdua begitu
menyayangi telurnya. Kelak telur-telur itu akan menjadi generasi penerusnya.
Waktu terus berjalan. Hari berganti
hari. Hingga setelah sampai pada 40 hari tiba waktunya yang ditunggu-tunggu. Pada
saat itu telur-telur elang akan menetas menjadi anak elang. Dan benar sekali,
setelah 40 hari menetaslah kedua telur itu. Dua bayi elang lahir di dunia. Satu
elang jantan dan satu elang betina. Mereka membuka matanya melihat ayah ibunya.
Mereka bahagia sekali.
Semenjak adanya dua bayi elang itu,
ayah ibu elang selalu menyisihkan hasil pencarian makanan untuk mereka. Pada
mulanya induk elang menyuapi bayi elang itu dengan makanan yang ada di
paruhnya. Kemudian setelah beberapa lama, induk elang mulai membawakan buruan
untuk dimakan anak elang dengan paruhnya sendiri.
Dengan berjalannya waktu, anak elang
tumbuh besar. Sayapnya mulai dikepakkan bulu-bulunya sudah lebat. Pada saat itu
ia mulai berlatih untuk terbang. Dari dahan ke dahan ia terbang, lalu kembali
ke sarang. Terbang jarak pendek itu dilakukan dengan pengawasan orang tuanya.
Di pagi hari yang cerah, ibu elang
berkata pada kedua anaknya: “Anak-anaku, ayah dan ibu hari ini
akan pergi berburu. Kalian kami tinggalkan sementara waktu”.
“Iya, bu”. Mereka menjawabnya.
“Meskipun kalian sudah mulai bisa terbang, tapi selama ayah ibu
pergi, jangan mencoba terbang sendiri, karena sayap-sayap kalian masih lemah.
Belum mampu terbang terlalu lama. Kalian harus sabar dulu menunggu otot-otot
sayap kalian kuat”. Ucap ayah elang berpesan, sebelum meninggalkan mereka.
“Iya ayah. Kami akan tetap di sarang ini selama ayah ibu pergi”.
Setelah itu ayah dan ibu elang mengepakkan sayapnya, dan menuncur
ke udara berburu ke daerah yang jauh. Sedangkan kedua anak elang itu tetap
berada di sarangnya.
Beberapa saat kemudian, elang jantan kecil mulai bosan tinggal di
sarang. Ranting-ranting dan dahan-dahan pohon yang indah membuatnya ingin
segera berlatih terbang lagi. Ia melebarkan kedua sayapnya, merasakan hempasan
udara. Ia pun keluar dari sarang dan berdiri di salah satu dahan.
“Apa yang kamu lakukan? Ayo cepat kembali ke sarang!” Ucap elang
betina kecil. Mengingatkan pesan ayah ibu mereka.
“Kemarilah, rasakan hembusan udara yang lembut ini!” Elang jantan
kecil bukannya kembali ke sarang, ia malah mengajak adiknya untuk mengikutinya.
“Tidak. Kita sudah berjanji kepada ayah ibu untuk tidak
meninggalkan sarang ini”. Elang betina kecil menolak.
“Ayah ibu sudah pergi jauh. Mereka pasti tidak akan tahu apa yang
kita lakukan”. Sembari berkata elang jantan kecil terbang pendek ke dahan
lainnya. “Ayolah, lihat aku, aku sudah mampu terbang. Begitu juga kamu,
adikku”.
“Tidak kak. Marilah kembali ke sarang. Bukankah ayah melarang kita
untuk terbang sendiri. Sayap kita masih lemah. Kita harus bersabar menunggu
otot-otot sayap kita tumbuh menjdi lebih kuat lagi.”
bagus ceritanya..sukses selalu
BalasHapusKunjungi blog saya juga ya di www.fauzulandim.com dan www.blogofeducation.com kalau belum follow silahkan follow, maturnuwun
salam kenal. :)
BalasHapusSalam kenal juga mas Fauzul Andim dan mbak Naurah Kida..
BalasHapus