Belati di Bawah Bantal
Oleh: Achmad Eswa
Sebuah ruang interior bersayap dua. Di
sayap kanan terdapat ruang rias ibu Nalibrata yang memiliki kursi dan meja kayu
dengan rak sebagai tempat alas rias. Di atas meja itu terdapat kaca berbentuk
oval dengan bingkai kayu berukir klasik melekat di dinding.
Di samping ruang rias terdapat tempat tidur
berkelambu transparan perak. Hingga, bantal, guling, dan kasur berseprai dengan
motif batik kuning kunir Nampak sangat mengesankan suasana romantik.
Di sayap kiri terdapat tempat tidur karna
yang tidak berkelambu berkasur dengan sprei dan sarung bantal berwarna apel
darah. Di sebelah kiri depan tempat tidur itu terlihat meja kayu tua berkaki
tiga yang bagian atasnya berbentuk bundar. Sebotol martini yang sebaian isinya
sudah tertuang di dalam piala terletak di atas meja itu.
Sedangkan, di sebelah kanan depan tempat tidur itu terdapat rak kayu besar
penuh botol-botol kosong minuman bermerek ekspor. Rak yang melekat di dinding
itu berada di samping almari kayu tua berukir coklat kopi.
Karna: (mengenakan piama bermotif lorek hijau telur. Duduk di
ranjang. Menghadap martininya. Pandangannya menerawang kosong ke depan.
Mengambil piala yang berisi martini). Apakah kamu sudah tidur, pak tua? He,
apakah kamu sudah tidur, Pak Ya’? Apakah kamu sudah tuli? Sekali lagi pak pikun,
apakah kamu tidak mendengarkan panggilanku? Apakah aku harus kembali membanting
pialaku ini agar kamu bangun dan datang padaku?
Pak Ya': (Dari dalam) jangan den! Bapak
akan segera datang menghadap ndara Karna. (memasuki panggung. Mengenakan
udeng hitam, surjan lurik wulung, celana komprang hitam dan berkalungan sarung
kotak-kotak. Duduk di lantai di hadapan karna). Ada apa gus
memangil-manggil bapak? (bicara sendiri). Suara anak ini serupa guntur
musim kemarau saja!
Karna: He, kamu bicara apa? (setengah memukul
ganggang piala di atas bangku hingga martinimya muncrat di wajah pak ya’).
Telingaku belum sebudek milikmu, pak pikun. Dasar jongos tak tau diri!
Pak Ya’: Seribu ampun den! Ampun! (bicara
sendiri sambil mengusap wajahnya yang basah dengan sarungnya). Dasar mulut
orang tua! Tidak bisa diatur. (menampar-nampar mulutnya sendiri).
Karna: Malam ini saya maafkan, asal…
Pak Ya’: Asal apa, den?
Karna: Apakah bapak sudah lupa kewajibanmu
setiap saya akan tidur?
Pak Ya’: Menuang martini di piala aden? Dengan
sepenuh cinta seorang ayah kepada putranya, bukan?
Karna: Ya
Pak Ya’: Memijit aden?
Karna: Ya
Pak Ya’: Ngidung, bukan?
Karna: Ya
Pak Ya’: (Beranjak dari duduknya. Menuang penuh
martini dan memberikan piala itu kepada Karna. Duduk di atas ranjang di samping
pemuda itu. Memijit-mijit kakinya. Sambil melantunkan tembang Asmaradana
Semarangan). Aja turu sore kaki, ana dewa ngangklang jagad. Nyangking bokor
kancanane….
Karna: Tembang ini tidak akan pernah saya lupakan,
pak. (Menegak martini, lalu meletakan piala yang sudah kosong itu di atas
meja). Karena rangkaian kata-katanya yang selalu mengingatkan masa kecilku.
Malam-malam menjelang tidur digendongan pak Ya’ kamu ingat itu?
Pak Ya’: Tentu saja tidak, den! (Menitikan air
mata. Mengusap dengan pucuk udengnya). Akh, lupakan itu den! Oh ya,
tembangnya diteruskan tidak?
Karna: Tentu, pak! Sampai selesai! Tapi, Tuangkan
lagi martini itu sepenuh penuhnya kepialaku!
Pak Ya’: Baiklah, den! (Ngidung sambil menuang
martini ke dalam piala. Memberikan piala itu pada Karna). Isine dunga
petulak. Sandang klawan pangan. Yaiku bagianipun. Wong melek saben nerimo (Beranjak
menuju almari kayu).
Karna: Mau ke mana pak?
Pak Ya’: Ambil selimut buat aden.
Karna: Saya belum ngantuk, pak.
Pak Ya’: Malam hampir larut malam, den.
Karna: Baiklah, saya akan segera tidur….
Pak Ya’: Bagus, den (tersenyum lega).
Karna: Ya saya pasti tidur. Asal bapak sekarang
bersedia menjawab ribuan pertanyanku dari ribuan malam sunyiku. Sesungguhnya siapakah
ayahku?
Pak Ya’: Belum saatnya, den!
Karna: Kapan saat itu datang, apakah sesudah
kulitku berkeriput? Apakah sesudah rambutku beruban? Apakah sesudah tubuhku
kaku berbalut kafan di dalam makam yang paling sunyi Dan, hanya berkawankan
cacing dan belatung? (Menenggak martini meletakkan kembali piala itu di atas
meja). Ini kematian tertunda yang sangat mengerikan!(Mengambil gelati
bersarung kulit harimau dari balik bantalnya). Tekadku sudah bulat, pak.
Lebih baik saya mati sekarang saja. (Tegas). Dengan benda ini!
Pak Ya’: Jangan den
Karna: Kenapa
Pak Ya’: Kematian aden akan sia-sia
Karna: Sia sia mana, ketika kematianku nanti
juga tidak mampu menjawab pertanyaan malaikat bermuka bopeng dan bersayap gagak
raksasa? (Berlagak sebagai malaikat). He anak sia-sia, siapakah nama
ayahmu? (Diam sejenak) Pak, bagaimana saya harus menjawabnya?
Ibu Nalibrata: (Memasuki panggung dengan langkah
terburu. Menuju ruang tidur Karna. Perempuan itu mengenakan rok hitam, baju
putih dan jas warna krem. Bersepatu coklat. Mebawa tas kantor warna hitam).
Jawab saja saya tidak tau!. (Secepat kilat, ia merampas belati yang dipegang pemuda itu). Pak Ya’, kamu harus tidur! Besok pagi, kamu
harus masak, cuci mobil dan mensetrika pakaian dinasku. Karna, saya harus
ke kantor pagi-pagi sekali. Ada rapat penting sampai larut malam! (memberikan
tas kantor kepada Pak Ya’).
Pak Ya’: Sendiko dawuh, den ayu! (Menuju ruang
rias. Meletakkan tas kantor itu di atas meja rias. Keluar dari panggung).
Ibu Nalibrata: Kamu juga harus tidur Karna! Jangan kamu
habiskan malam-malammu dengan mabuk! (Membuka lemari mengambil selimut
dek).
Karna: Tapi bu?
Ibu Nalibrata: Tidak ada kata…, tetapi! (Melemparkan
selimut dek itu, kemuka Karna)
Karna : (Memandang ibu Nalibrata dengan mata
nanar. Memungut selimut yang jatuh di pangkuannya itu. Lalu, menyelimutkannya
keseluruh tubuhnya yang sudah direbahkan di atas ranjang).
Ibu Nalibrata: (Duduk di kursi ruang rias. Memandangi
wajahnya yang kuyu. Gundah dan gelisah. Meletakan belati di atas meja. Di samping
tas kantornya. Mengambil bungkusan rokok dan geretan dari dalam tas itu.
Memungut sebatang. Mengerling Karna yang tampak sudah tertidur. Karena,
pengarus racun martini). Surya, apakah kamu sudah tidur?
Pak Ya’: Belum, Nali? (Dari dalam).
Ibu Nalibrata: Ya. Kamu pasti tahu bahasa perempuanku,
bukan? Datanglah kemari! Bawakan saya asbak dari ruang tamu depan? Oh ya…,
jangan lupa ambilkan dasterku di tempat biasanya!
Pak Ya’: Akan segera saya ambilkan. Tunggu sebentar!
(Dari dalam).
Ibu Nalibrata: Cepat sedikit, Surya!
Pak Ya’: (Memasuki panggung). Daster ini,
bukan?
Ibu Nalibrata: Iya. Letakkan di ranjangku
Pak Ya’: Baik! (Menuju ruang tidur bu
Nalibrata. Menyimbakkan kelambu. Meletakkan daster itu di samping guling).
Asbak ini, bukan?
Ibu Nalibrata: Ya !
Pak Ya’: (Menuju ruang rias, meletakan asbak
itu di meja. Tepat di depan ibu Nalibrata).
Ibu Nalibrata: terimakasih! (Berbicara
dingin) Surya, apakah kamu maih sudi menyalakan geretan ini untuk rokokku?
Pak Ya’: Ya. Selalu!
Ibu Nalibrata: Apakah kamu masih bergairah memainkan sandiwara kita
ini?
Pak Ya’: Ya. Selalu! (Menyalakan api dengan
geretan di ujung rokok ibu Nalibrata).
Ibu Nalibrata: (Menghisap rokok. Menghembuskan
asapnya kepermukaan cermin oval. Mendesah panjang). Surya apakah kamu masih
sudi mengampuni dosaku. Manusia munafik demi harga diri sebagai anggota
keluarga istana. Meskipun, dengan menempuh jalan yang telah ditentukan bahwa
kita harus menyembunyikan rahasia hubungan cinta ini di mata orang-orang. Di mata
anak kita sendiri.
Pak Ya’: Ya. Selalu!
Ibu Nalibrata: Apakah kamu masih mencintaiku? Perempuan
yang selalu menghabiskan waktu untuk perusahaan, uang dan kekayaan yang
sesungguhnya bianglala. Pengusaha yang selalu memperlancar bisnisnya dari
kamar ke kamar hotel?
Pak Ya’: Apapun kamu Nali, saya tetap mencintaimu!
Ibu Nalibrata: Sekalipun, saya pelacur?
Pak Ya’: Bahkan lebih dari itu! Sebab, cintaku
bukan lagi ingin mengambil sebagian atau seluruh milikmu, Nali. Cintaku adalah
menyerahkan seluruh apa yang saya miliki!
Ibu Nalibrata: Sekalipun dengan sepenuh luka itu?
Pak Ya’: Tidak hanya sepenuh luka. Melainkan,
kematian!
Ibu Nalibrata: Benarkah?
Pakai Ya’: (Menganggukan kepala).
Ibu Nalibrata: (Mencecek rokok di asbak. Berdiri.
Mendekap tubuh Surya). Surya, saya akan mengobati lukamu malam ini, ya malam ini.
Pak Ya’: Dengan cintamu bukan?
Ibu Nalibrata: Ya. Sebagaimana cinta yang pernah saya
tumpahkan sehabis-habis padamu dua puluh lima tahun silam. Di sebuah ruang rahasia di dalam
taman sari. Kamu masih ingat itu?
Pak Ya’: Saya selalu mengingatnya. Sebagaimana saya
mengingat sewaktu pertamakali kamu mencuri pandangan padaku, yang sedang
membersihkan rumputan di sekitar tamanan bunga panca warna kesukaanmu!
Ibu Nalibtara: Lantas?
Pak Ya’: Dengan perasaan tidak karuan, saya
bernyali mendekatimu yang sedang mandi di tengah kolam dengan kain jarit sebatas
dada. Hingga sepasang susu gadingmu di balik kain basah itu membakar cintaku
yang lama terpendam di lubuk jiwa.
Ibu Nalibrata: Lantas?
Pak Ya’: Saya bimbing tubuh yang bergairah itu
ke dalam ruang rahasia. Saya baringkan kamu di sana. Dan…
Ibu Nalibrata: Kamu mau membopong tubuhku lagi malam ini
untuk kamu baringkan di atas ranjang itu?
Pak Ya’: Tentu! (Membopong tubuh Nalibrata,
membaringkan di atas ranjang perempuan itu, perlahan lahan kepalanya merunduk
ingin mencium kening perempuan itu).
Ibu Nalibrata: Tunggu!
Pak Ya’: Kenapa, Nali?
Ibu Nalibrata: Surya, kamu sudah lupa ya? Bukankah ruang
rahasia di mana kita pertamakali bercinta tanpa sepercik cahaya. Hingga
orang-orang tidak melihat rahasia kita?
Pak Ya’: Ya saya tahu maksudmu. (Menuju ruang
rias, memencet saklar di dinding. Ruang tidur Nalibrata gelap gulita. Tetapi
cahaya di luar kamar tidur itu masih remang-remang). Lekas kamu tinggalkan
seluruh yang membalut tubuhmu! Lalu kenakan daster transparan itu! Agar gairah
lelakiku terbakar oleh kompor cintamu.
Ibu Nalibrata: Daster kesayanganmu itu telah ku kenakan
Surya! Ia telah menjadi sayap sembrani! Cepatlah datang kemari, sayang!
Pak Ya’: Bersabarlah sebentar, pujaanku! (Melepas
udeng surjan dan sarung. Melemparkan di sembarang tempat. Berserakan di lantai. Pak
Ya’ menuju kamar itu dengan haya mengenakan celana komprangnya. Menaiki
ranjang). Penunggang kuda segera bertahta dipelana, Nali!
Ibu Naribrta: Sembrani pun sudah membentang sayapnya
lebar-lebar, Surya. Siap terbang menuju puncak paling surga!
(lampu panggung perlahan-lahan padam.
Sejenak kemudian lampu yang melukiskan suasan fajar itu kembali menyala. Ibu
Nalibrata memasuki panggung. Mengenakan baju dinas biru langit. Rambut panjang
itu basah bergerai. Duduk di kursi ruang rias, menyisir rambut dan merias
wajahnya di depan cermin).
Pak Ya’:(Mengenakan surjan lurik coklat tua dan
celan komprang. Memasuki panggung dengan langkah terburu-buru) Celakan den
ayu! Celaka!
Ibu Nalibrata: (Melipstiki bibir, berlagak cuek). Ada apa pak Ya’?
Pak Ya’: (Ragu-ragu). Em.. em… mobil.
Ibu Nalibrata: Ya, mobilku sudah kamu cucikan?
Pak Ya’: (Dengan perasan takut). Em.. em..
be…lum…
Ibu Nalibrata: (Marah). Apa? Apa yang kamu
kerjakan pagi ini, pak Ya’? (Melihat jam di tangan). He pak, kamu senang
kalau saya terlambat bekerja? Dasar orang tua tidak tau diuntung!
Pak Ya’: Bagaimana saya bisa mencuci mobil itu den
ayu? Kalau, mobilnya sendiri tidak ada di garasi..
Ibu Nalibrata: mobilku dicuri orang? Kalau ngomong yang
bener saja, pak?
Benar saja, pak!
Pak Ya’: Tidak dicuri,
den!
Ibu Nalibrata: Lantas?
Pak Ya’: Kata pak
Sarawita, tetangga sebelah yang semalam meronda. Bahwa yang membawa mobil den
ayu adalah den Karna sendiri. Ia menuruni puncak bukit pengasingan ini jauh
menjelang subuh tadi!
Ibu Nalibrata: Kemana
perginya?
Pak Ya’: Pak Sarawita
tidak tahu, den ayu!
Ibu Nalibrata: Kamu harus
mencarinya!
Pak Ya’: Kemana saya
mencarinya?
Ibu Nalibrata: Mana saya
tahu?
Pak Ya’: Apalagi saya...
Ibu Nalibrata: (Diam
sejenak). Kalau Pak Ya’ masih ingin tinggal di sini, kamu harus menemukan
anak itu. Kamu harus membawanya pulang, bersama mobil itu...
Pak Ya’: Sekarang, den
ayu?
Ibu Nalibrata: Apakah harus
menunggu kiamat itu tiba?
Pak Ya’: Baik, den
ayu!
Ibu Nalibrata: Lekas!
Pak Ya’: Ya! Saya akan
segera berangkat. Mencarinya! (keluar dari panggung dengan langkah
terburu-buru).
Ibu Nalibrata: Cepat!
Pak Ya’: Ya! (menjawab
lantang dari dalam)
Ibu Naibrata: (berjalan
mondar-mandir di panggung. Wajahnya semakin tegang ketika menyaksikan belati
itu tidak terlihat berada di atas meja riasnya. Berbicara sendiri dengan suara
tertahan). Bencana...
Karna: (Memasuki
panggung). Lebih dari bencana, ibu! Barangkali ini yang namanya kiamat itu.
Ya, kiamat sudah tiba!
Ibu Nalibrata: (Marah). Dasar anak kurangajar! (Menuding wajah Karna).
He, dari mana saja kamu? Mana kunci mobil itu?
Karna: Mobil. Mobil apa, bu?
Ibu Nalibrata: Ya, mobil itu!
Karna: (Berlagak
masa bodoh). Mobil itu sudah kupaketkan ke dalam jurang kematian. Bersama
bangkai penguasa Mandura yang berhasil kurampok nyawanya semalam... dengan... (Memungut
belati berdarah yang diselipkan di pinggangnya. Di balik piyamanya). Benda
yang senilai pisau dapur ini! (menunjukkan belati itu di hadapan Ibu
Nalibrata)
Ibu Nalibrata: (Semakin
berang). Terkutuklah kamu, Karna!
Karna: (Tertawa
dingin). Terkutuk, ibu? (Menghela nafas panjang). Hanya orang-orang
yang tolol yang mengutuk Karna!
Ibu Nalibrata: Karna! (menangis).
Tersesatlah kamu!
Karna: Tersesat? Ya, tersesat! Karna memang anak tersesat. Tetapi, dari
anakmu ini, awal di langit bukit pengasingan dapat tersapu bersih. Lihatlah
ibu, langit di luar tampak cerah. Kuning keemasan! Indah sekali, bukan? (Mendekati
Ibu Nalibrata). Seharusnya ibu bangga punya anak seperti saya ini! Karena,
tangan saya mampu menjatuhkan hukuman setimpal kepada paman Basu yang telah
berdosa besar terhadap keluarga kita ini. (Menimang-nimang belati).
Ibu..., (Membersihkan darah yang berlepotan di tubuh belati itu dengan ujung
bawah piyamanya). Bukanlah mendiang yang darahnya seanyir bau bangkai
srigala ini telah membius ibu dengan buaian selendang bianglala? Hingga, ibu
tidak tau bahwa pemberian kepercayaan paman Basu kepada ibu untuk mengelola
salah satu perusahaannya hanyalah siasat belaka. Agar ibu tetap menyimpan aib keluarga Mandura. Aib
tentang cinta ibu kepada seorang juru taman, seperti Pak Ya’! Aib tentang
kelahiranku yang di luar restu keluarga istana serta pengesahan seorang
penghulu! Aib yang menelantarkan saya ke dalam pertanyaan berkepanjangan
tentang siapa sebenarnya ayah anakmu ini, yang sesungguhnya pak Ya’ sendiri!
Bukankah ini bencana yang sesungguh-sungguhnya bencana itu, ibu?
Ibu Nalibrata: Diam, Karna!
Karna: Tidak! Sebab, mata hati dan jiwaku sudah mampu membaca bahwa
hidup ini adalah kenyataan. Bukan kemabukan arak yang telah menelantarkan saya,
ibu dan ayah ke dalam panggung sandiwara ini! Aku muak dengan permainan
sandiwara yang merupakan kemunafikan paling brengsek!
Ibu Nalibrata: Karna! Hukuman apa yang akan diganjar negara kepadamu!? (Menghapus
air mata dengan sapu tangan yang dipungut dari saku baju pakaian dinasnya.
Berbicara tegas). Sebaiknya, kamu segera tinggalkan rumah ini!
Selamatkanlah dirimu dari bencana ini!
Karna: Saya bukan pecundang, bu!
Kapten polisi: (Dari dalam). Bagus! Kamu benar-benar anak Surya yang
jantan melampaui matahari. (lelaki tegap yang mengenakan seragam polisi itu
memasuki panggung. Diikuti polisi berpangkat kopral yang kemudian menodongkan
pistol pada Karna). Kopral, tangkap dia!
Kopral: Siap, pak! (Menghampiri Karna. Meminta belati dari tangan
pemuda itu dengan hati-hati. Memasukkan pistol ke dalam sarungnya yang berada
di pinggang sebelah kanan. Lalu, mengambil borgol yang menggantungkan di
pinggangnya sebelah kiri. Memborgol tangan Karna). Tugas telah selesai kami
laksanakan, kapten!
Kapten: Bagus! (Kepada ibu Nalibrata). Nyonya, kami sekedar
menjalankan tugas negara!
Ibu Nalibrata: (Membisu, sementara matanya yang nampak kosong menghantarkan
kepergian kapten polisi, kopral dan Karna. Air matanya mulai meleleh di pipi)
Pak Ya’: (Berteriak dari dalam). Bencana! Bencana! (Memasuki
panggung). Ini benar-benar bencana, den ayu! (Ragu-ragu). Den
Karna...
Ibu Nalibrata: Cukup! Tidak perlu kamu lanjutkan kata-katamu itu! (Melangkah
gontai menuju ruang rias. Duduk di kursi. Menatap wajahnya. Dalam-dalam.
Suaranya merendah). Surya, sandiwara ini sudah berakhir! (Menatap wajah
Surya penuh makna. Lampu padam. Perlahan-lahan!!!)
Tamat
Sanggar Gunung Gamping, 08122003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar