Sabtu, 15 Desember 2012

Penggalan Kisah


Seharusnya aku sudah meninggalkannya. Meninggalkannya memang karena segala yang terjalin kini sudah terurai. Lalu aku menyembuhkan lukaku sendiri, dan dia menyembuhkan lukanya. Karena kami tidak lagi di jalan yang sama.

Setiap perjumpaan diakhiri dengan perpisahan. Sekitar sebulan lalu kami berjumpa dan kini waktunya berpisah. Masa selama di dalam kebersamaan mulai saya kemasi, untuk disimpan di dalam kotak kenangan. Suka duka di masa singkat itu tak berarti lagi, melainkan sebagai pelajaran di kelak hari.

Seharusnya kami sudah mulai jauh-menjauhi. Aku mencari jalan hidupku sendiri, dan ia mencari jalan hidupnya. Ibarat sebatang pohon, kami adalah pohon yang ditumbangkan oleh tukang kayu menjadi dua bagian. Lalu aku bisa saja menjadi almari dan ia menjadi meja atau kursi. Dan tentu kami tidak bisa bersama lagi, kalau pun suatu saat nanti bertemu mungkin hanya mampu bertegur sapa.

Mendung yang menjadi saksi kebersamaan kami pun sudah mencair dan turun ke selokan dan sungai menuju ke lautan. Rumput-rumput kuning yang menjadi saksi kebersamaan kami sudah musnah, tergeser oleh rerumputan hijau yang tumbuh dengan angkuh. Debu-debu yang menjadi saksi kebersamaan kami, sudah terseret arus hujan dan hanya menyisakan genangan. Seharusnya lengkap sudah untuk sebuah akhiran.

Di saat seperti ini, dia menghubungiku lagi. Ia mengatakan bahwa apa yang menjadi keputusan minggu lalu adalah hasil dari keputusan sebelah pihak. Dia di posisi sangat tertekan. Di satu sisi ia sebagai anak yang harus patuh pada orang tua, dan di sisi lain ia sebagai seorang remaja mempunyai keinginan dan cita-cita, serta harapan-harapan yang disukainya menurut kecenderungan hatinya sendiri.

Ia mengeluh dan mengaduh kepadaku. Air matanya mengucur, senyumnya terkubur. Bagaimana mungkin bisa hidup dalam keluarga sebagai suami istri dengan orang yang tidak dicintainya. Ia ingin mengungkapkan isi hatinya kepada orang tua. Dia meminta pertimbangan-pertimbangan dariku, dan aku mulai berpikir.

Semenjak ia mengatakan bahwa ibunya pernah bilang, “Kamu bertemu dia (aku) sudah dewasa, dia tidak tau bagaimana kamu saat kecil. Sedang aku, aku tau bagaimana saat kamu kecil, maka ikutilah nasehatku”. Sejak ia menyampaikan kata itu, harapanku untuk bersama dia sudah pupus. Ibunya menyetujui laki-laki lain yang sudah sukses dari segi ekonomi. Bagiku itu adalah ungkapan paling puncak sebagai permohonan orang tua kepada anaknya.

Ridho Tuhan terdapat di dalam ridho orang tua, dan kemurkaan Tuhan ada di dalam kemurkaan orang tua. Sebagai pengasuh utama setiap anak, orang tua mempunyai posisi penting dalam kehidupan anak. Menentang orang tua hampir sama dengan menentang Tuhan. Hal inilah yang membuat setiap kata yang diucapkan orang tua kepada anaknya menjadi kata-kata yang mujarab. Kutukan maupun do’anya seakan selalu membayangi anak dalam kehidupannya. Maka mengungkapkan isi hati yang bertentangan dengan kehendak orang tua haruslah berhati-hati. Karena jika orang tua marah, marahlah Tuhan.

Pertama-tama yang saya lakukan adalah mendinginkan dan melipurnya. Dari pernyataan-pernyataan sebelumnya saya bisa tau kalau dia adalah seorang yang keras dengan pendiriannya, keras dengan keinginan-keinginannya. Maka jika tidak diredakan terlebih dahulu, pertentangannya dengan ibu bisa meledak menjadi sebuah pertempuran, dan hal ini bisa membahayakan bagi kehidupannya kelak.

Saya memberikannya terlebih dahulu pengertian bahwa hidup bersama siapa saja sama. Sama saya baik, sama laki-laki pilihan ibu juga baik. Semua kebaikan itu sama. Sama-sama membahagiakan. Hanya saja perlu kebiasaan dan pembiasaan. Cinta itu adalah anak kebudayaan, kata Pramoedya Ananta Toer, ia bukan batu yang jatuh dari langit. Artinya bahwa cinta itu bisa tumbuh karena kebiasaan dan interaksi budaya yang intens. Jika ia pun nantinya harus hidup dengan pilihan ibu, maka mungkin sekali akan tumbuh cinta meski untuk sekarang ini tidak ada rasa cinta sama sekali.

Di samping memberikan pengertian itu aku merintih teriris-iris oleh kata-kataku sendiri. Bukannya aku juga dalam gelora cinta padanya. Siapa yang tidak menginginkan memiliki apa yang dicintainya dan yang disayanginya. Aku berpura-pura tegar dihadapannya. Aku tersenyum bahkan tak jarang tertawa terbahak, namun itu semua sebagai tangisan yang aku paksakan menjadi tawa. Aku menertawakan kengerian akan keterpisahan dengan kekasihku, di depan kekasihku sendiri.

Setelah memberikan pengertian itu aku berusaha mendorong dia untuk mengungkapkan isi hatinya kepada ibunya. Dan dengan samar menolak keinginan ibunya. Melawan dengan sehalus-halusnya perlawanan. Menolak dengan halus pewujudannya adalah dia mengungkapkan isi hatinya dengan  menolak apa yang dikehendaki ibunya. Di saat-saat seperti itu pasti akan terjadi perdebatan hebat. Maka tatkala ibunya mulai marah dan mengomel, saya anjurkan untuk segera meninggalkannya tanpa mengeluarkan sepatah kata.

Dari ceritanya aku bisa menangkap bahwa ibunya memilih lelaki itu tidak hanya karena kemapanannya secara ekonomi, akan tetapi ada hal lain yang lebih besar. Apakah hal itu. Hal itu membuat saya berpikir seribu kali. Mencermati setiap yang terjadi mulai aku mengenalnya hingga saat ini.

Saya jadi merasa bersalah ketika pertama kali kami bertemu di taman kota hingga larut malam. Jalan bareng yang kami rencanakan berakhir sampai jam setengah sembilan, kenyataannya kami pulang hingga jam setengah sepuluh malam. Sudah saya ingatkan sebenarnya saat jarum jam menujukkan pukul setengah sembilan. Namun ia masih ingin menikmati malam denganku, jam Sembilan juga aku ingatkan, namun lagi-lagi ia menolak untuk segera kembali. Jam setengah sepuluh kami baru bisa sampai ke rumah dia.

Karena saya merasa bertanggungjawab mengajaknya keluar, maka saya pun malam itu memperkenalkan diri dengan ibunya untuk pertama kalinya. Sebuah perkenalan di waktu yang tidak tepat. Jam setengah sepuluh malam, dan dengan kondisi baru pulang dari taman kota. Saya benar-benar tidak berpikir sampai di situ. Saya terlalu terlena oleh gelora cinta yang bersinar terang hingga menyilaukan segalanya.

Kesalahan kedua adalah ketika saya mengajaknya keluar untuk berbelanja buku. Meski dengan izin ibunya, saya tetap merasa bersalah. Saya terlalu berani dan sembrono. Membawa pergi dia begitu saja, lalu mengembalikannya ke rumah, bukankah itu hal yang tidak etis. Terlebih saat orang tuanya berada di rumah.

Adalah dua kesalahan itu yang menurutku membuat ibunya mungkin tidak suka denganku dan memilih laki-laki lain untuk dia. Saya sudah meminta maaf, tapi sepertinya sudah terlambat. Saya sudah tidak mungkin silaturrahmi ke rumahnya, lantaran saat-saat ini sedang masa rundingan antara keluarga dia dengan keluarga lelaki pilihan ibunya. Saya hanya bisa meminta maaf dengan perantara dia, untuk menyampaikannya kepada ibunya. Namun tetap tidak efisien karena suasana antara mereka sedang memanas. Bahkan saya belum yakin dia benar-benar sudah menyampaikan permintamaafan saya itu.

Semua sudah terjadi, dan kecerobohan saya membawa segalanya berantakan. Saya terlalu tersilaukan oleh gelora cinta, maka saya tidak lagi mengikuti hukum adat yang masih berlaku dalam masyarakat yaitu papan empan. Saya seharusnya sadar diri bahwa dengan posisi saya. Saya berada di keluarga yang baru saya kenal. Seharusnya saya tidak berbuat melampaui batas. Seharusnya saya tahu dulu bagaimana karakter keluarganya, untuk bisa bersikap dan berbuat sesuai yang berlaku di dalam keluarga itu. Lagi-lagi etika dan norma.

Sebenarnya aku dilahirkan di iklim keluarga yang normatif. Lalu aku disekolahkan juga di kawasan normatif yang kental dengan etika dan norma. Hingga saat meneruskan ke perguruan tinggipun saya tinggal di kawasan kental dengan norma. Tapi interaksiku dan norma dengan waktu yang berpuluh tahun itu tidak memberikan pengaruh yang besar tentang norma dalam diri saya. Norma membuat saya selalu tidak nyaman. Norma selalu membuat saya menjadi pembohong. Tidak alami dan terkesan dibuat-buat.

Karena saya terlalu mengacuhkan norma, dan mengikuti kata hati saja, saya pun menjadi mengerti bahwa norma dan etika sangat mempengaruhi hidup kita, terutama citra kita dalam keluarga, terlebih dalam kehidupan masyarakat. Saya menyesal sekali berbuat yang demikian. Menjadikan apa yang saya impikan dan hampir mendapatkannya, tapi kini menuai kendala yang tidak bisa diremehkan. Ini adalah pengalaman yang berharga, dan yang bisa kulakukan hanyalah berdo’a agar segala keputusan menjadi yang terbaik bagi semua pihak.

Rabu, 05 Desember 2012

Ketika Orang Tua Memaksakan Kehendak Anaknya


Berani mencintai berarti juga berani menanggung segala resiko yang diakibatkan darinya, termasuk patah hati. Itu adalah hukum alam. Kita tidak bisa terhindar darinya. Kita mengambil sesuatu dengan segala resikonya, atau tidak mengambil sama sekali. Dan hanya orang-orang yang berani menerima akibat dari yang ia lakukan, ialah orang-orang yang kuat.

Setiap manusia pasti pernah merasakan cinta. Merasakan geloranya. Bagaimana setiap sesuatu menjadi indah, bahkan hal-hal yang sebelumnya dibenci, tatkala di masa gelora cinta yang dibenci pun tiba-tiba disukainya tanpa suatu alasan yang jelas. Itulah gelora cinta, dimana keindahan menjadi pangkal dari segala sudut pandang.

Gelora cinta adalah gelombang yang memberi kekuatan jiwa. Yang menumbuhkan gairah kehidupan, dan yang memberikan kekuatan raga untuk melakukan hal-hal besar sekalipun. Cinta membangkitkan harapan-harapan dan cita-cita, melenyapkan semua bentuk dendam, dan kesemuanya itu membangkitkan kualitas hidup seseorang.

Ketika seorang berada di puncak gelora cinta lalu rintangan mulai menghadang, semangat untuk menyingkirkan segala rintangan menyala-nyala seperti api yang bangkit untuk membakar kayu. Namun semua itu hanyalah akan menjadi kebohongan ketika dihadapkan dengan kekuatan budaya balas budi. Dimana orang tua sebagai orang yang paling berjasa dalam hidup setiap orang, menjadi kuasa atas segala pilihan seorang tersebut, dan celakanya mencampuri urusan cinta, sedangkan urusan cinta adalah urusan rasa. Rasa yang murni dari kedalaman hati yang dimulai dari ketertarikan antara dua individu yang berbeda yang ingin bersatu.

Budaya balas budi adalah monster yang siap menerkam siapa saja, sebuah jurang api yang siap meleburkan apa saja, hujan belati yang siap mencincang siapa saja yang terperangkap di dalamnya. Balas budi menjadi jebakan paling sukses sepanjang sejarah manusia. Ia melemahkan dengan menyenangkan, menjerumuskan dengan mengangkat martabat, dan menusuk tanpa menghunus. Sebuah cara paling kejam untuk mematikan apa saja yang dijadikan sasarannya.

Orang tua sebagai orang paling berjasa dalam tumbuh kembangnya anak adalah salah satu orang yang memiliki senjata paling mematikan ini. Orang tua mendidik setiap anak, merawat, menimang, memberikan kasih sayangnya, secara langsung ia mengasah senjata balas budi yang bisa digunakan untuk menikam anaknya kelak dewasa nanti.

Adalah anak yang paling malang, yang orang tuanya tega mengeluarkan senjata terampuh untuk melemahkannya. Demi keinginan dan ambisi orang tua kepada anaknya, ia menggunakan senjata itu. Senjata balas budi. Senjata terlaknat di dunia, mengungkit-ungkit jasanya untuk mengendalikan anaknya yang sebatang kara tanpa dukungannya. Maka orang tua yang dulu dianggap sebagai penyayang utama dalam kehidupan anak, anak mulai berpikir, bahwa orang tuanya kini menjadi kanibal paling kejam di dunia.

Orang tua yang egois, mementingkan dirinya sendiri, mementingkan kehormatannya di atas apa pun, akan memasung anak, mencarikan jalur hidupnya, meski anak tidak suka dan tidak menemukan kecenderungan-kecenderungan dengan jalur itu. Maka yang terjadi adalah pertentangan harapan dan cita-cita. Anak mencoba mengutarakan keinginannya, mencoba menyuarakan pilihannya, dan orang tua akan mengeluarkan gaman paling tajam yaitu balas budi. Orang tua mulai mengungkit-ungkit jasanya pada anak, ia mengungkapkan bagaimana susahnya mendidik anak waktu kecil, mengganti popok, memandikan, menyuapi, dan dengan seperti itu orang tua menjadi pembunuh karakter paling kejam, sedangkan anak menjadi tak berdaya, menjadi mati rasa.

Hal itu akan lebih menyengsarakan tatkala berada di kawasan cinta. Dimana cinta bermula dari kecenderungan rasa. Pekerjaan dan profesi bisa saja disiasati jika orang yang melakukan tidak ada kecocokan dengannya. Tapi dalam ranah cinta, siapa yang bisa menyiasatinya. Dalam urusan pekerjaan ketidakcocokan akan reda begitu kita keluar kantor atau keluar dari jam kerja. Namun cinta, cinta adalah jalinan rasa yang membelit antara dua manusia. Dimana pun berada, kapan pun waktunya, cinta selalu mengiringi hidup manusia. Cinta bermukim dalam jiwa hingga akhir hayat manusia. Siapa yang bisa menyiasati cinta.

Maka orang tua yang mengeluarkan aji-aji paling bangsat itu untuk maksakan kehendak cinta seorang anak, ia telah merubah kepercayaan, keteladanan, dan kebersamaan anak menjadi kebencian yang dalam saat itu juga. Saat itu juga. Kepercayaan, keteladanan, dan kebersamaan anak dengan orang tua akan musnah seketika berganti dengan rasa benci yang tiada duanya. Sedangkan anak hanya akan menerima begitu saja, atau jika melawan dia akan menjadi seorang anak yang terkutuk karena menentang kehendak orang tua. Merupakan sebuah mitos yang sempurna untuk membodohkan dan melemahkan.

Maka mari kita ucapkan bela sungkawa atas yang terjadi pada setiap manusia yang dipaksakan cintanya oleh orang tua. Semoga mereka bisa menyesuaikan diri, bisa membangun cinta meski dengan susah payah. Semoga mereka diberi kekuatan untuk menerima segala kekejaman orang tua yang menggunakan sejata balas budi yang mengerikkan. Dan semoga kekalahan anak dalam bersuara buka semata karena ketertundukannya pada orang tua, namun ia sudah benar-benar berusaha berjuang untuk mendapatkan apa yang mereka harapkan, dengan sekeras-keras usaha.

Dan sebagai calon orang tua, mari kira renungkan hakikat dari kebebasan, kebebasan memilih jalan hidup, kebebasan untuk mencintai, dengan batasan-batasan kebaikan. Anak-anak kita nanti mempunyai kecenderungan sendiri-sendiri, dan beruntung sekali mereka jika kita mempunyai orang tua dengan pengetahuan yang mumpuni dalam mengarahkan jalan hidup mereka. Mengarahkan, dan bukan memaksakan. Sekali lagi, hanya mengarahkan.

Senin, 03 Desember 2012

Cinta di Awal Musim Hujan


Tubuhnya masih ceking seperti saat kami kuliah dulu. Rambutnya yang berlingkar-lingkar sekarang tak tampak lagi karena sekarang potongan rambutnya cepak. Gaya bicara, berjalan, dan menyeletuk, masih sama. Hanya rautnya lebih dewasa sekarang.

Jarak dua jam dari tempat dari tempatnya bukanlah suatu hal yang berat. Namun hujan deras barangkali cukup menguras tenaganya. Aku sendiri juga heran, di tahun ini hari ini adalah hari pertama turun hujan. Tepat saat sahabatku datang mengunjungiku.

Ia duduk di kursi ruang tamu. Menyruput teh hangat yang disediakan ibu. Basah rambutnya sesekali mengalir ke dahinya. Sedang aku duduk di kursi depannya, menunggu kabar apa yang dibawanya.

“Bagaimana kabarmu? Kabar Yuni? Kapan kalian menikah?”

Tiba-tiba ia memberondong pertanyaan dengan satu runtutan tema, yaitu hubunganku dengan Yuni, gadis terdekatku yang aku kenal setahun yang lalu.

“Kabar kita baik saja. Menikah! Haha.. Hal itu belum terpikirkan”. Aku menjawabnya ringan. Aku tahu sekali karakter Ubik, kadang-kadang dia memancing pertanyaan dengan pertanyaan. Artinya dia bertanya itu supaya aku ganti bertanya dengan hal yang sama kepadanya.

“Oh ya, bagaimana dengan kabar asmaramu?” Aku pun ganti bertanya kepadanya.

“Asmara apa?”

Nah, ia selalu mengelak untuk menjawab langsung. Tepat sekali seperti biasanya.

“Dengan Utha yang pernah kamu ceritakan dulu?”

“Kami hanya sepasang sahabat. Tak lebih dari itu.” Lalu ia menghela nafas panjang. Mengambil gelas teh, lalu meminum sedikit dan diletakkannya kembali ke atas meja.

“Sebenarnya ada lagi setelah itu. Aku mengenal seorang gadis baru, dan ternyata ia adalah satu sekolahan denganku.”

“Oh ya, dimana kalian saling kenal?”

“Di sebuah jalan. Ya, semuanya berawal dari sebuah jalan.”

Saya membetulkan posisi duduk saya. Bersiap mendengarkan cerita panjangnya.

“Semenjak dikenalkan seorang teman tentang bagaimana cara bermain badminton dengan baik, aku pun mulai menyukainya. Bermain badminton selain olah raga juga menuntut konsentrasi tinggi. Di tengah bergeraknya seluruh organ tubuh, konsentrasi dihadirkan untuk melemahkan musuh dengan memberi umpan bola yang sulit ditimpa lawan.

Dengan gemarnya bermain badminton, aku hampir setiap pagi berlatih di sebuah lapangan khusus. Dan suatu pagi, tanpa kusangka aku melihat seorang gadis dengan anak kecil yang menggenggam jari telunjuknya. Seketika aku hentikan permainan, dan kupandangi ia. Aku mengaguminya. Bagaimana ia berjalan, dan bagaimana ia memperlakukan anak itu. Dengan kasih sayangnya.

Di tengah kekaguman, lawan mainku mengatakan bahwa dia kenal dengan gadis itu. Aku pun bertanya tentangnya dan mencari tahu lebih banyak lagi di kemudian hari. Tanpa kusadari benih rasa suka saat itu tumbuh kembang dengan baik dalam hatiku. Dan aku semakin sadar bahwa perasaan suka itu tidak semata karena fisiknya saja, namun hati dan karakternya juga. Bukankah pernyataan orang lain terhadap seseorang itu lebih jujur?” Ia menoleh kepadaku.

“Iya. Benar. Tepat sekali”

Lalu ia mengambil gelas teh, dan meminumnya lagi sedikit.

“Benar, Rid. Aku benar menyukainya. Dan menurutku rasa sukaku itu tidak main-main. Tidak seperti dulu-dulu, kita sering menyuit-nyuiti cewek berbodi padat dan membicarakannya dengan gurauan. Kali itu aku benar-benar merasakan rasa suka yang sesungguhnya.”

Aku mengangguk-angguk mengiyakan. Sambil mengenang masa-masa kuliah dulu.

“Dia beberapa kali melewati lapangan itu, dan tentu permainanku terhenti untuk menikmati keindahan ciptaan Tuhan itu. Hingga suatu saat aku mendapatkan nomor telfonnya, Rid. Dan betapa gembiranya ketika aku menghubunginya, ternyata ia sudah tahu aku sebelumnya. Aku masih ingat pada saat itu tepat tanggal 18 Oktober 2012. Bukankah itu awal yang baik sekali. Bukankah pengenalan itu menjadi setiap awal mula keintiman?” Ia menoleh kepadaku. Aku hanya mengangguk-angguk mengiyakan.

“Kami pun berbincang-bincang dan dengan jarak dua minggu setelah itu aku mengajaknya keluar ke sebuah taman. Bukankah itu perkembangan yang baik sekali, Rid. Malam itu kami habiskan layaknya sepasang kekasih. Dengan gelora cinta baru kami menyelami diri kami masing-masing dan menukarkannya satu sama lain. Dia mengatakan banyak hal, dan itu sesuai dengan cerita-cerita orang dekatnya yang sempat aku tanyai sebelumnya. Dia mengatakan banyak hal yang menurutku seharusnya menjadi rahasianya. Dia mengatakannya dengan nyaman, Rid. Bukankah itu tanda kepercayaannya kepadaku. Malam itu juga aku menjadi orang yang ia percayai. Bukankah itu baik sekali, Rid?” Ia menoleh kepadaku. Dan itu memang benar.

“Kami jalani hari-hari berikutnya dengan mesra sekali. Ungkapan rindu, sayang, cinta, tidak lagi bisa aku tahan, Rid. Semua kata itu begitu saja saling masuk antara handphone kami. Itu merupakan perkembangan yang cepat. Dan kamu tahu saja, Rid, gerimis yang sempat turun membuat suasana hati kami semakin berbunga-bunga.

Secepat itu pula keluarganya mengenal diriku. Sepulang dari taman malam itu aku berkenalan dengan ibunya, dan hari-hari berikutnya aku juga sempat bersilaturrahmi ke rumahnya. Aku mengenal ayahnya, kakanya, adiknya, keponakannya, semua baik kepadaku. Aku semakin yakin dengan keadaan ini, Rid. Bukankah menikah itu selain mempersatukan dua manusia, juga mempersatukan dua keluarga, Rid.

Dan bulan itu, Rid, bulan dimana ia dilahirkan di bumi kita ini. Hal itu adalah moment terpenting setiap manusia, selain hari dimana manusia disahkan bersama pendamping hidupnya, dan hari dimana manusia dipanggil yang Kuasa. Aku pun mencari buku yang baik buat kado ulangtahunnya. Karena bagiku memberi buku itu adalah sebaik-baik pemberian. Meski wujud bukunya sudah hancur lemur, namun pengetahuan yang di dalamnya senantiasa kekal bermukim di dalam jiwanya.

Kedua kalinya aku mengajak ia keluar ialah di taman kota Kediri. Sebenarnya setiap aku melihat mall yang berdiri megah di tepinya, aku selalu mengutuk, karena mall itu berdiri di atas kawasan ruang hijau. Tapi kali itu benar-benar tidak menanggapi seonggok bangunan terkutuk itu. Apakah cinta sudah membutakan kepekaanku pada kepedulian sosial. Aku memaklumi saja, sebagai gelora cinta baru yang menggebu.

Ketika itu, ia menceritakan seluruh kehidupan keluarganya. Seluruh masalah yang dihadapi keluarganya. Tanpa tedeng apa pun. ia menceritakannya dengan jiwa yang tulus. Aku pun semakin mantap dengan kepercayaannya padaku. Aku sudah dipercaya, Rid. Dia sudah merasa nyaman di sisiku. Bukankah itu pertanda bahwa ia juga menyukaiku, Rid?” Ia menoleh kepadaku. Kali ini aku tidak mengangguk, tapi mencoba membayangkannya. Bisa jadi itu hanya perasaannya yang berlebihan.

Sebulan sudah berlalu, dan kami baik-baik saja. Akan tetapi, Rid. Setelah sebulan itu seseorang datang ke rumahnya dan menanyakan ia. Ia tidak suka pada dasarnya. Namun karena kemapanan hidupnya dari segi ekonomi, ibunya lebih condong ke seseorang itu. Dan kamu tentu sudah tahu, meski jaman kini sudah modern dengan keterbukaan, namun masih banyak pemaksaan kehendak. Sistem patriarkat masih banyak membunuh kemerdekaan seseorang.”

Ia berhenti sejenah, meneguk habis isi teh di dalam gelas. Aku bisa membaca kesedihan di wajahnya. Dan aku pun tak luput dari kesedihan itu.

“Meski dia tidak pernah mengtakan cinta padaku, tapi aku sudah tahu, kalau dia mencintaiku.” Ia melanjutkan ceritanya. “Aku tidak menyerah, Rid, karena menyerah itu tanda-tanda orang pengecut. Dengan lantang aku memberikan pengertian-pengertian cinta kepadanya. Aku jelaskan dimana kedudukan harta benda dalam kehidupan. Aku utarakan seluruh rencanaku bersamanya ke depan. Hanya itu, Rid, yang aku mampu. Karena dari segi ekonomi aku memang masih sebatang kara.

Kalau saja aku mau, aku bisa menampakkan kekayaan bapakku. Tapi itu sangat pengecut sekali, Rid. Sampai kapan pun aku tidak akan mengatakan itu hakku, kalau sesuatu itu memang bukan hakku, meski aku bisa saja memakainya kapan dan berapa saja. Aku tidak ingin menjadi pengecut, Rid.

Dan hari ini juga hubunganku dan dia berakhir. Dia tidak bisa mempertahankan cintanya dalam musyawarah keluarga. Dia tidak bisa mempertahankan cintanya, Rid. Uang memang tidak bisa membeli cinta, tapi ia mampu menginjak-injak cinta. Terakhir ia menghubungiku, ia mengatakan menangis semalam lantaran perbedaan ini. Saat itu juga, aku berpura-pura tegar. Aku berpura-pura hal itu wajar, karena ia harus bangkit lagi dan mulai membangun cinta dengan laki-laki itu. Aku tidak ingin menampakkan kesedihan di depannya. Dan kamu tentu lebih tahu, bagaimana berpisah dengan orang yang disayanginya, di saat cinta di puncak gelora.”

Tanpa kami sadari hujan deras yang turun kini menjadi kilauan senja yang menawan. Kilau senja memantul melalui pintu rumahku yang terbuka. Dari ruang tamu kami duduk tampak bintil-bintil air hujan yang menempel di daun-daun bagai emas gemerlapan. Jalan masih basah dengan genangan-genangan air di beberapa sisinya. Semoga saja kegundahan Ubik layaknya genangan itu, karena sebentar lagi juga akan mengering menjadi debu yang mudah terbang diterpa angin.

Ia pun segera bangkit, mengambil jaketnya yang masih memal. Aku mengikutinya dan mempersiapkan diriku juga. Kami akan menuju ke Blora, rumah sahabat kami satunya. Barangkali semua gundah Ubik tertumpah di sana.