Jumat, 08 Februari 2013

Pengakuan

Berdiri di depan pintu aku masih ragu. Pertanyaan yang aku peram beberapa tahun ini masih saja bergelayut dalam alam pikir. “Apakah permintaan maaf atas suatu kesalahan itu harus dijelaskan tentang kesalahannya?”. Akan tetapi, pada setiap hari raya hanya bersalaman kemudian meminta maaf atas segala kesalahan yang kita lakukan tanpa menjelaskan satu-satu apa saja kesalahan itu. Memang sulit untuk mengingat-ingat setiap kesalahan kita, tentu karena kesalahan kita pada orang lain tak terbilang banyaknya. Namun, untuk kesalahan yang cukup besar apakah semudah itu kita meminta maaf, sebagaimana semudah bersalaman ia mau memaafkan kita. Sedang di hari yang fitri ini aku sudah berdiri di depan pintu rumahnya.

Bertahun-tahun, setiap akan menjelaskan kesalahan itu selalu aku urungkan. Aku selalu yakin kalau dengan meminta maaf padanya saat Idul Fitri tiba dengan mengucapkan permohonan maaf atas segala salah itu bisa menghapus semua dosa kesalahan yang pernah aku lakukan. Pada suatu saat kemudian aku jadi ragu bahwa kesalahanku itu benar-benar sudah dimaafkannya, mengingat begitu jengkel dan kecewa ia pada kesalahanku beberapa tahun lalu. Lalu aku jadi berpikir kembali untuk mengatakan sejujurnya dan sejelasnya tentang kesalahan itu di hari raya berikutnya. Aku harus bersabar. Namun setahun kemudian pada saat Idul Fitri tiba, kejelasan dan kejujuran yang ingin aku utarakan itu belum kesampaian juga karena keyakinanku meminta maaf di hari yang fitri akan menghapus segala dosa. Hal itu berulang beberapa kali hingga hari ini, di mana aku sudah berdiri di depan pintu rumahnya.

Kesalahan itu bagiku cukup besar. Pada saat musim layang-layang, aku bersama teman-teman menerbangkan layang-layang tak jauh dari rumah. Seperti biasa, sepulang sekolah madrasah kami saling menghampiri untuk berangkat bersama menuju arena penerbangan layang-layang; sawah.

Masih tergambar sekali dalam ingatanku, layang-layangku waktu itu orang-orang menamakannya kapal-kapalan. Dimana layang-layang itu berbentuk kapal terbang, dengan baling-baling di moncongnya dan baling-baling itu menghubung ke sebuah kaleng bekas yang diikat di tubuh layang-layang yang berbentuk balok dengan rongga di tengahnya sehingga jika berputar berbunyi “tok.. tok.. tok”.

Layang-layang yang cukup besar untuk usia kelas 5 SD itu untuk memulai menerbangkannya tidak cukup dengan angin yang berhembus, tapi perlu ditarik sambil berlari untuk bisa mengangkat layang-layang itu ke angkasa. Hal itu itu tidaklah sulit bagi kami yang sudah tertanam sikap gotong-royong. Dengan satu teman yang merelakan tenaga dan waktunya untuk memegangi layang-layang lalu kita menariknya dengan benang yang sudah terolor berpuluh meter itu kapal-kapalan bisa langsung mengangkasa.

Dan itulah yang aku lakukan pada sore itu. Dengan layang-layangku dipegangi seorang teman, saat angin datang berhembus, aku-pun berlari menarik benang layang-layang itu. Namun, “brak!” aku terjatuh bergelimpungan di pematang sawah. Kapal-kapalanku mendarat darurat. Belum aku bangkit dengan sempurna, seorang kakek tua datang dan mengumpat.

“Heh, anak! Mata kamu taruh mana?” ia berkata sambil menunjuk seember obat tanaman yang berhamburan di sekitarku.

“Maaf, pak. Saya tidak melihatnya”

“Tidak melihat, tidak melihat! Mata kamu taruh mana, ha?”

Aku gemetaran berlumuran rasa takut yang hebat.

“Maaf, pak. Saya tidak tahu”

“Tidak tahu, tidak tahu! Ayo cepat, beresin! Dodol!”

Dengan jari-jariku yang masih kecil saat itu, aku memunguti obat tanaman yang berserakan di tanah dimasukkan ke ember yang aku tabrak itu.

Teman-teman hanya bisa melihat. Mereka takut untuk membantu, takut terkena caci maki. Dengan hati gusar akhirnya selesai juga aku menghimpun yang tercecer dalam satu ember. Tentu di tanah masih ada butiran-butiran putih itu yang tidak bisa dipungut lantaran sudah bercampur dengan lumpur.

Sore itu bermainku jadi kacau. Panas dadaku masih saja menekan hingga merah senja menyala di balik gunung. Untuk mendinginkan, aku sumpal saja aliran parit yang mengaliri petak sawahnya. Tentu setelah si kakek yang masih tetanggaku itu sudah pulang. “Biar tau rasa”, aku berkata dalam hati.

Dikeesokan harinya, di sore yang sama, layang-layangku sudah mengangkasa. Bunyi “tok.. tok.. tok..” itu terdengan cukup nyaring dari bumi. Terlihat si kakek berjalan terhuyung menuju sawahnya. Tak lama kemudian, ia tahu kalau parit kecil yang mengaliri sawahnya terbendung dengan tembok lumpur. Seraya ia memaki-maki tanpa tujuan lantaran sawahnya cukup kering untuk tidak diairi semalam sehari. Aku tersenyum puas saat itu.

Tidak hanya itu, sakit hatiku belum berhenti di situ. Aku sering mencuri ketela di kebunnya untuk aku bakar bersama teman-teman. Bagi kami ketela curian lebih nikmat rasanya, karena dari mencabut hingga menghilangkan jejak arang serba mengendap-endap.

Sekarang, sudah beberapa tahun, aku ingin mengungkapkan hal itu dengan sejujurnya. Namun di depan pintu aku sudah ragu. Atau lebih tepatnya merasa malu. Sekarang aku sudah dewasa bagaimana jadinya dengan mengungkapkan sikap pecundang masa kecil itu. Ah, aku bertamu saja dulu.

Ia menjawab salamku dengan suara retak. Pandangannya penuh beban. Kerut wajahnya lebih tampak dari beberapa tahun lalu, saat aku membendung sawahnya. Dadanya mengembang-mengempis dengan desis lirih. Dan rambutnya semakin berguguran.

Ia bertanya kabarku, tentang kuliahku. Ia senang mendengar aku belajar tentang agama di perkuliahan. Baginya agama adalah satu-satunya kebaikan di dunia. Aku bertanya tentang sawahnya tentang kebunnya. Ia sudah tidak kuat lagi ke sawah, pandangnya sudah kabur, katanya.

Saat ini aku sudah memasuki tema yang pas buat mengutarakan apa yang seharusnya aku utarakan. Namun lagi-lagi ragu datang membelenggu. Bagaimana jadinya seorang yang sudah sempoyongan ini mencaciku yang kedua kalinya. Jangan-jangan karena emosi terlalu tinggi lalu ia shok dan pingsan. Ah, segera aku tepis perasaan konyol itu.

Dengan setengah kaku, aku ungkapkan pengakuan segala kesalahan yang menyangkut masa kecilku itu. Berawal dari caci makinya di sawah, hingga dendamku yang bertubi-tubi. Aku bercerita panjang lebar hingga detailnya. Sehabis semua terungkap aku seperti berhasil menerbangkan layang-layang waktu itu, lega sekali.

Ia mendengarkan dengan seksama, seperti mengingat-ingat seperti apa peristiwanya. Aku-pun masih sangsi apakah ia masih teringat dengan kejadian itu. Aku sudah siap sedia menerima segala caci maki. Itu tidak seberapa dengan kesalahan yang aku lakukan. Ibarat pencak silat, aku sudah siap kuda-kuda.

“Anggap saja itu tidak pernah terjadi. Aku sudah memaafkanmu dari dulu”. Kakek itu berkata dengan lapang dada.

“Maksud kakek?” Aku keheranan bercampur deg-deg-an.

“Ya, aku sudah memaafkanmu dari dulu.” Kakek berhenti sebentar. “Dari ukuran bekas jari-jari yang tergambar di lumpur yang membendung aliran air itu tampak pelakunya adalah anak-anak. Dan anak-anak yang bermain di sawah siapa lagi kalau tidak kamu, agus, dan lutfi.”

Keteganganku akan kesiapan untuk menampung segala caci maki pudar seketika. Aku mengendor, jadi lemas terharu sama kakek itu.

“Kalian dulu memang anak-anak, tidak secermat sekarang. Pada saat terlihat asap membubung dari tengah ladang singkong, pasti kamu dan teman-teman sedang membakarnya. Singkong itu memang siapa saja boleh mengambilnya. Bahkan kalau mau, kamu bisa meminta sekeranjang buat diolah jadi gatot, getuk, atau kolak.”

Aku semakin terharu. Bahkan sampai sekarang aku tidak menyadari kecerobohan hingga kakek itu sebenarnya sudah tau siapa pelakunya. Aku malu sekali, bukan lantaran kesalahan itu lagi, namun karena aku tidak mengakuinya sejak dari dulu. Sekarang kakek sudah renta sekali, tidak kuat ia pergi ke sawah.

Dalam perjalanan pulang, aku menyesal sekali telah memendam kesalahan bertahun-tahun. Kadangkala aku merasa membenarkan memendam kesalahan itu dengan alasan bersabar menunggu waktu yang tepat. Bersabar, ya bersabar, setiap hatiku ragu atau takut untuk mengakui kesalahan pasti alasan itu mencuat menguasai diri. Dan aku baru tahu sekarang, bahwa bersabarku untuk meminta maaf atas kesalahan, bersabarku untuk mengakui dosa guna menghapusnya itu merupakan bersabar yang keliru. Karena bersabar bukan berarti menunda waktu.