Kematian adalah jalan yang pasti dilalui
oleh setiap makhluk hidup. Akhir dari perjumpaan adalah perpisahan dan setiap
kehidupan akan berujung pada kematian. Perjumpaan dan perpisahan, sebagaimana
kehidupan dan kematian, memiliki substansi yang sama, dari tidak ada menjadi
ada, dan kembali ke tidak ada. Dari setiap segmen tragedi tersebut perasaan
manusia berkelindan antara kesedihan dan kebahagian yang terus mengiring
sepanjang hidupnya.
Pada 2 Juni 2018 lalu kali pertama saya
merasakan kehilangan yang tiada tara. Salah seorang yang kami sayangi pergi
mengikuti jalan kehidupan. Abah, bahkan aku pun tidak ingat kapan mulai
memanggilnya dengan kata itu. Ingatan paling jauh yang ada dalam memoriku
tentang abah adalah saat beliau mau bepergian mengirimkan genteng, lalu abah
mengatakan akan membelikan mainan. Dan setelah pulang pada malam harinya, abah
benar-benar membawakan mainan berupa mobil gila. Lalu pada pagi harinya sebelum
langit terang aku membangunkan teman-teman di kanan kiri rumah untuk
menyaksikan mainan baru tersebut. Semuanya terheran-heran melihat mobil yang
ketika menabrak tembok dapat berguling dan berdiri lagi tersebut.
Di menit-menit terakhir menjelang
perpisahan kami dengan abah, secara kronologis adalah paling berkesan dalam
hidup saya. Saya adalah salah satu dari keluarga yang berada di samping abah di
saat dia pergi meninggalkan kami. Ada penyesalan, sekaligus kelegaan, yang
bertumpang tindih saat itu. Penyesalan karena selama ini aku belum mampu
mengabdi dengan sebaik-baiknya, dan kelegaan karena abah melalui menit-menit
terakhirnya terbilang cukup mudah. berikut ini adalah tulisan yang akan mencoba
mengukir ingatan saya mengenai masa-masa menjelang perpisahan dengan abah.
Ayam berkokok. Mata terjaga. Jarum paling
gimbul dalam jam dinding tergeletak diantara angka empat dan lima. Aku berdiri
kemudian melangkah ke kamar mandi. Waktu paling efektif beraktifitas pagi hari
adalah saat anak-anak masih pulas. Segera tubuh ini kuguyur dengan berliter
air. Panas tubuh menguap dan dingin air mulai beradaptasi.
Istriku yang sudah menyiapkan jamuan pagi
membangunkan anak-anak dengan lembut. Pertama si kecil kemudian kakaknya.
Setelah semua terguyur dengan dingin air pagi, kami sarapan bersama abah dan
ibu. Abah yang sebulan terakhir dalam kondisi sakit masih sering menyempatkan
diri untuk menikmati sarapan bersama.
Saat mentari akan meninggi, kami
berpamitan untuk pergi ke kota Angin, kota dimana istriku dilahirkan dan
menghabiskan masa kecilnya. Ketika kami menaiki mobil, abah duduk di atas kursi
plastik di teras rumah. Farih melambaikan tangannya ke kakeknya yang sedang
duduk dengan lemah. Dan kakek juga melambaikan tangannya ke kami. Perjalananpun
dimulai.
Pada keesokannya, tanggal dua hari Sabtu
pukul 10.00 WIB hpku berdering. Ternyata itu adalah suara ibu yang sedang
menangis panik karena abah tidak bisa diajak bicara. Mata terjaga dan sadar
namun tidak bisa diajak bicara. Tanpa berpikir panjang saya dan keluarga
langsung tancap gas pulang. Panik serta cemas menjalar ke urat nadiku. Bayangan
wajah abah tak lepas sedetikpun selama perjalanan. Namun setelah sampai Kediri
aku menelfon ibu untuk mengetahui kondisi abah terkini. Hasilnya abah sudah
sadar. Ikatan yang sebelumnya membelenggu tubuh seakan pudar. Kabar yang
melegakan. Saya meneruskan perjalanan, pedal gas saya perlembut.
Kami sampai rumah Baruharjo pukul 12.00
WIB, aku masuk kamar abah bersama ibu mertuaku yang ikut pulang bersamaku. Di
dalam kamar ada juga ibuku. Dia bercerita tentang kejadian dua jam sebelumnya.
Kami menyimak dengan seksama, kami menebak-nebak, abah pada saat itu sedang
pingsan. Kata yang sering muncul dari penceritaan ibu, “Aku takut, aku
khawatir”. Dan sesaat sebelum kami meninggalkan abah untuk istirahat, beliau
mengucapkan, “Aku kok yo wedi”, “Aku juga merasakan takut”.
Setelah itu aku tertidur di ruang tengah,
dan ternyata tak lama kemudian pakdhe (kakak abah) datang mengantarkan telur
ayam jawa pesanan abah. Katanya mereka juga mengobrol cukup lama. Pada saat itu
saya tidur.
Ketika waktu menjelang sore kami
beraktifitas seperti biasa. Abah seperti beberapa hari terakhir, ia diseka,
karena musim dingin (bedinding) terjadi dalam beberapa hari itu. Sebelumnya
selama abah sakit, beliau mandi sendiri.
Ketika adzan magrib, menjelang buka puasa,
saya masuk ke kamar abah, dan aku lihat abah sedang berbaring dengan mata
terjaga. Lalu aku ingatkan beliau untuk sholat magrib. Seperti ketika sholat
dzuhur sebelumnya karena tingkat keseimbangan abah melemah dan jika berjalan
sempoyongan, maka diputuskan untuk tayamum saja, saat sholat magrib tersebut
juga saya anjurkan untuk tayamum. Kemudian beliau juga melakukan gerakan
tayamum membasuh muka dan dua tangan dengan tetap berbaring. Kemudian setelah
beliau selesai tayamum, abah memejamkan mata seperti karena mengantuk. Lalu
segera aku pegang pundaknya dan mengatakan kepada beliau untuk segera sholat,
lalu abahpun segera memulai sholat dengan takbiratul ihram.
Kemudian aku menuju ke ruang makan untuk
melaksanakan buka puasa. Saat kami berbuka ibu mengatakan bahwa ia akan segera
sholat magrib dan menemani abah di dalam kamar, karena beberapa hari ini abah
selalu minta ditemani. Ibu bergegas pergi dan aku masih melanjutkan buka puasa.
Ketika ibu selesai sholat beliau langsung menuju kamar abah, lalu disusul ibu
mertua beliau duduk di dekat abah dan meminda doa restu karena akan menikahkan
kakak iparku. Abah hanya mendengar, tanpa ada kata.
Ketika adzan Isya berkumandang, aku segera
berwudhu dan mengajak Farih anak pertamaku ke musholla guna melaksanakan sholat
Tarawih. Di saat itu ibu memanggilku dari dalam kamar, lalu aku masuk. Kondisi
abah tidak dapat diajak bicara, namun ia terjaga. Beliau juga merespon suara,
saat aku panggil ia memandangku, saat dipanggil ibu ia melihatnya, dan ketika
Farih yang berumur 4 tahun masuk kamar dan ikut memanggil kakeknya, abah juga
melihatnya. Namun abah hanya menggerakkan tangannya dengan berat ia ingin
mengakatan sesuatu tapi tak bisa.
Kami goyang-goyangkan pundaknya, kakinya,
sambil memanggil-manggil beliau. Ibu mulai menangis. Tak lama kemudian nafasnya
mulai berat dan mata abah memandang kosong. Saat itu juga aku ambil Al-Qur’an
dan aku bacakan surat Yasin, sembari ibu menalqin abah didampingi ibu mertua
yang berdiri di samping dipan. Dipikiranku hanya ada satu, jangan
menyia-nyiakan detik-detik akhir abah di dunia. Sembari demikian, istriku pergi
ke musholla memanggil paman. Selama pembacaan Yasin ibu mendekte abah dengan kata
Allah.. Allah.. dan abah sempat menirukan dengan suara berat.
Setelah bacaan Yasin lengkap, dan
mengulang satu halaman, paman sampai rumah. Kami berdiskusi dan menghasilkan
keputusan abah harus segera di bawa ke UGD puskesmas Baruharjo yang berjarak 3 km
dari rumah. Aku berlari keluar menuju garasi mengeluarkan mobil. Mobil saya
parkir tepat di depan pintu rumah. Kemudian aku turun untuk membopong abah
bersama paman dan ibu. Namun ketika hendak masuk rumah, paman malah berjalan
keluar dan mengatakan abah minta aku antar ke toilet. Aku lari menuju ke kamar,
dan benar, ternyata abah sudah sadar. Beliau ingin aku antar kan ke toilet.
Saat itu ibu menawarkan abah untuk buang air kecil di kamar saja, pakai bak
atau timba, namun abah menolak ia tetap ingin ke toilet dan langsung berdiri
sendiri dengan sempoyongan lalu aku tangkap lalu aku papah beliau berjalan
menuju toilet.
Sesampai toilet oleh paman aku disuruh
ikut masuk, namun awalnya abah menolak. Namun mengingat keadaan, saya langsung
ikut masuk begitu saja. Pintu kami tutup dari dalam, abah masih sempat menyiram
bibir kloset sebelum beliau duduk untuk buang air. Aku berdiri di depannya,
berjaga. Setelah beliau duduk, beliau hanya buang air kecil sembari demikian
beliau berucap, “Ya Allah, rasane kok koyo ngene, ya Allah”, “Ya Allah
rasanya kok begini, ya Allah”. Hatiku sudah lapang, abah sudah kembali normal
seperti sebelumnya. Beliau mampu berjalan sendiri meski dengan aku papah.
Beliau sudah dapat berucap sebagaimana biasa.
Seusai buang air kecil abah juga menyiram
kloset sendiri, bersuci, kemudian menyiram kedua kakinya. Kemudian saat hendak
berdiri, beliau berkata, “Sik, sik, aku lungguhna kene”, “Sebentar,
sebentar, aku dudukkan di sini”. Beliau meminta didudukkan di bibir kolah yang
hanya setinggi 30 cm. Lalu beliau duduk sambil aku pegangi tubuhnya. Saat duduk
itulah abah berkata, “Aku kok wis ora ketara apa-apa”, “Saya kok sudah
tidak dapat melihat apa-apa”. Sambil berkata itu abah seperti berusaha melihat
benda-benda di depannya. Lalu aku berkata untuk segera ke kamar. Aku langsung
mengangkat abah untuk menuju ke kamar. Setelah aku angkat sendikit, tiba-tiba
abah lemas, beliau pingsan.
Pintu kamar kecil aku buka, dan meminta
tolong paman dan ibu yang sedari tadi berjaga di depan. Kami bertiga membopong
abah menuju kamar tidur. Lalu sesampai kamar kami rebahkan abah di atas kasur,
saat itulah abah seperti menahan sakit yang sangat. Kedua tangan beliau
menggenggam di depan dada dan mengotot, lalu lemas tak bergerak. Pecah tangis
ibu, kami goyang-goyangkan abah, tak ada respon. Lalu aku berlari menuju
tetangga yang berprofesi menjadi perawat di rumah sakit daerah. Tepat setelah
sholat tarawih, beliau aku minta melihat kondisi abah.
Tak lama kemudian perawat sampai rumah lengkap
dengan peralatan medisnya. Langsung memeriksa abah. Ia memeriksa nafas abah
menggunakan stetoskop, lalu memompa dada abah membantu nafas, membuka dua mata
abah dan menyenternya, hingga jatuh pada satu kesimpulan yang membuat semua
lebur dalam kesedihan. Abah telah berpulang ke rahmatullah. Semoga amal baik beliau diterima dan semua kesalahan diampuni. Lahu Al-fatihah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar