Sabtu, 11 Agustus 2012

Hanya Ingin Bercerita


Aku hanya bisa memandangimu dari kaca cendela rumahku. Di saat bintik-bintik hujan menguyur halaman rumahmu, kau tetap duduk di tepi sungai kecil, yang menjadi batas antara jalan dan halaman. Matamu terus mengikuti lalu-lalang kendaraan. Sesekali kau sapa orang-orang yang kebetulan lewat. Dengan tatapan kosong.

Tidak ada tanda-tanda itu sewaktu kecil. Kau salah satu anak yang ceria, dan boleh dibilang sering unggul dalam permainan.  Apa kamu masih ingat, saat kita berjalan bersama lainnya di lorong-lorong sampah; berburu bungkus rokok untuk kita lipatjadikan jirak. Lalu dengan jirak itu kita bertaruh tentang kelihaian membidik dengan lempengan pecahan genteng atau tegel.

Saat gunung sampah masih mengeluarkan asap putih, kau berlalu saja di atasnya dengan telanjang kaki. Mengorek permukaan ke dalam dan dengan seperti itu kau bisa mendapatkan lebih banyak bungkus rokok ketimbang aku yang hanya di tepian karena takut tertusuk pecahan kaca atau menginjak bara api yang masih berasap. Dan kau selalu berbagi barang satu atau dua bungkus rokok.

Di saat musim ikan Berta, kau adalah yang pertama kali membuat kolam kecil dari plastik. Ikan-ikan itu hidup di dalamnya dan berkembang biak. Aku dan teman-teman pun mengikuti keasyikan itu, meski hasilnya tidak sebaik kolammu. Begitu pula anak-anak gemar beternak burung merpati, siapa lagi kalau bukan karena kamu.

Apakah ingatan itu tak sedikit pun membesit di pikiranmu. Sewaktu kau bilang cincin yang kau kenakan sudah diisi rajah oleh seorang ulama, lalu dengan amarah kau berusaha memukulnya dan akhirnya kau terbanting ke tanah, seolah-olah cincin itu memiliki kekuatan ghaib. Dan saat itu, saat aku mencobanya dengan amarah yang aku bangun dalam pikiran, ingin memukul cincin itu tapi tak kurasakan tekanan apa pun. Meski seperti itu aku berpura-pura terpental, supaya kau tidak dipermalukan teman-teman kita. Ya, saat aku terguling-guling di tanah itu hanyalah pura-pura belaka.

Kita sudah dewasa sekarang, dan masih aku merindukan masa-masa kecil kita. Setidaknya aku masih ingin berkali-kali menceritakan persahabatan kita saat itu. Terakhir kita bermain adalah lima belas tahun lalu, yaitu menerbangkan layang-layang di sawah belakang rumah. Waktu itu matamu masih memancar, lakumu masih berjiwa seorang anak yang tangkas.

Namun keinginan bercerita kupaksa untuk tenggelam saja dalam kenangan di hati. Kita dekat sekali, bahkan hanya berbatas kaca cendela yang buram lantaran debu dan hujan. Namun hanya bisa kulihat dirimu duduk di teras rumah, kadang-kadang di tepi sungai yang dulu sering kita bermain perahu kertas di permukaan airnya. Setelah lama kita tak bersapa aku ingin sekali mendekatimu, sekedar menyapa atau bertanya kabar, tapi aku masih ragu.

Orang-orang mengatakan, apa yang kamu alami sekarang adalah keturunan. Menurut mereka, ibumu yang entah sejak kapan memiliki kelainan jiwa menurunkan kelainan itu pada dirimu. Namun aku tak akan pernah percaya akan hal itu. Bukankah sewaktu kita masih bersama, sama sekali tak tampak ciri-ciri itu. Kau bahkan lebih cerdas dari yang lainnya. Hingga aku menelusuri, mencari jejakmu selama kita berpisah. Kepada teman-teman aku tanyakan tentang dirimu. Akhirnya aku mendapatkan kabar yang kurang lebih seperti ini;

Saat sekolah di SMA, kau menaruh hati pada seseorang. Kau melakukan pendekatan hingga suatu hari jadian sama seorang itu. Anaknya cantik memang, ia anak pengusaha tempe kripik yang cukup terpandang lantaran keberhasilannya. Homeindustri keluarganya bisa dibilang paling besar diantara lainnya. Namun apa arti semua itu, cinta remaja adalah cinta yang memicingkan mata. Ia hanya melihat apa yang dicintainya. Keluarga, harta, dan apa pun yang di luar dari yang dicintai bukan menjadi hal yang utama, bahkan selalu diacuhkan.

Dengan semangat waktu, hubungan kalian semakin matang. Setelah merampungkan studi di SMA kalian berniat mengencangkan hubungan dengan membangun pelaminan. Pertama-tama kau bersilaturrahmi ke rumahnya, berbicara kepada orang tuanya tentang hal yang tidak ada kaitannya dengan pernikahan. Ya, hanya kau bilang kau teman sekolahnya. Tapi di malam harinya, kekasihmu itu berbicara serius kepada bapaknya; bahwa kau adalah pacarnya.

Mendengar curhatan hati anak gadisnya, si bapak biasa-biasa saja. Ia tidak begitu menanggapi. Ya barangkali menurutnya suatu yang wajar seusia anaknya mulai menjalin kekasih. Lalu kekasihmu mengabarkan padamu bahwa itu adalah kabar baik, “kita direstui” katanya dengan wajah berbinar. Dan dipastikan hatimu saat itu tak terkira bahagianya.

“Rani, sepertinya sudah saatnya kita benar-benar menaiki bahtera keluarga. Penghasilanku dari kerja sablon dan percetakan sudah cukup untuk hidup sederhana.” Kau ucapkan kata itu pada kekasihmu di suatu malam. Kekasihmu tersenyum, lalu mengeratkan genggaman tanganmu atas tangannya. Begitu kau bercerita pada teman-teman.

Sejak setelah itulah kekasihmu tak bisa dihubungi. Telfonnya selalu dinonaktifkan. Begitu juga tak kau temukan dia di tempat-tempat yang sering dikunjunginya. Hingga suatu saat kau mendapatkan sepucuk surat yang dititipkan temannya, surat itu dari Rani. Surat itu kau buka, kalimatnya kacau dan tidak teratur dan yang lebih menggiriskan; Rani mengajak putus. Kau tidak percaya kalau itu benar dari Rani, meski kamu sudah sangat hafal kalau surat itu memang ditulisnya.

Di satu kesempatan kau bisa menemui Rani dan memang benar, ia meminta kau melupakannya. Ia meminta kau menghapusnya dari segala ingatanmu. Saat itu pikiranmu pasti tak menentu, sesingkat itu ia menginginkan berakhirnya hubungan kalian berdua. Dan yang lebih membingungkan saat kau tanyakan kenapa harus putus, ia hanya menjawabnya dengan airmata.

Lalu kau terus berusaha mencari tahu tetang Rani. Dari temenmu yang lainnya kau mendapat kabar bahwa Rani pernah mengatakan padanya tentang persoalan yang dilandanya. Bapaknya tidak setuju jika ia menikah denganmu, lantaran rumahmu yang reyot, pekerjaanmu yang cuma buruh sablon, dan pekerjaan orang tuamu yang buruh serabutan, terlebih lagi kondisi ibumu.

Sejak saat itu kau sering berada di halaman rumah, memandangi rumahmu. Rumah tak begitu besar dengan jendela papan kayu. Dan di bawah tritis terdapat bagupon dengan beberapa ekor merpati. Kau mulai meninggalkan pekerjaanmu menyablon, dan yang kau lakukan hanya memandangi rumahmu dari halaman. Hingga sampai saat ini, sebelum mentari bersinar kau sudah berdiri di halaman dan kembali masuk rumah tatakala matahari benar-benar tertimbun pegunungan di barat sana.

Aku bisa merasakan kesedihan itu, sahabatku. Rani adalah cinta pertama dan terakhirmu. Tapi seharusnya kau tidak menjadi seperti ini. Harus kau ketahui bahwa cinta tidak harus jatuh pada satu orang. Cintamu seharusnya masih bisa untuk mencintai orang lain yang barangkali lebih baik dari Rani kekasihmu. Pandanganmu harus luas, tidak sempit seperti itu. Hidup ini penuh dengan kemungkinan-kemungkinan, sahabatku. Seharusnya kau mengetahuinya sejak dulu.

Ada rasa bersalah pada diriku. Kenapa aku melupakanmu, tidak pernah menyapamu dari kejauhan. Seandainya kita masih menyambung komunikasi, aku yakin kau akan mengatakan persoalan asmaramu padaku. Cinta pertamaku juga gagal, tapi aku sudah tahu, bahwa kegagalan bukan akhir dari semuanya. Seharusnya kita bisa saling berbicara meski aku di perantauan yang jauh darimu. Aku hanya ingin mengatakan bahwa kegagalan bukan akhir segalanya.

Kamu harus tahu, sahabatku. Saat dia memutuskanmu lanataran kondisimu yang kekurangan menurut mereka, bukan berarti kamu tidak mampu mencintai. Namun kau mampu mencintai melebihi kemampuan cinta orang-orang yang berlimpah. Kebanyakan orang-orang yang berlimpah berambisi meraih kesuksesan, berambisi pada kekayaan dan kekuasaan. Tapi mereka sama sekali tak mampu mencintai, karena semua yang mereka lakukan itu adalah agar mereka dicintai. Sedangkan kamu mencintai dengan seutuh jiwa ragamu. Kamu tidak membawa-bawa rumah dan kekuasaan dalam mencintai, tapi kau membawa semangat dalam dirimu. Kau membawa harapan dan cita-cita yang paling puncak; membahagiakan Rani, semangat untuk mencintai.

Seandainya kau mengetahui hal itu sejak dulu, tentu kau tidak akan berputus asa. Bahkan kau akan lebih giat mengembangkan kemampuanmu untuk mencintai gadis lain. Ah, andai saja kau tahu sejak dulu, atau seandainya kita masih bisa saling mengobrol tentu akan lain dengan yang sekarang ini.

***

Lama-lama kakiku tergerak untuk mendekatinya. Maka kulangkahkan menuju halaman rumahnya. Ifan masih duduk di tepi sungai. Bintik-bintik hujan menjadi bintik-bintik embun di rambutnya. Rambut yang gondrong dan lama tak disisir. Raut mukanya masih sama dengan lima belas tahun lalu, hanya sedikit kusam. Setelah jarak kami tinggal beberapa meter, aku mencoba menyapanya, “Fan!”. Dia menoleh. Pandangannya kosong.