Pada zaman Rasulullah SAW, pemeliharaan ayat-ayat al-Qur’an dilakukan melalui hafalan baik oleh Rasulullah maupun oleh sahabat-sahabat beliau. Namun kemudian Rasul memerintahkan para sahabat untuk menulisnya dengan tujuan untuk memperkuat hafalan mereka. Ayat-ayat al-Qur’an tersebut ditulis melalui benda-benda seperti yang terbuat dari kulit binatang, batu yang tipis dan licin, pelapah kurma, tulang binatang dan lain-lain. Tulisan-tulisan dari benda-benda tersebut dikumpulkan untuk Nabi dan beberapa diantaranya menjadi koleksi pribadi sahabat yang pandai baca tulis. Tulisan-tulisan melalui benda yang berbeda tersebut memang dimiliki oleh Rasulullah namun tidak tersusun sebagaimana mushaf yang sekarang ini. Namun, ketika Rasul wafat, dan digantikan oleh khalifah Abu Bakar, terjadi pemurtadan masal dan menyebabkan Khalifah Abu Bakar melakukan tindakan dengan cara memeranginya. Dalam perang yang disebut perang Yamamah tersebut sekitar 70 Huffaz (para penghafal Qur’an) mati syahid.
Dari situlah muncul gagasan untuk mengumpulkan Ayat al-Qur’an yang dipelopori oleh Umar bin Khattab. Meskipun gagasan tersebut tidak langsung disetujui oleh Khalifah Abu Bakar, namun alasan Umar bin Khattab bisa diterima dan dimulailah pengumpulan al-Qur’an hingga selesai. Dengan demikian, disusunlah kepanitiaan atau Tim penghimpun al-Qur’an yang terdiri atas Zaid bin Tsabit sebagai ketua dibantu oleh Ubay bin Ka’ab, Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, dan para Sahabat lainnya sebagai Anggota.
Namun dengan rentan waktu yang panjang, mulai pada tanggal 12 Rabbiul Awwal tahun 11 H/632 M yang ditandai dengan wafatnya Rasulullah, hingga 23-35 H/644-656 M (masa pemerintahan Khalifah Usman bin Affan) atau sekitar 18 tahun setelah wafatnya nabi barulah dibukukan al-Qur’an yang dikenal dengan Mushaf Utsmani. Antara rentan waktu yang cukup panjang hingga beragam suku dan dialek apakah berpengaruh atas penyusunan kitab suci al-Qur’an tentunya masih menjadi tanda tanya.
Sementara pandangan seperti di atas, umat Islam di Seluruh Dunia meyakini bahwa al-Qur’an seperti yang ada pada kita sekarang ini adalah otentik dari Allah swt. melalui Rasulullah saw.
Pengertian Jam’ul Qur’an
Merujuk kepada definisi al-Qur’an yang sebelumnya telah disepakati oleh para ulama. Al-Qur’an adalah kalam Allah yang berupa mukjizat, diturunkan kepada Muhammad saw. dan dinukil kepada kita secara mutawatir, serta dinilai beribadah ketika membacanya.
Materi al-Qur’an yang merupakan mukjizat itu sampai kepada kita melalui proses penukilan, bukan periwayatan. Dengan begitu dapat diartikan dengan memindahkan materi yang sama dari sumber asli ke dalam mushaf. Karena itu, pengumpulan al-Qur’an itu tidak lain merupakan bentuk penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran. Sebab, dua realitas inilah yang mencerminkan proses penukilan materi al-Qur’an. Dua realitas penghafalan al-Qur’an di dada dan penulisannya dalam lembaran ini secara real telah berlangsung dari berabad- abad, sejak Rasul hingga kini, dan bahkan Hari Kiamat.
Berdasarkan artian secara etimologi, istilah al-Jam‟u berasal dari kata جمع - يجمع yang berarti mengumpulkan. Sedangkan pengertian al-Jam‟u secara terminologi, para ulama mengemukakan pendapat yang berbeda-beda.
a. Menurut Az-Zarqani, Jam’ul Qur’an mengandung dua pengertian. Pertama mengandung makna menghafal al-Qur’an dalam hati, dan kedua yaitu menuliskan huruf demi huruf dan ayat demi ayat yang telah diwahyukan oleh Allah SWT kepada Nabi Muhammad SAW.
b. Menurut al-Qurtubi dan Ibnu Katsir maksud dari Jam’ul Qur’an adalah menghimpun al-Qur’an dalam hati atau menghafal al-Qur’an.[1]
Dalam sebagian besar literatur yang membahas tentang ilmu- ilmu Al- Qur’an, istilah yang dipakai untuk menunjukkan arti penulisan, pembukuan, atau kodifikasi Al- Qur’an adalah “Jam’u Al- Qur’an” yang berarti pengumpulan Al- Qur’an. Tetapi ada juga sebagian kecil literatur yang memakai istilah “Kitabat Al-Qur’an” artinya penulisan al- qur’an serta “Tadwin Al- Qur’an” berarti Pembukuan al- qur’an
Menurut Ahmad von Denffer, istilah pengumpulan al-Qur‟an (jam’ al- qur’ân) dalam literatur klasik itu mempunyai berbagai makna antara lain:[2]
a. Al-Qur’an dicerna oleh hati.
b. Menulis kembali tiap pewahyuan.
c. Menghadirkan materi al-Qur‟an untuk ditulis.
d. Menghadirkan laporan (tulisan) para penulis wahyu yang telah menghafal al-Qur‟an.
e. Menghadirkan seluruh sumber, baik lisan maupun tulisan.
Berdasarkan pendapat para ulama di atas, dapat saya ambil kesimpulan bahwa yang dimaksud dengan Jam’ul Qur’an adalah usaha penghimpunan dan pemeliharaan al-Qur’an yang meliputi penghafalan, serta penulisan ayat-ayat serta surat-surat dalam al-Qur’an.
Dalam kalangan para ulama, jam‟ al-Qur‟an memiliki dua makna yaitu hifzuhu kulluh fi al-sudur dan kitabatuhu kulluh fi al-sutur.
1. Jam‟ al-Qur‟an dalam arti Hifzuhu Kulluh fi al-Sudur
Periode ini dimulai dari awal turunnya al-Qur‟an. Oleh karena itu, Rasulullah saw. adalah orang yang pertama yang menghafalkannya. Allah swt. menjamin akan mengumpulkannya di dada Nabi sebagaimana firman Allah SWT di dalam (QS. Al Qiyamah 75 : 16-19).
“Janganlah kamu gerakkan lidahmu untuk (membaca) Al Quran karena hendak cepat-cepat (menguasai)nya. Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya (di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. Apabila kami telah selesai membacakannya, maka ikutilah bacaannya itu. Kemudian, sesungguhnya atas tanggungan Kamilah penjelasannya”. ( QS. Al Qiyamah, 16-19)[3]
Ibnu Abbas mengatakan; ‘Rasulullah sangat ingin segera menguasai al-Qur’an yang diturunkan. Ia menggerakkan lidah dan bibirnya, karena takut apa yang turun itu akan terlewatkan. Ia ingin segera mengahafalnya, maka Allah menurunkan ayat di atas, dengan maksud bahwa Kamilah Allah yang mengumpulkannya di dadamu, kemudian Kami membacakannya”. Dalam ungkapan yang lain dikatakan, “Atas tanggungan Kamilah membacakannya”. Maka setelah ayat di atas turun, apabila Jibril datang, Rasulullah diam. Dalam lafaz lain dikatakan, “Ia mendengarkan”. Bila Jibril telah pergi, barulah ia membacanya sebagaimana diperintahkan oleh Allah SWT.
2. Jam‟ al-Qur‟an dalam arti Kitabatuhu kulluh fi al-sutur.
Ini dimaksudkan adalah baik dengan memisah-misahkan ayat-ayat dan surah-surahnya, atau pun dengan menertibkan ayat-ayatnya semata, baik setiap surah ditulis dalam satu lembaran secara terpisah, ataupun menertibkan ayat-ayat dan surah-surahnya dalam lembaran-lembaran yang terkumpul, yang menghimpun semua surah, yang sebagiannya ditulis sesudah bagian yang lain.
Berdasarkan dua pengertian diatas, sebenarnya istilah- istilah yang digunakan memiliki maksud yang sama, yaitu proses penyampaian wahyu yang turun, oleh Rasulullah kepada para sahabat, pencatatan atau penulisanya sampai dihimpun catatan-catatan tersebut dalam 1 mushaf yang utuh dan tersusun secara tertib. Secara garis besar, pengumpulan Al-qur’an dilakukan 2 periode, yaitu periode nabi SAW dan periode khulafaur rasyidin. Sedangkan pengumpulan yang terjadi pada masa nabi pun dibagi menjadi duaZ, seperti pendapat kebanyakan para ulama, yaitu;[4
1. Pengumpulan dalam dada, dengan cara menghafal, menghayati dan mengamalkan.
2. Pengumpulan dalam dokumen dengan cara menulis pada kitab, atau diwujudkan dalam bentuk ukiran.
Pengkodifikasian al-Qur’an) terjadi pada tiga masa. Pertama, pada masa Nabi saw. Kedua, pada masa Abu Bakar ash-Shiddiq. Ketiga, pada masa Usman bin Affan.
B. Proses
penghimpunan Al-Qur’an
1. Sejarah Penghimpunan Al-Qur’an pada Masa Nabi SAW
Rasulullah adalah penghafal Qur’an pertama dan merupakan contoh paling baik bagi para sahabat dalam menghafalnya, sebagai realisasi kecintaan mereka kepada pokok agama dan sumber hukum. Qur’an diturunkan selama dua puluh tahun lebih. Proses penurunannya terkadang hanya turun satu ayat dan terkadang turun sampai sepuluh ayat. Setiap kali sebuah ayat turun, dihafal dalam dada dan ditempatkan dalam hati, sebab bangsa Arab secara kodrati memang mempunyai daya hafal yang kuat.[5] Hal itu dikarenakan umumnya mereka buta huruf, sehingga dalam penulisan berita-berita, syair-syair, dan silsilah mereka dilakukan dengan mencatat di hati mereka.
Para sahabat berlomba-lomba menghafal ayat-ayat yang diturunkan. Mereka saling membantu dan berbagi hafalan. Sehingga jumlah mereka yang hafal Qur’an tidak terhitung jumlahnya. Di antaranya Abu Bakar, Umar, Utsman, Ali, Thalhah, Sa’ad, Ibnu Mas’ud, Huzaifah, Salim Maula Abi Huzaifah, Abu Hurairah, Ibnu Umar, Ibnu Abbas, Amru bin Ash, Abdullah bin Amru, Muawiyah, Ibnu Zubair, Abdullah bin Saib, Aisyah, Hafshah, Ummu Salamah (semuanya dari kaum Muhajirin), Ubay bin Ka’ab, Muadz bin Jabal, Zaid bin Tsabit, Abu Darda’, Anas bin Malik, Abu Zaid, dan lain-lain dari golongan penghafal.
Banyaknya para sahabat yang hafal Qur’an tidaklah mengherankan karena pertama, secara tradisi mereka sudah terbiasa dan terlatih menghafal, terutama menghafal syair-syair dan garis keturunan. Kedua, mereka sangat mencintai Qur’an. Ketiga, fasilitas tulis-menulis masih sangat terbatas.[6]
Media yang dipakai kala itu memang sederhana sekali, bahkan seadanya, mengingat fasilitas yang sanagat terbatas. Misalnya pelepah kurma, batu tipis, kulit binatang, daun kering, dan lain-lain. Penulisan kala itu mencakup Al-Ahruf As-Sa’bah sebagaimana Qur’an diturunkan, mencakup yang dinasakh tilawahnya (mansukh at-tilawah), sebagian hanya berdasarkan urutan surat dan ayat dan tidak terkumpul dalam mushaf atau suhuf.
Sekali pun ayat-ayat yang turun dituliskan oleh para penulis wahyu, tetapi yang menjadi acuan utama dalam transfer Qur’an dari Rasul kepada sesama umat Islam bukanlah tulisan tersebut, melainkan hafalan atau periwayatan secara lisan. Faktor-faktor yang mendorong penulisan Qur’an pada masa Nabi antara lain:
a. Memperbanyak hafalan, baik Nabi maupun sahabat
b. Mempresentasikan wahyu dengan cara yang paling sempurna, karena mengandalkan hafalan saja tidak cukup, karena di antara mereka ada yang lupa atau telah wafat. Sedangkan tulisan akan tetap terpelihara.
Sementara itu, penulisan Qur’an pada masa Nabi tidak terkumpul dalam satu tempat saja, tetapi terpisah. Hal ini dikarenakan proses turunnya Qur’an saat itu masih berlangsung, sehingga terdapat kemungkinan ayat yang turun di belakang menghapus (menasakh) redaksi atau hukum ayat yang turun sebelumnya. Juga karena adanya penertiban ayat-ayat dan surat-surat, karena sistematika penulisan Qur’an tidak disusun menurut kronologi turunnya, tapi menurut keserasian antara ayat yang satu dan ayat lain. Oleh karena itu terkadang surat yang turunnya lebih akhir berada di depan dan sebaliknya ayat yang turun awal berada di depan.
2. Sejarah Penghimpunan Al-Qur’an pada Masa Abu Bakar Ash-Shiddiq RA
Penghimpunan Qur’an pada masa Abu Bakar berawal dari inisiatif Umar bin Khatthab. Umar khawatir akan banyaknya para penghafal yang gugur dalam beberapa peristiwa, seperti peristiwa Yamamah dan Sumur Ma’unah. Keadaan tersebut kalau tidak segera diantisipasi dapat berakibat fatal bagi kelangsungan Islam untuk masa yang akan datang. Oleh sebab itu, Umar mengusulkan kepada Abu Bakar untuk mengumpulkan Qur’an dalam satu mushaf. Semula Abu Bakar keberatan karena dikhawatirkan termasuk perbuatan bid’ah, sebab Rasul tidak pernah memerintahkan perbuatan tersebut. Tetapi, Umar berhasil meyakinkan Abu Bakar bahwa perbuatan tersebut hanyalah meneruskan apa yang telah dirintis oleh Rasul sendiri, karena beliau telah memerintahkan kepada para penulis wahyu agar menulis semua ayat yang turun.
Abu Bakar menganggap bahwa seseorang yang paling tepat melakukan tugas tersebut adalah Zaid bin Tsabit, karena Zaid termasuk barisan penghafal Qur’an dan sekaligus salah seorang penulis wahyu yang ditunjuk oleh Rasul SAW, apalagi dia menyaksikan tahap-tahap akhir Qur’an diturunkan kepada Rasul SAW. Zaid juga terkenal cerdas, sangat wara’, amanah, dan istiqamah. Umar pun menyetujui keputusan Abu Bakar tersebut.
Seperti halnya Abu Bakar, Zaid pun semula ragu menerima tugas tersebut. Tetapi setelah diyakinkan oleh Abu Bakar, akhirnya dia bersedia melaksanakannya di bawah bimbingan Abu Bakar, Umar, dan para sahabat senior lainnya. Dalam melaksanakan tugasnya, Zaid mengikuti metode yang digariskan oleh Abu Bakar dan Umar, yaitu mengumpulkan Qur’an dengan tingkat akurasi tinggi dan hati-hati. Sumber yang digunakan pun tidak cukup hafalan dan catatan yang dibuat oleh Zaid sendiri, tetapi menggunakan catatan-catatan yang pernah dibuat pada zaman Rasul dan hafalan para sahabat. Setiap sumber harus dikuatkan oleh dua orang saksi yang dipercaya. [7]Kemudian tersusunlah sebuah mushaf yang dikumpulkan dengan tingkat akurasi tinggi dari sumber yang mutawatir dan diterima secara ijma’ oleh umat Islam saat itu. Ayat-ayat yang sudah dinasakh tidak lagi dituliskan. Ayat-ayat sudah disusun sesuai dengan urutannya berdasarkan petunjuk Rasulullah SAW, tetapi surat demi surat belum tersusun sebagaimana mestinya.
3. Sejarah Penghimpunan Al-Qur’an pada Masa Utsman bin Affan RA
Pengumpulan Qur’an pada masa Utsman dilatarbelakangi oleh meluasnya perbedaan pendapat di antara kaum Muslim tentang penulisan dan bacaan Qur’an yang benar, terutama setelah wilayah Khilafah Islamiyah semakin meluas ke bagian utara dan Afrika Utara. Umat Islam kala itu memiliki perbedaan dialek dalam membaca Qur’an sesuai dengan asal daerahnya. Misalnya umat Islam di Syam mengikuti bacaan Ubay bin Ka’ab, di Kufah mengikuti bacaan Abu Musa Al-Asy’ari, dan sebagainya. Perbedaan seperti itu menjadi masalah bagi sebagian umat Islam, terutama yang tidak mengerti dan tidak tahu bahwa Qur’an diturunkan dalam beberapa versi qira’at. Kekhawatiran Utsman dapat terbaca jelas dalam pidatonya waktu itu: “Anda semua yang dekat denganku berbeda pendapat, apalagi orang-orang yang bertempat tinggal jauh dariku, mereka pasti lebih berbeda lagi”. Hadits riwayat Abu Daud.
Utsman segera berinisiatif untuk membentuk tim penulisan kembali Qur’an ke dalam beberapa mushaf dengan acuan utama Mushaf Abu Bakar. Tim tersebut terdiri dari Zaid bin Tsabit sebagai ketua, dengan anggota Abdullah bin Zubair, Sa’id bin Ash, dan Abdurrahman bin Harits bin Hisyam. Ketiga anggota berasal dari suku Quraisy, berbeda dengan Zaid yang berasal dari Madinah. Utsman mengatur komposisi tersebut karena apabila terjadi perbedaan pendapat dengan Zaid, maka masih ada tiga orang Quraisy yang memenangkan perbedaan tersebut. Hal ini dilakukan karena Qur’an diturunkan dalam logat Quraisy.
Jika mushaf yang ditulis pada masa Abu Bakar sudah disusun ayat demi ayat sesuai dengan urutannya yang tauqifi, tetapi surat demi suart belum disusun sesuai dengan urutannya maka tim tersebut menyempurnakan dengan menyusun surat demi surat sesuai dengan urutannya.
Setelah pekerjaan tim selesai, Utsman mengirim mushaf-mushaf tersebut ke beberapa wilayah untuk dijadikan sebagai standar. Utsman memerintahkan agar semua mushaf milik pribadi yang berbeda dengan mushaf miliknya harus dibakar, jika gagal dalam menghapuskan mushaf-mushaf ini maka dapat memicu munculnya perselisihan kembali.[8]
Kesimpulan
Jamul qur’an merupakan sebuah proses pengumpulan, penghimpunan alquran dari masa rosulullah hingga masa para sahabat, akhirnya dapat disimpulkan bahwa kemurnian atau autentifikasi Al-qur’an tetap terjaga dengan usaha-usaha yang telah dilakukan generasi terbaik umat islam. Penghimpunan Al-Qur’an dalam sejarahnya berlangsung selama tiga periode. Pertama, pada masa Rasulullah SAW, kedua pada masa khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq RA, dan ketiga pada masa khalifah Utsman bin Affan RA. Masing-masing periode memiliki ciri-ciri sendiri.
Dengan memahami keperluan dokumentasi tiap ayat, masyarakat Muslim yang telah mencapai urutan huffaz telah membuat sistem hafalan sebagai penangkal pengaruh yang merusak. Pada periode Mekkah dengan laju penindasan yang begitu kuat, tidak mampu memusnahkan Qur’an yang pada akhirnya umat Islam menikmati kemajuan Madinah, baik yang bisa membaca maupun yang buta huruf dapat mengambil bagian dalam menghafal Qur’an. Di tengah mereka tinggal Rasul terakhir yang mendiktekan, menjelaskan, menyusun ayat melalui inspirasi ketuhanan dengan status privilege (hak istimewa), semua ayat di dalamnya menjadi sempurna.
Pengabdian Abu Bakar terhadap Qur’an pun sangat mengagumkan, beliau sangat memperhatikan instruksinya tentang dua saksi untuk membangun otentisitas dan mempraktikkan ini dalam kompilasi Qur’an itu sendiri. Alhasil, walaupun ditulis di atas kertas yang tidak sempurna, hal ini menunjukkan bahwa keikhlasan dalam usahanya untuk memelihara Qur’an.
Usaha Utsman yang sungguh-sungguh jelas tampak berhasil dan dilihat dari dua cara: pertama, tidak ada mushaf di provinsi Muslim kecuali Mushaf Utsmani yang telah menyerap ke darah daging mereka; kedua, mushaf atau kerangka teksnya dalam jangka waktu empat belas abad tidak bisa dirusak. Sampai hari ini terdapat banyak mushaf yang dinisbatkan langsung kepada Utsman, artinya bahwa mushaf-mushaf tersebut asli atau salinan resmi dari yang asli.
Dan hal yang selalu dijadikan dijadikan dalil untuk melemahkan kepercayaan terhadap Qur’an dan kecermatan pengumpulannya tak dapat menegasikan janji Allah, ‘’sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al Qur’an,dan sesungguhnya kami benar-benar memeliharanya’’.[9]
[1] Hafidz Abdurrahman, Ulumul
Qur’an Praktis (Bogor: Idea Pustaka Utama, 2003) , hal. 82
[2] Hafidz Abdurrahman, Ibid.
[3] Departemen Agama Republik
Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya,1989.
[4] Muhammad Ali Ash- Shabuuniy, Studi
Ilmu Al- Qur’an (Bandung Pustaka Setia, 1991), hal. 93
[5] Manna’ Khalil al-Qattan, Studi
Ilmu-Ilmu Qur’an, (Bogor: Pustaka Litera Antarnusa), hlm 179-180.
[6] Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul
Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing), hlm 84.
[7] Yunahar Ilyas, Kuliah Ulumul
Qur’an, (Yogyakarta: Itqan Publishing), hlm 87.
[8] Muhammad Mustafa Al-A’zami, The
History: The Qur’anic Text from Revelation to Compilation, (Jakarta: Gema
Insani Press), hlm 108.
[9] Q.S. al Hijr
(15), ayat: 9.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar